18; The Scuttlebutt
"HEHHH?! Apa kau bilang?! U-ujian?"
Berbulan-bulan mencoba beradaptasi dengan suara Seokmin dan gaya bicaranya yang selalu dilebih-lebihkan, baru kali ini Nara merasa terkejut luar biasa bahkan jantungnya nyaris berhenti berdetak kala mendengar pekikan nyaring sang pemuda. Gadis itu refleks menoleh risi, memberi tatapan seolah berkata, 'Hei-pelankan-suaramu' namun apalah daya, atensi Seokmin sudah tertambat sepenuhnya pada wajah datar Wonwoo, mengguncang bahu pemuda itu kala berkata tak percaya, "Kau keracunan apa, hei? Bisa-bisanya seorang Jeon Wonwoo belajar untuk ujian."
Wonwoo mengerjap lambat. Ekspresinya sekarang persis bak seekor anak rubah yang kehilangan arah, tapi detik berikutnya juga mengingatkan Nara akan salah seorang dosen killer-nya. Bingung dan kesal. "Kau benar-benar tak tahu? Kuis ini akan menentukan sembilan puluh persen nilai akhir kita, Bodoh."
Seokmin mengibas tangan seraya terkekeh-kekeh, sama sekali tak tampak khawatir kala membalas, "Itu hanya ancaman saja agar kau belajar. Kalaupun benar, tenang saja. Aku punya insting kuat yang lebih bisa diandalkan daripada otak."
"Kalau sudah bodoh ya bodoh."
Nara mau tak mau menyemburkan tawa. Hari ini kampus tampak lebih padat dari biasanya. Ia bisa mendengar derap langkah mahasiswa di koridor dan diskusi samar dari meja-meja lain di kantin. Mungkin kalau ada satu hal yang tak berubah sejak kunjungan awalnya ke bumi ialah, ujian selalu menjadi momok paling menakukan bagi seluruh siswa.
Oh, well. Rupanya ini juga berlaku bagi seorang Jeon Wonwoo. Seminggu terakhir pemuda itu sudah bersusah payah mempersiapkan diri untuk tes tertulisーdari menghafal rumus, melengkapi referensi di perpustakaan, bahkan hal yang tak pernah Nara sangka sebelumnya, Wonwoo mengajaknya pergi ke ruang belajar untuk belajar bersama.
Perubahan yang mendadak jelas membuat Nara terheran-heran. Barangkali, persis bak Seokmin yang sampai detik ini masih menatap Wonwoo seolah sahabatnya itu mendadak menjelma menjadi alien atau semacamnya. Maksudnya, ayolah! Ia tak perlu 'Jihoon Versi Dua' sekarang. Kalau Wonwoo sudah 'bertobat' dan menjadi siswa teladan, maka siapa yang ada di sisinya nanti?
Siapa yang kembali menemaninya untuk membolos ke warnet demi menonton film plus-plus nanti?
"Kau ..." Seokmin membasahi bibir bawah skeptis, "kau yakin Jihoon tidak mengatakan hal aneh padamu? Mengancam atau mendesakmu, mungkin?"
Wonwoo mendecakkan lidah, terpaksa mengangkat pandangan dari buku dengan kedua alis bertaut gemas. "Kau yakin kau tidak mau pergi sebelum kesabaranku habis? Aku belajar karena aku ingin, bukan demi orang lain apalagi Jihoon. Itu konyol, kau tahu?"
Nara hanya mendengkus samar sementara Seokmin mengerucutkan bibir, sudah keburu melepaskan rutukan di sela napas. "Jihoon belajar di perpustakaan. Chani bersama senior Jeonghan. Wonwoo belajar dengan Nara. Memang hanya aku satu-satunya pria merana yang ditakdirkan sendirian."
"Eiy, jangan begitu," kata Nara, terkekeh tak habis pikir dengan kalimat hiperbola Seokmin. "Kau masih diterima untuk belajar bersama kami."
Seokmin mengibas tangan. "Tidak, tidak perlu. Aku rasa aku akan mengisi perut di rumah makan depan kampus." Kemudian ia memajukan tubuh, memasang tampang nakal dan misterius sebelum berbisik, "Sambil mencari gadis baru, siapa tahu aku bisa menggait junior seksi."
Entah sebab wajah Seokmin yang ekspresif atau memang senyum lebarnya itu selalu bisa menularkan kebahagiaan, Nara menemukan diri tertawa seraya melambai saat pemuda itu melangkah pergi. Ah, berada di tengah-tengah atmosfer ujian dimana semua orang tampak begitu khusyuk memandang berlebar-lebar kertas dengan bahu merosot lelah dan kantung mata tebal sama sekali bukan hal yang menyenangkan. Minggu-minggu ujian itu waktu paling menyiksa dalam hidupーsetidaknya, begitu yang ia pikirkan selama menjadi mahasiswa puluhan tahun lamanya. Sebelum ia sadar, hidup itu lebih keras dibanding selembar pertanyaan di atas kertas.
"Jam berapa ujianmu selesai?" Suara Wonwoo kembali menyeretnya di realita. Gadis itu menoleh dan mendapati kekasihnya sudah membereskan buku dan catatan. "Aku akan menunggumu di perpustakaan."
"Aku punya dua ujian hari ini." Nara menyalakan ponsel, membuka jadwal ujian yang semalam dikirim melalui surel. "Yang pertama dimulai pukul 10 dan selesai pukul 12, yang kedua mulai pukul 1 hingga pukul 3 petang. Aku akan menemuimu di perpustakaan nanti. Kau sudah akan pergi, huh?"
Wonwoo menatapnya dan tersenyum nakal. "Kenapa? Takut rindu denganku, ya?" Saat Nara menampilkan ekspresi seolah akan mengumpatinya, barulah si pemuda berkata, "Kelas pagiku akan dimulai. Aku akan menemuimu pukul dua belas nanti." Sejenak ia merogoh sesuatu dari tasnya, mengeluarkan sesuatu terbungkus kantong plastik dan meletakkannya di meja Nara. "Untukmu."
Nara mengernyit. "Apa in―" Tanpa diduga-duga, bahkan belum sempat ia merampungkan kalimatnya, mulutnya dibungkam mendadak kala tanpa aba-aba atau kalimat apapun, Wonwoo sudah terlebih dulu merendahkan tubuh, mengikis jarak dan mendaratkan satu kecupan singkat di bibir. Serangan mendadak. Nara menahan napas. Tubuhnya seolah baru disengat hingga terasa kaku. Irisnya melebar, jantungnya bergemuruh tak karuan. Bagian dalam tubuhnya bereaksi seolah baru disengat aliran listrik bervoltase tinggi―si gadis merasa pasokan oksigen di dekatnya menipis. Dadanya sesak sekaligus hangat di saat bersamaan.
Senyum Wonwoo terulas hingga menyentuh mata. Hanya itu, sebelum ia kemudian berbalik dan melangkah tenang tanpa merasa bersalah.
Padahal kini Nara harus mati-matian mengontrol ekspresi wajah.
Apa-apaan barusan ...?
Kedua sudut bibirnya merangkak naik tanpa sadar. Jeon Wonwoo benar-benar mengingatkannya akan seseorang. Cara pemuda itu menyentuhnya, menatap dan mengerling nakal, mencuri-curi kesempatan untuk mendaratkan sebuah ciuman di bibir―semua bagai putaran memori lama yang menggenang di ceruk kepala.
Pada seseorang yang dulu―dulu sekali―juga pernah menjadi alasan Nara mengulas senyum.
Oh, tentu ia masih ingat semua dengan jelas. Tepat pada masa hidupnya pertama; masa kala ia masih menjadi sosok manusia utuh dan bukannya pekerja dewa untuk merancang kematian, masa dimana hati masih dapat mengecap tiap perasaan dengan bebas. Masa-masa indah yang mencekik tenggorokan. Di situlah Nara sadar, kendati fisik lamanya hancur dan melebur, menjadi abu atau terbawa debu, kenangan yang pernah diukir bersama akan terus membekam tanpa peduli masa.
Kalau direka ulang, Nara pikir kematian pertama dan terakhirnya di bumi sangat dramatis, persis bak adegan drama yang pernah Chani ceritakan. Namun dalam kasusnya, ini nyata. Malam yang pekat. Purnama tertutup gumpalan awan, rintik hujan mengetuk jendela mobil. Klakson mobil yeng pekak, teriakan, rasa sakit, darah, pedih. Perlahan, pandangannya kabur, otot-otot tubuhnya nyeri luar biasa, seluruh organ tubuhnya seolah berlonjak.
Gelap menerkam; matanya tertutup rapat-rapat.
Gadis itu mengerjap, senyumnya luruh sempurna terganti rasa sesak pada dada. Tenggorokannya tersekat, dadanya seolah baru ditekan kuat-kuat. Mencoba menenangkan diri dan mengatur napas, Nara lantas menenggak sisa jus di atas nampan.
Hades berkata, memori manusia kendati lebar tetap terbatas. Maka, beberapa informasi kecil yang tidak penting perlahan akan pudar. Nara tidak pernah membantah, toh itu ada benarnya. Gadis itu bahkan tidak ingat nama pertamanya dulu―saat masih menjadi seorang manusia utuh. Ia tidak ingat pula bagaimana fisik aslinya, bagaimana surainya bergelombang atau lurus.
Sudah bertahun-tahun, tetapi bila memori gelap itu berputar, masih menghasilkan pedih dan rasa sakit yang sama.
Yang Nara ingat hanya satu; penyebab kematian pertama dan terakhirnya.
Hanya itu.
Nara meraih pemberian Wonwoo, membuka isinya dan menemukan sekotak susu almond. Tak lama ponselnya berdenting, menunjukkan sebuah pesan singkat dari Wonwoo:
Orang bilang almond baik untuk otak. Lakukan yang terbaik untuk ujian nanti.
Nara menahan senyum, Terlepas dari kata orang mengenai Wonwoo, pemuda itu selalu bisa bersikap manis dengan caranya sendiri.
Gadis itu melirik jam di ponsel, masih menunjukkan pukul delapan pagi. Masih ada dua jam sebelum ujiannya berlangsung. Kembali melirik isi kantin yang semakin padat, Nara akhirnya memutuskan untuk pergi ke perpustakaan. Ia melewati koridor kampus, sempat melirik beberapa ruang kelas yang sudah disusun sedemikian rupa menjadi ruang ujian.
Baru sampai di ujung koridor hendak menaiki tangga, tanpa diduga seseorang menabraknya dan membuat tasnya jatuh; buku-buku serta kertas yang di genggamannya jatuh. Nara mengernyit, sempat menoleh ke belakang namun orang tersebut sudah berlari bahkan tanpa menoleh ke belakang. Gadis itu membungkuk, buru-buru mengumpulkan barang-barangnya yang jatuh kala ia melihat dari arah seberang seseorang membantunya.
"Terima kasih telah membantu, tapi aku―" Kalimatnya mendadak terhenti kala ia melihat siapa yang datang. Nara dapat merasa irisnya membulat. "Senior?"
"Harusnya kau lebih hati-hati." Jeonghan tersenyum, menyodorkan beberapa lembar kertas milik si gadis. "Koridor selalu padat pada minggu-minggu ujian."
Nara hanya tersenyum kecil, memeriksa kelengkapan kertas dan memastikan seluruhnya sudah ada di genggaman sebelum keduanya berdiri. "Terima kasih. Aku bahkan tidak mengerti mengapa orang tadi tidak berbalik atau mengucapkan maaf."
"Mungkin sebab ia tergesa," sahut Jeonghan santai. "Kau sendiri bagaimana? Tidak terlalu gelisah untuk ujian, bukan? Haha, kalau Nara sih pasti tidak."
Nara mengernyit tak setuju. "Bagaimana senior bisa menyimpulkan semudah itu?"
Jeonghan terkekeh pelan, menyugar surai dengan senyum yang masih terulas penuh hingga menyentuh mata. "Chani berkata kau pintar. Well, kalau dilihat-lihat pun kau mirip seperti gaya 'mahasiswa-pintar' yang aktif dalam kelas dan rajin mengumpulkan tugas tepat waktu." Pemuda itu mengangkat alis. "Tapi jujur saja, setelah melihatmu berkeliaran di koridor seceroboh iyu, aku ragu kau benar-benar 'mahasiswi pintar'."
Nara hanya tertawa pendek, sedikit tak menyangka calon kekasih Chani adalah pemuda menyenangkan yang juga memiliki selera humor yang baikーtipikal anak muda yang aktif mengikuti organisasi dan memiliki banyak penggemar.
Sedikit mengherankan orang sepertinya mau bergaul dengan kelompok eksentrik Wonwoo.
"Senior juga tidak tampak seperti khawatir dengan ujian," balas Nara, melirik penampilan Jeonghan dari atas sampai bawah sebelum melanjutkan dengan nada meledek, "kupikir, Chani berkata senior adalah mahasiswa pintar yang diminta untuk membimbing tugasnya. Ah, aku khawatir itu hanya akal-akalan senior saja agar dapat dekat dengan Chani."
"Wah, wah, wah." Jeonghan mengangkat alis tak percaya. "Agaknya aku salah menilai orang."
Nara tertawa, mengibas tangan santai. Keduanya kemudian memilih untuk berjalan menaiki tangga dan melempar basa-basi singkat. Di balik senyum hangatnya, Yoon Jeonghan juga merupakan pribadi sederhana yang tidak kaku bergaul dengan orang baru. Dari caranya menatap, tersenyum, dan melempar leluconーseluruhnya mampu mengusir jauh-jauh atmosfir canggung yang merayap.
Tetapi well, Nara tentu paham bahwa kesan pertama seseorang tak pernah seratus persen benar. Ia jelas tahu Yoon Jeonghan ini hanya 'orang asing': pemuda yang kebetulan saja sedang dalam masa pendekatan dengan Chani. Ia tak tahu sejarah persahabatan Chani, atau masalah internal Wonwoo, atau rahasia yang selalu dibekap-bekap grup Seokmin.
"Aku masih punya dua jam lenggang sampai kelas berikutnya. Aku sempat berpikir mengajak Wonwoo sarapan bersama tadi, tapi melihatmu sendiri ... sepertinya Wonwoo juga sudah masuk ke ruang ujian."
Nara mengernyit saat Jeonghan menyebut nama Wonwoo. "Kau ingin mengajak Wonwoo sarapan bersama?"
"Oh, tidak. Tahan dulu dugaan negatifmu tentangku," sela Jeonghan seolah bisa membaca pikiran si gadis hanya dengan mendengar nada skeptisnya. "Aku hanya mencoba ... kau tahu, menjadi teman akrab." Tatapan matanya kemudian berubah sendu. Nara semakin menyipitkan mata kala Jeonghan melanjutkan, "Aku turut prihatin dengan apa yang terjadi dengan kekasihmu."
Langkah Nara lantas terhenti. Genggamannya pada buku-buku mengerat. "Maksudnya?" Ia bahkan terkejut mendengar nada defensif dari kalimatnya sendiri. Ia masih tak menyangka Jeonghan tahu hal ini. Siapa yang memberitahunya? Chani? Tidak mungkin, bukan? Chani tidak mungkin memberi tahu masalah internal sahabatnya pada pemuda asing yangー
"Chani memberitahuku."
Chani melakukannya.
Tenggorokannya tersekat.
Jeonghan tersenyum kecut. Ia diam sejenak, memberi keheningan untuk merangkup sebelum pemuda itu mendengkus dan bergerak gelisahーjelas merasa bersalah kala berkata, "Kau tahu, aku tidak bermaksud untukー"
"Apa yang Chani katakan?" tukas Nara.
Jeonghan menelan saliva. "Tidak banyak. Ia hanya menceritakan sedikit tentang Wonwoo dan keluarganya. Bagaimana ibu tirinya terlibat narkoba dan kini harus menjalani hukuman. Dan akuー"
"Dan senior mengasihaninya?" Nara tak tahu bagaimana kalimat tersebut dapat membuat darahnya mendidih dalam beberapa detik. Ia menatap mata lawan bicara, mengeraskan rahang sebelum berkata, "Wonwoo pemuda yang baik. Ia tidak semenyedihkan yang senior bayangkan."
"Astaga, kau salah paham, Nara." Jeonghan menghela napas, mengusap wajah uring-uringan. "Dengar, aku tidak bermaksud merendahkan Wonwoo atau apapun. Aku hanya ingin mengajaknya sarapan berdua. Hanya itu. Danー"
"Aku tahu." Nara mendengkus lelah, mendadak merasa kalang kabut. Harusnya ia dapat menahan diri dan tidak berkata-kata gegabah seperti tadi. Mengapa ia ingin membela Wonwoo? Mengapa ia ingin melindungi pemuda itu di depan orang lain?
Namun yang paling membuatnya tak mengerti, mengapa Chani bisa dengan mudah mengatakan masalah Wonwoo pada pria asing yang bahkan belum resmi menjadi kekasihnya?
Seluruh pertanyaan tersebut menggumpal bagai benang kusut di kepala. Nara dapat merasakan pelipisnya berkedut, tenggorokannya tercekat dan mendadak ia tak ingin berkomunikasi lebih jauh dengan Jeonghan. Namun baru si gadis beranjak pergi, ponselnya berdenting mendadakーbertepatan dengan notifikasi pada ponsel Jeonghan. Kening Nara mengernyit, mengira ada pesan penting terkait jadwal ujiannya kala ia membuka pesan dan matanya membulat.
Hidup telah memberinya kejutan kedua.
"Ini berita buruk," cicit Jeonghan.
Bertengger di sana, kalimat yang sama yang terkirim di ponsel Jeonghanーatau mungkin nomor seluruh mahasiswa. Gadis itu dapat merasa tubuhnya kaku mendadak. Kala ia mendongak ia menangkap ekspresi Jeonghan yang sama terkejutnya.
"Oh, dewa." Suara pemuda itu terdengar serak dan lemah. Keraguan kebingungan, juga keterkejutanーsemua merangkup dalam sebuah pertanyaan lugas, "Siapa yang berani mengirim berita ini?" []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top