33; Love You Deeper
SELAMA beberapa detik yang terasa bagai belasan jam, Kim Nara melihat apa yang terjadi di depannya bagai mimpi semata: bagaimana Jeon Wonwoo mengerjap, ekspresinya sekeras batu tetapi tatapannya sehampa cakrawala, sebuket bunga mawar yang tadi ia genggam kini mendarat di lantai begitu saja. Anehnya pemuda itu sama sekali tak murka. Anehnya, Nara malah menemukan diri semakin dirambati gelisah kala mendengar suara serak Wonwoo menyapu halus keheningan di sana, "Pintunya terbuka, jadi aku masuk tanpa mengetuk. Kudengar kau sakit." Ia menatap si gadis beberapa saat sebelum beralih pada Jeonghan, mengangguk paham. "Aku harap, kau tidak bermain-main dengan perasaan Chani."
Hanya itu. Jeda yang diisi keheningan selanjutnya semakin mencekik batin, sebelum Wonwoo berbalik dan pergi.
"Tidak, Wonwoo." Nara bangkit, tangannya gemetar setengah panik. "Ini tidak seperti yang kauー"
Namun, suaranya terputus. Cengkraman Jeonghan sudah menahan langkahnya di depan pintu. "Jadi ini alasannya," kata pemuda itu, tersenyum nanar. "Ini mengapa kau berani membelok dari dewa. Kau benar-benar mencintai pemuda itu."
Tatapannya menyiratkan sok terluka, tapi Nara terlampau marah untuk melihatnya. Tanpa pikir panjang, gadis itu langsung melemparkan telapak tangannya mengenai wajah lawan bicara, mencetak bekas lebam merah pada pipinya. "Kau gila? Bangga melakukan itu di depannya? Keparat sialan!"
Jeonghan balas berteriak, "Kau yang gila karena telah mencintai manusia!"
"Simpan omong kosongmu untuk dewa!"
Nara menyentak diri hendak pergi, tapi Jeonghan tidak membiarkannya lewat dengan mudah. Alih-alih marah, kedua iris tersebut kini malah menatap berkaca-kaca. "Dengarkan aku, Eleft. Kau tidak bisa melakukan ini. Kau tidak bisa terus memihaknya danー"
"Apa yang salah dalam otakmu, Yoon Jeonghan?!" teriak Nara, benar-benar merasa muak. "Kita di sini sebagai manusiaーdiam di kamar sebagai pria dan wanita, tidakkah kau sadar? Satu sikap gegabahmu dapat merusak hubunganku dengan Wonwoo. Satu hubunganmu dapat merusak misikuー"
"Misimu untuk apa? Untuk membunuh Wonwoo?" tukas Jeonghan, tertawa sarkas. "Bukannya tadi kau bilang, kau ingin menyelamatkan bajingan itu?"
"Benar," kata Nara, balas menantang. "Aku membutuhkan pemuda itu untuk misi-ku sendiri; untuk menyelamatkan nyawanya lagi."
"Tidak, kau tidak bisa melakukan itu. Hades menginginkan kematiannya, Eleft! Dan ini tugasmu! Kau ingin jiwa kita berakhir di perapian neraka, hah?!"
"Bila itu bisa menyelamatkan ratusan nyawa yang lain," si gadis menarik napas dalam-dalam. "Kau kira aku akan ragu melakukan itu?"
Jeonghan kehilangan kata-kata.
"Dulu aku mati dalam penyesalan." Nara menatap nanar, lututnya gemetar dan seketika gadis itu terduduk di bawah. Bayangan tatapan terluka Wonwoo kembali menghantui benak, gambaran tentang malam pertama saat kematiannya pun ikut terputar. Tak ada harapan, tak ada kedamaian. Malam kematiannya yang pertama diisi oleh air mata, kepahitan, dan kekecewaan. Segala perasaan itu nyaris mencekik lehernya, memutus perasaannya namun Nara menggeleng kuat-kuat. "Aku tidak ingin kembali hidup dan mati dalam penyesalan kedua. Aku tidak ingin kehilangan pemuda itu lagi."
Jeonghan hanya bisa menatap tak percaya. Ini Eleft yang mereka bicarakan: pekerja paling giat, gigih, dan berprinsip. Ia selalu tahu apa yang ia ingin raih, ia tahu prinsip yang ada dan harus dibangun dalam dirinya. Barangkali, itulah mengapa Hades menyenangi pekerjaannya. Hanya Eleft selalu menuruti kata-katanya dan melaksanakan misi sebaik yang ia bisa. Eleft tidak peduli kalau ia harus menghadapi manusia-manusia berengsek, ia terikat dengan misinya untuk menghapus orang-orang bejat. "Agar bumi kembali damai, agar tidak ada lagi orang yang mati dengan penyesalan sepertiku."
Kini, misi Eleft berubah. Tetapi prinsip dan tekad yang berkobar dalam hatinya tidak hangus begitu saja. Malah kian membara, kian besar dan buas, melahap hatinya semakin luas.
"Aku tidak peduli," kata Nara penuh penekanan, menatap Jeonghan berkaca-kaca, "kalau kau akan melaporkan dewa. Aku tidak bisa berhenti, dan kau tidak bisa menghentikanku. Kau tahu itu."
Benar. Jeonghan memijat pelipisnya frustrasi.
"Maaf telah menciummu," ia berdeham pelan. "Aku sengaja membuka pintu di luar. Aku tahu ia akan datangーentah mengapa, firasatku mengatakannya. Dan setelah ia benar-benar datang, aku ... kau tahu, aku tidak ..."
"Tidak usah dipikirkan lagi," tukas Nara, "Aku akan mencari cara untuk bicara pada Wonwoo." Gadis itu duduk di samping Jeonghan, mengusap wajahnya penat. Ia tidak menyangka perdebatan tadi menguras seluruh tenaga dan emosinya. Belum lagi harus membicarakan kesalahpahaman ini dengan Wonwoo, atau klarifikasi di depan Seokmin, Jihoon, dan Chani kalau-kalau Wonwoo melaporーwalau kemungkinannya kecil. Mengingat sifat Wonwoo yang sering memendam perasaannya sendiri. Lagipula, meninggalkan Jeonghan dengan keadaan kalut sekarang sama sekali bukan ide baik.
"Apa kau pernah menyebut namaku di depan Jungwoo? Bukan sebagai 'laporan' kepada dewa, tetapi sebagai ... entahlah, gosip, mungkin?"
Nara mengangkat alis. "Sebagai Yoon Jeonghan atau Mozzakh?"
Gurauan tersebut berhasil mengangkat senyum Jeonghan. "Siapa peduli? Dua nama, satu jiwa yang sama," balasnya jenaka, yang langsung memantik tawa si gadis. "Apa kau benar-benar pernah menyebut namaku di depannya? Aku yakin ia tahu aku yang merencanakan kematiannya hingga ia berakhir sebagai budak."
"Ia yang menyebut namamu terlebih dulu," jawab Nara. "Malahan, ia yang memperingatkanku tentang kehadiranmu di bumi."
"Ia melakukannya?" tanya Jeonghan setengah terkejut. "Aku tak percaya budak itu benar-benar nekad."
Nara mengedikkan bahu. "Aku sudah berpikir begitu sejak ia membuka jati dirinya sebagai Choi Jungwoo di depanku. Sepertinya ia tahu aku menaruh kecurigaan besar pada data dewa." Ia kemudian menoleh sekilas pada lawan bicara, balas bertanya, "Bagaimana denganmu? Apa dewa juga menyiapkan ruh budak untuk membantumu dalam misi ini?"
Jeonghan tertawa miris. "Tentu saja tidak. Budak hanya digunakan untuk misi penting. Tugasku di sini hanya mengawasimu. Hades hanya berkata bahwa hidup dan matiku tergantung pada keberhasilan misimu. Bila kau berhasil dan kau terangkat ke alam bawah, maka begitu juga yang akan terjadi padaku. Sama halnya bila kau gagal dan harus mengalami kematian kedua yang menyakitkan di bumi, aku pun akan mengalami hal serupa. Dan kau tahu, 'kematian kedua' dewa sangat menyiksa."
Nara mendadak paham alasan Jeonghan begitu kalut dan menghabiskan berhari-hari duduk di atas televisi dalam kondisi mabuk.
Ketakutan akan kematian kedua adalah hal yang lumrah bagi manusia.
Barangkali membawa Mozzakh ke dalam misinya bukanlah pilihan yang bijak.
Jeonghan mengusap lehernya canggung. "Aku ingin memanggilnya sekarang."
Nara membulatkan mata, jelas tidak menyangka ini akan terjadi. Namun melihat rahang Jeonghan yang mengeras, matanya yang menunjukkan keyakinan dan keteguhan, gadis itu langsung menutup seluruh tanda tanyanya. Tanpa banyak suara, ia menyiapkan lilin-lilin dan sepiring darah di atas lantai. "Duduklah," kata Nara, menyiapkan satu tempat kosong di sampingnya di sekitar dua belas lilin itu. "Ucapkan mantra dalam hati."
Jeonghan mengikuti perintah si gadis, berkomat-kamit mengucap mantra dalam hati. Hanya butuh beberapa detik sampai bayangan mulai terbentuk di depan mata, sesosok ruh mulai datang. "Selamat siang, Nona. Tidak menyangka anda akan memanggil saya dengan ..." Di situlah kalimatnya terhenti. Ekspresi Foniash berubah, mulutnya mengatup tapi matanya penuh keterkejutan.
Jeonghan yang pertama kali membuka suara, "Halo, Jungwoo. Kudengar kau memiliki informasi menarik tentang target kita Jeon Wonwoo."
Mengabaikan nada sinis temannya, Nara menatap Foniash dan berkata, "Ia bilang ia ingin bertemu denganmu. Apa kau keberatan kalau kutinggal kalian?"
"Tidak, tidak perlu. Kau tidak perlu pergi. Aku hanya ingin tahu, apa benar Foniash adalah Jungwoo seperti yang kau bilang."
Nara mendadak merasa khawatir. Jeonghan bisa saja mengucapkan kata-kata yang secara eksplisit mengatakan hal-hal yang langsung merobohkan mental Foniash seketika. Pemuda itu sudah mati, memang. Seharusnya sudah hambar rasa. Tetapi kenangan lama, kepahitan, rasa sakit hati, dan dendam masih ada di sana. Itulah yang membedakan ruh-ruh budak dan pekerja. Saat ruh pekerja memang dipilih dari ruh orang mati yang sudah melepas dendam, ruh-ruh budak adalah kebalikannya.
Jeonghan menghela napas. "Kau mengenalku?"
Foniash, justru di luar dugaan, hanya mengangguk tenang. "Mozzakh, salah satu pekerja dewa. Dewa berkata pada saya bahwa dia mengirimkan seorang 'teman' untuk menemani Eleft."
"Mengawasi," kata Jeonghan mengoreksi. Ia kemudian menatap Foniash lebih lama, matanya menyipit tampak seolah tengah menyelidik. "Apa kau benar-benar Choi Jungwoo?"
Nara memutar bola mata.
Foniash menunjukkan beberapa foto masa kecilnya yang ia miliki sebagai kenang-kenangan terakhirnya. Tanpa ada nada kesombongan di dalam, ruh itu berkata, "Saya sahabat Wonwoo yang paling dekat, mungkin itu kenapa dewa mengutus saya untuk misi ini."
"Kenapa kau baru mengatakannya sekarang?"
Soal itu, Foniash menjeda sejenak. "Karena saya tidak punya pilihan."
Jeonghan melirik Nara sejenak, keningnya berkerut bingung. "Apa maksudmu tidak punya pilihan?"
"Dulu saya tidak ingin memberontak. Saya kira saya benar-benar tidak punya pilihan. Tetapi Nara,"ーia menatap iris si gadis, tersenyum tipis―"berkata bahwa selama Wonwoo belum meninggal, masih ada harapan untuk menyelamatkannya. Masih ada harapan untuk tidak melemparnya menjadi budak dewa."
Jeonghan tertawa tak habis pikir. "Kau sudah menjadi budak, kau tahu? Kehendak dewa itu mutlak. Tidak bisa diganggu gugat. Ia tahu siapa yang harus dipilih mati, siapa yang tidak."
Foniash menyahut, "Lalu, kenapa dewa menarik anda menjadi pekerja sementara saya menjadi budak?"
"Karena kau berdosa," jawab Jeonghan.
"Bukankah semua manusia pernah melakukan kesalahan?"
Jeonghan mengerang. "Kalimat itu tidak berguna bagi pembunuh berantai, atau pemerkosa, atau bajingan sialan. Kalau setiap manusia diampuni karena kata-kata itu, aku yakin bumi tidak akan pernah bahagia. Manusia tidak akan pernah merasa aman. Itulah yang ingin Hades selesaikan, untuk membuat bumi menjadi tempat yang lebih aman bagi kita semua."
Foniash, tidak seperti Jeonghan yang mulai tersulut, hanya menyahut kalem, "Kalau begitu, target dewa hanyalah orang-orang bejat. Lalu, kenapa Wonwoo harus mati dengan cara yang sama? Ia tidak pernah membunuh orang."
Nara terenyuh. Melihat sosok Foniash yang dewasa membuat senyum gadis itu terbit sedikit. Barangkali menjadi budak dan mondar-mandir dari alam bawa tanah ke bumi sebagai ruh tak kasat mata membuat Jungwoo belajar banyak tentang kehidupan. Cara berpikirnya luas, cara penyampaiannya tampak lembut dan kalem. Mendadak Nara bertanya-tanya, apa ini yang membuat Wonwoo selalu tenang setiap hari?
"Kalau kita melaksanakan misi ini dengan cara yang salah, bukankah berarti kita yang pembunuh sekarang?"
"Jaga mulutmu, Foniash." Jeonghan mengeraskan rahang.
"Ia benar, Mozzakh." Nara memutar tubuh menghadap Jeonghan. "Kau ingat hari dimana kau mati? Kau seorang pemuda berusia 30-an yang meninggal karena sakit kanker. Dewa berkata, kanker itu disebabkan oleh kepahitanmu bertahun-tahun. Kepahitan oleh peristiwa pembunuhan ibumu. Ibumu yang lugu, yang baik, yang selalu menyanyi nina-bobo sebelum kau lelap, tiba-tiba ditusuk sadis oleh seorang perampok."
Rahang Jeonghan bergetar, "Nara, cukup."
Namun si gadis malah mengeraskan suaranya saat meneruskan, "Dewa berkata hari itu, 'Kau punya dendam, tetapi tanpa cara yang benar, dendammu dapat terlampias pada hal-hal yang salah.' Lalu ia mengangkatmu menjadi pekerja, supaya kau bisa membantu agar tidak ada orang-orang muda yang berakhir sepertimu."
Jeonghan menggeleng, tapi air mata mulai mengaliri pipinya. Seluruh bayangan kelam, darah, gambaran bagaimana ibunya terbaring lemah dengan tusukan dimana-mana, dengan perut lobang dan isi yang berceceran, dengan senyuman lemah saat berkata, 'Ibu sayang padamu.'
Tidak.
"Kau tahu ini salah, Mozzakh," kata Nara, "Kau tahu ini tidak benar. Ini di luar dari misi Hades sebenarnya."
"Cukup."
"Dewa bisa saja―"
"KUBILANG CUKUP!"
Teriakan yang sama, yang dulu memberhentikan perkelahian Seokmin dan Jihoon, kini menembus telinga Nara. Jeonghan berdiri, tubuhnya gemetar, ia menatap Nara dan Foniash dengan iris berkilat marah. "Kalian akan mendapat hukuman dewa, kalian dengar? KALIAN AKAN MASUK NERAKA ATAS PERBUATAN KALIAN!"
Saat itu Foniash yang menjadi penutup konversasi dengan berkata, "Asal ia tidak menjadi budak. Asal dewa tidak menggunakan kekuasaannya semena-mena."
Jeonghan meludah, menggeleng murka dan langsung berlari keluar.
Nara hanya bisa menatap kepergian temannya pasrah. Ia melirik Foniash, tersenyum tipis. "Maaf aku tidak memberitahumu. Semua terjadi begitu cepat."
Foniash mengangguk. Kalau dipikir-pikir, baru kali ini ruh itu menggunakan bahasa tubuh. "Saya harus kembali sebelum gelap."
Lilin pun dimatikan. Kamar Nara berubah berantakan. Jeonghan pergi, Foniash kembali. Maka satu-satunya hal yang akhirnya bisa Nara lakukan ialah pergi mengunjungi Wonwoo. Ia mengambil kardigannya dan langsung pergi. Sayangnya ponsel pemuda itu mati. Apartemennya kosong. Bagian rooftop apartemennya diisi oleh sepasang pasangan muda mabuk yang sedang berciuman. Melihat itu Nara merasa geli sekaligus malu. Sebab itu yang ia dan Wonwoo sering lakukan saat bertemu di tempat umum. Mendadak ia membayangkan reaksi manusia lain saat melihat mereka, apakah akan sama-sama geli seperti yang ia rasakan
Hari sudah gelap saat Nara melangkah menyusuri stasiun bis tua, tempat pertemuan pertamanya dengan Wonwoo. Ia tengah berdebat dengan diri sendiri, antara harus menghubungi Seokmin untuk menanyakan keberadaan Wonwoo atau tidak. Namun perasaan bersalah membuahkan kekhawatiran dalam hatinya, Bagaimana bila Wonwoo melakukan hal-hal buruk? Mulai timbul berbagai macam pikiran seperti, Wonwoo tidak mungkin melapor pada Chani, bukan? Tidak mungkin, Wonwoo bukannya tipe pelapor seperti itu. Tapi kemudian, ia melihat Wonwoo berdiri di ujung jalan, tangan kanannya mengapit seputung rokok, tangan kirinya menggenggam sekaleng soju.
Nara melangkah mendekat.
Saat Wonwoo melihatnya, pemuda itu tidak marah. Tidak ada tanda-tanda agresif dalam tatapannya. Ekspresinya malah tampak hampa, senyumnya yang terulas tak sampai menyentuh mata. "Sudah puas berciumannya?"
Hatinya pedih.
Wonwoo beralih menatap hamparan langit malam musim panas yang biru gelap. "Kau tahu aku tidak akan bisa memilih, antara kau atau Chani."
Nara bungkam.
Wonwoo tertawa sinis. "Apa menurutmu aku kurang baik dalam berciuman, sampai kau harus nelakukannya dengan senior sialan itu?"
Tanpa menunggu kalimat lain, Nara berjalan maju, menarik tubuh ringkih itu dalam pelukannya. Air matanya jatuh. Ia tidak pernah menangisi target sebelumnya. Secara fakta, ia tidak pernah merasa bersalah oleh targetnya. Hanya satu, hanya Wonwoo.
"Maaf," lirihnya, "maafkan aku, maafkan aku."
Wonwoo tidak membalas pelukan itu.
Namun ia pun tak kuasa untuk melawan. Hanya diam layaknya seekor anak rubah yang baru terjerat jebakan. Karena jauh di dalam, Jeon Wonwoo tahu, ia tidak akan bisa membenci Nara, tak peduli betapa dalam luka dan amarah oleh sebab gadis itu. []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top