Berkhayal Enak
"Ahhhh!"
"Hoy, kenapa lo?" Mita yang ada di kubikel sebelahku melonggokkan kepalanya.
Sial! Makiku pada diri sendiri. Mataku melihat sekeliling. Ternyata tanpa sadar aku berteriak kencang membuat orang-orang yang ada di ruangan menghentikan pekerjaannya. Dan menatapku heran.
"Kenapa?" Mita mendorong kursinya ke kubikelku. Mencari tahu apa gerangan yang membuat aku berteriak seperti orang gila.
"Dia membalas inbox gue." Aku menunjuk layar pc ku di mana terlihat laman Facebook ku.
Alis Mita terangkat tak mengerti.
"Koji membalas inbox gueee!" Aku tersenyum senang kala memberitahunya.
"Koji, Koji," Mita mengulang-ulang nama itu hingga akhirnya dia berteriak. "Jir, setelah beberapa bulan dia baru balas inbox lo?" tanyanya tidak percaya.
Aku mengangguk. Senyum masih tersinggung di bibirku.
Mita ini satu satunya orang yang mengetahui bahwa aku menyukai atasanku. Dan tidak termasuk dalam barisan cewek pemuja Koji karena Mita sudah mempunyai suami.
"Bego lo!" tiba-tiba Mita menoyor kepalaku. Membuat senyum yang mengembang di bibirku lenyap seketika. "Orang kayak dia gak bakal ngelirik kita yang biasa-biasa gini." ucapnya.
Aku menatap tidak suka pada Mita yang sangat menyebalkan. Aku tahu aku bodoh. Aku tahu aku bego. Aku tahu. Tapi aku tidak bisa memaksa hatiku untuk berhenti melakukan hal yang menurut Mita itu sia-sia. Ya, lagi pula aku kan cuma mengaguminya secara diam. Tidak seperti cewek cewek lain yang begitu kentara memperlihatkan ketertarikan mereka. Aku hanya berani memandang Koji dari jauh. Menjadikan Koji penyemangatku untuk datang ke kantor setiap harinya. Hanya itu. Tapi kalau Koji menerima perasaanku sih aku tidak menolak sama sekali. Aku akan senang luar biasa.
Aku menyukai Koji, atasanku sendiri. Aku menyukainya sejak pertama aku menginjakkan kaki di Perusahaan ini.
"Nyebelin lo Mit." jawabku sewot.
Akhirnya Mita mendorong kursinya balik ke kubikelnya. Capek mungkin mau nasehatin aku yang lagi seneng karena inbox ku berbalas.
Jadi ceritanya begini. 12 Maret lalu Koji berulang tahun. Dan aku ambillah kesempatan itu dengan mengucapkan selamat ulang tahun padanya tentunya disertai doa dan harapan. Ya sebagaimana orang-orang mengucapkan selamat di linimasa dia. Nah bedanya, aku mengirimkan inbox padanya. Jadi terkesan lebih pribadi gitu. Lagian mau ditaruh di mana mukaku kalau aku ikut-ikut nulis di linimasa dia. Bisa tahu orang se kantor. Trus aku di bully. Secara aku di kantor ini kan hanya karyawan rendahan. Nggak di pandang lah sama orang-orang kecuali mereka lagi butuh aku untuk membantu mereka. Sisanya, aku, Marisan hanya mereka anggap kayak selotip di pojok meja. Dibutuhkan tapi tak terlihat.
Nah setelah dua bulan berlalu, Koji baru membalas inbox ku. Koji emang jarang buka sosmed. Setahun dua kali mungkin. Seringnya isi sosmednya hanya tag an dari temen-temennya. Dari cewek-cewek yang menyukainya.
Aku masih menatap balasan Koji dengan senyum merekah di bibirku.
'Thanks for your message. I also wish you all the best.' 😊
Seperti itulah jawaban yang di berikan Koji padaku. Trus ada emoticon gitu. Kan ucul. Bikin aku senyam senyum gitu kan.
Oke mari kuberitahu penampakan Koji itu. Tingginya 180 cm. Kulit putih. Matanya berwarna coklat. Hidung mancung. Bibirnya? Jangan ditanya. Salah satu bagian terbaik dari wajah Koji ya bibirnya itu. Kecil, tipis, merah. Kan, kan, aku jadi membayangkan bibir kami saling lumayan lumatan gitu. Pokoknya bibir Koji itu kissuable. Oh ya, umur Koji itu 32 tahun. Beda sepuluh tahun sama aku. Iya aku masih 22 tahun. Masih muda. Baru tamat kuliah. Dan baru kerja di sini enam bulan. Masih fresh dalam segala hal lah pokoknya.
***
"Makan siang gak?" ini antara pertanyaan atau ajakan aku gak tahu.
"Emang udah jam bera—?" Mataku menata jam yang ada di sudut kanan layar pc ku. Jir, jam dua belas teng-teng. Gitu ya kalau hati lagi seneng, waktu terasa cepat aja berlalunya.
Mematikan pc segera kuikuti langkah Mita menuju lift. "Makan di mana kita?" tanyaku ketika kami sudah berada di dalam lift.
"Kantin ajalah." kuangguki jawaban Mita.
Emang kami mau makan kemana di tanggal tua begini? Kantin lah yang paling pas. Harga murah dan menu pilihannya banyak. Makan ke luar? Mana ada duit. Aku sama Mita kan golongan karyawan kere. Gaji di atm itu cuma numpang lewat. Mita masih untung punya laki yang bisa dimintai duit. Lah, aku? Mau minta sama laki juga? Pacar aja nggak punya, apalagi laki. Mita orangtua? Malu lah. Masa udah kerja masih nadahin tangan. Kasih napaslah orangtua itu. Biarkan mereka memikirkan yang lain. Masa dari bayi ampe besar gini mereka musti pusing mikirin aku terus. 'Kalau nggak bisa bantu paling nggak jangan jadi beban.' begitu prinsip yang kutanamkan sejak aku nerima ijazah. Jadinya ya seperti ini, akhir bulan kutahan-tahanin makan dengan duit ala kadarnya. Nggak milih-milih lah. Yang penting dalam sehari perutku ketemu nasi. Makan nasi kucing pun aku mau. Asal ketemu nasi lah pokoknya.
"Boleh gabung?" sebuah suara maskulin mengalihkan fokusku dari piring soto yang ada di depanku. Kuangkat kepala dan dia berdiri di sana. 'Kojiiii' jerit hati kecilku. Eh dia notice aku nggak ya. Kalau iya, aku kan jadi malu. Sebelum aku menjawab Mita sudah mempersilakan.
"Duduk, Pak."
Koji duduk di sampingku. Di depan Mita. "Nggak papa kan ya saya ikut duduk di sini. Meja lain udah pada penuh."
'Tiap hari juga gak papa kok.' kataku tapi hanya di dalam hati. Gila aja kalau aku bener-bener berkata seperti itu. Harga diri, coy.
"Dilanjut aja makannya." ucap Koji melihat aku dan Mita hanya diam. Tidak menyantap makanan kami.
"Nggak papa nih, pak?" Mita bertanya disertai cengirannya.
Koji mengangguk sebagai jawaban.
Dengan ragu aku mengikuti Mita yang tengah menyantap makan siang ya. Bukan apa-apa. Nggak sopan aja rasanya kalau kami makan sementara dia ngeliatin gitu. Ntar kalau dia ngiler gimana? Kasihan kan ya? Tapi kalau aku nungguin pesanan Koji datang yang ada sotoku jadi kembang. Dilema kan akunya.
Tak berapa lama pesanan Koji pun datang. Eh, ternyata dia pesen soto juga. Padahal nggak janjian loh. Emang sehati lah kami ini.
Koji ini makannya lasak banget sih. Masa ya sikutnya itu sering ngenain tanganku gitu. Padahal aku udah duduk mepet ke pinggir ini. Dikit lagi jatoh nih. Atau kalau tiba-tiba dia berdiri selamat lah aku kejengkang gitu. Kan kursinya itu kursi kayu gitu. Tau kan ya? Gak tau? Itu loh kursi yang sering ada di warung-warung gitu. Tapi ini yang muatannya dikit. Dua orang satu kursi. Ngomong-ngomong soal lasak. Duduk aja lasak. Apalagi pas tidur. Bisa di tendang kali aku kalau tidur bareng dia. Eh, kok aku mikirnya kejauhan gitu ya. 'Lagi makan ini, keselek baru mampus lo!' setan kecil dalam diriku memperingatkan.
"Makasih loh wish nya."
Kan, kan, kan, kan kampret. Ternyata dia notice aku. Baru juga diomongin. Bikin muka ku panas karena malu.
"Hmmm." deheman dari depanku membuatku mengangkat kepala yang tertunduk malu. Mita cengar-cengir. Matanya sarat akan ledekan.
"Duluan ya Pak." pamitnya tiba-tiba.
"Lah-loh Mit." Aku terkejut melihatnya yang tiba-tiba berdiri. Meninggalkan aku dan piring kotornya begitu saja. "Kok gue di tinggal?" tanyaku memelas.
"Mau nelpon laki gue mah." jawabnya dengan langkah cepat.
Aku segera berdiri hendak menyusul Mita. Namun cekalan di tanganku, membuatku menoleh pada objek yang ada disampingku. "Temani saya dulu." ucapnya.
"Tapi pak." Aku berniat membantahnya.
"Lagian kamu mau lewat mana?" tanyannya.
"Ya lewat situ lah." tunjukku merujuk pada tempat dia duduk.
"Ya kan nggak saya kasih lewat." jawabnya enteng.
Iya, ya. Kalau Koji nggak memberiku jalan aku lewat mana coba? Nggak bisa. Ada space disampingku tapi sempiiit banget. Aku musti jinjit sekitar 60 cm untuk bisa sampai ke seberang tempat di mana tadi Mita duduk. Baru deh aku bisa lolos. Tapi kan malu. Apalagi ada Koji, cowok yang kukagumi. Kalau cowok lain mah aku sebodo amat.
Terpaksa deh aku duduk. Menemani Koji makan. Nggak makan juga sih. Dia udah selesai bareng aku dan Mita. Nemenin aja lah pokoknya. Duduk-duduk nggak jelas gitu. Biasanya aku ama Mita juga gitu. Habis makan nyante bentar. Ngobrol ngalor - ngidul. Nungguin nasi yang kita makan tadi nyampe dengan selamat ke dalam perut. Kalian gitu juga nggak sih?
Adalah sekitar lima belas menitan aku dan Koji duduk diam-diaman. Sampai akhirnya dia berdiri sambil menggenggam tanganku. "Ayok." ajaknya. Kami bergenggaman tangan sampe keluar kantin. Nggak ding. Sampe di dalam lift malah.
Jangan kalian sangka aku diam aja ya di gituin Koji. Sepanjang jalan aku berusaha melepaskan tanganku. Tapi Koji nggak ngasih. Akhirnya aku pasrah aja. Daripada tanganku tambah merah karena dia megangnya kenceeeng banget. Pasrah lah aku pokoknya. Pasrah ditambah malu malah. Gimana nggak malu coba, kalau seantero kantin liatin kami gitu. Mana tatapan cewek-cewek penggemarnya Koji kayak gitu lagi. Bikin aku merinding ketakutan.
"Bapak apa-apaan sih!" Akhirnya aku bisa melepaskan genggaman Koji ketika sudah berada didalam lift.
"Ya nggak papa." jawabnya santai.
Aku berdiri dipojokan lift mengambil jarak dari Koji.
"Nanti saya pasti diamuk sama fans bapak." Aku bersedekap.
"Nggak bakal ada." Koji berjalan mendekat.
Mataku memandang awas.
"Ya udah, nggak usah deket-deket juga. Sono-sono, jauh-jauh! " Aku mengibaskan tanganku. Mengusirnya.
Koji mengabaikan. Langkahnya semakin mantap mendekat. Memojokkanku di sudut lift. "Jauh-jauh ih, nyebelin." Aku mendorong dadanya kuat. Berharap bisa mengusirnya dari hadapanku. Tapi tidak bisa. Koji semakin memojokkanku. "Miss you so badly, Bee." bisiknya di depan wajahku.
Aku terpaku mendengar ucapannya. "Bapak gila ya?"
"Aku gila karena merindukanmu." ucapnya lalu mencium bibirku.
Terkejut adalah reaksi pertamaku atas tindakan Koji.
'Gila nih orang. Main sosor aja' batinku.
Bibir Koji bergerak perlahan di atas bibirku. Melumat bibir atasku kemudian bibir bawahku. Berulang kali dia melakukan itu hingga membuat aku yang tadinya pasif membalas perlakuannya. Koji tersenyum diantara ciuman kami. Senang akan balasanku.
Satu tangan Koji melingkar di pinggangku. Dan satu lagi tangannya berada di belakang tengkukku. Menekan kepalaku. Tanganku bergerak di dadanya. Ciuman kami makin dalam.
Koji terus saja melumat bibirku. Mencecapnya. Lidahnya menyeruak masuk ke dalam mulutku yang terbuka. Mencari lidahku. Aku me——
"Oy, kampret ngapain lo ngangga-ngangga gitu. Itu kenapa juga lidah lo melet-melet. Ngayal jorok lo ya?"
Suara makian Mika membuatku tergeragap. Mengembalikanku ke dunia nyata. Aku memperhatikan sekelilingku. Aku dipojokan kantin, tempat paling sepi bareng Mita dan tidak ada Koji.
Sial, aku mengkhayal enak lagi kissu bareng Koji. Kok bisa ya?
Hope you like it. Lagi test mood karena dah lama gak nulis.
——❤️——
Nik
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top