37; S(he) Killed Me

[Diary Entry : 1]

15 Juni 2020

Gadis bersurai silver-putih dengan mata melengkung tajam dan senyum secerah matahari musim panas itu bernama Kim Nara. Berbeda dengan kebanyakan gadis yang kukenal, ia memiliki suara rendah yang terdengar tegas dan kukuh, berprinsip dan jujur, tajam dan teguh―walau kalau kau tanya aku, itulah cara aku mendeskripsikan kata 'seksi'. Gadis itu mematahkan setiap strereotipe-ku tentang wanita dan cinta. Tatapannya, pertemuan kita, tiap kencan dan ciuman yang ia ayangkan―semua berhasil merasuk ke mimpiku tiap malam. Sejujurnya, aku tidak tahu kenapa aku menulis subuh-subuh begini. Sekarang pukul dua, aku terbangun oleh mimpi buruk bahwa gadis yang kucintai perlahan mencekikku sampai mati. Aku tidak naif seperti Seokmin yang percaya takhayul tentang mimpi, jadi setelah aku terbangun dengan napas sesak dan keringat deras mengucuri tubuh, aku langsung melupakan pikiran itu dan kembali tidur.

Hanya masalahnya, aku tidak bisa. Pikiran tentang gadis itu terus menghantui benak. Dan sampai mentari menjemput, aku tidak kunjung memejamkan mata. Seolah kemunculannya dalam mimpiku adalah sebuah pertanda.

Sekali lagi kutegaskan, aku tidak senaif itu untuk percaya.



SATU alis terangkat, mata menatap penuh kuriositas sekaligus terpana, dua jemari mengapit selembar note bewarna yang penuh dengan checklist. Kembali menatap isi kertas sebelum beralih pada lawan bicara, Wonwoo tampak berusaha mencerna makna di balik kejutan ini sebelum bertanya, "Jadi, kau ingin aku bolos kerja untuk menemanimu bolos kuliah dan pergi ke tempat-tempat ini?" Ia menggoyang-goyangkan selembar catatan usang dengan pandangan merendahkan, hanya beberapa detik sebelum dengkusannya melongos tak percaya. "Kau serius, Nona? Kupikir dari kita semua, kau adalah mahasiswa gila nilai nomor dua setelah Jihoon."

Nara memutar bola mata, tapi senyumnya yang lebar dan cerah masih bertengger setia di wajah. Dandanannya hari ini sedikit nyentrik dan berbeda―tapi tetap tampak manis di mata Wonwoo. Bandana putih bermotif floral yang menghiasi kepala, pakaian crop tanpa lengan bewarna merah marun yang dipadukan dengan jins putih tulang. Surai yang biasanya tergerai lurus kini sengaja dibuat ikal, wajahnya pun diberi beberapa riasan bertema musim panas dengan glitter di ujung mata.

Menemukan kekasihnya sudah tiba pagi-pagi sekali di apartemen membuat Wonwoo terkejut. Dan seolah itu belum cukup, Wonwoo semakin dibuat bingung kala tiba-tiba Nara berujar, "Aku sedang tidak ingin kuliah. Hari ini, ayo kita habiskan waktu berdua."

Yang mana, wo, ini sama sekali bukan Kim Nara yang ia kenal.

"Aku hanya punya satu kelas hari ini," jawab Nara saat si pemuda bertanya alasan ajakan kencannya yang begitu tiba-tiba, "Lagipula sejak kau bekerja, sudah lama kita menghabiskan waktu berdua."

Wonwoo mengernyit. "Lalu trip Busan yang kemarin?"

"Trip busan adalah kencan yang kau rencanakan," Nara mengibas tangan. "Karena itu, aku ingin membalasnya. Kau sudah membaca catatanku? Itu daftar kegiatan yang bisa kita lakukan berdua. Aku sudah merencanakan semuanya seminggu terakhir, aku tidak ingin kerja kerasku sia-sia dan semua itu hanya berakhir menjadi catatan."

Wonwoo tidak semerta-merta menjawab, hanya menempelkan telapak tangan pada kening si gadis. "Tidak panas, tuh. Tapi kenapa hari ini kau bertingkah aneh, ya?"

Dikatai demikian sama sekali tidak membuatnya tersinggung, Nara malah mengulum senyum, berjinjit sedikit untuk memberi kecupan singkat pada bibir sang pemuda. Dan bahkan sebelum Wonwoo sempat berekasi, Nara sudah langsung mengapit lengan kekasihnya dan menarik pergi. Kamar apartemen Wonwoo ditinggal kosong berdua. Pemberhentian mereka sesuai dengan daftar yang tertulis di catatan. Wonwoo tidak menolak, tidak pula bertanya sepanjang perjalanan walau kurioritasnya mendidih. Untungnya shift siang dan malam hari ini dipegang pekerja lain (Wonwoo bersyukur tidak mengambil jadwal kerja full hari kalau-kalau ada situasi mendadak begini).

Sejujurnya hari ini ia tidak berniat pergi atau melakukan apa-apa. Mimpi buruk semalam masih menghantuinya hingga matahari terbit—Wonwoo baru bisa terlelap pukul setengah enam pagi. Itu pun tak bisa lagi menikmati tidur pulas sebab alarmnya disetel jam tujuh. Kepalanya pusing, matanya bengkak dan terasa sakit. Namun bagian terburuknya ialah, bayangan mimpi buruk itu tak kunjung hilang dari kepala.

Bayangan Kim Nara mencekiknya di bawah purnama, semua tertera begitu jelas.

Bunyi klakson mobil membubarkan lamunannya. Wonwoo mengedip, tanpa sadar keringat menuruni kening. Pemuda itu buru-buru menoleh, perlahan baru bisa bernapas lega kala masih menemukan Nara duduk tenang di sampingnya. Menggenggam jemari gadis itu, kembali mencium aroma parfum lavender khasnya, kegelisahan tersebut perlahan-lahan mulai pudar.

Wonwoo hanya ingat, seberapa aman dan nyaman dirinya berada di samping Nara.

Dan, itu sudah cukup.

Bus yang mereka tumpangi memakan waktu tiga puluh menit untuk sampai ke pemberhentian pertama: restoran ayam samgyetang. Restoran yang sama yang dulu pernah mereka kunjungi bersama. Keduanya memesan dua porsi samgyetang untuk makan siang, hanya kali ini Nara menghabiskan seluruh jujube dan meminum ramuan jahenya sampai habis. Wonwoo tak bisa tidak tersenyum melihat gadis itu makan dengan lahap dan antusias. Seingat sang pemuda, gadisnya tidak terlalu suka makanan berkuah.

Sekeluarnya dari rumah makan, Nara mengajaknya berjalan beberapa mil. Dari gang sempit yang ditempuh, Wonwoo sudah mengenal rute jalan ini. Persis yang ditulis pada checklist, jalan ini menuju tempat rental komik.

Tengah jalan pemuda itu mengernyit.

"Kencan pertama kita." Langkahnya refleks terhenti, sempat mengundang tatapan penuh tanya dari lawan bicara sebelum kembali melanjutkan, "Kau mengajakku pergi ke tempat-tempat kencan pertama kita. Restoran samgyetang, rental komik, lalu nanti ... kedai buggeopang."

Nara tersenyum penuh kemenangan. "Aku tidak menyangka butuh dua jam untuk kau menyadarinya."

"Kenapa harus tempat-tempat itu?" tanya Wonwoo. "Seingatku, kau tidak begitu suka ayam samgyetang."

"Aku ingin mengenang hari itu lagi." Nara mendesah, melihat betapa biru dan cerahnya cakrawala. Ah, ini tidak adil. "Aku ingin mengenang kencan pertama kita lagi."

Kerutan di kening Wonwoo bertambah dalam. "Caramu mengatakannya persis seperti cara mengatakan perpisahan."

Tawa renyah sang gadis terdengar. "Kau terlalu banyak menonton drama, Jeon."

Wonwoo hanya mengerjap, memilih untuk tidak menyanggah. Nara sudah keburu menariknya masuk ke rental komik. Koleksi buku di sana bertambah sedikit, tapi mereka masih bisa menikmati siang itu dengan pembicaraan soal buku. Hanya satu, Kim Nara benar-benar tidak terlihat seperti biasanya hari itu. Ia terlalu riang, terlalu ceria, terlalu banyak bicara bahkan dengan antusias langsung menyewa sepuluh judul komik berbeda.

Untuk ukuran gadis kalem yang sedikit galak, sikap terlalu antusias yang tiba-tiba itu mencurigakan.

Mereka keluar dari rental komik dengan satu kantong keresek penuh. Setelah membeli dua potong bungeoppang di pinggir jalan, Nara mengajak Wonwoo untuk menonton film horror keluaran baru di teater terdekat. Teater saat itu sepi, keduanya mengambil tempat duduk di ujung. Dan seperti pasangan kasmaran lain, Wonwoo sempat mengecup Nara, ciuman yang dimulai dari kedua tangan yang menyentuh bersama pada popcorn―persis seperti scene-scene dalam drama roman picisan. Hanya kali ini nyata, hanya kali ini bukan rekayasa. Wonwoo bahkan tidak terlalu memerhatikan apa yang terjadi dengan si tokoh utama dan rumah lamanya yang berhantu. Matanya, telinganya, seluruh indranya hanya terfokus pada gadis itu: mencoba menerka apa yang dipikirkan lewat tatapan dan senyumnya.

Langit sudah bewarna oranye ketika mereka keluar dari bioskop.

"Karakter utamanya bodoh. Aku tidak mengerti kenapa dia tetap berkeras untuk masuk ke rumah berhantu sendirian."

"Karena penasaran," balas Wonwoo.

"Penasaran walau tahu sudah tahu ada yang tak beres dengan rumahnya?" Nara menggeleng tak percaya. "Itu namanya bodoh."

Wonwoo menyeringai geli. Ada beberapa kendaraan yang melaju kencang dari belakang, pemuda itu langsung menggenggam lengan Nara dan ganti berjalan di sampingnya. "Apa ada yang mengganggumu akhir-akhir ini?"

Si gadis mengernyit. "Mengganggu?"

Wonwoo mengendikkan bahu. "Tugas kuliah, mungkin. Atau, apa senior itu masih sering menghubungimu? Kukira ia sudah kembali bersama Chani sekarang."

"Sudah kubilang, aku tidak ada apa-apa dengan senior itu." Nara mengapit lengan kekasihnya lebih dekat, perlahan menyandarkan kepalanya pada bahu lapang Wonwoo. "Hanya ... lelah. Aku tidak tahu ketidakhadiranmu di kampus akan membawa pengaruh luar biasa untuk suasana hatiku."

Wonwoo tidak tahu kalimat cheesy seperti itu dapat mendobrak-dobrak hatinya dengan mudah. "Tidak usah banyak alasan. Aku tahu ada banyak mahasiswa tampan di sana."

Nara menyengir. "Tapi tidak ada yang memiliki kemampuan berciuman sebaik kau." Lalu dengan kalimat itu, ia berjinjit, mendaratkan kecupan singkat pada bibir lawan bicara.

Ciri khas lain yang hanya bisa Wonwoo temukan dari Kim Nara ialah rasa bibir gadis itu: manis seperti stroberi dengan aroma vanilla yang samar-samar. Percayalah, ia bahkan sempat mencari macam-macam pelembab bibir lewat internet, hanya untuk mengetahui perbedaan aroma dan rasanya―sesuatu yang diam-diam juga ingin lelaki ketahui tentang kekasihnya.

Ciuman tersebut berlangsung cukup dalam, cukup lama hingga jalanan semakin ramai. Banyak kendaraan lewat, malam semakin memuncak. Nara berbisik, "Kita sudah dekat. Mau melanjutkannya di apartemenku?"

Dan Wonwoo akan selalu tersenyum, membelai surainya yang diterbangkan angin malam.

Hanya dengan satu ciuman dan ajakan itu, Wonwoo tahu, ia tak punya alasan untuk menolak. Pikiran dan hatinya telah luluh, lebur, dan jatuh.

Hanya untuk gadis itu.

***

Mozzakh benar, ia tidak lebih dari seorang penipu ulung.

Seharian ini, Jeon Wonwoo tidak menampakkan kecurigaan apapun. Atau setidaknya, Nara berusaha senatural mungkin mengusir seluruh kecurigaan itu pergi. Tak dapat dipungkiri, saat mereka di restoran samgyetang, mampir ke rental komik lawas, bahkan saat berciuman di tengah jalan, Nara mati-matian menahan hatinya yang semakin bergemeretak. Setiap detik melihat senyuman Wonwoo, menatap binar matanya yang indah sekaligus rapuh, gadis itu merasa hatinya seolah disayat mentah-mentah.

Sebab kurang dari dua puluh empat jam, senyum itu akan hilang.

Sebuah nyawa akan menjadi taruhan.

Bahkan detik ini pun, ciuman mereka harus tampak natural.

Desahannya melayang. Kulitnya yang bergesekan dengan kulit Wonwoo selalu berhasil memantik api dalam dada: membakar dada, hati, semangatnya. Dari dulu, mimpinya sederhana: ia selalu ingin menghabiskan sisa hidupnya bersama orang yang dicinta. Bersama orang yang selalu bisa membuatnya merasa nyaman dan aman, bersama seseorang yang bisa ia anggap sebagai tempat berpulang. Naas, kematian menjemput sebelum mimpi itu terwujud. Nara pun hanya bisa tertawa miris. Dengan kehidupan yang entah keberapa kalinya sekarang, mimpi itu tidak akan pernah terwujud lagi.

Gesekan biola dari Orchestal Suite No. 3 karya Bach mengalun dengan lembut dalam ruangan. Di luar purnama bersinar begitu terang. Pendingin ruangan tetap menyala tapi kedua manusia yang bergelut di sana berkeringat. Tiap mendengar lantunan musik, adrenalinnya kembali terpacu. Nara nyaris kehilangan akal ketika ciuman Wonwoo mendarat pada tiap inci tubuhya: bibirnya, lehernya, di tengah tulang selangka. Cengkramannya pada kemeja Wonwoo menguat, erangannya mengudara. Dua tubuh yang saling berdempetan, bibir saling menempel, jemari saling menggenggam, helai baju yang berserakan di atas karpet.

Detik itu Nara bersumpah, ini akan menjadi malam terindah sekaligus terburuk dalam hidupnya.

"Kenapa tiba-tiba?" tanya Wonwoo setelah ciuman selesai, kembali merapikan kemejanya yang awut-awutan. Lehernya basah, surainya berantakan. Gairah dan rasa panas itu masih bermain di dalam dadanya, masih berputar-putar dalam kepalanya. Ciuman tadi bagai mantra magis yang mampu mengaduk perasaannya, mengontrol pikirannya.

Nara terkekeh, mengusap sisa lipstik di bibir Wonwoo. "Kenapa? Kau tidak suka aku bermain terlalu cepat?"

"Aku tidak pernah tak siap, kau tahu itu." Kini Wonwoo yang ganti menyeringai. "Hanya ... hari ini kau bermain sangat cepat. Lebih cepat dari biasanya."

"Dan kau tidak suka?"

"Bukannya tidak suka." Pemuda itu terdiam sejenak. "Hanya ini tidak sepertimu."

Tidak sepertimu. Kecurigaan kedua. Nara bisa merasakan kegugupan menghantam dan si gadis hanya bisa mengerjap dalam diam.

Wonwoo membenarkan anak surai si gadis, sama-sama terdiam. Tidak ada penghakiman dalam tatapannya, tidak ada desakan atau paksakan dari setiap sentuhannya. Keduanya hanya duduk berhadapan dalam diam sementara alunan biola serak dari speaker ponsel Nara masih mengudara.

"Jihoon menyukainya."

Nara mengangkat kepala, sedikit terkejut dengan yang ia dengar.

Namun di sana, kedua mata itu menatapnya lembut. "Musik klasik," jelas Wonwoo sabar. "Musik ini, Orchestral Suite No. 3 karya Johann Sebastian Bach, adalah rekomendasi Jihoon. Apa aku benar?"

"Bagaimana kau tahu ...?"

Wonwoo mengendikkan bahu pongah. Alih-alih menjawab, pemuda itu malah terkekeh menggoda. "Jadi kau benar-benar sudah mempersiapkan kencan ini, huh? Dari list kegiatan, baju dan dandanan, lipstick rasa stroberi favoritku, dan rekomendasi musik dari Jihoon. Aku jadi merinding, ada apa dengan gadisku ini?"

Kalimat jenaka Wonwoo seharusnya bisa mengundang tawa lepas, tapi Nara bahkan nyaris tak dapat menarik kedua sudut bibirnya sendiri. Setiap kata itu kemudian menetap dan menancap dalam benaknya: list kegiatan, baju dan dandanan, lipstick rasa stroberi favorit Wonwoo.

Lalu, rekomendasi musik klasik dari Jihoon.

Gadis itu membalas tatapan sang kekasih. "Aku ingin kencan hari ini spesial."

"Spesial?"

Dadanya semakin sesak, lantunan musik yang masih mengalun bagai menyayat hatinya. "Dan sempurna."―untung yang terakhir kalinya.

Setelah itu, Wonwoo berhenti menyahut. Nara juga tidak tahu bagaimana ekspresi kekasihnya: apa ia akan semakin curiga atau justru menelan gombalannya bagai pemuda naif yang dimabuk cinta. Jawaban pertama jelas lebih masuk akal.

Namun toh kendati demikian, Wonwoo tidak mendesak. Musik berhenti berputar, pemuda itu kemudian berdiri, mengenakan sweater-nya yang tadi dibiarkan tergeletak si sofa. "Kau mau kopi? Seokmin bilang, aku memiliki keahlian khusus dalam membuat latte."

Nara mengerjap, nyaris tak dapat berkata-kata untuk beberapa sekon awal.

"Tidak," Segera gadis itu berdiri, ikut menyabet jaket kebesaran dari gantungan baju. "Tidak akan bagus bila seorang tamu membuatkan minuman bagi tuan rumah. Duduk dan tunggu saja, aku tidak akan lama."

Tanpa menunggu balasan lawan bicara, Nara langsung melangkah ke dapur. Dapurnya terletak di sudut apartemen, berada tepat di sebelah ruang makan dan membelakangi ruang tamu. Di sampingnya, ada pintu geser yang memberi sekat antara dapur dan ruang makan. Sesaat setelah memastikan pintu itu tertutup, lututnya lemas. Segala topeng dan masker wajah kini pudar dan sirna, menghasilkan bulir-bulir air mata. Ini terjadi di luar rencana. Nara sudah mempersiapkan diri berhari-hari untuk ini―bahkan sejak awal ia berkata bahwa misinya berubah.

Namun toh sekarang, pertahanannya luluh lantak. Dadanya sesak. Melihat tatapan Wonwoo, bagaimana sentuhannya yang lembut, seketika berhasil menghantam kesadarannya.

Bagaimana mungkin ia akan membunuh pemuda itu?

Dengan tangan gemetar, gadis itu bangkit. Pikirannya masih berkecamuk, ia langsung menyalakan wastafel, berusaha untuk membasuh wajahnya sebentar. Kembali diliriknya pintu geser yang seputih tulang. Selama pintu kayu itu tertutup, maka Wonwoo tidak akan melihatnya.

Maka seharusnya, rencana ini akan berjalan baik-baik saja.

Kendati demikian, Nara tidak dapat menahan debaran jantungnya. Saat ia mengambil cangkir, mengambil sebotol kopi, lalu serbuk itu ...

Jemarinya gemetar.

Tidak, tidak. Fokus, Eleft! FOKUS!

Mozzakh sudah memperingatkan ini sebelumnya. Bahwa tantangan terbesar dalam misinya bukanlah menentang dewa.

Melainkan menghilangkan nyawa dari seseorang yang ia cinta.

"Membunuh untuk menyelamatkannya. Kau harus membuatnya mati sebelum hari kematiannya benar-benar tiba." Kalimat Mozzakh terputar lagi dalam otaknya. "Lalu, bangkitkan jiwanya. Dengan demikian, kau akan menyelamatkannya."

Nara tersenyum pedih. Seharusnya ini tampak sederhana. Ia hanya harus memasukkan serbuk putih ini, yang kelak akan menjadi racun dalam tubuh Wonwoo. Setidaknya, Wonwoo bisa selamat. Ia akan menderita―tapi sebentar saja. Tidak sakit, tidak akan ada rasa.

Tangannya mendadak terasa kebas, serbuk itu seketika jatuh berhamburan ke atas meja. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri meski tak bisa. Tubuhnya berkeringat dingin, gerakan tangannya persis bak orang linglung. Buru-buru diusap serbuk itu dengan sendok dan langsung dituang dalam cangkir. Dituangnya bubuk kopi dan air panas, sebelum diaduk dengan gegabah. Denting ketukan sendok dan gelas memenuhi ruangan. Nara menatap serbuk itu. Foniash yang menyarankannya: bubuk sianida, racun yang akan langsung menghancurkan tubuh Wonwoo pelan-pelan.

Lucu sekali bagaimana dulu peringkatnya sebagai 'Sang Perancang Kematian' kini payah dalam merencanakan kematian kekasihnya.

Hanya memikirkan bagaimana Wonwoo akan selamat dari kematian dewa baru bisa membuatnya bernapas lebih tenang.

Juga demi Foniash, ia membatin.

Demi Song Jungwoo.

Nara baru membawa cangkir itu dan berbalik, hendak kembali menuju ruang tamu kala sadar bahwa pintu gesernya telah terbuka lebar. Seorang figur berdiri di sana, mata menatap terluka, kedua tangan terkepal.

Bagaimana bisa ...?

"Kau memasukkan banyak sekali gula." Tawa Wonwoo terdengar serak dan sumbang, jelas ada nada sarkas yang begitu ketara dalam kalimatnya. Ia melangkah mendekat, melirik ke arah cangkir kopi di tangan gadisnya. "Kukira, itu cinta. Aku benar-benar mengira itu cinta. Tapi ternyata, kau pun tidak ingin aku hidup."

Nara menggeleng, mulutnya tidak bisa menjawab. Bahkan sebelum ia bisa memanggil, Wonwoo langsung berbalik dan berlari. Nara langsung mengikutinya. Ia merasa menyesal. Tidak ada yang benar dari misi ini! Tidak ada yang waras dari semua yang ia lakukan. Bagaimana bisa ... bagaimana bisa ia pikir membunuh Wonwoo adalah ide terbaik?

Wonwoo berlari melewati tangga darurat, Nara langsung menyusul. Saat mereka sampai di persimpangan jalan, sebuah truk melaju kencang. Wonwoo yang berlari tidak memerhatikan itu, dan semua terjadi begitu cepat. Kilat cahaya, apa yang terjadi dalam drama benar-benar ia saksikan di realitas sekarang.

Suara klakson, decitan mobil, teriakan banyak orang, semua terjadi begitu cepat. Wonwoo tergeletak di atas jalan, tak berdaya dan kesakitan.

Genangan darah membentuk kolam kecil di dekatnya.

Nara kira ia sudah cukup terkejut untuk tak dapat berkata-kata. Namun ia salah, kejutan sesungguhnya baru menampar kala gadis itu melirik pengemudi di balik kendali.

Kakinya seketika lemas, ia ternganga tanpa suara.

Yoon Jeonghan.

Tatapan mereka bertemu, sejak itu Nara seolah bisa mendengar suara Mozzakh mengudara dalam telinganya, "Kau telah gagal, Eleft." []





One more chapter 'til Epilgoueʕ•̀ω•́ʔ

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top