13. Piknik

"Kenapa dia bisa ada di sini?" Ryn berbisik di telinga Faenish sebagai ucapan sambutan. Ryn memberi kode ke arah Nyonya Ivone yang sementara turun dari mobil dengan dibantu Evert dan Jovan.

"Tanyakan kepada ibuku," jawab Faenish.

Ryn terlihat ingin mengatakan sesuatu. Namun kalimatnya terhenti untuk balas menyapa Jovan.

"Aku sangat bersemangat hari ini," seru Jovan begitu ia mengahampiri mereka. "Terima kasih kalian mau mengajak kami."

"Kami juga senang kau bisa datang," balas Ryn.

"Apa akan ada api unggun?" seru Jovan dengan mata berbinar.

"Tentu saja."

"Ini keren." Jovan melompat senang. "Aku akan membantu. Di mana kita akan membuatnya?"

"Ayo kutunjukan." Ryn memberi kode kepada Jovan untuk mengikutinya.

Selama beberapa jam kemudian, semua orang sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Bahkan Nyonya Ivone yang dikira hanya akan duduk diam saja, justru ikut ambil bagian memotong sayur. Hanya saja, Nyonya Ivone bersikeras agar Evert tidak diminta untuk mengerjakan apa pun mengingat pemuda itu sedang sakit.

Sejak awal, Nyonya Ivone memang memperlakukan Evert sama seperti anaknya sendiri. Mungkin pengaruh Nyonya Ivone pernah kehilangan seorang anak sehingga ia bersikap seperti itu, tetapi Faenish juga tidak yakin. Tidak menutup kemungkinan Evert menggunakan sejenis segel aneh kepada Nyonya Ivone hingga Nyonya Ivone begitu menyayanginya.

"Faenish bisakah kau membantuku mengambil beberapa jagung muda di kebun samping?" tanya Nenek Via.

"Ya."

Faenish baru saja mau bangkit berdiri ketika Evert tiba-tiba berseru, "Biar aku bantu."

"Kau tidak perlu melakukan itu, duduk saja di situ," kata Ivone.

"Tidak apa-apa tante, aku baik-baik saja," ujar Evert. "Memetik jagung bukan pekerjaan berat, lagi pula badanku sepertinya perlu olaraga."

"Baiklah, tetapi jangan memaksakan dirimu."

"Tentu saja."

Faenish tahu sikap Evert hanyalah untuk menjaga jarak di antara mereka tetap di bawah lima meter, tetapi ia tidak bisa mencegah orang lain untuk berpikiran lain, terutama Ryn. Saat Faenish berjalan melewati Ryn, gadis itu tersenyum-senyum tak jelas.

Untung saja Evert benar-benar membantunya mengambil beberapa jagung, sehinga dengan cepat mereka bisa kembali. Ryn dipastikan sedang memikirakan hal yang tidak-tidak tentang keberadaan Faenish yang hanya berdua dengan Evert di kebun jagung. Walaupun pada kenyataannya Evert bahkan tidak mengeluarkan satu kata pun dari mulutnya hingga mereka kembali.

Saat matahari hampir terbenam, mereka akhirnya bisa menikmati makan malam. Seluruh pekerjaan memasak selama beberapa jam terakhir terbayar sudah. Suara tawa terdengar di antara bunyi piring dan percakapan yang sedang berlangsung.

Satu-satunya yang duduk diam hanyalah Rexel. Walaupun sudah ditegur beberapa kali, ia tetap bersikeras memainkan telepon genggamnya.

Faenish juga tidak banyak bicara, keberadaan Evert di tengah keluarga besarnya benar-benar membuatnya tidak nyaman. Niat Faenish untuk menjauhkan Evert dari orang-orang terdekatnya gagal total, sekarang semua orang di tempat itu jelas menerima sosok Evert yang bagi mereka terlihat seperti seorang pemuda baik dan ramah. Seandainya sikap Evert cuek seperti saat ia hanya berbentuk sosok transparan, pasti semua tidak akan jadi seperti ini.

Malas melihat keakraban Evert dengan yang lainnya Faenish ganti mengamati dua sosok yang sedang asik dengan dunia mereka sendiri.

Ryn dan Jovan berjongkok di dekat api unggun, menikmati kegiatan membakar beberapa macam hal, mulai dari ubi, pisang, jagung dan entah apa lagi.

"...Drina bisakah kau antarkan Evert ke kamar?" terdengar suara Nenek Via lebih keras dari suara percakapan lain.

Di samping Faenish, Drina bergumam samar sebagai respons.

"Aku ke toilet sebentar." Buru-buru Faenish ikut bangkit berdiri dan sengaja berjalan mendahului Drina agar tidak kentara kalau ia bermaksud untuk menjaga jarak cukup dengan Evert.

"Aku juga ikut," seru Ryn sebelum berlari menyusul Faenish. Begitu langka mereka sejajar, ia pun berbisik, "Tidak mau terpisah huh?"

"Apanya?" Faenish balas bertanya bingung.

Ryn hanya tersenyum dan sama sekali tidak menjelaskan apa pun.

"Di sini hanya ada dua kamar. Kamar nenek dan kamarku bersama Maery." Suara Drina terdengar dari arah belakang Faenish begitu mereka melewati pintu dan memasuki dapur.

"Tidak perlu repot-repot. Aku bisa tidur di sofa," jawab Evert.

"Baguslah, nyamankan dirimu sendiri."

Faenish sengaja menyenggol keranjang berisi kentang di atas meja dapur. Ia berlama-lama memungut kentang-kentang yang jatuh berhamburan agar ia mempunyai alasan untuk tetap berada di dapur hingga Evert berbaring di sofa.

"Biar kubantu." Ryn ikut merunduk untuk memungut kentang, begitu juga dengan Drina.

"Tidak apa-apa, aku bisa sendiri. Sebaiknya kau antar saja Evert, Drina. Kau bisa memakai toilet duluan, Ryn."

"Baiklah." Drina kembali berdiri dan memandu Evert ke ruang tengah.

Tetapi tidak dengan Ryn, ia masih membantu Faenish memunguti kentang dan tiba-tiba saja gadis itu tertawa.

"Kau kenapa?" tanya Faenish bingung.

"Kau yang kenapa?" balas Ryn.

"Memangnya aku kenapa?"

"Astaga Faenish, kau benar-benar lucu kalau sedang jatuh cinta."

Faenish tahu ke mana arah pembicaraan ini, tetapi ia sama sekali tidak menginginkannya. Jadi Faenish mengalihkan cerita. "Aku justru merasa hal yang sama padamu dan Jovan."

Belum sempat Ryn merespons, Faenish sudah menegakan badan untuk meletakan keranjang beserta kentang-kentang kembali ke atas meja. Dari sudut mata, Faenish bisa melihat Evert telah berbaring di atas salah satu sofa, jadi dengan segera ia berjalan menjauh.

"Kau mau ke mana?" seru Ryn.

"Toilet," jawab Faenish tanpa menghentikan langkah.

"Tidak usah berpura-pura. Aku tahu kau hanya khawatir jika Evert pergi dengan Drina."

"Aku memang mau ke toilet Ryn." Dan Faenish menutup pintu di belakangnya.

"Bagaimana denganmu?" Sindir Drina yang tiba-tiba saja sudah berdiri di belakang Ryn.

"Astaga—kau mengagetkanku." Ryn menepuk-nepuk dadanya. "Aku tidak bilang mau ke toilet—Hey kau mau ke mana?"

"Toilet," jawab Drina.

"Kau juga?"

"Kenapa? Tidak boleh?" Drina pun ikut masuk ke toilet, meninggalkan Ryn.

Saat Faenish keluar dari toilet, ia mendapati Ryn tidak sendirian di dapur, sosok transparan Evert juga ada di sana. Faenish ingin bertanya kenapa tiba-tiba pemuda itu ingin berpura-pura tidur, tetapi ia tidak bisa melakukannya dengan keberadaan Ryn.

"Gadis itu dari tadi ingin mengatakan sesuatu padamu," kata Evert seraya menunjuk Ryn sekilas dengan gerakan malas.

Detik selanjutnya, Ryn berseru dan berjalan mendekati Faenish dengan bersemangat. "Akhirnya, kau lama sekali. Karena kita sudah di sini, bagaimana kalau kita melihat Ruang Penyimpanan Drina?"

"Ruang Penyimpanan?"

"Ya, aku penasaran bagaimana Ruang penyimpa—maksudku kamarnya. Yah aku penasaran bagaimana kamar Drina." Ryn berkata panik begitu melihat sosok Nenek Via yang tiba-tiba muncul dari pintu belakang.

"Portalnya ada di balik pintu menuju loteng yang ada di kamar Drina," ujar Nenek Via santai lengkap dengan senyuman lebar.

"Po-por-portal?" Ryn balas menatap bingung. "Apa Nenek Via tahu soal Kaum Berbakat?"

"Nenek bukan hanya tahu, ia juga Kaum Berbakat," sambung Maery yang menyusul masuk di belakang Nenek Via.

"Kau juga?" Ryn memandang Maery tak percaya, tetapi Maery hanya menggeleng sebelum menyibukkan diri mengambil beberapa bumbu dan kembali melangkah ke halaman belakang.

"Pelankan suaramu. Kau bisa membangunkan si Evert," tegur Drina begitu ia keluar dari toilet. "Maery bukan Kaum Berbakat, ia hanya mengetahi soal itu. Nenek yang memberitahunya."

"Kau yang memberitahunya, Drina." Nenek Via mengoreksi.

"Aku tidak akan pernah melakukan itu," bantah Drina.

"Tidak secara langsung. Kau keluar masuk portal dengan seenaknya, meletakan ramuan sembarangan, membawa buku ramuan dan benda-benda tak lazim ke sana kemari, serta tak mengontrol kata-katamu saat emosi. Kau yang membuatnya curiga dan ia membuat kesimpulannya sendiri. Nenek hanya sedikit meluruskan agar dia tidak salah mengira kau menganut ilmu hitam."

Drina terdiam.

"Benar-benar bagus, seluruh keluargamu tahu," kata Ryn. "Kau tidak perlu susah-susah mencari alasan dan tak perlu merasa bersalah karena membohongi keluargamu sendiri. Kenapa kau tidak cerita kalau nenekmu Kaum Berbakat juga?"

Drina mengangkat bahu sekilas. "Nenek tidak mau jadi Kaum Berbakat."

"TIDAK MAU?" Ryn berseru histeris.

Nenek Via tertawa melihat ekspresi terkejut berlebihan di wajah Ryn. "Bagi nenek tua ini, melihat sebuah biji berubah menjadi sesuatu yang hidup dan semakin hari semakin besar hingga menghasilkan lebih banyak benih kehidupan yang baru, lebih ajaib daripada semua hal yang dihasilkan dari gambar-gambar rumit yang memusingkan kepala."

"Apa Nenek pernah belajar di akademi juga?" tanya Ryn.

"Tentu saja. Namun aku memutuskan keluar tidak lama setelah masuk. Itu cerita yang sangat panjang, aku akan menceritakannya lain kali kalau kita tidak sedang memiliki banyak tamu untuk diberi kegembiraan. Bukannya kau juga penasaran dengan Ruang Penyimpanan Drina?"

"Nenek benar. Aku akan kembali untuk mendengarkan cerita Nenek." Ryn buru-buru menggandeng tangan Drina. "Tunjukan kepada kami Ruang Penyimpananmu."

"Bukankah nenek Via sudah memberitahukan di mana portalnya?" tanya Drina.

Tanpa menjawab, Ryn langsung berlari ke arah kamar Drina. Begitu ia melihat pintu tingkap di langit-langit kamar, ia segera menarik tuas yang menurunkan tangga kayu dan memanjat naik.

"WOW." Ryn bergumam takjub begitu melewati portal yang berada pada permukaan pintu. "Kau benar-benar hebat, kudengar mendapatkan ramuan untuk membuat Ruang Penyimpanan begitu sulit, apalagi menggunakannya. Sampai sekarang aku bahkan tidak paham bagaimana mengatur sistem udara dan pencahayaan dalam membuat Dimensi Buatan seperti ini. Ahhh ... aku juga ingin punya Ruang Penyimpanan."

"Memangnya apa yang mau kau simpan?" sindir Drina yang menyusul di belakang Ryn.

"Aku memang tidak mengoleksi benda-benda seperti ini." Ryn mengerutkan hidung seraya menunjuk susunan toples-toples berisi segala macam hal yang memenuhi sebagian besar permukaan dinding. "Aku juga tidak bermaksud menjadikan Ruang Penyimpananku sebagai gudang. Aku ingin membuat sebuah ruangan impian. Sebuah tempat khusus untuk diriku bersantai dan mewujudkan dunia impianku sendiri, tempat-tempat seperti di negeri dongeng—Astaga, apa yang kau lakukan kepada ikan itu Drina?" Ryn menjerit begitu melihat seekor ikan atau tepatnya tulang-berulang ikan yang berenang dalam akuarium selayaknya ikan biasa.

"Aku tidak menyiksanya. Jika itu yang kau takutkan," jawab Drina sambil lalu. "Aku menemukan tulang berulang ikan di tempat sampah dan dengan ramuan kubuat dia bergerak."

"Kau menghidupkannya?"

"Tentu saja tidak. Apa yang sudah mati, yah sudah mati. Tidak mungkin bangkit kembali. Aku hanya membuatnya bergerak."

"Zombie ikan?"

"Astaga Ryn, itu tulang ikan, bukan monster. Dia hanya akan berputar-putar di dalam air."

"Kenapa kau melakukan ini?"

"Bukankah itu indah?"

"Itu menyeramkan Drina."

"Menyeramkan? Itu artristik, Ryn. Karya seni."

"Kenapa tidak kau memelihara ikan yang asli saja?" tanya Faenish, ikut memperhatikan tulang ikan dalam akuarium.

"Aku masih memiliki hati nurani," gumam Drina. "Dengan semua kesibukanku membuat ramuan, aku tidak akan punya waktu untuk memberi makan ataupun merawat binatang peliharaan. Jadi apa pun yang kupelihara akan dipastikan mati dalam beberapa hari. Daripada aku membunuh binatang-binatang itu, atau kerepotan dengan urusan binatang peliharaan, lebih baik aku membuat tulang ikan ini."

"Itu bukan alasan untuk membuat hal menyeramkan begini. Seharusnya kau memang tidak memelihara hewan apa pun," kata Ryn.

"Aku tidak memeliharanya, aku hanya membiarkannya di situ."

"Itu sama sa—"

"Sudahlah Ryn." Faenish menengahi agar perdebatan tidak berujung ini selesai. "Bukannya kau baru tingkat dua dalam ramuan, bagaimana kau bisa memiliki ini semua Drina?"

"Bisa dibilang aku terlalu mendalami hobi ini," gumam Drina.

"Yah, terlihat jelas kau mendalaminya," sambung Ryn. "Entah berapa banyak toples berisi bahan ramuan di sini."

"Kuanggap itu pujian," kata Drina. "Tetapi aku masih penasaran, apa yang kau katakan tentangku tadi di dapur? Aku dengan jelas mendengar kau menyebut namaku."

"Dapur? ... Oh, kau salah mengerti Drina," jawab Ryn. "Aku tidak sedang membicarakanmu. Ini soal Faenish dan Evert."

"Faenish dan Evert?"

"Apa kau tidak melihatnya? Astaga Drina, kenapa kau sama sekali tidak peka. Tidakkah kalian perhatikan sepanjang hari ini, Evert menunjukan sinyal-sinyal yang begitu jelas. Ia seakan tidak mau melepaskan Faenish dari pandangannya. Ke mana pun Faenish pergi ia akan berada di dekat situ."

"Kau cemburu Ryn? Karena kau yang biasa mengejar perhatian si Evert itu?" goda Drina.

"Itu sebelum kutahu kalau Faenish tertarik padanya."

"Dan bagaimana kamu tahu?" tuntut Drina.

"Beberapa hari yang lalu, aku pergi kekastil hantu itu. Kata Jovan, Faenish sedang berduaan dengan Evert di perpustakaan yang terkunci. Taaaaaapiiiiiii, setelah kami cari-cari, mereka tidak ada di mana pun."

"Lalu?"

"Kau tidak menyimak Drina. Mereka menghilang berdua." Ryn berseru dramatis.

"Kalian salah mengerti—" Faenish tak sempat memikirkan alasan yang cukup meyakinkan karena Ryn telah memotong kalimatnya.

"Tenang saja Faenish, sebagai sahabat yang baik, aku akan melepaskannya untukmu. Bukankah ini pemuda pertama yang kau sukai? Aku tentu saja tidak akan menghalangimu. Lagi pula dia jelas membalas perasaanmu."

Seperti apa pun Faenish mencoba untuk menjelaskan, Ryn tetap tidak membiarkannya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top