26; Uncover The Truth

KEGELISAHAN itu masih ada di sana; bercokol dalam kepala, merayap dengan cepat layaknya tanaman rambat. Kemudian, dalam hitungan detik yang terlampau singkat, seluruh akal sehat telah dirampas seluruhnya, membuat Kim Nara hanya dapat duduk dan tergugu.

Semua ini adalah bagian dari realita.

Gadis itu bahkan masih dapat mengulas lengkap kejadian beberapa jam silam. Ia masih mengingat jelas bagaimana jantungnya berpacu gila-gilaan ketika menjejakkan kaki dalam kantor polisi, bagaimana paru-parunya mendadak seolah terlilit sesak kala melihat Wonwoo, Seokmin, Chani, dan Jihoon di sana, bagaimana kemudian menghirup napas terasa seolah menusukkan ribuan jarum pada kulit.

Ada apa? Apa yang terjadi? Kenapa polisi melepaskan Wonwoo sekarang?

Kemudian, seluruh pertanyaan itu merangkup menjadi satu―sukses mengirim asap kuriositas berterbangan dalam kepala. Namun alih-alih bersuara, si gadis hanya dapat diam. Bungkam. Seolah kedua bibirnya dijahit rapat-rapat. Sensasi cemas, denyut bahagia, denyar lara dan kekhawatiran bercampur rata, menggerogoti hatinya yang rapuh. Saat itu Nara bahkan tak memercayai telinga sendiri saat mendengar seorang petugas berkata, "Pihak kepolisian sudah menemukan sebuah bukti akurat mengapa tersangka Jeon Wonwoo dinyatakan tidak bersalah."

Tidak mungkin.

"Ada satu rekaman CCTV yang baru kami dapatkan pagi ini―milik rumah sewa kecil tepat di depan apartemen saudara Jeon."

Apa?

Nara tanpa sadar menahan napas, merasakan kuku-kukunya tertancap sempurna pada telapak tangan. Tidak, ini tidak benar. Ia jelas ada di sana saat kerjadian berlangsung, mendengar konversasi Wonwoo dan Seungcheol, melihat dengan mata kepala sendiri bahwa Jeon Wonwoo menggenggam pisau yang telah tertancap sempurna di tubuh Seungcheol. Tidak ada orang lain di sekitar mereka malam itu. Seungcheol tidak akan mungkin mati bila tidak dibunuh atau―

Matanya membulat.

Tepat sesaat kemudian, polisi menyambung―lengkap dengan hela napas panjang, "Korban terbukti meninggal sebab bunuh diri."

Tidak, tidak.

"Kami melihat rekamannya sendiri. Tampak bahwa Saudara Choi menusuk dirinya dengan pisau."

Jemari Nara bergetar.

"Kesalahan Tersangka Jeon adalah mengenggam pisau, sehingga sidik jari anda tertempel di sana. Itu bisa menjadi satu alasan kuat untuk mencurigai anda sebagai tersangka."

Hening merengkuh. Dalam dua sekon yang terasa lambat, Nara dapat merasa kakinya lemas. Tubuhnya seolah dihantam dengan pukulan palu. Perutnya mual. Kepalanya pusing luar biasa. Mendadak cengkraman pada pergelangan tangannya membuat gadis itu sedikit terkesiap. Ia melihat Jihoon menatapnya risau, sebelum menuntun tubuhnya duduk di samping Wonwoo.

Diam-diam, Nara melirik Wonwoo. Pemuda itu masih bungkam, ekspresinya tampak gamang tapi irisnya menatap kalbu. Tidak ada sedikitpun kegembiraan atau kelegaan sebab ia dibebaskan. Yang ada hanya kehampaan.

Selama beberapa hari dicap sebagai pembunuh, harus mengundurkan diri dari kampus, menjalani beberapa hukuman dan menerima cercaan dari banyak orang.

Mengapa pemuda ini tetap diam?

Seolah berhasil membaca keraguan dari benak Nara, Seokmin tiba-tiba bersuara, "Kalau diijinkan, boleh kami melihat sendiri rekaman CCTV-nya?"

"Silakan, silakan."

Pada salah satu layar komputer tipis yang terletak di meja paling ujung, seluruh kebenaran dibuka secara gamblang sekarang. Semua kulit rahasia dikupas sampai telanjang. Gambar tersebut memang sedikit buram, juga wajah Wonwoo yang membelakangi kamera tidak terlihat. Malam yang pekat. Konversasi antara Seungcheol dan Wonwoo yang berlangsung tenang―awalnya tidak ada satupun yang mencurigakan. Sebelum Seungcheol kemudian mulai berteriak, jemarinya berkali-kali menuding lawan bicara, ia bahkan tampak mendorong, menyentuh, dan menarik kera Wonwoo. Seungcheol tampak mengamuk hebat, sementara Wonwoo bagai seekor anak domba yang diterkam singa. Beliau diam, tampak membalas beberapa kali sebelum kembali senyap.

"Dari rekaman ini, kita bisa menyimpulkan Saudara Jeon dan sepupunya sedang bertengkar hebat tentang sesuatu. Kalau saja rekaman CCTV terputus sampai sini, maka Saudara Jeon dapat dicurigai sebab disangka memiliki motif untuk membunuh korban. Namun, inti sarinya adalah pada kejadian selanjutnya."

Penjelasan polisi bagai lantuann radio rusak di telinganya. Nara dapat merasa jantungnya masih berdetak kencang, lidahnya digigit kuat hingga rasa asin darah mulai dikecap. Detik selanjutnya, entah apa yang Seungcheol katakan, pemuda itu kemudian mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Benda tipis dengan gagang kayu sementara bagian ujungnya dibungkus berlapis-lapis kertas. Dirobeknya kertas itu dengan brutal. Nara yakin ia mendengar suara tarikan napasnya sendiri melihat rekaman tersebut.

Sebuah pisau.

Bagai kilat menyambar tulang, Nara dapat merasa seluruh tubuhnya hancur; luluh lantak kala melihat bagian selanjutnya. Seungcheol menusukkan pisau itu pada perutnya; pada dirinya sendiri. Wonwoo tampak begitu panik, takut setengah mati. Ia lantas bergegas menuju sepupunya, tetapi bak idiot lain, pemuda itu malah menyentuh gagang pisau itu.

"Jeon Wonwoo tidak bersalah." Seokmin mendekap Wonwoo erat-erat. "Sudah kubilang, Jeon Wonwoo sahabatku tidak akan pernah membunuh orang."

Air mata haru mengucur. Chani menangis haru. Jihoon tersenyum kecil. "Lambat laun kebenaran pasti akan terungkap," katanya pada diri sendiri. "Lambat laun, kebenaran pasti akan terungkap."

Kebenaran.

Nara tercenung. Kebenaran, kebenaran.

Kata itu terngiang bagi mantra sihir dalam benaknya yang sempit. Pelipisnya berdenyut pening. Telinganya berdenging. Sakit. Kebenaran yang ada di hadapannya adalah sebuah kegamblangan: sebuah kesederhanaan fakta yang dapat dibuktikan oleh logika. Wonwoo tidak pernah membunuh Seungcheol. Rekaman CCTV tersebut adalah bukti nyata. Dari gerak-geriknya yang terekam kamera, Pemuda itu, si Joo yang diisukan sebagai pembunuh itu, bahkan tidak punya niat untuk menyakiti sepupunya.

Namun, apa yang telah dirinya lakukan?

Bukannya percaya dan mendengar penjelasan pemuda itu, ia malah memalingkan wajah; ikut melempar makian dalam bungkam; ikut mencabut semua rasa percaya bahkan sebelum mengorek kebenaran.

Siapa yang benar-benar sampah sekarang?

"Kau belum pulang."

Kim Nara mengangkat kepala, merasa hatinya teriris semakin pedih kala melihat pemuda itu muncul di balik pintu kamar. Lamunannya pun pecah, kepalanya yang tadi sempat bernostalgia mereka ulang peristiwa tadi siang. Gadis itu mengerjap, memaksakan seulas senyuman kala Wonwoo berjalan mendekat. Surai hitamnya menitik air basah, handuk putih menyampir di bahu dan kaos serta jaket kulitnya tadi sudah diganti dengan kaos oversized putih tipis. Aroma shampoo samar menyeruak pada indra penciumannya, mengirim satu sensasi layaknya hunusan pisau tajam menancap di ulu hati.

Rasanya sudah lama sejak terakhir kali Wonwoo berpenampilan rapi seperti ini. Pertemuan terakhir pemuda itu bahkan masih beraroma kopi dan rokok, baju kusut yang entah berapa hari tak ganti, serta cekungan hitam di bawah mata.

Bersama hela napas yang bergulir lambat, Nara meletakkan tangannya di atas tangan sang pemuda. Digenggamnya jemari tersebut, disentuhnya setiap lengkung dan keriput yang menghiasi telapak tangan Wonwoo.

Wonwoo sejenak terperangah. Tatapannya yang tadi terpaku pada permukaan meja kini berpaling menatap lawan bicara. Suaranya yang serak menyapu indra pendengaran si gadis saat mengatakan, "Aku tidak tahu ada CCTV di daerah itu." Ia tertawa kasar. "Bukankah itu lucu? Aku sudah tinggal di apartemen ini tujuh tahun lebih, dan tidak pernah tahu bahwa ada kamera pengawas di bagian utara gedung."

Nara tidak membalas, sebagian sebab tidak ingin terburu-buru menyela, sebagian lagi sebab tak tahu harus berkata apa. Di matanya Jeon Wonwoo kini tampak bagai seekor buruk gereja yang terkulai lemah setelah habis dijerat pemburu liar. Begitu ringkih dan kecil, padahal dulu selalu tampil sok jago di depan umum. Diam-diam Nara jadi terbuai pikirannya sendiri―sejak kapan, ya, terakhir ia memandang Wonwoo dengan berbeda? Titel 'penjahat', 'target', atau 'pembunuh' yang dikalungkan pada pemuda itu lambat laun luruh, layaknya daun-daun kering di musim gugur. Dahan-dahannya yang kering mulai tampak; rupanya yang asli mulai terlihat.

Wonwoo berdeham, kembali bersuara, "Aku bahkan tidak tahu apa merayakan kebebasanku adalah hal yang benar."

Nara mengedipkan mata. "Itu kenapa kau menolak ide pesta barbeque dari Seokmin?"

Si pemuda hanya mengangkat kedua alis.

Lagi-lagi keheningan merayapi kamar apartemen itu. Langit telah gelap sempurna, matahari ditelan garis-garis cakrawala. Sudah lima jam Nara habiskan di tempat Wonwoo―awalnya, Seokmin memberi ide makan-makan sebagai perayaan bebasnya Wonwoo, tetapi ide tersebut langsung ditolak tegas oleh sang pemilik rumah. Bukan hanya itu, Jihoon dan Chani pun menyampaikan keberatan yang serupa. "Kau masih bisa memikirkan makan saat satu nyawa telah melayang?" balas Jihoon, seketika membungkam Seokmin.

Hal janggal kedua yang Nara tak mengerti―andai targetnya benar-benar membunuh Seungcheol: mereka benar-benar peduli tentang kematian korban.

"Mereka telah bekerja keras." Nara sejenak menjeda, merasakan tenggorokannya tercekat. "Selama kau ditahan, Seokmin, Chani, dan Jihoon tak henti mencari bukti untuk membebaskanmu dari sana."

"Aku tahu." Wonwoo menyesap minumannya. Aroma soju yang kuat menyeruak kala ia kembali bersuara, "Kudengar senior Jeonghan turut membantu dalam menghapus rumor di kampus. Kurasa aku harus menraktirnya makan. Atau membantunya mendapatkan hati Chani. Bagaimana menurutmu?"

Nara memaksakan seulas senyum. "Aku yakin senior membantumu dengan tulus."

"Walau begitu, aku tetap harus membalas kebaikannya. Aku tidak suka berhutang pada orang lain."

Ingin rasanya Nara langsung mengucapkan seluruh kepura-purana Jeonghan―bahwa apa yang seniornya lakukan itu hanya kemunafikan semata, bahwa Jeonghan pun selalu berpikir Wonwoo pantas dipenjara. Namun bagaimana bisa? Melihat kehancuran di mata lawan bicara yang baru saja kehilangan satu-satunya keluarga yang ia punya, apa Nara tega untuk kembali menyingkap aib senior itu?

Terlebih, ia belum tahu siapa sebenarnya seorang Yoon Jeonghan.

"Ini sudah malam," kata Nara, mengalihkan pembicaraan. "Kau belum makan apapun sejak siang. Akan kumasakkan sesuatu." Gadis itu beranjak berdiri dari sofa kala Wonwoo menahan tangannya.

"Tidak, tunggu," sergah Wonwoo, "Sebentar saja, tetaplah di sisiku."

Nara mengernyit, tetapi menurut dan kembali duduk. "Kau baik-baik saja?"

Wonwoo menghela napas gusar. Tanpa membalas tatapan si gadis, pemuda itu berkata lirih, "Terima kasih."

Kerutan di kening Nara mendalam.

Saat itulah Wonwoo menoleh. Kedua iris mereka bertemu. Di bawah remang lampu, Nara bisa melihat begitu jernih betapa cokelat dan gelap iris pemuda itu. Bagaimana bentuk bulu matanya; bagaimana bentuk hidungnya yang panjang dan bulat, bagaimana tiap ia menarik napas, aroma pemuda itu selalu memabukkan dirinya.

"Terima kasih karena telah kembali."

Hatinya tersayat.

Wonwoo tersenyum. Pada bingkai mata tersebut, Nara dapat melihat ketulusan tertera di sana. "Rasanya menenangkan," Ia menautkan jemarinya pada jemari si gadis, menggenggam erat, "saat tahu bahwa seseorang benar-benar percaya padaku―rasanya menenagkan sekaligus menakutkan. Bagaimana bila aku tidak sesuai ekspetasi mereka? Aku kira kau akan benar-benar pergi. Terima kasih telah percaya padaku."

Seluruh kalimat itu bagai kerikil-kerikil tajam yang menghantam permukaan hatinya. Tak peduli logika, tak peduli dua sisi kontras yang saling bersahutan dalam kepala, tanpa menunggu lama Nara langsung menautkan bibirnya pada bibir Wonwoo. Irisnya terpejam, lengannya melingkari leher sang pemuda. Tenggorokannya basah oleh air mata, paru-parunya seolah dicengkram kuat-kuat. Kenapa begitu menyesakkan?

Ciuman tersebut berlangsung pendek, sejauh kesadaran si gadis. Saat terputus, Nara menelan saliva, sedikit menggebu bertanya, "Ada yang ingin aku tanyakan padamu, Jeon."

Wonwoo menatap penuh tanya, tapi Nara tak repot-repot memberi jeda untuk lawan bicaranya membalas saat ia sudah terlebih dulu melanjutkan, "Aku ingin mendengar tentang masa lalumu; keluargamu, dan apa yang terjadi pada Jungwoo. Boleh aku mendengar semua itu?" []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top