29; A Risk For A Soul
"SIAPA kau sebenarnya?" Pertanyaan itu tersembur keluar dari mulutnya tanpa dapat dicegah. Irisnya menyipit waspada, giginya gemeretak menahan entah murka atau bingung di sana, jemarinya lantas membentuk kepalan defensif di samping badan. Bahkan pada kalimat selanjutnya, Nara nyaris mendengar suaranya bagai desisan tajam saat melanjutkan, "Jawab aku, Yoon Jeonghan. Kau tidak datang hanya untuk menjadi kekasih Chani, bukan?"
Di sisi berbeda, Jeonghan tampak begitu tenang, seolah ia telah menduga reaksi Nara barusan, seolah ia telah mempersiapkan diri untuk menghadapi kemurkaan lawan bicara sejak jauh-jauh hari. "Memang tidak," sahutnya, dengan mantap membalas pelototan lawan bicara. Kembali mendengkus pelan, pemuda itu melanjutkan, "Aku datang untuk memastikan pekerjaan teman-ku tidak mengalami hambatan. Supaya ia tidak mengalami kegagalan, seperti misi sahabat target dulu."
Misi sahabat target?
Seketika pikiran Nara buntu seolah baru dihantam gada. "Mozzakh?" pekiknya, tak percaya. "Kau benar-benar Mozzakh?"
Jeonghan melambai. "Sudah lama sekali ya, Eleft."
Sederet senyum dan jawaban tersebut seketika menjadi jawaban dari seluruh kegusaran Nara; inilah alasan mengapa Yoon Jeonghan merangsek masuk dan hadir begitu tiba-tiba dalam lingkaran internal Wonwoo, inilah alasan mengapa senior yang dikenal baik dan ramah itu juga diam-diam menyimpan kebencian dan skeptis yang tinggi pada Wonwoo, inilah pula alasan mengapa Jeonghan pernah berkata, "Pemuda seperti Wonwoo tidak layak untuk hidup."
"Tapi, kenapa ..." Nara menemukan dirinya berdiri gamang. Gadis itu segera mendudukkan diri di samping si pemuda, irisnya memelotot menuntut penjelasan. "Katakan, siapa yang menjadi targetmu sekarang?"
Jeonghan mengedikkan bahu. "Tidak ada."
"Tidak ada?" Nara mengernyit. Ini aneh sekali. Biasanya Hades tidak pernah mengutus dua pekerja di satu kota sekaligus, terlebih untuk menangani misi yang sama. Dewa itu memilih untuk merencanakan dengan hati-hati, detil, dan teliti. Kedatangan dua pekerja bermanifestasi sebagai manusia yang nantinya akan 'menghilang' setelah misi berakhir dapat membangkitkan kecurigaan manusia bumi. Namun, sekarang? Seluruh teori itu mendadak kabur dalam benak Nara. Setahunya, sejak kedatangannya ke Seoul bertemu Wonwoo, perkenalannya akan Hades berangsur-angsur sirna. Kalau bukan sebab sebuah misi, maka hanya satu alasan Mozzakh diutus ke bumi. "Apa dewa memintamu mengawasiku?"
Mendengar itu Jeonghan langsung menggeleng cepat. "Wo, wo, tahan dulu dugaanmu, Nona. Kau tahu sendiri siapa yang menjabat sebagai 'tangan kanan dewa' sekarang."
"Lalu, apa alasanmu kemari?"
"Karena titel itu, Eleft." Jeonghan menjeda, sejenak menggaruk tengkuk seolah sedang memilih kata yang tepat. "Kau tahu sendiri bahwa sebagai 'tangan kanan dewa', kau tidak seharusnya menunda misi hingga berbulan-bulan begini."
Nara memandang nanar. "Dewa meragukan kinerjaku."
"Well, aku tidak akan menyebutnya begitu." Jeonghan mengangkat kakinya di atas sofa. "Aku lebih menyebutnya sebagai tindakan pencegahan. Kau terlihat ... bingung."
Nara tertawa sinis. Entah mengapa tidak merasa tersinggung dengan kalimat Mozzakh barusan. "Semua kebenaran di sini abu-abu, Mozzakh. Seluruh data yang disajikan dewa tidak sesuai dengan apa yang aku lihat dari hidup Wonwoo."
"Dan kau percaya pada manusia itu?" Jeonghan membelalak. "Pada pemuda yang bahkan memiliki fantasi seksual padamu sejak pertemuan pertama? Serius?"
Tawa sarkas Jeonghan terdengar bagai dengung lebah menyakitkan di telinga Nara. Kalimat itu sama dengan kalimat yang Foniash katakan, hanya ketegasan dan nada meremehkan yang begitu kental dalam suara Jeonghan membuat pernyataan tersebut terdengar lebih jelas, lebih blak-blakan, dan lebih menyebalkan.
"Jangan tertipu dengan tampangnya, Eleft. Kau tahu sendiri kriminal-kriminal itu pandai memanipulasi."
Nara memandang lawan bicara dengan tatapan tak percaya. "Kau kira aku serendah itu? Mudah terperdaya hanya sebab penampilan?"
Tak mau disalahkan, Jeonghan menyanggah, "Kau tahu sendiri kita pun dalam wujud manusia sekarang. Kalau aku bisa jatuh cinta pada Chani hanya karena kecantikan, maka kau pun bisa percaya pada Wonwoo sebab ketampanan."
"Aku tidak percaya kau memandangku serendah itu." Nara sejenak tertawa sarkas. Namun ia sadar, berlama-lama dengan Jeonghan (atau Mozzakh) tidak akan membawa kemajuan apapun dalam misinya. Tidak peduli anggapan pemuda itu tentangnya, Nara sudah terlalu lelah untuk menanggapi hal tersebut. Jadi menghela napas, berusaha untuk mengontrol perasaannya yang kacau sekarang, gadis itu kemudian bertanya, "Apa Hades menitipkan informasi baru padamu? Kesalahan laporan, mungkin?"
"Tidak." Jeonghan mengernyit. "Ada apa denganmu dan Si Pembunuh itu?"
"Jangan panggil dia pembunuh," sergah Nara, menelan saliva. "Kau belum dengar kabarnya? Seungcheol membunuh dirinya sendiri. Wonwoo tidak pernah menusukkan pisau di lambung sepupunya itu."
Jeonghan menggeleng tak acuh. "Itu tidak mengubah fakta bahwa ia telah membunuh ibunya dulu."
"Dari mana kau tahu itu?" Tautan di alis Nara seketika menghilang, detik berikutnya gadis itu seolah sadar bahwa seluruh hantaman fakta sekarang mengarah pada kebenaran. "Kau membaca data target."
Tetapi Jeonghan sama sekali tidak tampak bersalah saat membalas, "Aku harus mempersiapkan itu sebelum datang dan membantu misimu."
Kedua jemari Nara terkepal kuat. "Aku tidak butuh bantuan."
Jeonghan mendesah. "Kenyataannya kau butuh, Eleft."
"Tidak!" Tanpa sadar nada suara Nara naik beberapa oktaf. Gadis itu menjeda sejenak, berusaha untuk meredam emosi. Berteriak di depan Mozzakh tidak akan mengubah apa-apa. Pemuda itu tidak punya data terbaru tentang Wonwoo. Hanya Foniash yang bisa, hanya Foniash yang Nara butuhkan sekarang. "Dengar, aku sedang tak ingin berdebat. Kalau kau datang hanya untuk memberiku nasihat, silakan pergi dari sini."
"Dan meninggalkanmu dengan keadaan sekalut ini?" Jeonghan membalas sinis, malah menatap nyalang menantang. "Tidak, aku akan tetap tinggal."
"Aku harus menemui Foniash," kata Nara lelah, "ada banyak kesalahan dalam misi ini, Mozzakh. Ada banyak celah dan perbedaan antara kenyataan yang kulihat dengan yang tertulis di data Hades."
"Lalu siapa peduli?" kata Jeonghan, balas menaikkan nada suara. "Ia tetap seorang kriminal, Eleft. Hades tetap menargetkannya sebagai target, dan kau telah merancangkan kematiannya. Untuk apa menyusahkan diri mencari-cari celah yang jelas tidak ada gunanya?"
Nara mendengkus setengah tawa, memijat pelipisnya sejenak. Dari dulu ia dan Mozzakh adalah pasangan kerja yang kompak. Mereka tidak pernah benar-benar berteman, sebab orang mati tidak lagi bisa berteman. Mereka pun, sebagai pekerja dewa, memiliki misi dan keinginan yang sama untuk mematuhi perintah Hades: untuk menghapuskan bumi dari kriminal-kriminal jahat. "Aku tidak peduli dengan manusia-manusia itu. Asal terus menuruti perintah dewa dan kembali dengan selamat, aku sudah lega. Aku harap kau pun merasakan hal serupa." Itu kalimat Mozzakh yang selalu Nara ingat. Namun kini, bertemu pemuda itu di bumi berbalutkan fisik manusia lain dengan surai cokelat panjang dan senyum manis juga tampak licik, Nara mendadak merasa skeptis.
"Kau tidak pernah serius memikirkan ini, bukan?" Gadis itu tertawa sinis. Mengabaikan tatapan tersinggung lawan bicara, ia melanjutkan, "Kau selalu memikirkan dirimu sendiri, Mozzakh. Tentang keselamatanmu, tentang hidupmu sendiri. Kau tidak mengerti situasinya sekarang, bahwa Jeon Wonwoo―target yang kau tuding-tuding sebagai kriminal itu―tidak pernah, sekalipun tidak pernah dalam hidup, membunuh seseorang."
"Jaga bicaramu, Nona."
Namun persetan, masih dipenuhi emosi Nara melanjutkan, "Kau hanya peduli dengan kembali ke dunia dewa tanpa harus mengalami kematian kedua! Kau hanya ingin keselamatan untuk dirimu sendiri! Apa pernah kau memikirkan keselamatan Wonwoo? Bagaimana bila―"
"Cukup, Eleft."
"Bagaimana bila Hades salah? Bahwa Wonwoo tidak bersalah?"
PLAK
Semua terjadi begitu cepat. Dalam satu kedipan mata, Nara dapat merasakan keterkejutan menyengat tubuhnya hebat. Seketika ia kembali merasa sepergi manusia, seperti orang-orang lemah yang langsung menangis. Entah rasa lelah atau terkejut yang mengirim air mata menetesi pipi. Jeonghan memelotot murka, dadanya naik-turun menahan rasa marah setelah ia menggebrak meja begitu keras. "Kubilang cukup, Eleft. Kau sudah keterlaluan. Kau sudah meragukan titah dewa."
Nara hanya dapat bungkam, memegangi pipi sekaligus menggigit bibirnya sendiri.
Ini bukan Senior Yoon Jeonghan lagi. Inilah Mozzakh sebenarnya.
"Kau tahu kenapa Hades mengutusku kemari? Karena ia tahu betapa sulitnya misi ini. Betapa buruk, manipulatif, dan membahaykannya seorang Jeon Wonwoo. Sekarang kubalikkan pertanyaannya, apa kau pernah memikirkan hal itu?!" Jeonghan berteriak murka, mengibas surainya sejenak. "Tidak. Mungkin kau sudah sadar akan kejahatan Jeon Wonwoo. Kau ingin tahu alasan sebenarnya dewa mengutusku kemari? Ini yang benar: Hades sudah tidak percaya padamu. Kau terlalu lemah, terlalu mudah diombang-ambingkan, terlalu emosional."
Jeonghan meliriknya dengan tatapan jijik. "Aku harap kau benar-benar memikirkan tujuan awal kita kemari." Tanpa berbasa-basi, bahkan tanpa repot-repot melayangkan permintaan maaf, pemuda itu lantas berdiri dan dengan langkah kesal beranjak pergi.
Meninggalkan Nara dengan rasa murka, panas, bingung, merayap menjadi satu. Dan tepat saat debuman pintu terdengar, setetes air mata kembali jatuh menuruni wajah.
***
Mozzakh. Nama tersebut terus terngiang dalam benaknya tanpa jeda, terus memberi keraguan sekaligus rasa pening yang luar biasa menguasai benak meski sudah berapa kali ia sangkal. Selama enam puluh menit yang terasa bagai berjam-jam, Nara duduk di sofa, mengamati gamang sepiring darah dan dua belas lilin yang sudah disusun melingkar. Sedari tadi ada banyak pertanyaan mengusik kepalanya, seperti: apa yang dilakukan Mozzakh di sini?
Hades jarang sekali membawa dua pekerja untuk mengurus satu misi―secara fakta malah, dewa enggan membawa dua pekerja ke satu kota yang sama. Kalaupun ada, itu pasti bukan dalam misinya, itu pasti bukan dalam misi Eleft―sebab ia adalah 'Tangan Kanan Dewa'. Sekarang, segala hal yang mencakup Seoul dan Jeon Wonwoo adalah jangkauannya. Ini misi-nya, misi Eleft.
Kalimat Mozzakh kemudian terputar, "Hades sudah tidak percaya padamu. Kau terlalu lemah, terlalu mudah diombang-ambingkan, terlalu emosional.
Hades sudah tak lagi percaya padanya. Dan entah mengapa, memikirkan itu membuat Nara merasa tak nyaman.
Mengenai omelan dan kemurkaan Mozzakh, Nara tidak ambil pusing. Mozzakh pernah mengalami pengalaman yang lebih buruk; mati tiga kali dengan penyiksaan sebab misinya gagal, kemudian di dunia bawah pun, Eleft sering mencuri dengar teriakan Hades pada Mozzakh, seolah pemuda itu ialah pekerja paling payah di dunia (walau sebenarnya tidak juga). Bila Mozzakh meneriaki, menggebrak meja, bahkan sampai berani memarahninya, maka itu berarti dua hal: antara Mozzakh ingin menyelamatkannya dari pikiran 'pemberontakan' itu, atau kedua, Mozzakh ingin meningkatkan derajatnya di depan dewa. Menjadi penyelamat, menjadi salah satu pekerja kesayangan demi menebus segala kesalahannya dulu.
Sayangnya, Eleft sudah tak peduli.
Nara melirik jam, menggigit bibirnya dalam diam. Pukul tiga sore. Perutnya mulai berbunyi. Ia tidak punya nafsu makan, tetapi rasa lapar tidak bisa membohongi. Jadi gadis itu memaksa diri untuk mengangkat berat tubuh dan bangkit, melangkah ke dapur dan memasak apapun yang tersisa di sana. Satu telur dadar dan sisa sawi yang direbus. Apapun makanannya, yang penting dapat mengganjal perut.
Setelah berusaha menjejeli perut dengan makanan yang dirasa hambar tersebut, Nara kembali duduk di ruang tamu. Sorot cahaya senja tampak melalui jendela kaca. Mengabaikan denting jam yang terasa semakin keras di telinga, Nara berusaha untuk fokus. Duduk di kelilingi dua belas lilin, berkomat-kamit mengucap mantra.
Bayangan pun mulai terbentuk. Nara sempat mengira keputusasaan sekaligus imajinasinya berkelakar terlalu kuat, tapi kala ia menutup mata, mengucap mantra lebih sungguh-sungguh dan kembali mengerjap, bayangan itu tidak pernah hilang.
Wajah pucat Foniash muncul di hadapannya.
"Apa kau tidak tahu sudah berapa lama kuhabiskan untuk memanggilmu?"
Foniash tidak menjawab. Pada situasi biasa Nara akan menemukan sikap ini menyebalkan. Alih-alih, kini gadis itu malah mengernyit penuh tanya. Muncul setelah tiga hari penuh mendiamkan majikannya tidak membuat Foniash tampak lebih baik atau bugar―walau tentu tak dapat diartikan secara harafiah sebab ia telah mati. Namun setelah misinya selesai, tidak wajar bagi sesosok budak untuk tampak lebih sendu. Irisnya menatap semakin hampa, bahkan wajahnya saat datang tampak ogah-ogahan.
Nara bertanya apa yang terjadi, tapi lagi-lagi tak ada jawaban.
Gadis itu menghela napas sabar. "Apa yang terjadi Foniash?" Ia menelan saliva, dengan suara lebih kencang mengulang pertanyaannya, "Apa yang terjadi, Foniash? Kenapa kau tidak pernah datang saat kupanggil sekarang?"
Saat itulah, Foniash baru menatap matanya. "Apa aku harus datang saat misi sudah selesai? Tanggal kematian sudah ditetapkan, nona hanya perlu menggaet target hingga tewas."
Mendengar itu, emosi Nara memuncak. "Misi belum dinyatakan selesai bila target belum mati. Dan selama itu pula, kau tetap menjadi budak-ku. Kau, Foniash, tetap harus datang ketika aku memanggil; tetap harus membantuku mencari kebenaran di balik data target. Apa sesulit itu untuk sekadar datang?"
Sekilas, Nara sempat tidak percaya dengan matanya saat melihat senyum Foniash tertarik sinis. "Itu yang nona lakukan? Mencari kebenaran tatkala tanggal kematian sudah ditentukan?"
Si gadis bahkan masih terlampau terkejut dengan pendengarannya sendiri, kala Foniash sudah melanjutkan, "Kebenaran itu sudah menjadi abu-abu." Jeda yang penuh mencekik, "kalau nona masih percaya pada manusia itu."
"Kau keliru," tegas Nara, berdeham untuk menyamarkan suaranya yang bergetar. Tadi Mozzakh, sekarang Foniash. Seluruh dunia seolah berusaha memeranginya untuk mencari kebenaran di balik kasus Wonwoo. "Hanya karena aku sudah menetapkan tanggal kematian target, itu tidak mengubah fakta bahwa masih ada―banyak sekali, malah―hal yang tidak benar lewat data target. Apa yang tertulis di data dewa tidak selaras dengan yang kulihat. Kita masih bisa mengubahnya, Foniash. Kita masih bisa mencari kebenarannya dan―"
"Dan melihat target mati dalam kesia-siaan?" Foniash hanya menatap Nara gamang. "Sesungguhnya saya penasaran, nona. Sebenarnya apa yang membuat nona mau melakukan ini? Misi sudah selesai, tanggal kematian telah ditetapkan. Dewa tidak akan senang melihat nona masih berusaha mengorek-ngorek kesalahn dalam data."
Nara tersenyum miris, merasa seperti déjà vu setelah meladeni debat serupa dengan Mozzakh. "Bagaimana kalau aku salah? Bagaimana kalau kita salah? Bila kesalahan kita mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang, apa kau mau bertanggung jawab? Apa kau mau dilempar ke neraka sebab sebuah nyawa?"
Entah betulan atau ilusi belaka, sekilas Nara melihat sorot mata Foniash mengeras. "Maaf atas kelancangan saya, Nona. Tapi sepengetahuan saya, hanya dewa yang menguasai neraka."
"Lalu, apa kau mau melihat nyawa orang yang tidak bersalah menjadi budak karena kecerobohanmu?" balas Nara, masih dengan keberanian walau kedua jemarinya mengepal gemetar. Butuh beberapa detik dilewati dalam hening sebelum ia kembali membuka suara, "Setiap data yang kautulis tentang Jeon Wonwoo adalah kesalahan. Ia tidak pernah membunuh ibunya, ia tidak pernah berniat untuk membantu sahabatnya memerkosa Airin. Bahkan pembunuhan yang aku lihat dulu ... semua hanyalah kesalahan. Wonwoo tidak pernah melakukan satupun dari kejahatan itu. Lalu, apa alasannya menjadi target dewa?"
Saat Foniash tidak menjawab, Nara menarik napas, berusaha untuk menekan emosi sekaligus egonya sendiri sebelum memohon, "Tolong, Foniash. Hanya kau yang bisa menyampaikan ini ke dewa sekarang. Tolong tanyakan ini pada dewa."
Ekspresi Foniash tetap datar, tapi nada sinisnya begitu ketara saat menyahut, "Dan merisikokan jiwa saya sendiri?"
"Apa maksudmu?"
"Bila dewa memandang pertanyaan ini sebagai sebuah pemberontakan, apa nona mau bertanggung jawab bila jiwa saya dilempar ke api neraka?"
Nara mengeraskan rahang, merasa semakin berapi-api. "Tanyakan itu atas namaku, atas nama Eleft. Bilang pada dewa, bahwa aku memandang target sebagai orang yang tak bersalah. Aku ingin tahu alasan Hades menargetkan Wonwoo, bila pemuda itu tidak pernah melakukan kejahatan apapun."
Foniash menunduk. "Apa nona yakin?"
Nara menggigit lidahnya sendiri. Ia tahu risiko mempertanyakan titah dewa, tetapi nyawa Wonwoo bergantung pada ini. "Ya," suaranya menyahut serak, "aku yakin."
Foniash tidak lagi menyahut, tidak lagi menentang. Dalam diam, bayangannya memudar. Detik itu, jam berdenting. Menunjukkan pukul tujuh malam. Langit mendadak mendung. Hujan musim panas untuk pertama kali. Saat itu pula, setetes air mata mengalir di pipi. Ketakutan, keraguan, dan segala tanda tanya―semua mati tergantikan oleh rasa hampa yang luar biasa. []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top