Bab 10 : Permainan Dimulai
❚ ♦ ❚
"Nona. Nona, bangun!" Basil mengguncang pelan Elysa.
Elysa mendesah lemah, tapi tidak ada tanda kalau dia akan tersadar. Wajahnya yang pucat tampak semakin pucat. Tiga batang es sepanjang sepuluh meter meliuk masuk ke dalam jurang, bersumber dari udara di dekat tubuhnya. Setelah kehabisan Aura, dia bahkan mengubah energinya sendiri menjadi Aura? Basil menggelengkan kepala.
Baru saja akan mengangkat Elysa, Basil berhenti. Bagaimana aku bisa tahu ... dia kehabisan Aura?
Memori kejadian kemarin sampai hari ini terpampang jelas di hadapan Basil, membuat dia hampir melompat dari Elysa. Mata Basil langsung menyapu kedua tangannya. Telapak tangannya yang agak kasar, terlalu sering digunakan untuk memegang pedang, menghidupkan kristalit api di lok mini, membantu ayah mengangkat jala-jala ikan tangkapannya; entah mengapa mereka seperti milik orang lain sekarang, bukan lagi tangan yang dikenalinya. Bibir berdarah Ren, keterkejutan Dies, "kegilaan"-nya saat badai semalam, lalu kekuatan besar yang selalu timbul-tenggelam itu. "Sialan! Apa yang terjadi padaku?"
Gema yang terjadi ikut menertawakan Basil. Dia memejamkan mata dan menarik napas panjang beberapa kali.
Setelah meyakinkan dirinya sendiri kalau dia sudah tenang, dia mengangkat tubuh Elysa perlahan. Es-es Elysa yang ada di sekitar jurang membuatnya harus hati-hati. Tanah di sekitar jurang ada yang miring, dan kalau sampai mereka tergelincir ... Basil menggeleng. Dia mendudukkan Elysa di dinding gua tak jauh dari sana. Setidaknya gadis itu akan selamat; di tempat tadi dia malah hampir jatuh.
Jurang itu menyita perhatian Basil lagi. Setelah meletakkan Fang di samping Elysa, dia kembali lagi ke sana.
Basil mengingat dengan sempurna apa yang terjadi tadi, tapi kelakuannya membuat dia sendiri kebingungan. Dia ingat melawan bola gelap dan sulur-sulurnya dengan semangat sekali. Basil tidak pernah merasa sesenang itu. Sulur-sulur itu tercincang dengan mudah, tubuhnya menjadi sekeras baja, dia menjadi lebih laju, sulur-sulur itu datang lagi, lalu ... Elysa menghancurkan bolanya. Senyum Basil menghilang. Atau Ren yang melakukan itu? Siapa pun yang melakukannya, belum pernah dia merasa sekesal itu pada Ren atau Elysa. Untung saja dia tidak menyerang mereka berdua.
Dia berjalan ke jurang untuk melampiaskan kemarahannya, kan? Dia tidak mengacuhkan Ren yang berusaha menghentikannya. Kemudian ... energinya langsung hilang, ada gempa—gempa yang dia yakini berasal dari dirinya—dan dia pingsan. Kekuatan besar itu meninggalkannya lagi, sama seperti saat dia melawan Dies kemarin.
Basil tidak tahu apa yang terjadi setelah itu. Saat dia sadar, Elysa juga ikut pingsan di tepi jurang. Ren tidak ada. Melihat tangan Elysa yang terjulur ke jurang dan tiga es panjang yang sepertinya mau menggapai sesuatu, Basil dapat menduga apa yang terjadi.
Kegelapan di bawah sana membuat Basil mengepalkan tangannya. Ini semua salahku, kan?
Tidak ada yang dapat dilakukannya sekarang. Dia meninju lantai gua sampai kepalan tangannya tenggelam dalam tanah. Hampir saja dia terjatuh. Terjatuh atau tidak, dia tidak peduli lagi sekarang.
Jangan berpikir seperti itu, bodoh. Bawa Elysa keluar. Agak gontai, dia mendekati Elysa. Kristalit cahaya yang dari tadi menunggu di lantai gua diambilnya.
Maafkan aku, batin Basil sambil mengangkat Elysa lagi. Dia harus membawa gadis itu keluar. Lalu kembali lagi dengan mengajak banyak orang. Sial, mengapa Ren tidak membawa pekerja-pekerjanya ke sini? Dia kan orang penting Mazell.
Basil menghela napas. Sudah terlambat untuk menyesali itu.
Kegelapan tidak biasa itu sudah hilang bersamaan dengan si bola gelap. Jarak pandangnya juga lebih jauh daripada tadi. Lightite-lightite yang bermunculan di dinding kadang-kadang mengeluarkan cahaya pendar. Keberadaan mereka semakin membuat Basil merasa bersalah. Lightite akan mengingatkannya pada kristalit cahaya, lalu pabrik, lalu Ren, lalu jurang....
Elysa terisak pelan dalam tidurnya. Dia sepertinya akan menangis, tapi tidak mengeluarkan air mata. Mimpi buruk? Basil tidak tahu harus melakukan apa untuk menenangkan Elysa. Sialan Ren. Seharusnya kau yang melakukan ini, bukan aku!
Aura Elysa yang masih sedikit tiba-tiba hidup. Detik itu juga Basil merasakan bahaya mengintainya. Auranya langsung menyala sendiri. Dia berputar ke segala arah, mencari gerakan-gerakan aneh atau apa pun yang menandai bahaya itu. Sesaat kemudian, wajah Elysa mulai normal lagi dan Aura gadis itu pun mati. Bersamaan dengan itu, bahaya yang dirasakannya menghilang.
Walau cuma sebentar, Basil dapat melihat sedikit uap biru keluar dari tubuh Elysa. Basil sendiri bisa melihat uap biasa dari tubuhnya. Kadang-kadang uap berwarna cokelat ikut bercampur dengan uapnya itu. Basil terpana sebentar, sebelum mematikan Auranya. Semua uap itu pun menghilang.
Aku ... Caster? Mengapa dia tidak berpikir ke arah itu sebelumnya?
Tapi itu tidak masuk akal. Yang paling sering Bangun sebagai Caster cuma anak-anak berumur sembilan sampai sebelas tahun. Dia sudah lima belas. Seingatnya saat dia masih di Akademi Dasar, yang di atas lima belas tidak mungkin menjadi Caster lagi. Dan dia ... masih lima belas tahun.
Pasti ada kesalahan. Dia tidak pernah mendengar anak di atas sebelas tahun Bangun menjadi Caster, setidaknya di zaman sekarang. Basil mulai berjalan cepat. Dia baru menyadari kalau langkah-langkahnya sejak tadi terasa ringan. Bunyi langkahnya tidak terdengar, walaupun dia sudah menginjak lantai dengan keras. Tanah-tanah di sekitarnya seolah mengatakan kalau dia tidak perlu takut pada mereka. Basil menggigil. Berlawanan sekali dengan suasana hatinya saat ini.
.
Setelah berapa lama berjalan cepat, bunyi-bunyi aneh membuat Basil berhenti. Dia sudah tiba di tempat yang banyak lumut hijaunya. Ada sesuatu yang mendobrak dinding ... dari balik dinding itu sendiri. Setelah meletakkan Elysa, Basil menarik Fang. Para penambang masih takut masuk ke tempat ini, jadi tidak mungkin mereka. Makhluk apalagi sekarang? Kumbang raksasa?
Basil mendekat dengan hati-hati pada dinding sumber bunyi itu. Baru saja dia mendekat, dinding itu langsung roboh. Basil sudah mengambil kuda-kuda menyerang, tapi suara yang keluar dari runtuhan dinding itu membuatnya berhenti.
"Dan tubuhku pun makin hancur, tapi aku tidak merasakan apa-apa."
Suara itu.... Basil langsung menurunkan Fang. Ren menampakkan kepalanya dari tumpukan tanah, lumut dan debu, lalu tersenyum bodoh pada Basil.
"Hai, Sil, aku berani bertaruh 10.000 Deuce kau menyangka aku mati," katanya pelan.
Basil cuma memandang Ren yang keluar sambil merenggangkan tangannya dalam diam. Baru beberapa saat kemudian otaknya berteriak, Dia selamat! Dia mengerdipkan mata beberapa kali, untuk meyakinkan dirinya kalau ini bukan mimpi.
Terima kasih Sang Pencipta. Dia selamat.
"Aku berani bertaruh 20.000 Deuce ... kau tidak menyangka kalau aku akan berada di sini," ucap Basil sambil menghela napas lega.
"Aku berani bertaruh 30—"
"Aku senang kau tidak apa-apa."
Ren menaikkan alisnya, tapi tersenyum kecil dan meninju pelan bahu Basil. "Aku juga."
Dia kelihatan sehat-sehat saja, walau berjalan agak oleng. Mungkin jurang itu tidak sedalam yang dikiranya. Ren membawa sebuah pedang pendek berbilah putih. Seekor merpati putih juga bertengger di bahu kanannya. Namun semua itu tidak penting. Yang penting dia selamat.
"Kau selamat dan mendapatkan harta karun, sepertinya," ujar Basil.
"Kau tidak akan percaya dengan apa yang kutemukan di sana. Ada—" Wajah tersenyum Ren langsung berganti murung. "Mengapa aku tidak...."
"Mengapa kau tidak ... apa?" tanya Basil.
"Tidak. Tidak apa-apa," sahut Ren cepat. "Aku hanya meracau saja."
Dalam kondisi biasa, melihat Ren menatap tajam merpati itu seolah-seolah mereka sedang berdebat pasti akan membuat Basil tertawa. Tapi entah mengapa, dia malah berpikir kalau ini adalah hal yang paling normal dan tidak harus dipertanyakan. Pertarungan tadi pasti membuatku kehilangan sedikit akal sehat.
"Eh, apa itu Elysa?"
Ren setengah berlari menuju gadis itu. Basil menyarungkan Fang kembali dan mengejarnya.
"Dia tidak terluka," kata Ren sambil memeriksa tubuh Elysa. "Mengapa dia pingsan? Seingatku kau yang pingsan, bukan dia."
Basil menggeleng. "Dia ... kehabisan Aura mungkin." Dan aku sepertinya akan menjadi Caster. Tapi dia tidak mau mengatakan itu pada Ren. Tidak sekarang. Dia harus memastikan ini pada Elysa saat gadis itu sudah sadar.
"Pegangkan pedang ini," pinta Ren sambil menyerahkan pedangnya. Basil menimang pedang itu. Cukup ringan, namun terlalu pendek untuk ukurannya. Yang menarik perhatiannya hanya dari apa bilah pedang itu terbuat, sampai membentuk warna seputih susu.
Ren mulai mengangkat Elysa. "Ringan sekali," gumamnya. Setelah membersihkan sedikit debu di rambut Elysa dan memandang gadis itu agak lama, dia berkata lagi, "Semoga Tuan Laird tidak membunuhku. Aku mengatakan padanya kalau aku mengajak Elysa piknik ke hutan Mazell, menikmati udara sore di sana. Menurutmu, apa yang akan dilakukannya ketika melihat aku membawa Elysa pingsan?"
"Masalahmu Ren, bukan masalahku." Basil mengangkat bahu. Dia tidak tahu bagaimana hubungan Elysa dengan keluarganya, jadi tidak bisa membayangkan apa pun. "Sekarang pasti sudah jam delapan atau sembilan. Jangan khawatir, kau kan selalu punya alasan?"
"Aku tidak punya untuk situasi ini."
"Karang saja sekarang. Ah, daripada membicarakan ini, sebaiknya kita keluar."
Ren cuma mengangguk setuju.
"Aku tidak menemukan Hein," kata Ren tiba-tiba saat mereka sudah berjalan. "Semoga saja dia tidak apa-apa."
"Mungkin sudah keluar," hibur Basil.
"Kalau dia masih tidak ada, aku akan masuk ke sini lagi."
Basil meringis. "Jangan harap kau bisa ke sini sendirian."
"Kau bercanda ya? Setelah kejadian ini, kalau perlu aku akan membawa sebatalyon Pasukan Penjaga Kota," ujar Ren.
"Baguslah kalau begitu," kata Basil sambil memperhatikan pedang yang ditemukan Ren. Dia langsung mengutarakan pertanyaan yang agak mengganggunya dari tadi.
"Ren?"
"Hmm?"
"Bagaimana kau bisa selamat?"
Merpati putih itu tiba-tiba terbang ke kepala Basil. Dia mengambil burung itu dan memperhatikannya. Mereka bertatapan. Matanya hitam sekali, sampai Basil merasa tenggelam dalam mata itu. Apa yang dilakukan seekor merpati di dalam gua? Kelihatannya dia cukup pintar juga. Merpati ane.... Ah, merpati biasa saja. Basil meletakkan kembali burung itu di rambutnya.
Ren terdiam cukup lama sebelum menjawab, "Semua ini dimulai oleh lumut Elysa...."
✫ ✫ ✫
Angin malam Laut Herring bertiup kencang di sekeliling Vega. Dia memejamkan mata, membiarkan angin itu membelai wajah dan melambaikan jubahnya. Kapal sebenarnya bergerak perlahan, tapi angin dari utara memang laju. Mesin kapal berdesis, mengeluarkan nada-nada yang menyakitkan telinga Vega seandainya dia berada di kabin. Salah satu alasan mengapa dia lebih memilih berada di sini, di haluan kapal. Suara mesin tidak akan terlalu mengganggu telinganya. Bau besi mesin uap dan kristalit merah itu juga tidak akan membuatnya pusing.
Selama enam malam berturut-turut sejak kapal meninggalkan Enice, Vega sering pergi ke sini. Mungkin cuma di haluan dia dapat merasakan ketenangan, dengan angin malam menerpa wajahnya, membuat rambut biru panjangnya melambai-lambai. Sensasi yang mungkin tidak akan membuatnya bosan sampai kapan pun.
Vega menatap langit gelap Thrusia yang berawan tebal. Dua buah bintang tampak kesulitan mempertahankan cahaya mereka. Dia tersenyum. Bintang-bintang tersebut sebenarnya bersinar cukup terang sampai mampu menembus awan seperti itu. Sebentar lagi, kalian akan sangat terang, awan mana pun tidak akan bisa membendung cahaya kalian lagi.
Ledakan kecil—mungkin di buritan kapal—membuyarkan Vega dari lamunannya. Dia mendesah. Apa lagi yang dilakukan anak itu?
Langkah kaki Slaft terdengar di belakangnya.
"Anak itu membuat masalah lagi," kata Slaft.
"Aku tahu," balas Vega. "Ada yang mati?"
"Tidak. Aku berhasil menyelamatkan orang malang yang akan diledakkannya." Vega tahu kalau Slaft sedang menatap lurus padanya, walau dia sedang membelakangi Slaft. "Apa kubunuh saja? Jika terus begini, dia akan mengacaukan rencana kita."
"Dia sudah mengacaukan rencana kita. Atau kau masih tidak sadar?" tanya Vega.
Mereka seharusnya sudah tiba di Mazell kemarin pagi. Namun karena Shelk menghabisi seperempat awak kapal selama perjalanan mereka, perjalanan jadi lebih lambat. Dia membunuh navigator, juru kemudi, tukang masak, dan seorang mekanik. Untuk menggantikan posisi-posisi yang hilang tersebut, seorang awak kapal jadi mempunyai tugas ganda. Belum lagi kapal mengalami kerusakan mesin, dan perbaikannya memerlukan waktu yang lebih lama gara-gara tidak ada mekanik itu.
Bukan untuk pertama kali Vega berharap dia menguasai Void seluruhnya. Dengan begitu dia dapat berteleportasi sejauh yang dia mau, seperti yang dilakukan Canopus di Enice beberapa hari yang lalu. Teleportasi Vega selama ini hanya dalam jarak dekat saja, dan itu selalu membuat dia kehabisan Aura.
Vega melirik Slaft. Anak buahnya yang satu itu kali ini memakai topeng kayu berbentuk seorang wanita yang menangis darah. Slaft memakai rompi yang memperlihatkan otot-otot tangannya. Di punggungnya tergantung sebuah pedang dengan sarung dari tanah. Slaft menatap bintang-bintang redup itu sebentar, lalu beralih padanya. Sepertinya dia tidak akan bicara lagi.
Vega mendesah pelan. Tidak ada seorang pun di atas kapal ini yang dapat diajaknya bicara, setidaknya secara normal. Awak kapal selalu menghindar. Kapten Harlake terlalu berhati-hati kalau bicara dengannya. Dia merindukan saat di mana dia bisa bicara bebas tanpa beban, dengan Deneb misalnya. Teman seperjalanannya sekarang, Vega cuma menggeleng. Slaft merupakan bodyguard yang bagus, tapi jika tidak ada yang harus dilaporkan, dia menjadi pendiam sekali. Sedang Shelk, tidak ada yang keluar dari mulut anak itu kecuali untuk menghabisi nyawa orang lain.
Pasti terjadi kesalahan saat Ayah membuatnya.
"Hentikan kalau dia mau membunuh—"
Angin yang meniup wajah Vega tiba-tiba berhenti. Auranya langsung hidup seketika. Semua suara di sekitarnya menghilang. Dia melirik Slaft. Slaft hampir mengeluarkan pedangnya, tapi terhenti. Mematung mungkin kata yang lebih tepat. Bukan cuma Slaft dan angin saja; kapal dan awaknya, asap mesin, bahkan ombak juga ikut berhenti. Seolah-olah sang waktu sendiri telah malas bergerak.
Di antara banyak hal yang tidak disukai Vega, mungkin ini salah satu yang paling menjengkelkannya. "Dihubungi" oleh Alpha.
Udara di sekitar Vega memanas, lalu berkumpul ke atas pagar kapal tepat di sampingnya. Sosok berjubah putih mulai muncul di tempat udara berkumpul itu. Dia memasang wajah datar ketika sosok itu muncul sepenuhnya. Jubahnya berkibar seolah ditiup angin, padahal tidak ada angin lagi di sini. Dia tetap berdiri di pagar itu dengan keseimbangan sempurna.
"Aku tidak tahu kalau kau suka mendramatisasi kemunculanmu," ucap Vega.
"Aku sedang berminat pada drama sekarang," balas sosok itu sambil membuka tudung jubahnya.
Wajah seorang remaja—mungkin berumur 14-15 tahun menurut ukuran manusia—tampak dari balik tudung itu. Rambut putihnya yang menutup telinga ikut bergerak seolah-olah ditiup angin. Alpha mengulum senyumannya. Vega cuma mendelik.
"Apa yang kau inginkan?" tanya Vega.
"Ah, langsung ke pokok permasalahan?" kata Alpha. Bibirnya kembali menyunggingkan senyum senang. "Apa hatimu tidak berbunga-bunga melihatku, Vega?"
Vega cuma menatapnya tajam.
"Hah. Bangun bersamaan dengan Canopus membuatmu jadi tidak seru lagi," kata Alpha mengangkat bahu.
"Jadi, yang kau inginkan?"
Alpha tetap senyum. Dia lalu menoleh ke utara, ke arah yang dilihat Vega sebelumnya. "Yang ketiga telah bangun juga."
Berita itu cukup membuat perhatian Vega kembali pada Alpha. "Siapa?"
"Targetmu, sang cahaya sendiri. Aku dapat merasakannya."
Vega tidak mengatakan apa-apa. Namun Aura yang telah hidup sejak kedatangan Alpha tadi digunakannya begitu saja. Api biru langsung berhamburan dari tangannya. Dia tidak lagi menoleh pada Alpha, tapi memandang lurus ke depan.
"Dia juga berada di sekitar Mazell. Tapi jangan khawatir," sambung Alpha. "Sepertinya kau tidak akan bermasalah kalau menemuinya. Dia pasti masih lemah. Kurasa bergerak saja dia tidak akan bisa."
Vega menarik napas panjang, lalu memadamkan api biru yang terus menerus berkeluaran dari tubuhnya. Sebenarnya dia tidak perlu takut akan menghancurkan kapal atau melukai Slaft. Semua ini: Slaft yang mematung, waktu yang seolah berhenti, bahkan Alpha sendiri, sebenarnya hanya ada dalam kepalanya saja. Sebuah ilusi yang dibentuk Alpha asli saat berkomunikasi dengan orang yang diinginkannya. Tapi Vega tahu, berapa lama pun dia bicara dengan Alpha di sini, waktu di luar hanya berjalan selama sedetik saja.
"Aku tidak peduli Lucia dalam keadaan terkuatnya atau tidak. Dia akan mati."
Alpha cuma menggeleng. "Balas dendammu yang tidak penting itu mempunyai peran kosong dalam rencana. Kau harus ingat kita masih memerlukan dia."
Vega menggeram pelan. "Wanita jalang itu membuat Altair mengkhianati kita. Atau kau lupa?"
Mengkhianati kita. Mengacaukan kami. Berbagai emosi yang berusaha dipendamnya selama ini menyeruak keluar. Menghancurkan perasaanku. Masih banyak kesalahan Lucia, sampai Aura Vega memberontak untuk keluar lagi dan membakar apa pun di sekitarnya.
"Deneb mengatakan kalau pengkhianatan Altair adalah atas kemauannya sendiri," sahut Alpha. "Atau kau lupa dengan perkataan teman baikmu itu?"
Tentu saja tidak! Dia percaya dengan Deneb. Namun, Deneb punya tendensi untuk membela Altair. Bahkan saat Altair tiba-tiba memihak para Anima sekali pun, Deneb tetap percaya kalau Altair cuma berpura-pura saja dan akan kembali pada mereka. Kepercayaan ... yang dengan mudah Altair hancurkan.
Mengingat Altair cuma akan menyakitkan hatinya. Sial, ternyata dia belum bisa melupakan itu semua. Semua ini salah Lucia. Anima itu akan menerima akibatnya.
"Kau menganggap serius semua ini, ya?" tanya Alpha sambil menghembuskan napas panjang. "Aku heran mengapa Ayah menyuruhmu memburu Lucia. Seharusnya dia tahu kalau kau punya masalah dengan Anima itu. Potensi yang akan mengacaukan rencana kita."
Siapa peduli dengan alasan Ayah? Disuruh atau tidak, Vega tetap akan memburu Lucia. Mendengar kabar dia telah bangun membuat Vega semakin tidak sabar datang ke Mazell. Melihat Anima itu terbakar dalam api birunya merupakan mimpi indah.
Vega menggeleng.
"Bagaimana dia bisa bangun?" tanya Vega mengalihkan fokus pembicaraan kembali ke jalurnya.
Alpha mengangkat bahu. "Ada faktor lain yang tidak kita perhitungkan. Aku akan menyelidikinya."
Mereka terdiam sebentar, sebelum Alpha bicara lagi, "Mereka hebat juga, ya? Kita bangun, tiga di antara mereka ikut terbangun juga. Padahal seharusnya mereka masih tertidur 1.700 tahun lagi."
"Hebat apanya?" dengus Vega. "Mereka bangun terlalu awal. Kekuatan mereka tidak akan sekuat dulu. Tidak seperti kita."
"Bagaimanapun, ini akan mengundang masalah," kata Alpha sambil memejamkan matanya. "Aku akan tinggalkan Lucia untukmu. Untuk Herol dan Visela, biar yang lain mengurus mereka."
Vega menyibak rambut sebentar. Ketenangan total yang ada di sekitar mereka hanya membuatnya semakin merasa lemah karena berada dalam pengaruh ilusi Alpha ini.
"Suruh Rigel saja yang mengurus Visela. Gara-gara kebodohannya Anima itu terbangun."
Alpha tersenyum kecil. Vega mulai muak dengan senyuman itu.
"Oh, dia telah melakukan itu. Aku harus mengatakan kalau dia cukup baik memperbaiki kesalahannya. Jika rencana Rigel bisa dipercaya, sebentar lagi seluruh tempat ini akan berubah jadi padang es abadi."
Padang es? Mengapa aku tidak terkejut.
"Mungkin kau bisa membantu Rigel menyelesaikan tugasnya. Lebih cepat lebih baik," kata Alpha lagi.
"Tidak," sahut Vega cepat. "Aku akan melakukan bagianku. Dia bagiannya."
Lagi-lagi Alpha mengangkat bahu. "Kalian sama-sama di utara, siapa lagi yang bisa membantunya? Aku tidak mungkin meninggalkan Istana Langit; Arct tidak bisa kupercaya untuk menolongnya. Capella sudah mulai bergerak di selatan; aku juga tidak bisa memerintah Canopus. Yang lain sudah punya urusan mereka masing-masing."
"Bagaimana dengan—"
"Deneb? Kau ingin Deneb menolongnya? Mereka akan saling bunuh." Alpha tertawa lepas sebelum berkata lagi, kali ini dengan nada pelan, "Lagi pula, aku masih belum menemukannya."
Sebenarnya yang ingin Vega sampaikan adalah agar Deneb menolong dirinya. Deneb tidak mempunyai kebencian pada Lucia, walau Vega sendiri tidak tahu mengapa. Jadi dia mungkin bisa menenangkan Vega kalau kemarahan Vega sudah melewati batas dan mengacaukan rencana. Hanya satu saja yang tidak lengkap dari apa yang ingin dikatakannya itu. Deneb tidak ada. Dia sudah menghilang sejak Vega terbangun dari tidur panjangnya. Alpha dan Deneb merupakan yang paling pertama bangun di antara mereka semua, menurut yang dikatakan Alpha.
Vega cuma bisa berharap kalau dia tidak apa-apa. Aku sudah kehilangan Altair. Jangan sampai aku kehilanganmu juga.
Tubuh Alpha mulai berubah transparan, tanda kalau komunikasinya akan terputus. Dia tersenyum lagi. "Baiklah Vega. Pastikan kalau kau mendapatkan tubuh Lucia. Aku tidak peduli bagaimana kau melakukannya. Soal Deneb dan yang lain, biar aku yang mengurus mereka."
Vega memilih untuk diam.
"Oh, satu lagi. Dua puluh mil di selatan, tiga kapal Angkatan Laut Thrusia sedang mengejar kalian. Kapten kapal ini sepertinya mengetahui itu dan sengaja melambatkan kapal." Untuk pertama kalinya, senyuman menghilang dari wajah Alpha. "Kerahasiaan misi kalian jadi tidak ada artinya sekarang."
"Katakan itu pada Shelk," ucap Vega.
"Canopus benar. Kau harus bisa mengendalikan anak buahmu sendiri." Alpha mengenakan lagi tudung jubahnya.
"Permainan telah dimulai, Vega. Kau beruntung punya aku untuk membimbing langkahmu."
Setelah mengatakan itu, Alpha menghilang. Dunia bergerak seperti biasa. Bunyi mesin uap dan nada-nada sumbangnya terdengar lagi. Angin kembali meniup rambutnya. Vega mendesah. Ini bukan permainan, walau kau selalu berkata seperti itu.
Slaft yang masih berada di belakang melepaskan pegangan pada pedangnya. "Tadi itu Alpha kan?"
"Ya. Berapa lama aku terpaku begitu saja seperti orang bodoh?"
"Lima detik."
Seharusnya cuma satu detik. Lima detik sudah cukup untuk membuat Slaft membunuhnya beberapa kali, seandainya Slaft adalah musuh. Vega memegang pelipisnya sebentar. Bukan cuma mereka yang melemah. Aku juga. Sial.
"Panggil Shelk! Kita ada tamu."
Vega malas menghamburkan Auranya hanya untuk hal yang tidak penting seperti ini. Sebaiknya dia menonton saja. Biar kedua anak buahnya yang mengurus siapa pun yang mengejar mereka. Lagi pula, dia harus bicara dengan Kapten Harlake tentang mengapa Kapten itu memperlambat kapal.
Dia kembali menoleh ke utara.
Tunggu aku Lucia. Ayah mungkin gagal membunuhmu, tapi aku tidak akan melakukan kesalahannya. Tidak ada Altair yang akan menyelamatkanmu lagi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top