20; Poisonous Love
"DATA untuk bulan ke lima, hari ke-12 berada di bumi: aku masih belum dapat merancangkan kematian target."
"Anda yakin, nona? Hades tampak sedikit uring-uringan. Ini seperti bukan pekerjaan Eleft, tangan kanan dewa."
Sepersekian sekon berikutnya, hanya dengkus dan tawa miris yang mengudara―samar-samar beradu dengan suara rintik hujan yang mengetuk jendela kaca. Nara duduk bersila, menatap marmer lantai dengan pandangan hampa. Tangan kanan dewa, katanya. Kalimat Foniash yang kelewat realistis itu seolah baru menghantam seluruh dinding kesadarannya bertubi-tubi; kembali mengingatkan si gadis bahwa selalu ada tuntutan dalam tiap napas yang dihela, ada harapan yang dipikulkan pada pundaknya tiap ia datang ke bumi.
Bahwa tak peduli kendati saat ini ia bukanlah manusia, ia masih harus hidup di bawah ekspetasi dewa.
Ah, pelipisnya berkedut. Lambungnya terasa perih dan Nara baru ingat ia belum mengonsumsi apapun selama delapan jam terakhir. Namun sadar bahwa kini bukan saatnya memikirkan seluruh kebutuhan manusiawi, si gadis akhirnya membuang napas lelah, menyeka wajah sekaligus menyingkirkan rasa kantuk dan lelah yang bertengger di sana kala menyahut, "Aku belum menemukan sedikitpun kejahatan Jeon Wonwooーmenurutmu ini sebuah kebetulan, huh?"
Tawanya terdengar kering bahkan ketika terbawa angin dan dimakan hening.
Membawa titel 'Tangan Kanan dewa' sama dengan menjinjing kesempurnaan dimanapun kau berada; di bumi atau alam kematian, dalam rupa manusia maupun ruh pekerja. Rasanya tak jauh beda antara hidup sebagai manusia atau mati sebagai pekerja dewa. Gadis itu juga tidak bisa sepenuhnya menuding salah pada Foniash yang mulai tampak jenuh, atau pada Hades yang kini mempertanyakan integritas sekaligus reliabilitas salah satu pekerja kesayangannya. Sudah lima bulan dan tak sedikitpun ada perkembangan.
Sudah lima bulan dan Nara masih tak dapat menetapkan waktu yang pas untuk kematian Jeon Wonwoo.
"Bukankah itu sudah menjadi kewajiban nona untuk mengorek fakta mengenai kejahatan target?"
Gadis itu refleks mendongak.
Tatapan kelabu Foniash. Bibirnya yang tergaris datar. Nada bicara yang penuh keraguan tapi juga keberanian di saat bersamaan kala bersuara, "Dewa tak akan mengirim anda dan saya ke bumi tanpa alasan ... bukan?"
Alasan, alasan, alasan.
Benar, Hades pasti punya alasan di balik titahnya.
Selama ini Nara hanya melihat dari sudut pandangnya sendiri; ia memandang Wonwoo bagai vas keramik retak yang dapat pecah kapan saja, bukannya seorang manusia sadis tak berotak yang pernah membunuh seseorang. Tugasnya tak sederhana, Nara tahu itu: menyangkut hidup dan mati seseorang, melibatkan sebuah nyawa dan sesosok jiwa.
Tanpa bukti kejahatan yang kuat, ia jelas tak bisa menyerahkan nyawa seorang cuma-cuma.
"Sampaikan permintaan maafku pada dewa." Gadis itu mendesah, menelan saliva yang mengganjal di pangkal tenggorokan. Ia menggigit bibir ragu, sejenak menimbang kata yang tepat sebelum melanjutkan dengan hati-hati, "Tapi Foniash, apa kau yakin Hades tidak menitipkan pesan atau informasi tambahan berkenaan dengan target?"
Foniash terdiam cukup lamaーcukup untuk mengundang keheningan masuk dan mengisi tiap sudut ruangan. Perlahan iris Nara mulai menyipit, berusaha menggali kebenaran di balik tatapan sayu lawan bicara. Detik demi detik berlalu dan pertemuan subuh ini terasa bagai formalitas belaka yang mencekik tenggorokan. Foniash termasuk salah satu ruh yang lebih suka berbicara fakta secara gamblang walau pedih, jadi mendapati ruh itu kini hanya berdiri kaku dan bungkam membuat kuriositas si gadis meluap.
"Foniash?"
Pada akhirnya, ruh itu menyahut pelan, "Dewa menitipkan sebuah pesan."
Nara tak tahu ia begitu mengharapkan kalimat itu keluar dari mulut lawan bicara hingga saat ini tiba. Irisnya berbinar. Rasa kantuk dan lelah sekonyong-konyong lenyap terganti denyar gusar dalam dada. Antara harapan, kuriositas, juga sebersit ketakutan ada di sanaーbercampur, menyatu, teraduk sempurna dalam rentetan pertanyaan menggebu. "Apa itu, Foniash? Apa ada kesalahan dalam data tentang target? Apa dewa meralat sesuatu terkait kriminalitas Wonwoo, atau masa lalunya?"
"Kesalahan yang sangat besar." Kedua sudut bibirnya menukik seulas tawa tipis yang dipaksakan.
Kerutan kening Nara semakin mendalam. Ada nada sarkas yang entah mengapa terdengar begitu jelas dari suara Foniash barusan, bahkan kedua matanya kini jatuh pada permukaan karpet alih-alih mendarat pada iris lawan bicara. Namun persetan, Nara bahkan tak punya waktu untuk mengurusi perubahan kecil semacam itu. Ia tak peduli kalau budak di hadapannya berkata secara hiperbola, sengaja menyindir si gadis secara langsung sebab tak kunjung menyelesaikan misi. Jauh dalam benak, Nara hanya terfokus pada satu hal sekarang: pada data Wonwoo.
"Saya melakukan kesalahan saat merekap data lama." Foniash menjeda, pandangannya yang hampa jatuh pada sepiring darah binatang di atas meja. "Jeon Wonwoo bukan hanya bersalah atas kematian ibunya beberapa tahun silam, tetapi juga tercatat sebagai salah satu pemerkosa sepupu kandungnya."
Ada sebuah rasa perih yang melilit lambung dan dadanya secara bersamaan kala Nara mencicit parau, "Sepupu?"
"Choi Airin, adik Choi Seungcheol."
Pemerkosaan. Nara masih ingat daftar kejahatan itu. Inikah pemerkosaan yang Wonwoo lakukan ...?
Bak ledakan mesiu tepat mengenai inti kepala, harapannya runtuh dalam sekali hempas. Secercah fakta yang diharap-harap mampu memberi titik terang baru malah kini menambah sebuah tanda tanya dalam benak. Bayangan bagaimana seorang Jeon Wonwoo melampiaskan nafsunya sendiri pada gadis lugu memilin lambungnyaーsi gadis dapat merasa sesuatu dalam hatinya menolak, sesuatu dalam dirinya membuat Nara kemudian mengernyit tak terima, maju dengan deretan kalimat sangkalan yang diucapkan kaku, "Jangan main-main, Foniash."
"Kejadian traumatis yang sampai hari ini mengganggu kesehatan mental Airin." Foniash melanjutkan tenang. Kelewat tenang dan kini malah mengundang tatapan sangsi dari sang gadis saat ruh itu kembali berujar, "Sekarang nona tahu alasan Seungcheol begitu membenci target."
Beragam dugaan berkecamuk dalam kepala. Namun masih berusaha berpikir rasional, Nara kemudian bertanya, "Kau ... apa kau punya bukti?"
Foniash mengernyit. Ini pertama kali ia benar-benar menampilkan ekspresi sejak kedatangannya ke bumi. "Nona ... meminta bukti untuk data dewa?"
Nara mengerjap, mendadak kehilangan kata-kata. Benar, mengapa bisa-bisanya ia meminta bukti atas data dewa? Semua yang dewa temukan adalah hasil pengamatan para arwah: sesuatu yang barangkali tak dapat dilihat oleh mata orang biasa. Yang Nara butuhkan hanya satu: percaya.
Namun kini hal itu pun terasa sulit untuk dilakukan.
Mulutnya terasa pahit. Ia sudah melakukan ini belasan tahun, tapi mengapa hari ini semua terasa begitu menyesakkan? Nara masih mengingat tiap detik kala air mata Wonwoo tumpah, keputusasaan dan rasa sedih tergambar jelas dalam manik matanya. Satu peristiwa yang perlahan menerobos benteng hati sang gadis. Namun di sisi berbeda pula, Nara juga ingat betul tatapan benci Seungcheol kala melihat Wonwoo.
Apa Wonwoo benar-benar melakukan itu?
"Apa ada hal lain yang kau ketahui tentang Wonwoo?" Tenggorokannya tersendat, Nara mengerjap untuk mengusir segala rasa gundah dan memaksa diri untuk melanjutkan, "Kau salah satu ruh yang mengumpulkan data target, bukan?"
Foniash bungkam.
Nara mendesak tak sabarーsuaranya penuh dengan penekanan oleh rasa lelah dan frustrasi yang tercampur rata, "Kau tahu apa akibatnya kalau misi ini gagal, Foniash."
Foniash masih tak menjawab. Namun ekspresinya melunak. Ada sesuatu dalam matanya yang membuat Nara semakin bertanya-tanya. Ia tak tahu apa yang disembunyikan ruh ini, apa yang ada di pikirannya, apa ia benar-benar menganggap misi dewa seserius dirinya. "Foniash," kata Nara, menekan suaranya. "Kalau misi ini gagal, jiwa kita akan menjadi taruhan. Hades akan melemparmu ke neraka dan aku akan mengalami kematian kedua dengan menyakitkan."
Gadis itu menghela napas, mengangguk lembut. Setengah kalut, memaksa diri untuk tenang kala berkata, "Tak apa, katakan saja semua yang kau tahu tentang Wonwoo."
Ruh itu bergumam sangat lirih hingga nyaris tak terdengar, "Saya tahu banyak, nona."
"Katakan semuanya." Nara menghela napas. "Aku perlu tahu semua hal tentang target."
Namun Foniash hanya menggeleng, bersikap seolah tak mengatakan apa-apa. Nara tak tuli juga tak buta, jadi ia tahu betul bahwa beberapa detik sebelumnya Foniash sempat menggumamkan sesuatu disertai gulungan seringai samar pada wajah. Kembali membuka mulut, hendak melempar pertanyaan kalau saja lawan bicaranya tak lebih dulu berujar, "Dewa baru membocorkan semua kebenarannya secara gamblang sekarang. Dewa hanya tak ingin nona gagal seperti Mozzakh."
Jantung Nara berdenyar pedih. Gagal?
"Kematian Jungwoo berjalan lebih cepat dari yang Mozzakh rencanakan. Itu membuat Hades murka dan mengirim Mozzakh pada kematian kedua."
Tidak. ini tidak mungkin. Telinga Nara berdengung, tenggorokannya tersekat, dadanya terasa berimpit. Berat. Sesak. Semua perkataan Foniash bagai radio rusak yang terngiang-ngiang dalam kepala: menghantam seluruh dinding memori, mengoyak habis harapannya yang tersisa puing. Gadis itu menggelengkan kepala, setengah dirinya masih berusaha menyangkal fakta tersebut kala berkata, "Hati-hati menggunakan mulutmu. Kau tak tahu apa yang kau ucapkan, Foniash." Jemarinya bertaut. Urat lehernya tampak, kepalanya berkedut. Seluruh gumpalan ketidakpercayaan tadi perlahan bertransformasi menjadi rasa geram. "Mozzakh tidak pernah mengalami kematian kedua. Lagipula ini janggal, kau tahu. Kenapa Hades menargetkan dua sahabat itu dalam waktu berdekatan?"
Raut wajah Foniash berubah tak terbaca. "Apa nona yakin bisa mencari kebenaran utuh kalau saya benar-benar berbohong sekarang?" Kedua sorot mata beku tak bernyawa menatap lurus-lurus iris Nara. "Saya hanya menyampaikan apa yang menjadi mandat dewa. Saya tidak ingin terjun dalam neraka, itu saja."
Jiwa yang kian menguap dan habis dimakan angan. Pribadi yang perlahan terkikis harap kembali menjadi sesosok jiwa rapuh yang hanya mencari cara bertahan hidup.
Menyedihkan. Nara bergidik. Semua ini menyedihkan.
"Bukankah aneh bila kau tak ingin dikirim ke neraka tapi masih melakukan kesalahan hanya untuk data target pertama?"
"Kesalahan adalah hal yang wajar, bilaー"
"Ini jauh lebih janggal, Foniash." Nara menyipitkan mata. "Sejauh yang kukenal, Hades benci―benci sekali―dengan keteledoran pekerja."
Foniash bungkam.
"Bukan berarti kita membahas kehidupan orang lain, kau bisa bekerja merenggut nyawa orang seenaknya. Pekerjaan ini penting bagiku, Foniash. Bukan hanya untuk dewa, tapi juga―"
"Juga karena nona menaruh rasa pada pemuda itu."
Kening Nara berkerut. "Apa kau bilang?"
Banyak hal berkecamuk dalam kepalanya sekarang. Awalnya gadis itu berharap pertemuan hari ini bisa memberi titik terang dalam kasus Wonwoo. Namun kini, seluruh harapan tersebut luruh sempurna; menguap tanpa sisa dan terganti percik amarah.
"Itu pesan dewa padaku; untuk menyampaikan nasihat pada nona."
Foniash sekali-sekali dapat menjadi begitu menyebalkan dan melewati batas.
"Kau kira aku menyukai Wonwoo?"
"Dewa berpikir demikian, saya sama sekali tak punya hak untuk menghakimi."
Ia hanya dapat membalas dengan tawa sarkas, sama sekali tak punya niat untuk menentang. Memang kalau ia membela diri lalu apa? Foniash itu keras kepala--berusaha memaksa opininya sama dengan menjejalkan batu besar dalam lingkaran pipa. "Baiklah, aku mengerti." Gadis itu mengangkat tangan pasrah, tak ingin berdebat lebih lanjut. Ia sudah terlampau lelah, bagai memikul beban di atas kepala dan pundak. Semua tampak berat dan begitu menyesakkan. "Kau bisa pergi, Foniash. Terima kasih untuk hari ini."
"Satu hal lagi, nona."
Nara mengerjap.
"Jangan mudah percaya dengan semua orang yang dekat dengan anda. Manusia terlalu pintar untuk memasang kedok baik, namun juga terlalu bodoh untuk termakan tipuan orang lain."
Jantung Nara seolah berhenti berdetak. Tamparan tepat mengenai wajah. Tonjokan di depan mata. Namun melihat ekspresi terkejut lawan bicara, Foniash hanya menyampaikan secarik kalimat lirih, "Ingatlah bahwa tiap manusia mengenakan topeng untuk menyembunyikan bagian boroknya dari orang lain. Jangan pernah tertipu oleh topeng itu. Itu ... pesan saya. Permisi."
Kemudian ia menghilang ditelan bayang. Dan di sudut ruangan yang remang dengan keheningan malam, Nara hanya duduk termenung sendiri. Peringatan Foniash terngiang begitu jelas dalam kepala; tentang cinta, tentang kepercayaan. Jantungnya berdegup lebih cepat. Kepalanya berkedut. Semua mendadak berubah kabur. Cinta itu racun, seingatnya dulu. Namun kini, entahlah.
Pandangan tersebut perlahan buram dimakan kalbu. []
Pals, sorry for the late update:(. A lot of things happened recently and life is a mess. But anyway, I manage to update today! *YAY* Cheer to all of you who have been waiting patiently. Hope you all have a wonderful day, xoxo.
-With love,
Caroline
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top