4. Perlukah?

"Tidak apa-apa untuk meneteskan air mata. Tapi jangan sampai kamu menangis sendiri." - Namjoon

🌸🌸🌸

Lelaki berpakaian serba hitam-hitam itu bernama Attar. Sejak ketinggalan seluruh barang-barangnya di bus, dia hanya berjalan mengitari laut. Dia memotret apa pun yang ada di sana.

Dia tidak panik setelah kehilangan seluruh barangnya. Sebaliknya, dia malah menikmati momen yang menantang baginya itu.

Kapan lagi dia bisa berpetualang tanpa sepeser pun, juga tanpa apa pun yang dimiliki.

Attar tidak punya maksud lain dari kegiatan memotretnya. Hanya menekan shutter sesuka hati apa pun yang dia dapat di hadapannya.

Dia memerhatikan ketika dua meter di depannya itu ada seorang wanita yang mengenakan kaus pas di badan, dipadupadankan dengan jeans belel yang juga pas di kaki jenjangnya.

Wanita itu menengadahkan wajahnya ke langit, rambutnya diterbangkan angin, kedua tangannya memegang pagar pembatas.

Entah apa yang berada di pikiran Attar, wanita di hadapannya serta pemandangan yang melatarbelakangi, baginya itu seperti satu paket keindahan yang sulit ia jabarkan.

Refleks tangan Attar bergerak ke kamera yang menggantung di lehernya. Wanita itu kini berada dalam satu frame yang mustahil Attar lewatkan karena keindahannya.

JEPRET!

Attar menurunkan kameranya lagi ke dada. Dan wanita itu kini sedang menoleh padanya. Dengan ekspresi yang tidak bersahabat, serta mata sayu seperti ada berlian memantul di sana.

Attar menggaruk belakang kepalanya. Mudah sekali menebak jika wanita itu marah padanya. Lengkung bibirnya yang ke bawah seolah sedang berkata kalau dia tidak menyenangi dipotret tanpa izin.

"Maaf, aku mengambil fotomu tanpa izin," ucap Attar menggunakan bahasa asing.

Wanita itu buang muka. Beberapa detik Attar dibiarkan serba salah. Tak lama kemudian dia menghela napasnya dengan berat, lalu menghampiri Attar tepat di hadapannya.

Tangan wanita itu merebah. Dia bermaksud meminta kamera Attar alih-alih memaafkan karena sudah dipotret tanpa izin.

"Apa ini?" Attar kelepasan mengatakan kalimatnya menggunakan bahasa Indonesia.

Wanita itu mengedip perlahan sebagai respon ucapan Attar tadi.

"Kamu bisa bahasa Indonesia?" tanyanya kemudian.

"Em, ya. Aku warga negara Indonesia."

"Bagus!" Wanita itu meninggikan tangannya yang merebah di depan dada Attar. "Kalau begitu aku gak perlu repot-repot mengartikan maksudku ini, kan?"

Attar juga mengerti kalau wanita itu menginginkan kamera yang sudah lancang mengambil potret dirinya. Namun, haruskah Attar memberikan kamera itu padanya? Memangnya apa yang mau dia lakukan?

"Emm ..., kamu mau apa?" Attar pura-pura tidak paham.

"Hapus fotoku!" katanya tegas.

"Um, itu ..., tadi aku baru saja memotret laut dan—"

"Hapus!"

Attar tidak tahu kalau wanita itu punya nada intimidasi yang kental. Dengan satu kata saja, Attar sulit untuk menolak keinginannya.

Haruskah dia hapus? Ini foto yang bagus. Dia akan menghargai foto itu sama seperti foto lainnya yang biasa dia taruh di tembok pojok kamarnya.

"Apa yang harus aku lakukan supaya kamu mengizinkanku gak menghapus fotomu ini?" Attar malah bernegosiasi dengan pemilik mata sipit dan kulit putih susu cenderung pucat ini.

"Hapus. Aku gak suka fotoku dimiliki orang sepertimu."

Pemilihan kata 'orang sepertimu' membuat Attar menaikkan alisnya. Memangnya seperti apa Attar di mata wanita ini. Apa baginya dia terlihat seperti orang mesum yang jahat?

"Kalau aku menolak menghapusnya?"

Attar seraya menyembunyikan kamera itu di belakang tubuhnya.

Wanita itu merasa tertantang. Dia mengepalkan tangannya yang sedari tadi merebah. Tatapannya berubah makin tajam. Attar bisa merasakan kalau wanita itu makin menakutkan hanya dari caranya menarik napas berat, hingga bahunya naik turun.

Attar sedang tidak bersikap waspada. Tahu-tahu wanita itu menendang tulang kering Attar dengan sekuat tenaga.

Attar mengaduh. Dia sedikit membungkuk hingga membuat persembunyian kamera di belakang tubuhnya melemah.

Wanita itu dengan cekatan merebut kamera Attar dari tangannya. Secepat kilat pula dia membalikkan badan dan menekan sembarang tombol di layar kamera DSLR milik Attar.

"Hei, jarang sembarangan menekan—"

Terlambat. Wanita itu sudah menekan tombol hapus semua yang muncul di layar. Dia tahu cara membuat Attar ternganga dan tak berkutik.

"Arrrrgggg! Apa yang kamu lakukan dengan kameraku?"

Attar merebut kembali kamera itu dari tangan si wanita. Meski sebenarnya dia sudah terlambat menyelamatkan gambar-gambar yang susah payah dia dapatkan berjam-jam tadi. Berulang kali Attar menekan tombol sekiranya bisa menyelamatkan data yang dihapus bersih itu.

"Pelajaran untukmu. Jangan sembarangan memotret seorang wanita yang gak dikenal. Dan ...," wanita itu menjeda kalimatnya. "Jangan bersikap seenaknya padaku."

Wajah wanita ini terbilang manis dan cantik. Tapi tidak menyangka kalau sikapnya jauh lebih kasar daripada raut wajahnya yang terlihat tenang.

Wanita itu merasa urusannya telah selesai. Dia melintasi bahu lelaki yang baru ditemuinya itu. Kemudian berlalu dari hadapannya dengan menampilkan punggung angkuh.

Attar masih memandangnya cukup lama. Dalam hati dia masih menunggu wanita itu meminta maaf. Dia menunggu wanita itu membalikkan badan atau menampilkan wajah cantiknya lagi untuk terakhir kali.

Tapi hal itu tidak pernah terjadi. Si wanita itu terus berlalu tanpa menoleh sedikit pun ke arah Attar. Langkah kakinya juga makin jauh, masuk ke jalan menanjak. Benar-benar hendak pergi dari Attar yang setia membayangi setiap langkahnya.

Wanita itu berlalu. Sosoknya tidak lagi terlihat di pelupuk mata Attar. Barulah lelaki berambut hitam pekat itu mengembuskan napas kecewa.

Attar mengacak rambutnya. Berteriak tanpa suara.

Attar kehilangan tas, dompet, ponsel dan semua barang-barang miliknya di bus. Dia tidak membawa apa pun lagi selain kamera kesayangannya. Namun sekarang, dia kehilangan semua foto yang susah payah ditangkapnya sepanjang hari ini.

Lalu ...,

Alangkah terkejutnya Attar setelah mendengar dering ponsel dari pagar pembatas. Attar menghampiri ponsel yang tergeletak bersama dompet di atasnya.

Tanpa perlu memeriksa lebih lanjut, Attar bisa tahu kalau dompet dan ponsel ini milik wanita tadi. Tapi bagaimana Attar memberitahunya, wanita itu sudah jauh dari tempat itu.

Dibanding itu, Attar mulai memerhatikan ponsel yang terus berbunyi minta perhatian dirinya. Ada nama Sayangku Ken di layar ponsel.

Attar membenak, mungkin itu panggilan suami atau pacarnya. Tulisan Sayangku di layar entah kenapa membuat Attar tiba-tiba merasa kesal.

Yah, ternyata wanita itu sudah punya pasangan, benaknya.

Attar ragu, perlukah dia mengangkat panggilan itu. Sejak tadi terus berbunyi. Attar sudah mendiamkan beberapa menit agar ponsel itu mati sendiri. Tapi seseorang bernama Ken itu nampaknya akan terus menelepon, tidak peduli panggilannya sampai keseratus kali pun.

Perlukah Attar angkat?

.

.

"Ya, halo?" pada akhirnya Attar memberanikan diri mengangkat panggilan itu.

"Raiya, kamu sedang di Malta?"

BERSAMBUNG

***

.
.
.

Kira-kira begini nih muka Raiya waktu marah ke Attar.

Hahaha kalau muka marahnya gini sih bukannya takut ya, tapi gemesin.

Sampe ketemu sabtu depan 😙

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top