Extra Part #2: What Happen After She's Gone #2
"Tetaplah hidup dan bahagia, Jeon Wonwoo.
Hidup dan berbahagialah,
hanya itu harapanku."
---
"HEI, hei, apa-apaan ini?"
Seruan itu berhasil membuat tiga kepala di ruangan tersebut berputar, seketika menoleh ke sumber suara. Di ambang pintu, Seokmin dengan surai berminyak dan tubuh basah oleh peluh hanya bisa berdecak kecewa. "Dasar orang-orang tak tahu diuntung! Kenapa tidak ada yang membangunkanku untuk pertemuan pagi, hah?"
Chani ialah orang pertama yang berani membalas, "Salah sendiri tidak memasang alarm."
Jihoon, pemuda bermata sipit dengan tebal dan menutupi mata hanya bisa mendengkus sinis. Ia sudah menduga akan jadi seperti ini pada hari orientasi semester baru. Lee Seokmin terlalu bodoh untuk tidur pukul tiga subuh malam sebelum pertemuan pagi mulai. Jadi Jihoon sendiri tak ambil pusing, kembali menata buku-bukunya dalam tas saat membalas, "Dasar, bodoh. Kau pikir aku punya waktu ekstra untuk memastikan kerbau sepertimu bangun untuk pertemuan pagi?"
"Kerbau?" Seokmin membelalak, setengah terkejut setengah tersinggung. "Kutu buku sialan. Kau pikir siapa yang menemanimu ke obralan buku dua minggu lalu?"
"Aku pergi sendiri," bela Jihoon, "kau saja yang memaksa untuk ikut."
Chani tertawa menyaksikan debat yang semakin memanas, sementara disalak demikian membuat Seokmin berkacak pinggang tak terima. "Siapa bilang? Hei, kau tidak bisa memutarbalikkan fakta seperti itu. Kau tidak―"
"Sudahlah, sudahlah."
Terakhir, pemuda yang duduk di paling ujung baru menyahut. Ia memiliki wajah oval dengan hidung kecil namun panjang. Bibirnya tipis, kedua matanya menukik tajam layaknya mata elang―persis seperti yang ada dalam memoriku. Ia menutup bukunya, berdiri dan tertawa sembari menyeka surai. Sempat melirik Seokmin dan Jihoon secara bergantian, pemuda itu berujar, "Ini hari pertama kuliah semester lima. Jangan rusak suasana hatiku dengan pertengkaran tak berguna kalian."
Seokmin menghela napas, masih tampak kesal walau akhirnya memilih untuk diam. "Tumben kau bangun pagi."
"Kau pikir ia sepertimu?" sahut Chani, tertawa merendahkan. "Jeon Wonwoo yang sekarang sudah berbeda dengan Jeon Wonwoo yang dulu!"
Kalimat tersebut seolah berhasil menyerap amarah Seokmin sepenuhnya. Ia malah menyengir, mengalungkan lengan di leher Wonwoo dan mengacak-acak surai kawannya gemas. "Aku tidak menyangka kawanku sudah dewasa. Tapi jangan terlalu rajin, nanti aku tidak punya teman bergadang untuk main game online."
Wonwoo tertawa. "Sialan, kau pikir aku tidak mau lulus dan mendapat kerja?'
"Hei, apa kau menyindirku sekarang? Dasar bocah ..."
Candaan itu terus berlanjut hingga akhirnya bentakan Jihoon mengudara. Suasana kembali senyap, namun keempatnya memutuskan untuk pergi ke kafetaria bersama. Setelah melewatkan pertemuan pagi di aula universitas, Seokmin berkata setidaknya ia tak melewatkan sarapan bubur terenak sebelum memulai kelas. Jihoon menganggapnya konyol, namun akhirnya pergi juga.
Chani harus berpisah di persimpangan koridor, berdalih harus bertemu dosen, tapi ternyata menemui kekasih barunya di perpustakaan. Mereka bukan pasangan baru. Aku telah mengamati mereka selama dua bulan terakhir, dan selama dua bulan itu mereka telah sepakat berkencan. Pemuda itu berasal dari fakultas bisnis, jangkung dengan rambut bewarna jagung dan senyum secerah matahari. Ia yang pertama berinisiatif untuk mengajak Chani berkencan, dan gadis itu menyetujuinya. Hanya, Chani belum siap untuk memberitahu Seokmin dan Jihoon.
Katanya, "Beberapa hal lebih baik disimpan dalam diam sampai waktunya tiba." Dan kekasihnya tak keberatan. Mereka menjalani hubungan dalam diam namun tetap bahagia.
Aku menganggapnya lucu, tapi hatiku terenyuh. Gadis itu telah tumbuh sebagai wanita mandiri―adalah sebuah kebanggaan melihat sahabatku benar-benar telah dewasa.
Aku tidak suka menjadi pengamat. Pekerjaan ini membosankan―sejujurnya, ini bahkan tidak dapat disebut sebagai pekerjaan. Namun setiap aku datang ke bumi, menginjakkan kakiku melangkah menyusuri koridor kampus, menghirup udara musim panas, dan melihat senyumannya, seluruh rasa bosan itu hilang.
Aku tidak patut mengeluh bila ini adalah hal tebaik yang bisa kulakukan.
Kembali ke kafetaria, aku melihat Wonwoo dan Jihoon duduk dengan kaki disilangkan dan fokus pada kesibukannya masing-masing. Aku tidak melihat dimana Seokmin, jadi aku mengambil posisi duduk pada bangku kosong, memfokuskan tatapanku hanya untuk Wonwoo.
Ia sedang sibuk membaca buku dengan headset terpasang pada kedua telinga. Tatapannya menyipit, keningnya mengernyit, ekspresi serius yang gemas membuatku ingin menciumnya lagi dan lagi. Sialnya, Jeon Wonwoo versi baru adalah Jeon Wonwoo favorit anak-anak kampus lain (sesuatu yang entah harus kusyukuri atau kurutuki).
Saat aku mencuri pandang pada ponselnya, aku tersenyum.
"Sejak kapan kau suka musik klasik?" Jihoon yang pertama kali membuka suara. Sama sepertiku, pemuda itu tanpa sengaja melirik judul lagu dalam ponsel Wonwoo. Matanya menyipit setengah curiga. "Orchestal Suite No. 3 karya Johann Bach. Darimana kau tahu lagu itu?"
Wonwoo ikut mengernyit. "Kukira kau yang mengunduhnya di ponselku."
Jihoon memutar bola mata, ekspresi yang sama yang ia keluarkan ketika muak. "Kau pikir aku pengangguran yang suka menguruni ponsel orang?"
Namun Wonwoo hanya mengendikkan bahu, tidak ingin melanjutkan debat itu. "Entah, melodinya selalu terputar di kepalaku." Ia menyeringai, seringai gemas yang seketika ingin membuatku mendekapnya secara langsung. "Mungkin memang musik ini memang ditakdirkan untukku."
Jihoon tak lagi membalas. Seokmin baru kembali dengan tangan penuh dengan makanan. Kesukaannya, bubur ayam dan milkshake cokelat.
Ia mengambil posisi duduk di bangkuku dengan santai. Aku berdiri, memilih mengalah. "Apa yang kulewatkan?"
"Pemuda ini mulai mendengar musik klasik."
Seokmin melebarkan mata menatap Wonwoo, nyaris tersedak bubur panasnya sendiri. "Kau yang benar?!"
Wonwoo berdecak risi. "Hanya satu judul. Kau yang mengunduhnya di ponselku?"
"Untuk apa aku melakukan itu?" Seokmin mengernyit, kembali menyuap makanannya. "Kau tahu sendiri aku tidak mendengar musik-musik kuno seperti itu."
Sebagai balasan, Wonwoo mengernyit, jelas tampak bingung. Namun ia memilih untuk tidak melanjutkan topik debat itu lebih lanjut, yang mana membuatku sedikit lega.
Namun di luar pengetahuanku, pemuda itu mengobrak-abrik isi tas dan mengambil sebuah buku kuno. Keningnya mengernyit.
Detik itu pula, aku membulatkan bola mata. "Bukuku. Bukuku di sana."
"Kim Nara?" Suaranya terdengar bingung. Ia beralih pada Seokmin. "Apa kau tahu Kim Nara?"
Seokmin menaikkan alis tak acuh. "Siapa itu? Kekasih barumu, huh?"
"Bukunya tertinggal di sini." Wonwoo mengernyit. "Apa aku pernah mengenal Kim Nara?"
Apa aku pernah mengenal Kim Nara?
Tak peduli seberapa sering aku mendengarnya, kalimat itu masih terasa sama pedihnya.
"Mungkin milik mahasiswi lain yang terbawa," kata Seokmin dengan mulut penuh bubur. "Sudahlah, tidak usah terlalu dipikirkan."
Aku harap, ada satu keajaiban yang membuat pemuda itu mengernyit, tiba-tiba teringat siapa nama yang tertulis di atas buku diary itu. Namun di sini, aku hanya bisa tersenyum miris, kala melihat Wonwoo hanya mengendikkan bahu dan tanpa berpikir panjang langsung meletakkan diary usang itu kembali ke dalam tas. Tampak tak peduli, tampak tidak ingat, tampak tak acuh. Tak lama, ketiga pemuda itu pergi untuk pergi ke kelas masing-masing. Kafetaria kampus yang tadi riuh perlahan berubah sunyi.
Hari itu aku tinggal di bumi sampai malam, sengaja menunggu kepulangannya di apartemen. Ia tampak lelah, bahunya merosot seraya mengerjakan tugas di ruang tengah. Sementara malam memuncak, rinduku akannya semakin membuncah. Pukul dua belas tepat, Jeon Wonwoo terlelap.
Dan aku akan tetap di sini, berdiri, melihat senyumannya, menatap binar di matanya, dan mengingat memori baik akan kita.
"Hidup dan berbahagialah, Jeon Wonwoo," bisikku, memberi kecupan di dekat telinganya.
Walau pemuda itu segera menepisnya, beranggapan itu hanya gangguan serangga usil malam-malam. []
Bahkan seburuk-buruknya memori pemuda itu, aku harap musik klasik yang dulu pernah jadi saksi kita bercinta dan beradu ciuman itu akan terus mengalun dalam benaknya; akan tetap terus menjaga dan menyertainya dimanapun ia menapakkan langkah.
Meski ia lupa dan tak melihat,
aku akan selalu ada di sisinya.
Dalam wujud apapun diriku,
percayalah bahwa aku akan tetap mencintaimu ...
... dengan segala kebusukanku.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top