Sembilan

"Lidya! Lidya!" Seseorang menepuk pipiku dengan lembut. Ku buka mataku perlahan dan hal pertama yang kulihat adalah langit-langit menggunakan kayu tua yang nampak kokoh walaupun sudah berusia.

"Hari apa ini?" tanyaku dengan suara serak.

"Kau sudah kembali ke waktu semula Lyd..." jelas Vanya sembari memberiku air putih untuk membilas kerongkonganku yang kering.

Aku sedikit lega mendengar pernyataan Vanya. Akhirnya mimpi itu selesai dan aku sudah tahu siapa dalang dibalik kematian Professor Dwynda. Tetapi anehnya, kenapa terasa sangat sepi sekali? Dimana Professor Erisco? Dan dimana Nicholas?

"Nicholas mana?" tanyaku akhirnya.

Vanya nampak menundukkan kepalanya. Ia sama sekali tak berani menatap manik mataku. Sepertinya sesuatu telah terjadi.

"Vanya, katakan! Dimana Nicholas?"

Gadis itu tetap terdiam. Hal ini membuatku sungguh frustrasi. Berbagai spekulasi buruk mulai bermunculan di pikiranku. Apakah terjadi sesuatu dengan lelaki itu?

"Vanya! Jawab!" Nadaku meninggi, hal ini membuat Vanya tersentak kaget.

"Ni—Nicholas..."

"Nicholas ada di ruang kesehatan." Professor Erisco datang. Ia menatapku dari atas hingga bawah. "Bagaimana keadaanmu Lyd?"

"Apa yang terjadi dengan Nicholas, Prof?"

Pria itu menghela nafasnya. Seharusnya ia ingat bahwa aku sama sekali tak suka basa-basi seperti ini. Aku hanya ingin pertanyaanku dijawab. Apakah sesulit itu?

"Nicholas belum siuman. Ia masih berada di alam mimpi," jawabnya dengan nada penuh penyesalan.

Aku tak bisa untuk tidak terkejut. Kubungkam mulutku yang menganga, menatap Professor Erisco dengan tatapan tak percaya. "Ba—bagaimana bisa? Bukankah seharusnya kita bisa kembali ke dunia nyata bersama-sama?"

"Beberapa jam sebelum kau kembali ke dunia nyata, gubuk diserang oleh Villito Proboscidea. Semacam makhluk berbadan besar seperti gajah tetapi memiliki dua belalai. Dia marah besar karena anaknya hilang dan mencarinya di seluruh hutan. Ia merusak pohon-pohon dan juga gupuk itu. Pegangan kalian terlepas. Bukankah kau tahu bagaimana peraturannya?"

Aku mengangguk. Pegangan kami tak boleh lepas sampai kami kembali karena kuncinya ada di aku. Jika aku kembali dan Nicholas tidak, apakah itu tandanya ia akan berada di alam mimpi selamanya?

Mataku menatap lurus ke depan. Aku masih terlalu syok dengan berita ini. Tatapanku beralih ke Vanya. "Bisa kau antar aku menemukan Nicholas?"

Vanya mengangguk, menuntunku keluar dari ruangan Professor Erisco menuju ruangan kesehatan.

Di sana, sudah ada Bunda Helena yang menunggu Nicholas terbangun. Ia dengan telaten menyuapi lelaki itu dengan ramuan-ramuan yang ia buat. Tapi aku tahu, semua itu tak akan berhasil.

Kejadian ini menjadi rahasia. Oleh karena itu, Bunda Helena meletakkan Nicholas di ruangan khusus, bukan di tempat tidur murid biasanya. Hal ini untuk mengurangi rasa curiga dari siswa lain dan juga para Professor.

Aku mendekati lelaki itu dengan pelan. Tanganku terulur menggenggam tangan Nicholas yang sedingin es. Apakah karena ia masih terjebak dalam badai itu makanya tangannya bisa sedingin ini? Entahlah aku tak tahu.

"Nic! Bangun Nic!" Aku menggoyang-goyangkan tubuh lelaki itu agar dia bangun. Entah mengapa aku menjadi takut, takut jika dia tak pernah bisa kembali lagi.

"Nicholas! Dengar aku! Kembalilah! Aku tak ingin kau pergi... Kumohon Nic... Masih banyak petualangan yang ingin kulakukan bersamamu..." ucapku dengan penuh sesenggukan di tubuh Nicholas yang kaku.

Aku tak pernah merasakan sedih seperti ini. Apalagi kepada seseorang yang baru saja aku temui. Aneh memang, tapi air mata ini tak mau berhenti keluar. Dadaku juga terasa amat sangat sesak.

"Lyd, aku yakin Nicholas pasti akan bangun. Aku yakin... Berhenti menangis ya?" Vanya memelukku dengan erat. Tangannya juga membelai rambutku dengan lembut. Tangisku tambah pecah di pundaknya hingga tak terasa kemeja yang ia pakai menjadi basah.

"Sampai kapan batas ia bisa kembali Prof?" tanya Bunda Helena penasaran.

Professor Erisco melihat jam yang ada di sakunya. "Besok. Kesempatan terakhir adalah besok. Tepat ketika kementrian datang kemari."

"Secepat itu?" Aku bertanya, menatap pria itu sembari mengusap sisa-sisa air mata yang masih membekas.

"Kau sudah mendapatkan jawabannya?"

Aku mengangguk.

"Dan buktinya?"

Aku kembali mengangguk. "Tetapi Nicholas yang lebih tahu."

Professor Eriso menatap kanan dan kiri, menyuruh Vanya dan Bunda Helena untuk keluar sebentar. Setelah mereka berdua keluar, pria tua itu menempatkan tangannya di pundakku, menatapku dengan lekat. "Apa kau pernah bertanya dimana Nicholas saat pembunuhan itu terjadi?"

Aku menggeleng. Tak pernah pertanyaan seperti itu melintas di pikiranku.

"Kau akan tahu nanti," ucapnya sembari tersenyum penuh arti. Aku yang tidak mengerti hal itu hanya bisa terdiam. Memang maksudnya apa?

Keesokan paginya, sekolah dihebohkan dengan kedatangan ketua kementrian dan beberapa anggotanya. Mereka memakai jubah biru dengan beberapa renda yang menjadi motif di beberapa sisi. Wajah mereka terlihat tegas dan penuh dengan aura ambisius. Mungkin selera humor mereka juga rendah.

Aku dan semua siswa lainnya dikumpulkan di aula. Pikiran kami berkecamuk. Kami semua takut. Bagaimana jika sekolah benar-benar ditutup oleh pihak kementrian? Apa yang akan terjadi selanjutnya?

"Lydia! Professor Erisco memanggilmu," kata Professor Rexa kepadaku dengan sinis. Ingin sekali kukatakan tentang kebusukannya yang menyuruh kaum lelaki memuaskannya itu agar ia bisa lebih baik dengan siswa perempuan, tak hanya pada siswa laki-laki saja.

Aku memasuki ruangan Professor Erisco. Di sana sudah ada kepala kementrian. Ini adalah pertama kaliku bertemu dengannya. Aku menunduk sebagai bentuk penghormatan.

"Dia yang akan menjelaskan semuanya. Kami memiliki berbagai cara untuk menguak ini semua. Kau tak perlu tahu. Tapi, aku jamin apa yang ia katakan adalah benar. Kami juga menyertakan bukti-bukti yang akurat," jelas Professor Erisco.

Kepala kementrian mengangguk. Ia tahu banyak hal yang bisa mereka lakukan di dunia ini. Yang paling penting memang bukti. Bukan hanyalah argumen yang tak mendasar.

"Jadi, saya akan menjelaskan keterkaitan beberapa Professor mengenai kejadian pembunuhan ini. Tetapi saya rasa itu semua bukan salah mereka karena mereka memiliki tujuannya masing-masing.

Yang pertama adalah keterkaitan antara Professor Rexa dengan Professor Antonio." Aku mengambil sebuah ramuan cinta yang sudah ku persiapkan dan memberikannya kepada kepala kementrian.

"Apakah Pak Samuel tahu apa ramuan itu?"

Ketua Kementrian itu mengoleskan sedikut ramuannya ke kulit lalu menciumnya. "Ramuan cinta?"

Aku mengangguk. "Yap, ramuan ini digunakan oleh Professor Rexa untuk merasa lebih percaya diri dengan aura kecantikan yang ia punya. Tetapi karena Professor Rexa tidak bisa membuat ramuan, ia meminta tolong kepada Professor Antonio."

Aku meletakkan foto Professor Antonio di depan pria itu beserta lembar ramuan yang ku dapat di ruangannya dulu. "Professor Antonio sangat berbakat membuat ramuan apapun. Oleh karena itu, ia dipercayakan mengajar perihal ramuan. Ia juga yang membantu Professor Rexa membuat ramuan cinta. Tetapi, seperti yang kita lihat dalam daftar ramuan tersebut, ada satu buah bahan yang sangat sulit didapatkan, yaitu bulu jamur kastura yang biasanya ditemukan di Chanyeol. Maksudku Canyola," aku terkekeh dalam pilu. Mengingat berdebatanku dengan Nicholas mengenai nama ini.

"Bahan ini sangat sulit tumbuh. Ia tumbuh di daerah tertentu saja. Salah satunya di kota asal Professor Selena."

Aku kemudian memberikan bukti kesekian yaitu perkamen tugasku. "Beberapa saat yang lalu Professor Selena memberikan tugas kepada kami untuk menuliskan hewan aneh yang pernah ditemui. Aku menuliskan hewan Flappino Soricomorpha yang pernah kutemui di rumah Paman."

Setelah banyak diam dan hanya mengangguk, Pak Samuel mengeluarkan suaranya. "Bukankah hewan itu mahal dan sangat langka keberadaannya?"

Aku mengangguk. "Hewan ini juga tergolong kuat dan DNA nya persis dengan DNA manusia. Pada zaman dahulu, hewan ini seringkali dijadikan sebagai perpaduan DNA dengan manusia agar menciptakan manusia yang kuat. Tetapi di jaman sekarang, hanya ada beberapa orang yang mempunyainya. Salah satunya—"

Sebuah suara datang dari belakang. "Salah satunya adalah saya."

Aku segera menoleh ke sumber suara. Tak bisa kupungkiri bahwa seseorang yang aku nantikan akhirnya datang. Nicholas datang. Dia membawa lebih banyak bukti yang diletakkan dalam kotak. Tentu hal ini membuat mataku berkaca-kaca saking terharunya. "Nic..." panggilku lirih.



Hmmm siapa nih yang datenggg hihi

Nicholas? Atau siapa?

Langsung next yuk yang penasaran! Jangan lupa vote dan komennya🥰

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top