Mika Sayang Ki

Lengguhan keluar dari mulutku akibat dari seseorang yang menghujani wajahku dengan ciuman-ciuman kecil. Kugerakkan tanganku, mengusir orang tersebut untuk menjauh dariku. Berhenti menganggu tidur yang baru kumulai dua jam yang lalu. Tapi orang tersebut terus saja menghujaniku dengan ciumannya.

"Ki," ucapku berupa gumaman. Namun aku yakin orang yang kusebut namanya mendengar panggilanku.

"Hmmm," Ki menyahut diantara ciumannya di wajahku.

"Mika ngantuk Ki." Aku merenggek.

"Aku kangen." jawabnya mengabaikan renggekanku.

Sekarang bibir Ki sudah berpindah menciumi sekitar leherku. Memaksaku untuk segera membuka mata. Namun mataku tetap saja terpejam belum mampu terbuka. Razki masih asyik mengangguku dengan ciumannya.

"Bangun dong Ka." nafas hangatnya kurasakan di wajahku. Tangannya dengan jahil membantuku membuka kelopak mataku yang masih tertutup.

"Kangen kamu Mika," kecupan didaratkannya di kedua mataku.

Mataku bergetar karena Ki masih saja memberi ciuman di mataku.

"Kii," aku masih saja merenggek meminta Ki untuk segera menghentikan ulahnya.

"Ayolah Mika sayang, aku kangen."

Silau cahaya lampu kamar menyambut ketika usahaku untuk membuka mata akhirnya berhasil. Kutaruh telapak tangan di depan wajah untuk meminimalisir cahaya yang masuk ke mataku.

"Cinta kamu Mika," Razki menggenggam tanganku senyumnya merekah melihat mataku yang membuka.

Kubalas senyumnya. Kuusapkan tanganku disepanjang garis wajahnya.

"Udah?" tanyaku setelah beberapa saat kamu terdiam saling pandang.

Ki mendekatkan wajahnya, mencium bibirku dalam dan basah. "Udah," ucapnya melepas ciumannya. "Sekarang kamu boleh tidur kembali." Ki berbaring disampingku menarik wajahku ke dadanya. Dia membelai kepalaku. Kecupan-kecupannya kurasakan di puncak kepalaku. Aku merapatkan tubuhku pada Ki, mencari posisi ternyamanku. Kuhidu aroma wangi yang menguar dari tubuhnya. Aku suka aroma Ki, menenangkan. Perpaduan aroma wanginya, detak jantungnya dan kecupan-kecupan yang diberikan Ki membuatku kembali ke alam mimpi.

***

"Morning!" sapa Ki mencium puncak kepalaku.

"Pagi." jawabku disertai senyum lima jari. Aku baru saja menyelesaikan sarapanku ketika suamiku itu datang dengan pakaian kerjanya yang aku siapkan tadi.

"Udah mau berangkat?" tanyanya. Menerima sepiring nasi goreng yang kusodorkan.

"Iya, Mika ada kuliah pagi." Kuhampiri Ki, lalu kukecup pipinya.

"Berangkat ya." Langkah ku terhenti karena Ki menahan tanganku.

"Morning kiss ku, Mika." ingatnya.

Aku menatapnya lalu memberikan ciuman yang dia minta. Ketika aku hendak melepaskan pagutan bibir kami Ki menahan tengkukku. Dia tidak terima aku mengakhiri sesi morning kiss kami.

"Ki," panggilku diantara pagutan kami.

Ki tak mengubris. Ciumannya semakin panas dan dalam. Kuberikan tepukan di dadanya, agar dia tahu aku ingin ini segera diakhiri. Akhirnya Ki melepas pagutan bibirnya di bibirku. Wajahnya sedikit menjarak dengan wajahku. Dia tersenyum senang melihat kekesalanku.

"Mika bisa telat Ki," sunggutku.

Tangannya mengusap sudut bibirku. "Kangen kamu Mika," ucapnya. Dan aku tahu arti kata kangennya itu.

"Salah siapa sibuk." ketusku.

Ki menghela nafas. "Kangen banget Mika." ditariknya aku hingga terduduk dipangkuannya.

"Kiii," aku terkejut dengan aksi Ki.

"Aku yang salah, aku terlalu sibuk." ucapnya kemudian. Disurukkannya kepalanya di ceruk leherku.

Ini memang salah Ki, dia terlalu sibuk dengan rapat — entah rapat apalah aku tak tahu— di kampus tempat dia mengajar sebagai dosen. Sehingga dia melewatkan jatah suaminya.

"Ki, Mika bisa telat," kucoba lepaskan pelukan Ki di tubuhku.

Dengan terpaksa Ki melepaskanku.

Kutatap Ki yang sepertinya enggan berpisah denganku. "Kamu ke kampus hari ini?" tanyaku. Ki menggeleng sebagai jawaban. "Ok. Nanti siang Mika ke kantor Ki." kukecup bibirnya cepat kemudian berlari meninggalkan Ki. Tak ingin menahanku lagi.

Mari kukenalkan namaku. Aku adalah Mika Nayara. Umurku 19 tahun. Aku seorang mahasiswi dan seorang istri dari pria bernama Tri Razki yang sudah berusia 29 tahun. Dan selain bekerja di perusahaan keluarga, Ki juga mengajar sebagai dosen di sebuah kampus swasta. Bukan. Ki bukanlah dosen ku di kampus. Aku kuliah di kampus yang berbeda dengan Ki. Dan kami memang pengantin baru. Ki menikahiku dua bulan yang lalu, ketika Umurku genap sembilan belas.

Apakah kami berpacaran? — kalau itu yang ingin kalian tanyakan— Ya Ki adalah cinta pertama sekaligus pacar pertamaku. Aku mencintainya sejak aku mengenal apa itu cinta kepada lawan jenis. Itu terjadi sepuluh tahun yang lalu. Aku mencintai Ki sejak berusia sembilan. Bagaimana dengan Ki? Tentu saja dia tidak merasakan hal yang sama. Ki hanya menganggap aku adik perempuan yang dia tidak punya.

Dulu Ki selalu menghindar setiap kali kudekati. Dia selalu tak acuh kalau aku membuntutinya kemanapun dia pergi. Dan menempel padanya hingga mengakibatkan dia sering bertengkar dengan pacar-pacarnya. Ki mengabaikanku.

Namun semua aksi penolakan Ki berakhir dua tahun yang lalu. Ketika Ki melihat aku didekati seorang teman pria di acara ulang tahunku yang ke 17. Ki tidak terima aku dekat-dekat dengan pria lain selain dirinya. Ki cemburu. Dan saat itu Ki mengklaim ku sebagai miliknya. Dia mengumumkan kalau aku adalah tunangannya di depan semua tamu pesta. Dan pastinya di depan kedua orang tuaku yang tersenyum senang melihat ulah Ki.

Apa reaksiku? Tentu saja aku senang. Aku bahagia. Akhirnya cintaku berbalas. Tapi itu hanya didalam hatiku. Aku tak langsung berteriak kegirangan. Aku menyimpan rasa senangku di dalam hati. Aku tak senorak itu. Aku punya satu pertanyaan untuk Ki mengapa dia melakukan semua ini. Kalau jawabannya sesuai dengan yang keinginan maka aku akan menghujaninya dengan ciuman di pipi.

Jadi, kubiarkan Ki melakukan aksinya. Bertingkah seolah-olah menerimanya. Tersenyum bahagia. Setelah pesta barulah aku memberondong Ki dengan berbagai pertanyaan. Mengapa dia melakukan itu padaku. Mengapa dia mengaku-ngaku kami bertunangan. Padahal selama ini dia berlaku seperti itu padaku. Aku harus tahu perasaannya padaku. Aku tak mau dibodohi. Aku tak mau dipecundangi. Dan jawaban Ki membuatku langsung memeluknya. Ki mencintaiku. Cintaku pada Ki berbalas. Selama ini Ki coba menyangkal perasaanya padaku. Ki ingin memastikan rasa yang dia punya untukku adalah rasa untuk seorang lawan jenis. Bukan rasa sayang untuk adik. Dan lagi selama ini Ki tak mau merespon tingkahku karena Ki tak mau dianggap pedofil. Yaah, jarak kami terlalu jauh 10 tahun.

Dan sejak hari itu resmi lah aku menjadi milik Tri Razki. Laki-laki yang kucintai setelah papa.

***

Jam dipergelangan tanganku menunjukkan pukul dua belas lewat lima belas menit. Kantor Ki terlihat sepi. Tentu saja ini adalah jam istirahat —makan siang— Kulangkahkan kakiku memasuki ruangan Ki. Suami tampanku tengah sibuk dengan dokumen yang ada di depannya hingga tak menyadari ada orang yang memasuki ruangannya.

"Sibuk banget sih." suaraku mengagetkan Ki. Dia mengangkat kepalanya dan tersenyum begitu mengetahui aku lah yang datang.

Tangannya mengembang, isyarat bahwa aku diminta mendekat.

"Sibuk banget sih, sampe nggak denger aku ngetuk pintu." Aku mengulang ucapanku lalu duduk dipangkuan Ki.

"Serius kamu tadi ngetuk pintu?" dia menatapku tak yakin. "Biasanya juga main selonong aja." Ki melingkar kan tanganya di pinggangku. Memelukku erat.

Aku tersenyum malu. Dia hapal kebiasaanku yang suka masuk ruangannya tanpa mengetuk pintu.

"Kamu belum makan siang?" tanyaku.

Ki mendekatkan wajahnya dengan wajahku. "Kalau makan kamu aja boleh?"

Mataku membola mendengar kata-kata vulgarnya. "Dasar mesum." kupukul bahunya setelah sadar dari kekagetanku.

"Boleh ya, makan kamu aja." belum sempat aku menjawab Ki sudah meraup bibirku terlebih dahulu.

Kaget adalah reaksi pertamaku akan ulah Ki. Namun setelahnya aku membalas ciuman Ki tak kalah ganasnya. Tangan Ki yang sebelumnya berada di balik kemeja yang kupakai sudah masuk ke dalam bajuku. Membelai punggungku lalu merayap ke atas tempat di mana kaitan braku berada. Dengan ahli Ki melepas kaitan bra ku. Aku merasakan dingin yang menyapa kulitku dan ketika aku melirik tubuhku sendiri ternyata bagian depan kemejaku telah terlepas. Ki telah berhasil membuka kancingnya tanpa kusadari. Ki memang ahli membuat ku terlena hingga seringkali aku tersadar tubuhku sudah polos dibuatnya.

"Ki, pintu." Aku mengingatkan Ki di antara sadarku.

"Sudah." Jawab Ki samar kudengar karena sekarang suamiku itu tengah asyik bermain di bagian depanku.

Aku mendesah karena keahlian Ki di daerah dadaku. Dada adalah bagian favoritnya.

Tanganku menelusup mencengkeram rambut-rambut Ki. Menekan kepalanya hingga merapat ke dadaku.

Ki masih berkutat di sana. Membuat aku lagi-lagi mendesah karena permainan lidahnya.

Ki mengangkat kepalanya. Menatapku, kemudian mencium bibirku keras. Tangannya meraba kakiku, menyingkap rok panjang yang kupakai. Lalu merambat hingga menyentuh bagian sensitifku. Kemudian Ki memintaku mengangkat pantatku agar dia bisa melepas belt dan melonggarkan celananya. Setelahnya Ki memposisikan miliknya hingga bisa kumasuki. Oh sepertinya kami akan melakukannya tanpa melepaskan baju. Dan yeah, sekarang akulah yang memimpin.

Racauan dan desahan keluar dari mulut kami berdua. Untung ruangan Ki kedap suara kalau tidak. Aku tak bisa membayangkan betapa malunya aku. Kalau orang luar mendengar apa yang kami lakukan di dalam sini. Kalau Ki, dia akan bersikap cuek saja. Tak peduli tanggapan karyawannya.

Ki memeluk tubuhku setelah pelepasan kami. Nafas kami masih terputus-putus. "Makasih Mika," ucap Ki, mengecup bagian wajahku yang bisa digapainya.

Ku angkat kepalaku, lalu menatapnya dengan senyum terbaik yang kupunya. "Terimakasih Tri Razki, suami Mika yang paling ganteng, Mika sayang Ki." lalu Kukecup bibirnya.



With love,
Nik







Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top