17. Asal Muasal Mimpi
Drina kembali muncul pada sore hari untuk memberikan ramuan. Sampai Drina bisa membuat ramuan penawar untuk Ramuan Bom Sel, Faenish harus meminum ramuan R213 secara rutin untuk menekan pergerakan racun yang sudah berada di tubuhnya.
Setelah meminum ramuan R213, Faenish merasa lebih sehat. Ia pun memilih untuk menemani Evert membaca di perpustakaan daripada harus berada di dalam kamar bersama sosok transparan pemuda itu. Ingatan soal mimpi itu benar-benar membuat Faenish sengsara.
"Kudengar kau sakit Faenish?"
Faenish langsung mengenali suara itu dan buru-buru membalik badan untuk menghadap si pemilik suara. "Pak Raizer?—maksudku Kepala Akademi?"
"Kau terlihat baik-baik saja. Benar-benar beruntung kau memiliki sahabat seperti Drina, tetapi saya rasa kau akan semakin jarang menghabiskan waktu dengannya," ujar Pak Raizer.
"Memangnya Drina kenapa?"
"Dia membuat perjanjian dengan Razor. Kalau tidak salah, dia akan menjadi asisten Razor sebagai ganti bahan-bahan ramuan yang dia perlukan."
"Asisten?"
"Jangan merasa bersalah, justru baik jika Drina dan Razor menghabiskan waktu bersama dengan hobi mereka."
"Saya kurang mengerti."
"Bagaimana kalau kita sudahi pembicaraan tentang sahabatmu dan mulai membicarakan kemajuan pencarianmu?"
Faenish tidak sanggup membantah, walaupun ia benar-benar ingin tahu apa yang terjadi dengan Drina. "Kami sudah menemukan portal berwaktunya, tetapi tidak ada Cairan Ingatan di sana. Kami justru menemukan buku-buku harian Nenek Magda."
"Sayang sekali," ujar Pak Raizer. "Namun mau bagaimana lagi, setiap orang memiliki caranya sendiri untuk menyimpan apa yang mereka anggap berharga. Sebaiknya kalian membaca buku harian mendiang istri saya untuk mengenalnya lebih dalam. Siapa tahu kalian menemukan petunjuk."
***
Esok paginya, Drina membawakan jatah ramuan Faenish. Sebelum gadis itu bisa berkata apa-apa, Faenish sudah menodongnya terlebih dulu dengan pertanyaan. "Apa yang harus kau lakukan pada Pak Razor untuk mendapatkan bahan ramuan?"
"Kau tahu dari mana?—baiklah, tetapi kau salah paham, aku justru menikmatinya. Kau tahu, sudah lama aku ingin belajar ramuan dari beliau, dan sekarang berkat dirimu, aku bisa menjadi asistennya. Hanya saja, yah, aku memang harus menghabiskan banyak waktu dengan beliau, yang artinya aku tidak bisa pulang bersama kalian berdua lagi."
"Lalu bagiamana kau akan pulang pergi sekolah? Rumahmu yang paling jauh."
"Portal. Aku pernah menemukan portal dari sekolah ke area pekuburan. Jadi aku tinggal membuat portal dari pekuburan ke kamarku."
"Ryn tidak akan suka mendengar ini."
"Tetapi dia akan mengerti. Seperti dirimu."
"Maafkan aku merepotkan kalian semua, harusnya aku lebih berhati-hati. Maafkan aku." Kalau saja Faenish tidak terkena ramuan, Drina dan Ryn tentu saja tidak akan kerepotan.
"Apa kau tidak mendengar perkataanku tadi?" tanya Drina. "Berkat penyakitmu aku jadi punya alasan yang mengantarku memiliki guru ramuan hebat."
"Baiklah, aku ikut senang mendengarnya. Namun ada yang tidak kumengerti, bukannya Pak Razor Kaum Nonberbakat?"
"Memang. Saat aku meminta bantuan beliau, aku sempat takut akan dihukum karena mengetahi rahasia tentang beliau yang mendalami ilmu ramuan. Namun entah bagaimana beliau justru mau membantuku. Lebih dari itu, aku diminta menjadi asistennya, karena beliau tidak dapat melihat Buah Parasit yang hanya bisa dilihat Kaum Berbakat."
"Bagaimana kau tahu Pak Razor membuat ramuan?"
"Di ruangannya terdapat beberapa bahan ramuan, dan saat mengantar tugas kimia aku pernah tidak sengaja melihat salah satu buku ramuan di mejanya. Tenang Faenish, kau tidak perlu mengkhawatirkanku. Justru kaulah yang harus menjaga diri. Jadi sekarang, minum obatmu dan kau akan bisa kembali sekolah hari ini juga. Hanya saja, kau tidak boleh ke akademi dulu untuk beberapa waktu ke depan.
***
Karena Faenish tidak mampir ke akademi seusai sekolah, sore itu ia tak punya pilihan selain menghabiskan waktu di perpustakaan bersama Evert yang masih membaca buku-buku harian Magda.
Saat terdengar ketukan di pintu, Faenish berjalan untuk membukanya.
"Rael?"
"Selamat sore Faenish, maaf mengganggumu, tetapi..." Pandangan Rael terpaku pada sosok Evert yang tetap sibuk membaca tanpa peduli dengan sekitarnya.
"Ada yang bisa kubantu?" tanya Faenish bingung.
"Ah—maaf aku ingin ... bisakah aku berbicara dengan Evert? Aku diberitahu soal larangan di ruangan ini, jadi bisakah aku minta tolong untuk memanggilkan Evert agar kami bisa berbicara di luar?"
"Er—" Faenish bingung, tidak mungkin Evert bisa menjauh dari Faenish tanpa jatuh tersungkur dan tak sadarkan diri. Namun jika Faenish mengikuti mereka dan menjaga jarak kurang dari lima meter, Rael bisa berpikiran yang aneh-aneh.
"Ada perlu apa?" tanya Evert yang tanpa disadari Faenish sudah berdiri di belakangnya.
"Ada beberapa hal yang ingin kutanyakan. Bisakah kita berbicara sebentar?" tanya Rael.
"Tentu, mari." Evert melangkah keluar dengan santai sebelum menarik pintu menutup di belakangnya.
Faenish mendengar langkah kaki mereka menjauh dan ia sengaja menempel di dinding seraya berjalan mengikuti arah suara agar menjaga jarak dengan Evert. Suara dari luar semakin samar, Faenish tidak bisa lagi mendengar langkah kaki ataupun suara lainnya. Ia tidak tahu apa yang direncanakan Evert sampai pemuda itu nekat berjalan menjauh.
Sekilas, Faenish seperti bisa melihat koridor dan sosok Rael.
"Bisakah kita bicara di sini?" terdengar suara Ezer dalam pikiran Faenish. Imajinasinya tidak mungkin menjadi begitu kuat hingga bisa membayangkan sesuatu sejelas itu. Ada yang aneh. Faenish pun mencoba berkosentrasi lebih keras dan tiba-tiba saja gambaran koridor dan Rael kembali ke dalam kepalanya. Dugaan Faenish tepat, ia bisa melihat apa yang dilihat Evert dan mendengar apa yang didengar pemuda itu jika ia cukup berkosentrasi.
"Kau memilih tempat yang agak tidak biasa, Ezer," jawab Rael.
"Maaf? Kau memanggilku apa?"
"Kau benar-benar tidak mengingatku, sepupu?"
"Apa aku mengenalmu sebelumnya?"
"Entah kau benar melupakanku atau hanya berpura-pura, tetapi yang pasti aku tahu gadis itu melakukan sesuatu padamu."
"Saya tidak begitu paham apa yang sedang kita bicarakan."
"Kau harus menyaksikan hari penobatanku dulu sebelum kau boleh mati. Jadi, ya, aku akan membantumu dalam masalah ini. Kau akan mengingatku dan kau akan segera pulang, sebentar lagi. Oh yah, satu lagi, apa kau menikmati malammu bersama gadis itu?"
"Kau sebaiknya pulang dan beristirahat. Sepertinya kau kurang sehat." Efert memberi saran.
"Kau tahu, aku hanya prihatin karena kau sepertinya tidak menunjukan perkembangan berarti dalam kehidupan asmara. Jadi aku menghabiskan uang banyak dan usaha keras untuk membeli ketiga ramuan itu. Jadi bagaimana? Apa itu berhasil?"
***
"Apa Rael tahu soal segel yang mengikat kita?" tanya Faenish begitu Evert kembali masuk ke ruang perpustakaan. "Maaf, aku tidak bermaksud menguping, tetapi segel ini tampaknya membuatku bisa mengakses indra penglihatan dan pendengaranmu."
Evert hanya bergumam samar sebelum kembali ke tempat ia biasa duduk dan meraih buku. Pemuda itu sama sekali tidak tampak terkejut dengan kemampuan Faenish.
Sepertinya Evert bisa merasakan sesuatu ketika Faenish mengintip. Namun Faenish juga tidak berani menanyakan terorinya itu.
"Apa Rael berniat membunuhku lagi?" tanya Faenish.
"Sepertinya begitu."
"Lalu?"
"Sebisa mungkin hindari dia."
"Bagaimana caranya?"
"Itu urusanmu dan sebaiknya kau baca ini."
Dengan sigap Faenish menangkap salah satu buku harian Nenek Magda yang dilemparkan Evert.
"Aku tidak bisa," tolak Faenish. "Rasanya tidak sopan; itu melanggar privasi Nenek Magda. Lagi pula kau sudah membaca beberapa bukunya, jadi sekalian saja kau yang membaca semuanya."
"Baca saja."
Faenish ingin menolak, tetapi tatapan tajam Evert membuatnya risih. Untuk kesekian kalinya, ingatan tentang mimpi itu kembali. Faenish menggelengkan kepala dengan keras, berharap ingatan itu akan terlempar keluar dari kepalanya. Namun usahanya sia-sia. Dengan berat hati, Faenish pun membuka buku pemberian Evert.
Tidak ada tanggal yang ditulis di bagian atas, hanya ada paragraf-paragraf berisi kalimat yang menggunakan bahasa daerah lama. Kelihatannya Faenish cukup beruntung, ia tidak mendapatkan buku harian, melainkan novel.
Faenish pun mulai membaca.
***
Aku tidak kuasa menahan kilasan-kilasan kenangan itu. Hari di mana semua perasaan yang pernah ada di muka bumi, datang menyerbu dalam satu waktu. Masih bisa kuingat jelas rasa sakit dari panah yang menembus perutku waktu itu, aku sekarat. Nyeri itu meruntuhkan semua kekuatan dan semangatku, aku terpaksa mengakui kebenaran kata-kata perpisahan penduduk desa padaku. "Wanita hanya bisa menyusahkan. Tempatnya bukan di medan pertempuran, bisa membawa sial". Namun aku tidak mau terus bersembunyi dan menunggu kematian datang menjemputku, aku lebih suka pergi menyongsongnya. Setidaknya, di saat yang kukira adalah akhir hidupku, aku bisa berbangga. Aku bisa melangkah keluar dari desa sementara sebagian besar pemuda di desaku meringkuk di bawah ketiak wanita-wanita tua. Walaupun pada akhirnya aku tidak bisa melangkah pulang, tidak ada peyesalan sedikit pun untukku.
Pikiranku saat itu mengatakan bahwa aku berada pada akhir hidup yang cukup menyenangkan, dengan kebanggaan besar di hati, dan amat terlebih karena kepalaku pada akhirnya bisa bertumpu di atas pangkuan Zico. Memandang wajahnya yang khawatir sudah cukup sebagai salam perpisahan yang manis untukku. Walau aku sadar ia tidak sepenuhnya mengkhawatirkan keadaanku; rencana kami yang terancam gagal pasti memenuhi sebagian besar pikirannya. Aku juga tidak berharap yang muluk-muluk, dari awal sudah kuputuskan akan menyimpan perasaan ini sampai waktu yang tepat, dan itu mungkin berarti sampai akhir hayatku. Aku tidak sanggup mengatakan perasaan ini dalam situasi mendesak dan membuat pikirannya semakin pelik, atau malah membuat akhir cerita hidupku menjadi suram dengan kesedihan.
Cukup bagiku dengan meyakini bahwa kekhawatiran di wajahnya adalah sepenuhnya untukku. Sehingga tidak ada kematian yang lebih menyenangkan dari ini, akhir yang sempurna untuk cerita hidupku.
Sisa kekuatanku kukerahkan untuk menutup mulut ini, teriakan kesakianku hanya akan memperparah keadaan yang sudah gawat, keberadaan kami bisa diketahui musuh.
"...ia harus dioperasi sekarang." Aku bisa mendengar seseorang berujar.
"Tidak," protes Zico. "Peralatan kita tidak layak untuk melakukan operasi darurat ini, setidaknya dia harus dalam keadaan tidak sadar. Dia tidak akan kuat menahan sakit, belum lagi dengan teriakannya."
"Tidak ada obat bius di sini dan terlambat jika kita menunggunya tidur. Kita lakukan sekarang atau kita tinggalkan dia begini."
Zico diam.
"Pada akhirnya kita juga akan meninggalkannya, mustahil dia bisa berjalan besok pagi," suara seseorang itu kembali terdengar. "Pilihannya tinggal membiarkannya terluka dan mati beberapa jam lagi, atau meninggalkannya dengan keadaan lebih baik, berharap ia akan bertahan cukup lama, dan pada akhirnya, mati juga di tempat ini. Aku ingin istirahat, putuskan sekarang."
Aku memandang Zico, kebimbangan tergambar jelas di wajahnya. Kupaksakan diriku untuk berbicara sambil menahan teriakanku, tetapi tidak satu pun kata yang keluar. Rasanya begitu menyebalkan tidak bisa membuatnya mengerti bahwa aku ingin mereka meninggalkanku saat itu juga. Jika mereka sudah pergi cukup jauh, aku akan mengeluarkan semua kesakitan yang susah payah kutahan dalam bentuk teriakan untuk mengalihkan perhatian musuh.
Dan jauh lebih menyebalkan saat ia menangkap usahaku sebagai tanda permohonan untuk tidak ditinggalkan.
"Lakukan pembedahannya sekarang." Suara Zico terdengar serak.
"Bagaimana dengan teriakannya?"
"Itu urusanku."
Tanpa bisa kuhentikan, seluruh tubuhku gemetaran, luka ini saja sudah sangat menyiksaku. Kuakui, aku takut dengan apa yang akan kurasakan nantinya. Hatiku resah, marah, kecewa, tetapi bahagia karena Zico mau mencoba menyelamatkanku.
Kupejamkan mata, mencoba menenangkan diri dan bersiap menghadapi rasa sakit itu.
Lalu sebuah tangan menyentuh daguku, mengangkatnya sedikit dan seseorang mencium bibirku.
Mataku terbuka lebar memandang wajah yang selama ini kuimpikan berada sangat dekat, terlalu dekat untuk bisa diterima hatiku yang belum siap. Tatapan matanya saat itu tak pernah kulihat sebelumnya, aku tidak bisa mengartikannya. Memimpikan hal ini pun aku tidak berani. Air mata turun di pipiku, tetapi itu bukan air mataku.
Seakan ia mengambil semua rasa dalam diri ini melalui hubungan kecil bibir kami, bahkan napasku rasanya diambil olehnya. Aku mati rasa, seluruh indraku lumpuh, yang ada hanya kesesakan napasku, dobrakan jantung ke tulang rusukku, dan gerakan lembut di bibirku. Selain itu, aku tidak merasakan apa pun.
Pikiranku buntu saat itu. Namun di waktu-waktu berikutnya ketika aku coba memikirkan kembali kejadian itu, kusimpulkan bahwa itu semua karena aku kaget, itu pertama kalinya aku dicium oleh orang yang selama ini kuimpikan.
Walaupun nantinya kejadian itu menjadi pedang bermata dua, aku sangat mencintai kenangan itu sekaligus membencinya. Lebih benci lagi karena aku tidak pernah sanggup meyakinkan diri ini bahwa Zico melakukan ciuman itu karena ia juga memiliki rasa kepadaku. Lebih mudah bagiku percaya bahwa ia melakukan itu untuk menyelamatkan keadaan, hanya sekadar untuk membungkam teriakanku, tidak lebih.
Kenanganku hanya sampai di situ, aku pingsan. Kesakitan itu terlalu menyakitkan bagi tubuhku walau aku tidak benar-benar menyadarinya, perhatianku seluruhnya hanya tertuju pada Zico, ia berhasil mengalihkan perhatianku, membuatku mati rasa.
Tetapi situasi menjadi benar-benar mengerikan sesudahnya. Aku sangat berharap aku mati saat itu. Zico tidak pernah kembali dan walaupun aku menolak untuk percaya, aku tahu ia tidak akan kembali. Sekarang aku terkurung dalam ruangan, pergi mencari mayatnya pun aku tidak bisa. Bukannya aku tak mencoba, aku mencoba kabur setiap hari. Namun aku selalu tertangkap dan dihadiai cambukan. Kendati demikian, satu hal yang kusyukuri, tubuhku sudah mati rasa sejak hari di mana Zico menciumku.
Setiap kali kepala ini dipenuhi oleh bayangannya, syaraf-syarafku seakan tidak berfungsi. Cambuk yang merobek kulitku tidak membuatku berteriak kesakitan, caci maki pun tidak pernah menyulut amarahku. Karena aku yang sekarang adalah mayat hidup.
Saat aku sadar dan mendapati diriku sudah berada di desa, dengan tentara musuh yang bejat dan penuh nafsu ada di mana-mana, saat itu juga kematianku. Aku yang sekarang hanyalah cangkang kosong.
***
Faenish tak percaya dengan apa yang dibacanya. Ia pernah melihat potongan-potongan cerita ini dalam mimpi.
Buru-buru Faenish mencari lanjutan cerita dan ia mendapati bagian yang cukup erotis. Faenish yakin mimpi-mimpinya bukan karena Nenek Magda pernah menceritakan kisah ini padanya. Mana ada orang dewasa yang akan menceritakan cerita macam itu kepada anak kecil.
"Apa aku meminum Cairan Ingatan Magda?" gumam Faenish.
"Sepertinya begitu." Tanpa disangka, Evert merespons.
"Tunggu dulu bagaimana kau tahu tentang ini? Maksudku ... apa kau menggunakan sesuatu untuk melihat mimpiku?"
"Kau mengigau dan aku tidak tuli."
"Apa aku mengatakan hal-hal yang aneh?"
"Baca saja buku-bukunya, kita perlu mengetahui sejauh mana kau memiliki ingatan masa lalu Magda."
"Masa lalu? Latar cerita ini adalah masa penjajahan, itu ratusan tahun lalu. Bagaimana mungkin ini adalah masa lalu Magda?"
"Magda telah hidup lebih lama dari yang kau kira."
"Bagaimana bisa?"
"Segel Pengikat Waktu, salah satu alasan yang membuat Kitab Segel sangat dicari keluarga tuanku."
"Kau punya tuan?"
"Kau akan mengetahuinya dengan membaca buku-buku ini."
"Semuanya?" Faenish menatap ngeri pada semua buku harian milik Magda. Baru ia sadari, tak mungkin ada manusia normal yang akan menulis buku harian sebanyak ini. Tampaknya usia Magda memang sudah lebih dari yang Faenish pikirkan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top