36; We Are All Sinners
MENGECEK kalender di ruang tamu adalah hal pertama yang Nara lakukan sekembalinya ia ke apartemen Seoul. 15 Juni 2020. Tubuhnya seketika menegang. Jantungnya bagai dihantam puluhan ton besi, jemarinya mencengkram ujung kalender lebih erat kala teringat sebuah fakta: 6 Hari menuju kematian Wonwoo.
Ia tahu, seharusnya ia bisa mengecek tanggalan di Busan. Sederhana saja, sebenarnya. Tinggal melirik informasi day-date di ponsel atau tempat umum layaknya restoran dan halte bus. Menariknya, sesuatu yang sengajah dihindari akan terus menghantui dimanapun kamu menapak. Seolah tiap perjalanan pulangnya tadi Nara dikejar-kejar tanggalan. Ada jadwal dimana-mana; di kafe tempat ia dan Wonwoo singgah, di kedai es krim, di stasiun kereta, bahkan pada plang di depan jalan sebagai peringatan ulang tahun idola. Namun itu mengoyak hatinya. Memikirkan tentang kematian Jeon Wonwoo sementara pemuda tersebut masih ada di sampingnya: tersenyum, tertawa, dan menggenggam jemarinya begitu erat seolah tak akan ada hal buruk terjadi semakin membuat Nara bukan hanya semakin merasa bersalah tetapi juga sesak dan pilu.
Kurang dari satu minggu maka semua akan tersisa abu.
Setelah trip singkat di Busan, Nara sudah tak ambil pusing dengan presensi Jeonghan. Malah semakin bertambahnya waktu, semakin ia yakin bahwa absennya presensi Jeonghan adalah sebuah keuntungan. Setidaknya kalau ia tidak memiliki teman atau rekan, sekalian saja ia tidak perlu memiliki penghalang.
Setidaknya ia tidak perlu membawa Jeonghan mati bersama setelah melawan dewa.
Memikirkan hal tersebut seketika menggetarkan hatinya. Ironi, bukan? Ia adalah tangan kanan dewa, pekerja pertama yang dipercaya dengan misi-misi rumit, bahkan satu-satunya ruh yang diberi tahu rencana-rencana kedepan.
Namun sekarang, tangan kanan itu berniat untuk menentang. Pekerja dengan gelar setia dan makmur itu kini harus memutar balik nasibnya menjadi kaum pemberontak―gelar yang bahkan lebih rendah dibanding kaum budak.
"Kau akan membunuh dirimu sendiri." Kalimat Jeonghan terputar dalam benaknya. Benar. Nara memikirkan ini matang-matang pada malam terakhir di Busan. Kalau misi ini gagal, maka ia akan mengalami penyiksaan hebat di bumi dan mati kedua kali. Dan dalam kamus dewa, penyiksaan berarti tidak akan mati hanya dalam sekali tebas.
"Kau bisa dipukuli, ditusuk berkali-kali di bumi, atau ... 'dicicipi'." Jeonghan menjeda, selama puluhan tahun berkawan dengan Mozzakh baru kali ini Nara mendengar ucapan pemuda itu membawa mimpi buruk dalam benaknya.
Tetapi, ia sendiri bertanya-tanya, apa arti dari kematian? Ketika kelak ia disiksa, ruhnya menjadi pekerja dewa, lalu Hades akan kembali menyuruhnya untuk kembali berburu di dunia, kembali merancangkan kematian, berhasil atau gagal, kemudian terangkat dan menjadi pekerja dewa. Siklus yang tak akan berubah.
Lalu kenapa ia harus menurut?
Lamunannya bubar, tepat ketika ponselnya bergetar dalam saku celana. Wonwoo mengiriminya pesan selamat pagi, sekaligus mengingatkannya untuk datang ke kelas. Nara hanya tersenyum membaca pesan itu. Ia tidak lagi tahu apa guna datang ke universitas kalau Wonwoo tidak ada di sana, tapi mengingat relasinya dengan Seokmin, Jihoon, dan Chani, gadis itu pun mengalah dan memilih berangkat.
"Aku terkejut kau masih ingat kampus," sapa Seokmin dengan gurauan, ketika mereka bertemu di koridor lantai satu. "Kukira kau terbuai liburan sampai tidak ingat kelas." Kemudian ia tergelak, yang anehnya ditimpali senyum tipis oleh Jihoon.
Si Mulut Pedas itu sendiri sudah tidak lagi menyalak seperti dulu, hanya kadang kata-katanya yang tidak terduga masih sering mengejutkan Nara. Seperti sekarang, saat Jihoon tiba-tiba menyahut, "Bagaimana liburan semalam di pantai Busan? Sudah puas melakukan hal plus-plus-nya?"
Entah bermaksud sarkas atau tidak, tapi cara Jihoon mengatakannya berhasil memecah tawa si gadis. Tak mau kalah, ia lantas membalas, "Memang kenapa? Kau juga tertarik untuk mencoba?" Nara melirik Seokmin. "Carikan Jihoon perempuan, aku rasa ini sudah waktunya ia memiliki teman kencan."
"Setuju!" Kemudian Seokmin dan Nara tergelak bersama, sementara Jihoon merutuk dengan wajah memerah malu.
Kalau dipikir-pikir, seru juga menggoda pemuda galak.
Mereka memutuskan untuk sarapan bersama di cafetaria. Jihoon dan Seokmin membeli dua bungkus roti dan susu. Nara bangkit, baru hendak mengantre ke arah penjual makanan sampai matanya menangkap presensi Chani.
Hanya, gadis itu tidak sendiri.
Jihoon dan Seokmin pun pasti sama terkejutnya, sebab selang beberapa detik dari membekunya Nara di tempat, ia merasakan dua sosok temannya yang lain ikut berdiri dari duduknya. Bahkan dengkusan geram Jihoon terdengar jelas lewat telinganya. "Si Berengsek itu belum menyerah juga, rupanya."
"Halo." Chani tersenyum kikuk, berusaha untuk mencairkan suasana dengan sapaan riang walau dibalas oleh pelototan lawan bicara. Dari membaca ekspresi Jihoon dan Seokmin pun, ia tahu membawa Jeonghan kembali sama sekali bukan ide bagus. "Senior Jeonghan baru pulang dari Anyang." Gadis itu menggigit bibir, suaranya berubah pelan dan terdengar ragu saat melanjutkan, "Ada saudaranya yang meninggal. Jadi kemarin ... ia pergi dan―"
Tanpa diduga, Jeonghan langsung membungkukkan badan sembilan puluh derajat. "Maaf aku telah membuat kalian khawatir. Maaf juga karena aku tidak bisa menjadi kekasih yang baik untuk Chani. Kemarin pikiranku benar-benar kacau, bahkan aku tidak terpikir ponsel untuk menghubungi siapapun. Sekali lagi, kuakui perbuatanku ini memang kekanak-kanakan. Aku minta maaf."
Kebohongan Jeonghan yang terlalu mendadak itu mengirim Nara pada kegelisahan. Wonwoo pernah melihatnya, bukan? Kalau kebohongan ini terendus oleh Jihoon dan Seokmin, sudah pasti mereka―
"Ia sempat bertemu dengan Wonwoo dan Nara di apartemennya," tukas Chani, seketika membubarkan lamunannya. Matanya mengarah pada Nara namun tidak mengandung kebencian atau sedikitpun rasa cemburu tatkala mengatakan, "Itu karena ia tidak tahu bagaimana kembali memulai relasi dengan kita setelah menghilang berhari-hari." Gadis itu kemudian mengapi lengan sang pemuda, menariknya berdiri tegak. "Sudahlah, tidak usah merasa terlalu bersalah. Semua hanya kesalahpahaman."
Giliran Jihoon yang menatap Nara dengan kening mengernyit. "Benar yang dikatakan senior ini? Kau benar-benar bertemunya tanpa memberitahu kami?"
Nara menelan ludah. Cara Jihoon melempar pertanyaan berhasil menyuguhkan kegelisahan padanya, seolah ia baru menyimpan rahasia besar yang mengancam nyawa. Ia baru hendak menyahut kalau saja Jeonghan tidak segera menukas, "Aku yang memintanya untuk merahasiakan. Aku ..." Pemuda itu tergagap, mengalihkan pandang pada Yoon Chani di sampingnya. Permainan akting sekaligus ekspresinya begitu baik sehingga Nara nyaris memercayai bahwa pemuda putus asa ini memang benar-benar mencintai Chani sepenuh hati. "Aku berniat untuk menghubungi Chani dan memberitahunya langsung, hanya tidak bisa."
Jihoon menatap skeptis, jelas menolak menelan cerita itu mentah-mentah. Masih terpampang jelas dalam ingatannya bagaimana Chani menangis hanya karena senior berengsek satu ini. Namun, melihat Chani yang kini menatap dengan mata bulat berkaca-kaca, pemuda itu hanya menghela napas pasrah. "Aku tidak berhak untuk berkomentar."
"Aku rasa kita tidak perlu bermusuhan lagi." Itu kali pertama Seokmin membuka suara.
Nara, Chani, dan Jihoon langsung mengernyit tak percaya. Jihoon yang pertama kali menyahut, "Serius, Seokmin?"
Mengabaikan protes temannya, Seokmin menjabat tangan Jeonghan dengan ekspresi bersahabat. "Senang mendapatmu kembali, Kawan."
"Kawan," Jihoon mendesis sinis. Tanpa repot-repot menghabiskan sarapannya, pemuda itu langsung mengambis tas dan pergi begitu saja.
"Tenang saja," Seokmin melempar senyum kalem. "Ia tidak akan marah terlalu lama. Tidak usah terlalu dipikirkan." Setengah menggigit sandwich sementara satu tangannya menggenggam segelas susu, pemuda itu kemudian melambaikan tangan sebelum pergi menyusul Jihoon.
Menyisakan Nara, Chani, dan Jeonghan yang kini dilingkupi kecanggungan.
Yoon Jeonghan benar-benar seorang penipu ulung. Kamuflase yang ia lakukan, masker wajah yang ia kenakan, bahkan tatanan rambutnya―semua detil yang berkaitan dengan pemuda itu lama-lama membuat Nara muak. Bagaimana ia bisa menunjukkan wajah dengan senyum segar, tatapan mata berbinar, rambut cokelat gelap itu kini ditata ke belakang dengan rapi, diminyaki dan wangi.
Padahal sebelumnya ia bertindak seolah ia tidak peduli apa-apa.
Tanpa sadar Nara mengepal jemari geram.
Untuk apa Mozzakh kembali kalau misi ini sudah selesai?
Butuh waktu dua jam untuk memendam semua teka teki itu sendiri. Dua jam ikut kelas membosankan. Anehnya, gadis itu tetap mengikuti kelas dari awal sampai akhir bahkan mencatat hal-hal penting yang dikatakan profesor, sampai ponselnya bergetar.
Jeon Wonwoo
*Insert Picture*
Kerja keras hari ini terbayar oleh secangkir kopi
Masih kelas?
Maaf mengganggu
Lalu tiga puluh menit berikutnya gelembung pesan yang baru mulai muncul:
Aku merindukanmu
Di sini ada banyak pembeli cantik, tetapi kenapa aku tetap memikirkanmu ya?
Kalimat terakhir berhasil membuat Nara refleks mengerutkan kening. Setengah tak sabar, ia mengetik balasannya:
Kim Nara
Tidak ada aku di sana dan kamu sudah mulai jelalatan?
Baiklah, aku juga bisa mencari senior tampan di sini
Jeon Wonwoo
Jangan macam-macam
Tidak ada satupun dari mereka yang dapat memagut bibirmu lebih baik dariku
Kalimat terakhir menarik kedua sudut bibirnya lebar-lebar. Nara mengakhiri pesan tersebut dengan emoji, di detik yang sama dosennya juga mengucapkan salam perpisahan. Kelas dua jam yang terasa bagai dua hari itu akhirnya berakhir. Nara langsung membereskan tasnya dan melangkah melalui koridor saat tiba-tiba seorang pemuda, entah dari mana, menarik tangannya menjauhi kerumunan. Si gadis bergidik terkejut, nyaris menyentak genggamannya kalau saja ia tidak mengenali kemeja fanel biru tua yang membingkai tubuh lawan bicaranya.
Yoon Jeonghan.
Demi dewa, apa-apaan menarik tangannya kasar begitu saja?
Nara hendak protes, tapi melihat betapa serius dan kerasnya cekalan tangan si pemuda, gadis itu memilih untuk diam dan menurut.
Jeonghan membawanya ke bagian pojok kampus, tepat bersinggungan dengan gudang dan toilet pria lawas yang sudah usang dan rusak. Tidak ada siapa-siapa di sana, hanya segelintir pasangan mesum yang kemudian memilih untuk pergi setelah mendapat tatapan tajam Jeonghan. Tempat itu kotor, bau, dan jauh dari cahaya musim panas.
Agaknya Nara mulai paham kenapa Jeonghan membawanya ke sini dengan paksaan.
"Aku tidak tahu kenapa kau masih kukuh kemari," ujar si gadis, tepat ketika orang-orang sudah pergi. "Sudah kubilang, aku tidak peduli bila nyawaku akan menjadi taruhan. Aku tidak akan mendukung pekerjaan dewa yang salah."
Jeonghan menghela napas. Di luar reaksi si gadis bahwa pemuda itu akan marah, mencekal tangannya, berteriak bahkan sampai sumpah serapah membawa-bawa nama dewa, kini ia malah terdiam. Bungkam layaknya seekor domba tak berdaya. Bahkan suaranya saat mengangguk pasrah terdengar asing bagi telinga Nara, "Aku tahu."
Jeonghan meraup wajahnya kasar. "Sisa 6 hari lagi. Apa rencanamu untuk menggagalkan rencana itu?"
Nara seketika tercenung di tempat. Ia tidak salah dengar, bukan? Matanya memicing skeptis. "Apa maksudmu?"
Kini, seluruh topeng wajah itu mulai luruh. Jeonghan menghela napas. Tatapannya menerawang, telapak tangannya menggeliat gelisah dalam saku celana. Berbeda dengan Nara yang tadinya tampak berapi-api dan sudah siap untuk terlibat argumen apapun, si pemuda kini malah tampak bak orang linglung.
Seluruh semanganya kabur.
"Aku tidak bisa mencegahmu, Eleft. Kau dan tekad kuatmu, kau dan semangatmu, kau dan cita-citamu." Ia menjeda, mengusap wajah dengan kedua tangan. "Kau benar-benar mencintai pemuda itu."
Nara tersenyum sinis. "Kau tahu itu bukan alasanku untuk―"
"Memang bukan," tukas si pemuda tak sabar, "tapi salah satunya. Kau pikir aku buta? Kau pikir Foniash bodoh? Kau pikir ciuman itu, malam yang kau habiskan dengan Wonwoo di Busan kemarin, semua memori tersebut hanya untuk misi dewa semata?"
Nara seketika hanya dapat diam, menggigit bibirnya. Ia tidak mengiyakan, tapi juga tidak membantah. Jauh dalam hati pun gadis itu sadar, ia tidak punya pembelaan untuk menentang pernyataan rekannya.
Hanya cinta ...? Apa ia layak untuk mengakuinya?
"Jadi, apa rencanamu selanjutnya?"
Si gadis menelan ludah. "Aku akan menggagalkan kematian pemuda itu."
"Jangan berharap." Jeonghan mendengkus sinis. "Hades akan membunuhmu terlebih dulu untuk itu."
"Maksudmu?"
Jeonghan memalingkan wajah. Tanpa menghiraukan perkataan si gadis, pemuda itu menyampirkan sebuah jaket oversize hitam pada bahu Nara. "Ayo ikut aku."
Nara memilih untuk diam dan taat. Keduanya naik bus pulang―atau setidaknya, itu yang ia pikirkan. Ternyata Jeonghan malah membawa gadis itu ke apartemennya. Ia menyuruh Nara memakai tudung jaket itu demi menghindari gosip kalau-kalau ada anak kampus yang melihat. Rambut Nara yang bewarna ash grey akan lebih aman bila disembunyikan lewat tudung tersebut.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Nara saat pintu apartemen telah ditutup, tapi Jeonghan tidak menjawab. Sebaliknya, pemuda itu langsung mengambil darah segar di kulkas. Bau amis dan warnanya yang begitu pekat sontak membuat mata Nara tersipit. Ia tidak tahu sejak kapan ia merasa jijik dengan melihat darah itu. Barangkali memang, ia telah sepenuhnya beradaptasi menjadi manusia dibanding ruh pekerja dewa.
Jeonghan menggumamkan sebuah mantra. Hari itu pukul tiga petang. Nara hendak mencegah, tapi saat itu samar-samar ruh Foniash mulai terbentuk.
"Kukira kau hanya diizinkan untuk datang pada jam subuh."
"Tidak dengan situasi genting, Nona." Foniash tersenyum tipis. Saat itulah Nara tahu ada yang tidak beres. "Hades telah mengendus kejanggalan misi kita."
Nara menyipitkan mata. "Maksudmu ...?"
"Bisa jadi ini kali terakhir saya diijinkan datang."
Nara beralih menatap Jeonghan meminta penjelasan, tapi yang ditatap hanya bisa mengangkat bahu pasrah. "Dewa bahkan mengancamku. Kalau Wonwoo tidak mati, maka ia akan mengirim kita berdua dalam kematian kedua. Dan Foniash ... ia akan dibawa ke neraka. Kita tidak bisa membela 'penjahat' itu."
Nara memeluk kedua lututnya, tidak tahu seberapa besar efek kata 'penyiksaan' bisa begitu besar mempengaruhinya. "Kita hanya punya 6 hari."
"Hanya ada 6 hari."
Mendadak si gadis tertawa, lambungnya terasa campur aduk. "Bukankah ini lucu, huh? Dulu aku selalu bekerja sama dengan ruh-ruh lain untuk merancangkan kematian." Ia mendongak, menahan air matanya agar tak tumpah. "Sekarang, aku sendiri yang akan mengirim kita ke neraka."
"Kau tidak akan mengirim kita ke neraka," sahut Mozzakh, mengerjap mengalihkan pandang, "kita sendiri yang mengirim diri kita ke neraka."
"Tapi, kenapa?" Nara mendengkus tak paham. "Kenapa kau berubah pikiran begitu mendadak? Kukira, kau masih sayang dengan titelmu sebagai 'pekerja dewa'."
Pandangan Jeonghan jatuh pada lantai kayu kamarnya. Kenapa? Pertanyaan klise itu akhirnya keluar dari mulut Eleft. Pemuda itu tertawa nanar, ganti menatap pada genangan darah serta dua belas lilin melingkar di sekelilingnya. "Karena kau benar," jawabnya serak.
Nara menaikkan alis. "Apa?"
"Kita semua adalah pendosa." Pemuda itu menggigit bibir, senyumnya terukir miris. "Bahkan setelah mati pun, aku adalah penipu ulung. Kau kira, selama aku melancarkan misi di dunia semua berlalu baik dan mulus? Aku tidak sepertimu, Eleft. Aku bukan sepertimu yang begitu adil dan berprinsip. Selama di dunia, aku juga manusia. Aku punya nafsu, aku punya emosi, aku ... aku juga bisa melakukan kesalahan layaknya manusia lain."
Jeonghan menggigit lidahnya sendiri, tangannya dibiarkan mengepal meredam emosi. "Tapi bahkan dengan ketidaksempurnaanku, aku berusaha untuk setia pada dewa. Namun, apa balasan yang kuterima?" Ia mendengkus sinis. "Kematian kedua, bahkan saat aku sudah berhasil merencanakan kematian target. Kau pikir, misi Choi Jungwoo adalah kesalahanku?"
Foniash tidak menjawab, hanya menundukkan kepala.
Nara pun sama bungkamnya. Ia tidak tahu betapa besar kekaguman yang Mozzakh dedikasikan pada dewa.
"Kalau memang niat dewa ialah menumpas orang berdosa, kenapa rencana kematian yang tidak berjalan sesuai perintahnya dikategorikan sebagai kegagalan? Kenapa kita--pekerjanya yang setia--harus menanggung hukuman dan siksaan ketika gagal?"
"Karena ruh yang tidak mati dalam rencana pekerja dewa tidak akan bisa masuk ke alam bawah."
Nara menatap Foniash, seketika sadar suatu fakta. "Ia benar." Bibirnya gemetar, kepingan puzzle itu mulai menemukan tempatnya berpulang. "Jadi ini niat dewa. Ia memanfaatkan semua pekerjanya untuk mengumpulkan banyak ruh--berdosa atau tidak, salah atau tidak, ia tak peduli."
Foniash mengangguk pelan. "Karena Hades bukanlah dewa kematian, ia tidak berkuasa atas hidup-mati manusia sampai kita yang mengikat perjanjian."
Jeonghan tertawa pedih. Pengkhianatan itu mengkuliti hatinya hingga titik paling pedih. Tanpa sadar gumpalan air mata itu merembes keluar. Isakannya menguat. Dalam ruang kamarnya, di bawah remang cahaya lampu kuning, ia bisa merasa hatinya diremas hingga remuk. Harapan yang dulu dibangunnya tinggi-tinggi runtuh menyisakan puing.
Sebab kini Mozzakh sadar, ia bukanlah apa-apa selain alat dewa.
"Ada satu tempat terkenal di Seoul." Foniash membuka suara setelah keheningan yang merebak, seketika menarik atensi kedua lawan bicara. Ia menatap Nara. "Apa nona mengenal Gennitria?"
Nama tersebut terdengar familiar. "Gennitria ..." Kedua matanya membulat. "Gennitria anak buah Ascleptius? Salah satu musuh dewa?"
Foniash mengangguk. "Ia bisa mengembalikan nyawa―"
"Dengan ganti nyawa," sambung Nara. Ia menelan ludah, jemarinya saling terpilin di balik baju.
"Tapi jiwamu bisa menjadi taruhan," Jeonghan berkata lirih. "Dan kalau Hades tahu, kau akan―"
"Hades tidak akan tahu sampai waktunya tiba," tukas Nara, "sampai rencana kematian Wonwoo terbukti gagal."
Jeonghan terdiam beberapa saat. "Kau yakin?"
Nara terdiam. Keyakinannya sudah runtuh sejak kepercayaannya pada dewa terbalas kekecewaan. Keyakinan, kekaguman, dan kesetiaannya sudah runtuh bersama milik Mozzakh saat tahu rencana busuk tuannya. Lantas, apa lagi yang harus ia takutkan? "Enam hari atau tidak sama sekali."
Foniash ikut mengangguk tenang. "Enam hari atau tidak sama sekali."
"Kalau begitu hanya ada satu cara." Jeonghan menarik napas, menepis kasar air mata yang tersisa di pipinya. Tatapannya kini bergulir pada Nara. Untuk pertama kali, ia tidak memandang gadis itu sebagai seteru atau saingannya dalam memenangkan hati dewa. Benar-benar untuk pertama kalinya, Mozzakh menatap Eleft sebagai seorang teman. "Bunuh pemuda itu." []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top