34; A Long Date and A Quick Kiss

"CINTA pertama?" Wonwoo mendengkus, hidungnya berkerut lucu sementara dua bibirnya yang penuh es krim saling bertaut, menahan senyum. "Kau yakin ingin mendengar ceritaku tentang 'cinta pertama'?"

Nara mengangguk mantap, mengabaikan nada sindir halus Wonwoo saat menekankan kata 'cinta pertama'. Entah ada apa antara Jeon Wonwoo dengan es krim rasa cokelat-mint, tapi begitu Nara mengusulkan untuk singgah ke kedai es krim di ujung jalan, pemuda itu langsung mengangguk antusias, matanya berbinar-binar menatap sekotak es krim warna hijau toska yang diselingi butiran chocochips. Nara memesan dua cup spesial, membayarnya di kasir, lalu memberikan satu pada Wonwoo. Keduanya kemudian kembali berjalan sampai ke sebuah taman kompleks, memilih untuk menghabiskan sisa es krim dengan duduk di atas bangku ayunan kayu. Soal ciuman Jeonghan, Nara mencoba untuk menjelaskan sedetil mungkin bahwa itu adalah kesalahpahaman.

Dan entah bagaimana, Wonwoo langsung percaya.

"Aku hanya ingin tahu," jawab Nara, menjilat sisa es krim yang menempel di telunjuknya. "Kau sudah pernah mendengar tentang tunanganku. Rasanya tidak adil kalau aku belum mendengar masa lalumu."

"Mantan tunangan," ralat Wonwoo, yang seketika mengundang tawa si gadis. Pemuda itu mengapit cup es krimnya di antara dua paha, sengaja melangkah mundur untuk menggoyangkan ayunannya. "Aku tidak ingat. Mungkin saat usiaku 16 atau 17 tahun? Entahlah."

"Serius tidak ingat?" balas Nara skeptis. "Biasanya cinta pertama itu paling berkesan."

"Tidak juga," sahut Wonwoo. "Cinta pertama sama saja dengan cinta-cinta lainnya. Hanya sering disebut 'istimewa', karena itu awal mula kita baru mengenal cinta."

Pernyataan tersebut seketika membuat si gadis termenung. Wonwoo benar. Cinta pertama nyatanya tidak se-spesial itu. Nara sendiri tidak terlalu ingat cinta pertamanya dulu―mungkin saat usianya 6 atau 7 tahun. Dan pada rentang usia tersebut, perasaan meletup-letup pada lawan jenis tidak bisa dikategorikan sebagai 'cinta'.

Lantas kalau begitu, apa yang dapat dikategorikan sebagai cinta? Apa syarat untuk membedakan apa itu cinta atau hanya kagum semata? Apa yang membedakan antara nafsu atau perasaan cinta? Saat Nara melemparkan pertanyaan tersebut pada Wonwoo, pemuda itu langsung menatapnya lekat-lekat.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Nara, dua pipinya memanas. "Aku bertanya agar kau menjawab, bukan untuk―"

Kalimatnya terputus. Irisnya membulat. Wadah es krim di genggamannya nyaris jatuh kalau saja tangan Wonwoo yang lain tidak langsung menangkup tangannya. Bukan hanya sensasi panas yang kini merajarela dalam dadanya, tetapi juga malu, senang, berbunga-bunga. Seolah ribuan kupu-kupu tengah mengepak sayap dalam lambungnya. Jantungnya seolah berhenti berdetak saat untuk kesekian kali, bibir Wonwoo mengunci bibirnya dalam sepertsekon yang terlampau cepat.

"Aku sedang mencari jawabannya sekarang." Wonwoo menyeringai. Wajahnya terlalu dekat, masih sangat dekat sehingga Nara bisa menghirup bau mint bekas es krim tadi. Pemuda itu terkekeh puas melihat rona merah di pipi gadisnya. "Tadinya aku cemburu saat melihat senior sialan itu menciummu. Tapi kalau diingat-ingat, wajahmu tidak semerah ini saat dicium olehnya. Jadi aku rasa, aku tidak perlu mengkhawatirkan apapun. Ia jelas bukan sainganku."

Nara tak dapat menahan diri untuk tidak tertawa. "Ia jelas bukan sainganmu." Ia menyeka sisa-sisa es krim di bibir Wonwoo sebelum mencondongkan tubuh dan mempertemukan bibirnya pada bibir sang pemuda. Sekali lagi, pikirnya. Sekali lagi merasakan bibir Wonwoo.

Jeonghan bukan orang pertama yang mencurigai bahwa Nara telah jatuh cinta pada targetnya. Foniash pun―Jungwoo sahabat Wonwoo―dulu pernah mengatakan hal serupa. Selalu gadis itu sangkal, sebab ia sendiri tidak tahu apa debaran jantung dan sifat ciuman yang adiktif begini dapat disebut sebagai cinta. Namun seiring berjalannya waktu, ia sadar bahwa bukan hanya ciuman yang ia sukai, bukan hanya adegan plus-plus dengan sentuhan kulit dan gesekan ranjang yang ia tunggu dari Wonwoo.

Melainkan, waktu.

Nara menikmati setiap detik yang ia habiskan bersama pemuda itu. Ia menyukai, mengagumi, menerima sekaligus membenci seluruh hal tentang Wonwoo; tatapan tajamnya, suara rendahnya, kerutan pada telapak tangannya yang kasar namun sentuhannya yang lembut, hangat pelukannya, aroma kopi bercampur musk yang melekat pada tubuhnya.

Juga, hal-hal yang tak dapat dilihat mata seperti kepedulian pemuda itu.

Mungkin, inilah yang disebut cinta.

Ciuman berakhir dalam pagutan lembut dari si gadis. Wonwoo langsung mengalihkan pandang, namun sekilas Nara bisa melihat ada segaris rona merah pada pipi sang pemuda.

"Rasa chocolate-mint memang enak," kata Nara, sengaja mengalihkan topik pembicaraan. "Mungkin aku bisa memesannya kapan-kapan."

"Tidak usah." Wonwoo berdeham salah tingkah, ia baru menyadari masih ada sisa satu scoop penuh es krimnya di dalam wadah. Seketika seringainya terulas. "Kau tahu, aku baru terpikir sebuah ide brilian. Kenapa kita tidak memesan satu porsi saja untuk berdua?"

"Maksudmu?"

"Satu porsi es krim untuk berdua. Kita bisa berbagi dengan cara seperti tadi." Ia kemudian mendekatkan wajahnya dengan wajah si gadis, mengerling menggoda. "Aku juga bisa membersihkan sisa es krim di bibirmu, kalau kau mau."

Wajah Nara sontak memerah. "Jeon Wonwoo!"

Wonwoo terkekeh tanpa dosa.

"Kau sering melakukan itu dengan gadis-gadis lain, bukan?" sahut Nara sebal. "Aku tahu kau sering ke klub. Sudah berapa banyak gadis yang naik ke ranjangmu?"

"Ouch, itu pertanyaan yang sensitif, Nona."

Nara memutar bola mata. "Serius, Jeon. Aku yakin kau sudah membawa belasan gadis di sana."

Wonwoo menyugar poninya yang terbawa angin. Dengan setengah tak acuh ia menjawab, "Tidak juga. Aku tidak terlalu suka membawa gadis ke apartemenku. Kecuali kau."

Nara seketika teringat kata-kata Seokmin, yang berkata bahwa hanya Nara satu-satunya gadis yang mengunjungi apartemen Wonwoo. Hari itu Nara masih menganggap Seokmin bermulut besar, namun setelah mendengar pernyataan langsung dari Wonwoo, keraguan itu luruh. "Lalu, kenapa Jihoon menganggapku one night stand?"

"Ia pernah mengataimu begitu?" kata Wonwoo menahan tawa, "serius?"

Nara berdecak. "Tidak lucu, Jeon."

"Maaf." Tapi Wonwoo tidak berhenti tertawa. "Sudah kubilang, aku tidak pernah dekat para gadis kecuali hanya untuk―well, kau tahu, main-main saja."

"Dan kau bangga akan hal itu?"

Wonwoo mengangkat alis. "Memang ada yang bisa kaubanggakan dengan menciumi banyak gadis di klub?" katanya sinis. "Aku yakin tidak."

Kini, tatapan Nara mulai menyipit, menyelidik. Namun belum sempat ia membalas apapun, Wonwoo kembali bersuara, kali ini benar-benar mengalihkan pembicaraan saat bertanya, "Apa yang Jeonghan lakukan di rumahmu?"

Nara mengarang asal, "Seperti yang kubilang, ia hanya lewat dan singgah ke rumahku."

"Dan langsung ke kamar?" tanya Wonwoo.

"Tidak, jangan berpikir macam-macam." Nara balas mengerutkan kening. Namun tidak bisa memikirkan jawaban paling masuk akal, gadis itu pada akhirnya hanya mengalihkan pandang menatap kerikil di bawah sepatunya sambil menjawab lirih, "Itu hanya kesalahpahaman."

Wonwoo tidak langsung menjawab, seperti kebiasaan pemuda itu saat sedang marah. Terlibat dalam konversasi serius begini entah mengapa bisa mendebarkan hati Nara. Gadis itu kira masalah Jeonghan sudah selesai, tapi ia salah. Tidak mungkin Wonwoo melepaskannya begitu saja, toh Jeonghan berhubungan dengan Chani.

Setelah lewat dua menit dan Wonwoo belum mengatakan apapun, Nara mulai gelisah dan bertanya, "Kau masih marah? Aku serius tidak tahu kenapa ia menciumku," Nara tidak tahu kenapa ia menjelaskan ini, namun ia tetap melanjutkan, "Aku bahkan tidak tahu ia akan pergi ke rumahku. Aku lupa mengunci pintu, dan Jeonghan langsung masuk. Lalu ia―"

"Sejak awal aku seharusnya percaya pada Jihoon." Hanya itu yang diucapkan Wonwoo. Pemuda itu meletakkan tangannya, membelai halus surai si gadis. "Dulu kita pun berawal dari ciuman."

Nara mengernyit, mencoba mengingat-ingat. Ciuman itu di apartemennya. Wonwoo masih ingat.

Wonwoo kemudian bangkit berdiri. Tatapan matanya telah melunak, di luar dugaan si gadis, pemuda itu berkata, "Barangkali memang sudah lama kita tidak menghabiskan waktu berdua. Apa kesibukanmu besok?"

Nara menyahut, "Tidak ada. Kelasku besok dibatalkan."

Kedua sudut bibir Wonwoo terangkat lebar-lebar. "Kalau begitu, tidak keberatan untuk kusewa waktumu? Berdandanlah, pakai baju yang cantik." Ia menjeda, seringainya kini menyentuh mata tatkala jemarinya mencengkram jemari si gadis perlahan. "Kali ini aku akan mengajakmu berkencan sebagai seorang pria: sebagai pasanganmu yang sesungguhnya."

***

Tercatat pada memorinya, pada musim panas bulan keenam hari ke-13, langit Seoul tampak berkali lipat lebih cerah. Kim Nara tidak tahu apa langit biru berawan yang ia lihat sekarang adalah manifestasi dari kebahagiaannya atau memang pekerjaan alam. Ajakan kencan Wonwoo membuahkan dua reaksi kontras dalam hatinya. Di satu sisi, gadis itu terpikat. Tetapi di sisi berbeda, ada sebersit ketakutan yang menghantam. Kencan berarti menghabiskan waktu bersama. Dan menghabiskan waktu lebih banyak dengan Wonwoo berarti satu hal: menciptakan lebih banyak kenangan bersama.

Semakin banyak kenangan yang ia cipta dengan Wonwoo, Nara semakin yakin ia tak dapat melepas kepergian targetnya itu.

Dengan pikiran bertumpuk tersebut, Nara menghabiskan nyaris dua jam untuk berias. Setelah empat puluh menit berganti dan memilih pakaian, gadis itu memutuskan untuk mengenakan sebuah gaun selutut tanpa lengan bewarna lilac cerah, dilapisi kardigan putih seperut bewarna netral. Wonwoo menjemputnya pukul dua siang―sesuai dengan yang pemuda itu janjikan.

Pemuda itu mengenakan kemeja berkancing biru muda yang tampak rapi, dibalut jaket kain warna senada. Yang membuat Nara sempat mengernyti sekaligus terpana ialah gaya rambutnya, dilapisi minyak dan ditata ke belakang dengan begitu rapi.

Jeon Wonwoo tampak seribu kali lipat lebih memesona.

"Aku dulu tidak menyukai warna ungu," kata pemuda itu ketika mereka sudah berada di mobil. Wonwoo sengaja memesan taksi. Katanya, perjalanan ini cukup jauh dan ia tidak mau membuat gadisnya kepanasan di bus. Alasan klise, tapi berhasil membuat Nara menahan senyum. "Tapi kurasa, sekarang aku berubah pikiran."

Nara mengernyit ofensif, melirik warna gaunnya sendiri. "Kenapa?"

Wonwoo tersenyum sebelum membalas, "Karena aku baru tahu, warna ungu kalau dipakai gadis yang tepat maka akan kelihatan cantik juga."

"Jeon Wonwoo sialan."

Kekehan terpecah, tawa mulai tersembur keluar. Nara memutar bola mata tapi kedua sudut bibirnya tak bisa mengelak tawa. Berkali-kali ia bertanya kemana Wonwoo akan mengajaknya, tapi pemuda itu tetap diam. Dan sekalinya ia buka suara, ia malah melemparkan pujian klise yang sanggup membuat loncatan pelan pada jantung si gadis.

"Kita telah sampai."

Ketika taksi berhenti, Nara menatap bangunan di hadapannya terkejut.

Sebab tempat ini bukan tempat untuk berkencan. Bukan bioskop megah, atau restoran besar, atau wahana permainan khusus pasangan muda.

Ini benar-benar di luar ekspetasinya.

Wonwoo melirik Nara, tersenyum miris. "Maaf aku tidak memberitahumu."

Nara menoleh menatap lawan bicara. Dari nadanya sama sekali tidak ada penghakiman saat berkata, "Penjara? Kau ingin menjenguk ibumu?"

Pemuda itu mengangguk lamban, jawaban atas seluruh tanda tanya Nara.

Tapi, kenapa?

Kenapa harus Nara?

Wonwoo mengambil jemari si gadis, dari tatapan matanya, Nara seketika tahu kenapa ia yang dibawa. Kenapa bukan Jihoon, atau Seokmin, atau mendiang Seungcheol dulu.

Sebab pemuda itu sudah menaruh percaya.

Maka tanpa melempar keraguan, Nara dan Wonwoo berjalan masuk. Penjara tidak terlalu mengerikan dalam benaknya. Hanya, Nara bisa merasakan genggaman tangan Wonwoo mengerat saat mereka masuk dalam ruang kunjungan. me

Terlebih, saat petugas mulai membawakan wanita itu.

Kim Yena.

Sesuai foto dalam data dewa, wanita itu memiliki paras yang unik. Bibir tebal, rambut warna pirang dengan ujung keemasan. Bibirnya pecah-pecah, tatapannya saat menukik pada Wonwoo memancarkan ketakutan juga rasa enggan, namun perlahan berubah bingung saat bergulir melihat si gadis.

"Sudah lama sekali, ya," sapa Wonwoo, terdengar dingin.

"Sudah lama sekali."

Nara meremas jemarinya, merasa takut. Keheningan yang kemudian merebak bagai taburan garam di atas luka menganga. Terasa begitu mengerikan.

"Kulihat, kau sudah membawa seorang gadis." Yena adalah orang pertama yang berinisiatif memecah hening. Wanita itu membangkitkan tawa walau terdengar garing. Dari tatapannya, kerutan di matanya tiap ia mencoba tertawa paksa, serta deretan giginya yang tak rata, Nara dapat merasakan betapa putus asanya wanita itu. "Kau ternyata hidup bahagia, ya ... setelah lama kutinggal."

Rahang Wonwoo mengeras, tapi mencoba untuk tetap tenang kala menyahut, "Bagaimana tidak? Tidak ada kau, tidak ada lagi yang mengganggu hidupku."

Nara diam-diam meringis, ia bisa merasakan begitu sengit dan pahit konversasi barusan ini. Entah apa alasan Wonwoo membawanya kemari.

Ibu Wonwoo tertawa sinis.

Butuh keheningan yang lama lagi sebelum Wonwoo berkata, "Aku kemari hanya untuk menunjukkan bahwa kata-katamu salah. Bahwa aku tidak akan jadi seperti ayah. Aku tidak akan menjadi seperti apa yang kau pikirkan."

Kim Yena tertawa. "Kau lupa siapa yang ditahan di penjara sebagai tersangka pembunuhan?" Kedua alisnya terangkat, tatapan matanya yang membeliak sangar seketika berhasil membuat Nara merapatkan gigi murka. "Putra sulung keluarga Jeon yang dibangga-banggakan itu tidak lebih dari seorang pembunuh."

Nara baru hendak membalas kala tangan Wonwoo menggenggam jemarinya. Si gadis menoleh, mengerjap tak percaya. Jeon Wonwoo selalu menjadi pria dengan emosi tak stabil yang ia kenal: pemarah, hobi main kucing-kucingan, mudah tercerai-beraikan mentalnya kalau sudah mengungkit soal Seungcheol dan Jungwoo.

Namun kali ini, pemuda itu tidak marah.

Malah suaranya terdengar jauh kelewat tenang kala menyahut, "Aku rasa, ungkapan maling teriak maling juga berlaku bagi seorang pembunuh." Wonwoo menatap lawan bicaranya lurus-lurus. "Bagaimana bisa wanita yang merangkap sebagai ibu tiri sekaligus pembunuh ibu kandungku mengatakan hal sekeji itu di depan putra-nya?"

Nara bungkam. Ia tidak tuli atau buta, ia jelas mendengar nada sindir yang begitu ketara dalam kalimat Wonwoo barusan, ia jelas bisa melihat wajah tak mengenakkan sang ibu yang langsung merasa terhina.

"Kau tidak punya apa-apa lagi untuk dipertahankan, kau sudah selesai. Apa yang kau lakukan pada ayahku, apa yang kau juga lakukan pada―" Seluruh bayangan buram akan darah dan kengerian kembali membayang, butuh usaha mati-matian untuk menahan seluruh air mata demi melanjutkan, "―pada ibuku tidak akan pernah bisa kulupakan. Kau pikir aku ke sini untuk menjengukmu?" Ia tertawa sinis, mendecih. "Aku ke sini untuk memberi salam perpisahan. Tidak akan ada sepeser pun harta warisan Keluarga Jeon yang jatuh ke tanganmu."

"Jangan bercanda." Nada dingin itu adalah jawaban dari semuanya. Yena spontan berdiri murka, meraung-raung sembari melemparkan kepalan tangannya pada kaca. Matanya yang gelap itu dibutakan oleh amarah dan keangkuhan, setiap teriakannya sukses membuat Nara bergidik saat berkata, "Jangan bercanda, Jeon Wonwoo! Aku sudah melakukan semuanya―semuanya. Kau putraku, kau putraku dan ayahmu adalah suami―"

"Kau kira aku sudi mengakui seorang pembunuh sebagai ibuku?" Matanya berkaca-kaca, merah oleh luka dan kepahitan. "Sampai jumpa, Yena."

Waktu kunjungan habis. Nara melihat bagaimana ibu tiri Wonwoo diseret dengan kasar oleh petugas sebab melawan, bagaimana wanita kurus itu berteriak, membeliak, mencakar-cakar dan merutuk putus asa. Miris sekali bagaimana manusia yang sudah ditarik dalam kegelapan hanya memikirkan uang.

Miris sekali bagaimana sampai detik ini pun, Kim Yena tidak merasa bersalah atas apa yang pernah dilakukannya dulu.

Sekeluarnya mereka dari kantor polisi, Wonwoo berubah menjadi tak banyak bicara. Sesekali, Nara sempat melihat pemuda itu diam-diam menyeka air mata dengan jasnya.

Nara kemudian berinisiatif memeluk lengan Wonwoo. "Seharusnya kau cerita akan membawaku ke penjara," guraunya berniat mencairkan suasana. "Jadi aku tidak usah bersiap-siap semewah ini."

Wonwoo mengernyit. "Siapa bilang aku hanya membawamu bertemu orang itu?"

Si gadis mengerjap. "Apa?"

Pemuda itu kemudian mengeluarkan sesuatu dari kantongnya, dua tiket bus kusut.

Tatapan matanya kembali cerah, senyumnya terangkat lebar. "Bersiap-siaplah, trip sesungguhnya baru akan dimulai, Nona." []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top