Malam
Takdir.
Setiap makhluk di dunia, terlahir memiliki ketetapan takdir yang pada dasarnya tidak bisa diubah. Mereka diberikan pilihan dengan hasil dari ujian yang akan dijalani berupa kebaikan untuk diri sendiri juga kelangsungan hidup lainnya. Bila Tuhan telah berkehendak, yang akan terjadi, tetap akan terjadi.
Keyakinan itu yang terus Ralia tanamkan. Terlebih, sang ayah—Arif selalu mengikat Ralia tentang itu. Tujuannya hanya satu, semoga kelak putrinya ikhlas menjalani semua yang sudah dan belum terjadi.
Kecemasan seorang ayah serta harapan agar putrinya kelak menjadi manusia yang baik dan berguna, terkadang membuat Ralia berpikir untuk mempelajari karakter-karakter baru, termasuk tempat baru.
Semua pakaian termasuk kotak hadiah untuk Aulia sudah rapi di dalam koper. Niat Ralia sudah bulat. Besok, ia akan pergi ke Jakarta untuk bertemu Aulia serta menghabiskan libur di sana.
Sebenarnya libur kenaikan kelas kali ini, Ralia berharap Aulia bisa menghabiskan liburan di Surabaya. Namun, sekali lagi Ralia ingin melihat ke luar ‘jendela' sebelum makin sibuk setelah masuk di kelas XII.
Ralia meraih ponsel, menatap pesan terakhir untuk Aulia yang belum dibalas. Dia sibuk? Entahlah, beberapa bulan belakangan, Aulia memang lebih sibuk atau tepatnya menutup diri.
Memang, Aulia bukan tipe yang senang berbicara panjang lebar bagaikan rangkaian kereta gerbong panjang saat melintas, tetapi Aulia adalah pendengar yang baik. Super baik.
Arif selalu mengatakan mereka bagaikan dua mata pisau dengan ketajaman berbeda.
Aulia dan Ralia …. tidak dapat dibayangkan bila mereka berdua memiliki kadar kecerewetan yang sama. Intinya, mereka saling melengkapi. Ralia cerewet sedangkan Aulia pendiam.
Ralia kembali menatap layar ponselnya. Berkali diperiksa, tetapi kenyataan pesannya belum juga dibalas, membuat Ralia kesal sendiri.
"Ih, si Aulia, ke mana, sih?" dengkusnya kesal.
Sekali lagi Ralia menarik napas panjang lantas mengusap dada. Ia harus bisa menahan emosi, tetapi kalau dipikir, Aulia memang seperti itu. Suka menghilang, tidak ada kabar.
Ralia bosan selalu menjadi yang pertama untuk berinisiatif menelepon atau sekadar mengirim pesan. Kata Aulia, kalau menghubungi terlebih dahulu, takut mengganggu. Ini aneh, menurut Ralia, seharusnya sebagai saudara, hubungan mereka tidak begitu, bukan?
"Ralia." Panggilan dengam suara rendah serta tepukan pelan di pundak, membuat Ralia menoleh.
“Ralia enggak dengar Ayah masuk.”
Arif tersenyum kemudian duduk tepat di samping Ralia. Beliau memberikan bungkusan plastik hitam agak besar. "Ini, titipan dari Nenek Grace, katanya kesukaan Aulia,” tuturnya yang kemudian terdiam.
Ralia meraih bungkusan yang disodorkan Arif. “Aulia pasti suka.”
Arif tersenyum lalu mengedarkan pandangan—mengamati koper-koper Ralia yang berada di samping ranjang. “Kamu bawa banyak baju.”
Ralia tersenyum seolah mengerti kegelisahan Arif. "Tenang saja, Ayah. Setiap hari aku pasti menelepon," kata Ralia yang membuka sedikit plastik hitam tersebut. Tampak sekilas stoples berisi kepingan manisan plum kering.
Nenek Grace pasti ikut kecewa karena tahun ini aku yang harus menemui Aulia di Jakarta, batin Ralia.
Grace adalah seorang janda tua penyayang yang tinggal sendirian, setelah anak-anaknya selesai kuliah, mereka merantau ke pulau seberang dan akan datang setahun sekali menjelang hari raya.
Hari-hari Grace pasti akan terasa sepi. Untuk sementara, tidak akan ada yang tiba-tiba mendekapnya dari belakang atau menggosok kakinya dengan minyak angin di sore hari.
Grace selalu menjadi pelita hangat saat musim penghujan datang. Ralia senang mendengarkan semua kisah Grace tentang masa sebelum Indonesia merdeka atau kisah romantis bersama mendiang suaminya. Grace juga selalu memastikan bahwa ada tangan dari sosok wanita yang menemani tumbuh kembangnya sebagai seorang remaja.
Termasuk, mengoceh tidak berhenti saat sifat ‘nakal’ Ralia muncul lalu membuat Arif sedikit depresi.
Tepukan lembut di punggung tangan, membuyarkan lamunan Ralia. “Masih belum ada kabar dari Aulia?" tanya Arif.
Terlihat kalau ia turut merasa cemas.
Ralia menjawab pertanyaan Arif dengan satu gelengan pelan kepala dan tarikan napas panjang.
Arif memijat dahinya lalu menangkup pipi Ralia. "Kamu yakin mau berangkat? Kita bisa jemput Aulia dan seperti tahun sebelumnya, menginap di sini saja,” bujuknya.
Ralia mengusap punggung tangan Arif kemudian tertawa pelan. “Kata Ayah, aku harus keluar dari Surabaya, 'kan? Ayah, aku sudah enggak sabar main di Ancol, berkeliling di Monas. Aulia sudah berjanji mau ajak aku ke sana," ucap Ralia penuh semangat.
Arif tersenyum kala melihat binar-binar kebahagiaan di mata Ralia kemudian mengusap pelan pucuk kepala Ralia. "Iya, sekarang tidur, jangan begadang. Besok pagi-pagi sekali kita berangkat. Ayah antar kamu sampai bandara," ucapnya, "Ayah berangkat kerja dulu," pamitnya lalu mengecup pucuk kepala Ralia.
Ralia mengangguk setuju. Matanya mengiringi kepergian Arif keluar dari kamar kemudian kembali meraih ponsel. Sekali lagi kecewa karena belum ada balasan dari Aulia.
Sejujurnya, beberapa hari belakangan, Ralia memiliki firasat aneh. Bahkan, sempat bermimpi buruk tentang Aulia. Ia kembali melirik jam dinding. Pikirnya, ini baru jam sembilan malam, tidak mungkin Aulia tidur secepat ini.
Ralia meletakkan ponsel di samping bantal, merebahkan tubuh di kasur kemudian menarik selimut. Baru saja matanya terpejam, tetapi ponsel Ralia berdering.
Awalnya Ralia hanya melirik tanpa semanngat, tetapi kali ini ia hampir melompat kegirangan karena melihat nama Aulia tertera di layar ponsel.
"Halo! Aulia!" seru Ralia.
"Ralia,"
Senyum di wajah Ralia hilang kala mendengar isak di ujung sambungan. “Kamu kenapa? Aul? Kamu nangis?” Suara Aulia terdengar parau dan tangisnya kian tak terbendung. Ralia hampir tidak bisa mendengar apa pun selain tangisan juga Aulia yang terus menyebut nama Ralia. "Kamu kenapa? Ada apa?" tanyanya khawatir.
"Ralia, aku takut. A-aku harus bagaimana Ralia?" raung Aulia di sela tangis dan tersengal oleh napasnya tersendiri.
Ralia meremas ponsel, menyingkap selimut kemudian bangkit dari pembaringan. "Ada apa?” tanya Ralia setengah berteriak. "Mama ada di mana? Aku sampai di sana besok pagi. Aul, kamu kenapa? Bertengkar sama mama? Aulia, jangan nangis kaya gini, dong!" bujuk Ralia yang malah membuat Aulia makin histeris. "Aulia, kenapa? Halo! Aulia!!"
Terputus!
Ralia mengerjapkan matanya berkali-kali. Napasnya seakan ikut putus ketika suara Aulia tergantikan nada beep panjang.
“Pasti ada yang enggak beres!” desis Ralia yang kemudian coba menghubungnya kembali, tetapi yang terdengar hanya suara beep panjang dan berakhir dengan seruan dari operator yang mengatakan bahwa nomor Aulia sedang sibuk.
“Ya, Allah, ada apa ini?” cemas Ralia.
Tanpa pikir panjang, Ralia bergegas meraih jaket dari dalam lemari kemudian turun ke lantai satu untuk mencari kunci motor yang pasti Arif tinggalkan di balik taplak kulkas.
Tebakannya jitu. Ralia menatap nanar kunci motor yang sudah ada di telapak tangannya. Tiba-tiba ia merasa takut.
Sejenak ia terdiam di samping meja makan. Walau berulang kali Ralia mengatur napas juga berusaha menenangkan diri, tetap saja kecemasan yang melingkupi dada makin tak terbendung lagi.
Baik, apa yang harus aku lakukan? Apa aku jemput ayah? Ayah bisa menghubungi mama untuk pastiin kondisi Aulia. Ya, Allah aku cemas sekali, batin Ralia.
Sekali lagi Ralia menatap kunci motor yang sudah berada di genggaman tangan. Arif pasti marah kalau tahu Ralia nekat seperti ini, terlebih beberapa bulan lalu Ralia jatuh dari sepeda motor, tetapi mengingat kondisinya seperti ini, Ralia berharap Arif pasti mau mengerti.
Ralia tidak mau buang waktu, rencananya ia akan ke tempat kerja ayahnya, tetapi ketika hendak membuka pintu depan, jantungnya hampir berhenti berdetak ketika melihat Arif juga Grace sudah berdiri di balik pintu.
“Ayah?” cicitnya.
Wajah Arif tampak pucat serta ketakutan. Mata Ralia mengekori Arid yang masuk menaiki anak tangga tanpa banyak bicara.
"Ayah," panggil Ralia setengah berteriak. Langkah Arif terhenti, tetapi sepertinya enggan berbalik menanggapi Ralia. "Aulia. Tadi dia telepon aku, sepertinya terjadi sesuatu di sana," sambung Ralia.
Arif mencengkeram pegangan tangga dengan tangannya yang gemetar. "Beberapa hari ke depan, kamu tinggal dulu sama Nenek Grace. Ayah harus menemui mereka dahulu. Tunggu sebentar, Ayah berkemas dulu.”
Baik, pasti ada yang tidak beres. Aku tidak salah dengar, 'kan? batin Ralia.
Tanpa ragu Ralia berjalan mendekati Arif, tidak biasanya Arif berbicara membelakangi Ralia. Kecemasan yang sudah berada di pucuk kepala Ralia, membuat gadis itu mencengkeram lengan Arif. "Ayah, apa terjadi sesuatu dengan Aulia?”
Arif malah menunduk dan suara tangisnya terdengar makin jelas. Ralia yang terkesiap melepaskan genggamannya dari lengan jaket Arif.
“Ayah, kenapa?”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top