Mantan Pacar Lima Langkah

"Mau sampai kapan kita kayak gini?" tanyaku pada Ragas.

"Sampe aku bosan." jawabnya. Tangannya masih sibuk dengan stick game konsol yang sedang ia mainkan. Sementara aku berbaring di atas tubuhnya, menindihnya.

"Aku lapar," rajukku padanya. Tanganku bermain-main disekitaran dadanya yang berlapiskan kaos berwarna hitam. Kadang kala aku menggigit seputaran dadanya, menggoda.

"Tanggung, Hon," ucapnya tanpa terpengaruh.

Aku berdecak kesal.

Ragasku memang menyebalkan begini. Tak mau lepas dari game. Tapi tak memperbolehkanku pergi. Dia menahanku bersamanya di sini sejak satu jam lalu. Merelakan tubuhnya menjadi kasur hidupku. Sementara dia berbaring beralaskan sofa bed.

"Aku lapar, dengar cacing di perutku sudah bernyanyi minta diisi." beritahuku.

Ini jujur. Cacing-cacing diperutku sudah memohon minta diisi. Dan aku tak malu sedikitpun mengakui hal itu padanya.

Aku menatapnya dengan pandangan mengiba, membuatnya menggelengkan kepalanya diiringi tawa, merasa lucu sepertinya melihat istrinya yang berperut gentong ini kelaparan, kurasa.

Di dekatkannya wajahnya dengan wajahku yang saat ini tengah menengadah menatapnya. "Cium dulu baru aku lepas," ucapnya langsung meraup bibirku dengan ganas. Lama kami saling berciuman hingga akhirnya Ragas memberi jarak membiarkanku menghirup napas.

"Nakal!" kupukul pelan dadanya.

"Terimakasih," ia mengusap sudut bibirku mengabaikan rajukanku. "Sekarang kamu bebas," ucapnya kemudian. Melepaskan pelukannya di tubuhku.

Tanpa menyiakan kesempatan aku segera beranjak dari atas tubuhnya. Melangkah menuju pantri. Aku butuh sesuatu untuk menyumpal perut gentongku ini.

Lama aku berkutat di pantri dengan peralatan masakku hingga akhirnya tercipta sepiring spaghetti bolognes.

"Taraaa, bolognes ala Chef Hani ready!" seruku senang.

Aku menghampiri Ragas yang masih sibuk dengan game konsolnya. Menaruh piring spaghettiku di atas meja kaca dan duduk di lantai yang beralaskan karpet tebal. Lalu menyantap dengan lahap hasil karyaku.

Dengan sudut mataku kulihat Ragas yang tengah melirik sekilas pada apa yang kumakan.

"Mau?" tawarku padanya sembari mengasongkan sendok ke arahnya.

Ragas menaruh begitu saja stick gamenya di sofa bed, lalu bergabung bersamaku duduk di atas karpet menikmati bolognes yang merupakan kesukaanya.

"Hmmm, kalau udah nemu bolognes lupa sama game, tapi kalau nemu game lupa sama istri," ledekku.

Dia hanya diam menanggapi ledekanku, mulutnya membuka menerima suapanku.

Setelah mengunyah habis bolognes-nya dia menjawab ledekanku. "No, Hon. Kamu adalah yang utama. Nggak bisa dibandingkan dengan game atau makanan. Tidak bisa!" ucapnya mantap.

Aku tersenyum menanggapi ucapannya. Aku tahu baginya akulah segalanya. Sudah banyak masa yang kami lewati berdua. Hampir dari separuh hidup kami habiskan bersama. Lima belas tahun bukanlah waktu yang sebentar. Dia adalah yang pertama bagiku. Begitu pun aku baginya.

Kami berpacaran sejak masih memakai seragam putih biru. Berkenalan dua tahun sebelum itu. Dan menikah dua minggu yang lalu. Ya, selama itulah waktu yang telah kami habiskan bersama dan semoga selalu selamanya.

"Ya, ya, aku percaya. Buktinya dari dulu kamu tak pernah mau lepas dariku."

"Itulah aku. Tahu bahwa kamu adalah milikku makanya tak kulepas barang sekedip pun." ucapnya dengan gaya pongah khas miliknya.

"Sampe sekolah ke manapun diikuti."

Dia hanya mengangguk jumawa. Kemudian meneguk air dari gelas yang kuasongkan lalu beranjak ke sofa, kembali sibuk dengan game konsolnya.

"Jangan berbaring!" Aku langsung melancarkan protes ketika kulihat dia sudah siap berbaring kembali.

"Aku nggak terima di perutmu itu ada setumpuk lemakpun." kutatap dia garang.

"Nggak bakal ada lemaknya, Hon. Aku kan rajin olahraga." dia menarik napasnya sesaat, kemudian melanjutkan kembali kata-katanya, "Nanti kan mau sparing partner bareng kamu."

Aku melonggo mendengar kata-katanya. Astaga Ragasku. Kenapa dia mesum sekali.

"Dasar mesum!" ucapku marah, setelah tersadar dari tingkah bodohku. Menghentakkan kaki aku melangkah menuju pantri membawa piring kotor bekas makan kami.

Aku menaruh semua peralatan yang kupakai tadi ke tempat semula. Tentunya setelah mencucinya terlebih dahulu.

Membuka lemari pendingin aku mengeluarkan apel, anggur dan juga pepaya. Kemudian kembali ke ruang santai dengan sepiring buah yang sudah kucuci bersih dan kupotong-potong pastinya.

Ragasku? Jangan ditanya, dia masih sibuk memandang layar kaca dengan jari-jari tangan bergerak lincah di atas stick gamenya.

"Makan buah dulu." kataku, membuatnya menoleh.

"Kalau makan kamu, boleh?"

"Makan buah!"

"Habis itu makan kamu ya?" ucapnya.

"Ckk!" Aku berdecak. "Dasar mesum!"

Dia tertawa. "Jangan galak-galak Hon," dia membimbingku mendekat padanya. Hingga sekarang aku duduk di sampingnya.

"Mesum sih!"

"Dari dulu, masa baru sadar." jawabnya santai.

Aku memutar bola mata mendengar jawaban jujurnya.

Ragas memang mesum. Tapi hanya padaku. Semesum apa dia? Kissing. Well, untuk orang yang sudah berpacaran lama kissing adalah mesum tertinggi Ragas. Batas toleransinya saat itu hanya sampai berciuman bibir, bertukar saliva, berbelit lidah atau menghitung gigi. Tak lebih. Bukan karena dia tidak mau, karena dia terlalu mencintaiku.

Bukankah mencintai seperti itu. Tidak merusak.

Begitulah dia. Sepanjang kami berpacaran tak pernah sekalipun tangannya bergerak lancang menjelajahi tubuhku. Walau kadang kala sisi iblisku merasa tersentil dengan sikapnya itu. Pernah aku berpikir apakah aku tak menarik hingga dia tak berminat sedikitpun? Kalian tahukan maksudku. Ya, itu. Ragas terlalu alim sebagai seorang pria. Dan aku dan sisi jahat dalam hatiku kadang merasa dia tidak berminat padaku, makanya tak pernah mau melakukan hal lebih. Dan sikap tak tahu malu ku pernah menanyakan itu padanya. Mengapa dia tak mau melakukan lebih dari berciuman? Dan jawabannya kala itu membuat cintaku padanya jadi berlipat ganda. "Kamu itu terlalu istimewa untuk kunikmatan saat ini. Nanti ada saatnya. Dan ketika saatnya tiba, akan kureguk kenikmatan itu hingga kamu tak bisa lagi berkata-kata, kecuali hanya menyebutkan namaku. Itu dia katakan ketika kami sudah duduk di bangku kuliah.

Aku ingat ciuman pertama kami terjadi kala kami kelas tiga SMP, waktu itu tak ada siapa-siapa di rumahku. Dan Ragas yang notabene tetangga lima langkahku, dengan dalih kasihan, menemani hingga orangtuaku pulang dari acara salah seorang rekan kerjanya.

Dan entah setan darimana terjadilah ciuman itu. Ciuman pertama kami. Setelahnya kami sering melakukannya, bertukar saliva untuk mengungkapkan cinta. Dan tentunya tanpa sepengetahuan orangtua.

"Hei, lagi mikirin apa?" Ragas mengusapkan telapak tangannya membuatku kembali ke alam nyata. "Pasti lagi mikirin yang enak-enak." senyuman mesum khas Ragas tercetak dibibirnya.

Aku mencebik mendengar ucapannya. Salah satu caraku mengakui kebenaran dari kata-katanya.

"Udah makan aja tuh buah." ucapku mengalihkan topik.

Ragas patuh. Mengambil garpu dan menusukkannya pada buah pepaya lalu memasukkannya ke dalam mulutnya. "Tambah love-love deh Hon sama kamu." ucapnya.

"Alay," senyum tersungging di bibirku.

Ya, bagaimanapun aku adalah wanita yang meski mengelak, kadang menyukai gombalan receh yang dilontarkan pasangannya. I'm not robot or barbie yang tak punya ekspresi. Dan aku bukanlah cewek cool yang akan memasang wajah datar ketika mendapat gombalan atau pujian. No i am not. Aku tidak bisa seperti itu. Aku terlalu murahan. Yang hanya dengan diberi gombalan receh akan bersemu. Meskipun elakan terlontar dari mulutku. Tapi ekspresiku tak bisa bohong. Apalagi kata-kata itu keluar dari mulut Ragas, priaku.

***

"Love you Hon," ucap Ragas di atas kepalaku. Kecupan-kecupan diberikannya. Tak peduli dengan rambutku yang lembab karena keringat.

Kepalaku bersandar di dadanya yang telanjang. Sementara indera pendengaranku disuguhi alunan musik bertalu dari detak jantungnya. Seperti kau sedang berada dalam sebuah diskotik namun mendapatkan suguhan musik terindah dari dj terhebat yang dipersembahkan khusus untukmu. Begitulah menenangkannya suara detak jantung Ragas di telinga. Membuatku terbuai. Tanganku memeluk tubuhnya yang basah oleh keringat karena percintaan panas kami barusan.

Diantara sadarku, kurasakan sesuatu melingkupi tubuh polosku yang menempel padanya. "Tidurlah." ucapnya pelan. Sementara tangannya mengusap-usap kepalaku membuatku tertarik ke alam mimpi.

Sesuatu yang lezat membuat indera penciumanku berkedut. Membuka paksa mataku yang entah berapa lama sudah terpejam. Tak ada kehangatan tubuh Ragas kurasakan. Hanya selimut tebal penggantinya.

Kuedarkan pandanganku. Ruang santai. Lalu kulirik tempat yang kutiduri. Sofa bed. Aku merona malu. Teringat kejadian beberapa jam lalu. Dari tempatku ini dapat kulihat Ragas yang hanya berbalut boxer sibuk berkutat di pantri. Sedang membuat, hmm, dari aroma yang kucium sepertinya tengah membuat mie rebus. Lalu kulilitkan selimut ke tubuhku. Kuhampiri Ragas yang tengah bermain dengan wajan. "Hmm, enak."ucapku ketika berada di sampingnya.

"Hey," dia tersenyum padaku. Lalu mendekat, mencium bibirku kilat.

"Masih lama?" tanyaku bersandar pada tepian pantri.

"Sebentar lagi, sabar ya." senyumnya.

Aku menghidupkan kran di bak cuci lalu mencuci tanganku. "Good girl!" pujinya melihat apa yang kulakukan.

"I am," jawabku.

"Oke, mie rebusnya siap untuk dihidangkan." Ragas membawa mangkuk mie rebus ke meja makan. Lalu menarik kursi yang ada di sampingnya untukku.

"Silahkan duduk Nyonya Ragasa Dinata,"

"Terimakasih Tuan Ragasa Dinata," kuberikan senyuman serta kecupan basah di bibirnya sebagai hadiah atas sikap manisnya.

Kami makan sepiring berdua. Saling menyuapi. Tepatnya aku yang menyuapinya. Jangan berpikiran kami melakukan hal romantis ini karena status kami sebagai pengantin baru. Bukankah sudah kukatakan kami telah bersama lebih dari separuh hidup kami. Aku dan Ragas sama-sama berusia 25 tahun kini. Dan kami telah bersama sejak usia sepuluh tahun. Makan sepiring berdua telah kami lakukan sejak saat itu. Awalnya karena Ragas yang suka menggangguku. Dan lama-lama kami terbiasa dan tak ada rasa canggung lagi. Di manapun ketika dia melihatku sedang menyantap sesuatu tanpa malu mulutnya akan membuka, minta untuk kusuapi.

"Aku akan sangat merindukanmu, Hon." ucapnya.

Kubelai pipinya lembut. "Me too," benar akupun akan sangat merindukan Ragasku. Suami tampanku. Mantan pacar lima langkahku ini.

"Semoga visa kamu cepat selesai dan kamu segera menyusulku."

"Doakan semoga lancar." kuberikan senyuman padanya. Aku tak mau dia mendua. Hingga mengabaikan kesempatan yang ada. Ini demi kebaikan kami berdua. Demi masa depan aku, dia dan keluarga kami tercinta. Ragasku akan melanjutkan pendidikannya di negara adi kuasa. Amerika.

Menikah cepat tidak masuk dalam rencana kami berdua. Namun apa daya Ragasku tak mau berpisah lama. Jadi ketika niat iseng-isengnya kuliah S3 di negeri paman sam menjadi nyata. Jadilah status pacar lima langkahku ditingkatkan menjadi halal untuk diapa-apakan. Dasar Ragas mesum!


With love,

Nik






Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top