30; A Short Visit

KETAKUTAN Kim Nara benar-benar terjadi.

Berhari-hari setelah peristiwa itu, Yoon Jeonghan menghilang layaknya ditelan angin. Tak sekali dua kali Chani berusaha untuk menghubungi pemuda yang digadang sebagai 'kekasih'-nya itu, tapi pesan-pesannya tak pernah dibaca, panggilannya selalu berujung pada kotak suara, dan yang lebih janggal, Jeonghan tak ditemui di seluruh area kampus. Saat mereka mengunjungi apartemennya (sebab Chani mendesak dan Seokmin terlalu lembek untuk melihat sahabat perempuannya menangis), tetap tak kunjung mendapat titik terang.

Kepergian yang terlalu mendadak dan mencurigakan.

Jihoon, seperti biasa, tidak terlalu ambil pusing dengan kabar ini. "Mungkin sejak awal ia tidak benar-benar serius denganmu," katanya, yang membuat air mata Chani tak henti berderai. Seokmin, untuk kesekian kali, ikut panik melihat Chani menangis. "Kau mau tteokbokki? Ayo kita makan Baskin Robbins! Atau, atau, kau mau kubelikan gula-gula kapas di alun-alun? Oh, ayolah! Masih ada banyak lelaki di dunia ini!"

Tangis Chani semakin keras, dan Wonwoo hanya memutar bola mata menatap Jihoon dan Seokmin bergantian. "Kalian sama sekali tidak membantu, Sialan."

Setelah satu jam, Chani mulai tenang. Dengan mata sembab dan wajah sayu, gadis itu berpamitan pulang. Terlampau khawatir, Seokmin memaksa untuk mengantarkannya sampai rumah. Tak lama, Jihoon menyusul pamit.

Kini tersisa Wonwoo dan Nara, duduk di salah satu bangku besi pada taman kompleks apartemen Jeonghan.

"Menurutmu, ia benar-benar pergi?"

Nara tidak menjawab. Lebih tepatnya, tidak tahu harus menjawab apa. Ia sendiri masih belum bisa menerima fakta bahwa Yoon Jeonghan―Mozzakh―akan bertindak segegabah itu. Misi ini belum selesai, masih tersisa beberapa minggu sebelum tanggal kematian Wonwoo. Pulang ke alam bawah dengan keadaan kacau hanya menambah masalah―walau, well, gadis itu ragu Hades akan mengijinkan Mozzakh pulang, namun bukan berarti tidak mungkin. Bisa jadi Mozzakh memanggil budaknya, melaporkan segala pikiran dan sikap pemberontakan Eleft di bumi pada dewa. Lalu Hades marah, mengangkat Mozzakh untuk pulang dan meninggalkan Eleft sendirian untuk mengalami kematian kedua.

Nara tersenyum miris. Barangkali Foniash pun melakukan hal serupa, sebab sejak laporan kematian, budak itu tak kunjung memberi kabar.

Wonwoo kemudian mengajaknya pindah ke ayunan besi tua di tengah taman. Tadi area ini penuh dengan anak-anak, tetapi menjelang malam, satu per satu pengunjung perlahan meninggalkan area bermain. Nara tersenyum geli saat melihat Wonwoo memundurkan ayunannya begitu jauh sebelum melepaskan kakinya, membuatnya terayun begitu keras, seketika mengundang angin malam menampar wajah dan rambutnya. Pemuda itu tertawa.

"Kau tahu, tidak baik bersenang-senang di atas penderitan orang," kata Nara, mengganjal kakinya ke bawah untuk menghentikan ayunannya.

Satu alis Wonwoo terangkat. "Siapa yang bersenang-senang? Aku tidak mengajakmu ke sini tanpa alasan."

Kening si gadis mengernyit. Tiga detik mencerna maksud perkataan lawan bicara, ia lantas tersadar dan mengerjap. "Maksudmu, kita akan menunggu kepulangan Jeonghan di sini?"

"Well, kurang lebih begitu."

"Tidak, ia tidak mungkin pulang," kata Nara.

Wonwoo mulai menghentikan ayunannya, kini menatap si gadis penuh kuriositas. "Kenapa tidak?"

Nara menjatuhkan tatapannya pada daun-daun kering di atas tanah. Ia tergoda untuk menjawab, "Karena mungkin Hades sudah mengangkatnya ke alam bawah." Alih-alih, si gadis hanya menggeleng pelan, memaksa seulas senyum dan berkata, "Kau pikir orang yang kabur berhari-hari akan kembali begitu saja? Bisa jadi ... bisa jadi Jihoon benar." Hatinya tersayat tanpa alasan kala melanjutkan, "Bisa jadi ia tidak benar-benar serius pada Chani."

Sejenak Wonwoo tidak menjawab. Nara pun tidak bisa melihat ekspresi pemuda itu―irisnya masih terpaku pada tanah, terlampau malu dan merasa bersalah kalau harus bertatapan langsung dengan lawan bicara. Entah mengapa mengucapkan kalimat itu terasa sebagai pengkhianatan. Padahal selama ini, Chani yang selalu menemaninya saat ada masalah dengan Wonwoo, Chani yang selalu mengapit tangannya di kampus, Chani yang dengan aksesori dan tawa tulusnya itu berhasil membuat Nara merasa tidak sendiri.

Mungkin Foniash benar, ia telah berbelok terlalu jauh dari misi awal.

Nara kemudian merasa sentuhan halus menyentuh puncak kepala. "Kalau begitu, aku akan tetap menunggu untuk meninju Jeonghan," sahutnya setengah jenaka, "Tidak ada seorang pun lelaki yang bisa mempermainkan perasaan Chani."

Nara mengulum senyum. "Kau benar-benar peduli dengan Chani."

Wonwoo mengedikkan bahu. "Ia sudah kuanggap seperti adik kandung."

Mereka kemudian pindah ke supermarket 24 jam yang letaknya berhadap-hadapan dengan apartemen Jeonghan, menunggu sampai pukul sebelas malam. Sesuai prediksi Nara, tidak ada tanda-tanda kepulangan Jeonghan. Wonwoo berkeras untuk mengantar Nara pulang, tetapi untuk satu alasan, Nara berhasil meyakinkan pemuda itu untuk pulang sendirian.

Namun tentu saja, ia tidak benar-benar pulang. Setelah memastikan bis yang ditumpangi Wonwoo melaju jauh, sebelum kembali melangkah ke apartemen Jeonghan, menaiki tangga sampai lantai empat, berhenti di kamar nomor dua puluh dua. Entah mengapa, firasatnya berkata bahwa Jeonghan tidak benar-benar pergi ke alam bawah. Ia mengingatkan diri sendiri, bahwa dirinyalah tangan kanan dewa, Hades menyayangi Eleft, bukan Mozzakh.

Dan bila Eleft masih tertahan di dunia manusia sebab misinya, maka begitu juga yang akan terjadi pada Mozzakh.

Diam-diam, gadis itu mencoba untuk membuka kunci apartemen Jeonghan. Kamar ini bukan kamar mewah yang menggunakan sidik jari atau sensor wajah, hanya empat nomor password pintu. Mozzakh orang yang impulsif, keras kepala, dan kadang gegabah. Puluhan tahun menjalani misi bersama, Nara yakin ia mengenal Mozzakh dengan dekat. Mozzakh juga orang yang sederhana, tidak suka merumitkan diri sendiri. Bila ada hal-hal yang melibatkan hafalan angka seperti password apartemen, maka hanya ada satu pola.

Nara mencoba menekan empat angka yang pertama kali terlintas dalam kepalanya. Setengah berdebar, ia menggigit bibir. Namun detik kemudian, bunyi bip bersamaan dengan setitik cahaya hijau muncul pada pintu. Helaan napasnya melongos lega. Tanpa menunggu lama, ia langsung masuk ke dalam.

Kamar Jeonghan masih sama seperti yang ia ingat; dinding bewarna apricot mulus dengan dekorasi seadanya. Ada vas bunga di atas rak buku, di tengannya terletak sekuntum bunga krisan kuning pembelian Chani. Nara tertegun. Saat ia melangkah lebih dalam, gadis itu sadar lampu di kamar ini padam semua, hanya televisi di ruang tamu masih menyala tanpa volume. Melihat sosok yang tengah duduk di tengah karpet, gadis itu mulai mengepal tangan.

Dugaannya terbukti benar.

"Kukira dewa benar-benar telah membawamu pergi." Keheningan yang bersarang perlahan bubar. Dari pantulan kaca televisi, gadis itu dapat melihat lebih jelas wajah Yoon Jeonghan: kantung mata tebal, surai kusut dan berminyak, pandangan hampa. Ia tidak pernah melihat seniornya dalam rupa itu. Yoon Jeonghan selalu dikenal sebagai pemuda paling sigap: rupanya menawan, rapi, dan elegan. Surainya yang menyentuh leher itu selalu tertata rapi, kini malah tampak layaknya tak pernah disisir berhari-hari. Dan yang membuat kian geram, di tangan Jeonghan kini melekat sebuah minuman keras.

Nara langsung menyabet minuman itu. "Ini yang kau lakukan untuk membantuku? Menghilang ditelan angin dan minum sampai pagi?"

Jeonghan bahkan tak repot-repot melirik lawan bicara. Tawanya ditarik, hela napas berbau alkohol begitu menyengat indra penciuman. "Dari mana kau tahu aku di sini?"

"Kau kira aku mengenalmu berapa lama, Mozzakh?" Nara melihat kondisi temannya dengan prihatin, beralih pada tumpukan cup mi instan kosong di atas meja. "Berdirilah, nyalakan lampunya. Akan kubuatkan makan malam."

Jeonghan tetap tidak beranjak. "Ada yang tahu kau menemukanku di sini?"

Si gadis balas bertanya sarkas, "Apa kau melihat orang lain di sini?" Ketika ia menyusuri area dapur, betapa terkejutnya Nara melihat kekacauan di sana: belasan telur yang pecah dimana-mana, bau amis bercampur busuk bercampur menyengat hidungnya, botol soju yang pecah menjadi dua bagian dibiarkan begitu saja dengan serpihan belingnya. Ini bahkan lebih buruk dibanding konsisi apartemen Wonwoo dulu. Visual dan baunya seketika berhasil mengirim gelegak mual dalam lambung.

Kedua tangan mengepal, dua alis tertaut tajam, Nara kembali ke pemilik rumah dan bertanya menuntut penjelasan, "Apa yang terjadi?"

Jeonghan yang baru bangun dan melipat selimut mengernyit. Butuh waktu beberapa detik untuk ia menyerap maksud pertanyaan lawan bicara. "Oh, itu. Lupakan saja, nanti aku bereskan. Kau mau memesan sesuatu mungkin? Katanya ada restoran Jepang yang buka 24 jam di sini."

"Aku tidak bercanda," ketus Nara, mulai kesal. "Aku tidak percaya tetanggamu percaya kau pergi berhari-hari sementara yang kaulakukan adalah mengacak-acak dapur begitu. Demi dewa, Mozzakh. Apa yang kau lakukan?"

Gerakan Jeonghan terhenti. Untuk pertama kalinya dalam malam ini, Jeonghan menatap Nara lurus-lurus. "Kau ingin tahu apa yang aku lakukan? Kau ingin tahu apa yang aku lakukan untuk melindungi teman idiot-ku dari laporan dewa?" Ia tertawa pedih. "Seharusnya aku yang bertanya: demi dewa, apa yang kau lakukan, Eleft?!"

Atmosfer ruangan seketika berubah gerah.

"Hades mengutusku untuk meyakinkanmu bahwa misi ini telah selesai. Tapi apa yang kau lakukan? Kau terus meragukan misi ini, terus bertanya pada budakmu tanpa peduli seorang pun dari kami. Kau tahu siapa yang egois di sini sekarang? Kau, Eleft! Kau! Di antara kami, kau hanya memikirkan Wonwoo. Kau hanya memikirkan misimu. Untuk apa? Untuk menonjolkan diri bahwa kau pekerja paling kompeten?" Jeonghan tertawa sarkas, menyugar surainya kasar. "Kau tidak pernah berpikir bahwa keselamatanku dan budakmu pun tergantung pada misi sialan ini."

Keselamatan, nyawa, jiwa.

Semua itu seketika mengiris hati si gadis.

"Tapi, kenapa?" Suaranya terdengar bak cicitan hewan pengerat yang dicekik kuat-kuat. Tidak, ini semua salah. Sejak awal, Hades hanya mengutus dirinya untuk mengurus masalah Wonwoo; hanya Eleft saja. Eleft dan budak yang dipilih dewa, Foniash. "Kenapa Hades melimpahkan tanggung jawab ini padamu?"

"Karena kita pekerja, Eleft. Tugas kita adalah tunduk pada titah dewa." Iris Jeonghan berkaca-kaca. "Kau masih tak paham?"

Nara menggeleng, berusaha sebisa mungkin menelan seluruh getir dalam tenggorokan. Kesunyian merebak. Ia tidak pernah memikirkan ini sebelumnya, bahwa misi ini merangkul banyak pihak. Maka bila ia gagal―bila Eleft gagal―tiga jiwa menjadi taruhan.

"Aku janji aku tidak akan pernah melibatkanmu dalam laporan. Aku juga ... tidak menyebut namamu semalam," kata lirih, sejenak mengundang tatapan tanya Jeonghan. Seolah paham maksud lawan bicara, gadis itu melanjutkan, "Foniash akhirnya datang. Sama sepertimu, ia kira misi ini telah selesai."

Hening merebak. Suara Jeonghan selanjutnya terdengar lebih rendah saat berkata, "Maaf telah membentakmu semalam."

"Ketika aku mendengar teman idiotku mempertanyakan perintah dewa, aku yakin akan membentaknya juga. Sama sekali bukan masalah."

Untuk candaan itu, Jeonghan berhasil menerbitkan seulas senyum kecil. Namun kemudian ia mendesah, mematikan televisi dan memusatkan perhatian penuh pada lawan bicara. "Tapi serius, kau benar-benar harus melupakan pikiran itu."

"Tidak, aku tidak bisa."

"Eleft, dengar―"

"Kau tidak bisa mendebatku saat yang ingin aku ketahui hanyalah kebenaran di balik kasus ini. Aku ingin tahu alasan dewa menargetkan kematian Wonwoo bila ia bukan penjahatnya."

"Apa itu penting sekarang?" tanya Jeonghan, "Apa mengetahui alasan perintah dewa penting untuk keselamatanmu sendiri?"

Nara memandang lawan bicara tak percaya. "Aku tidak mau Wonwoo mati tanpa alasan. Ada banyak kemungkinan Wonwoo bisa dibuktikan tidak bersalah, bisa jadi Hades salah menargetkan orang."

"Tidak ada gunanya," tukas Jeonghan. "Kau tidak bisa menarik lagi rencana kematianmu itu, tanpa mempertaruhkan tiga nyawa. Pikirkan baik-baik, Eleft, siapa yang benar-benar layak diselamatkan."

Konversasi malam itu berakhir dengan buruk. Seluruh kalimat Jeonghan tidak berisi dan terdengar kekanak-kanakan, tapi berhasil menancap hingga akar benak. Nara tidak ingat pukul berapa ia memutuskan untuk pulang, tapi langit masih gelap dan keceriaan Seoul perlahan memudar. Di jalan-jalan besar, lampu-lampu jalan bersinar, beberapa pejalan kaki masih tampak, dan jalanan masih cukup padat oleh kendaraan. Ketika sampai di apartemennya, Nara segera membasuh wajah, menghabiskan lima belas manis untuk mandi dan mencuci rambutnya. Setelah semua selesai, gadis itu duduk di ruang tamu dan melirik jam.

Pukul tiga pagi.

Ia kemudian mengeluarkan semangkuk darah segar dari dalam kulkas, bau amisnya menguar. Tapi gadis itu tak peduli. Diambilnya lilin, disusun melingkar. Mantra diucap, Foniash mulai muncul.

"Ada kabar baru, Foniash?" Nara membuka suara, tawanya terdengar bagai mencekik kala ia mencoba bergurau, "Kapan dewa akan mengirimku pada kematian kedua?"

Foniash tetap menjawab tenang, "Dewa tidak akan menghukum anda, nona."

Kini, kening Nara yang gentian mengernyit. "Apa maksudmu?"

"Saya tidak pernah mengirim pertanyaan-pertanyaan nona pada dewa."

Seulas jawaban tersebut lantas menyulut emosi si gadis. Ia sudah berdiri, mulutnya sudah penuh oleh makian dan bentakan, tetapi lagi-lagi di hadapannya, Foniash mampu mengirim kejutan baru dengan berkata tenang, "Saya tidak ingin nona mati di tangan dewa."

Emosi Nara perlahan-lahan meredup. Ia kembali duduk, menatap lawan bicara curiga.

"Kalau dewa murka, bisa jadi ia menahan Nona. Sebab kematian Wonwoo sebentar lagi."

"Apa maksudmu?"

"Wonwoo tidak akan mati dan menjadi budak seperti sahabatnya. Saya tidak akan membiarkan hal itu terjadi."

Foniash menatap Nara lekat, menyerahkan sebuah foto dan itu langsung membuat napasnya tercekat.

Sahabat?

Jantungnya seolah baru jatuh ke dasar lambung. "Song Jungwoo?"

Matanya membulat.

"Apa kau benar-benar Song Jungwoo?"

Sementara di seberang, senyuman Foniash menggantung lebih lebar, pucat tubuhnya tak bisa menyembunyikan kelegaan pada tatapan mata. Suaranya kemudian sukses mengirim hantaman palu di kepala Nara saat berkata, "Senang bertemu denganmu, Kim Nara." []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top