17; Something Happened In The Past
HAPPY CARAT DAY!🎂🥂
PUKUL empat pagi.
Helaan napas panjang melongos dari mulutnya. Masih dalam posisi duduk bersilang, bahu lebar dan punggung yang dipaksa untuk tegak, Nara memejamkan mata, memaksa diri untuk fokus sementara bibirnya merapal doa.
Di luar, bulan masih menggantung setia pada garis cakrawala, ikut bersanding di antara jutaan gemerlap bintang layaknya ornamen natal yang memenuhi atap rumah. Gumpalan awan kelabu merangkak lambat seiring dengan semilir angin. Bahkan saat langit mencoba untuk terlelap, pergerakan sibuk Seoul tetap tak kunjung memudar; beberapa pejalan kaki masih berlalu lalang, satu dua remaja tampak mengobrol setengah sadar, serta hiruk-pikuk klub menggema di sudut kota.
Seolah cahaya bintang dan hembusan angin belum cukup meriah, manusia masih suka menciptakan kesibukan untuk menjaga dirinya tetap terjaga.
Dalam kasusnya, Nara tahu untuk apa dan siapa ia terbangun. Masih dalam balutan piyama katun, si gadis kemudian menghirup napas dalam-dalamーmengabaikan bau anyir darah hewan dan asap lilin yang beradu dalam indra penciuman, sebelum menggerakkan bibirnya untuk merapal sebuah doa.
Aku datang, dewa.
Detik itulah, bulu kuduknya bergidik. Nara dapat merasakan presensi seseorang di depannya.
Matanya terbuka perlahan, tanpa sadar membuang napas yang sedari tadi ditahan. Foniash. Ruh itu masih sama dengan yang terakhir Nara ingat; pucat, pasif, tampak apatis. Kedua bola mata merangkak hampa. Dalam serial televisi kuno, hantu sering digambarkan memiliki sisi bengis dan seram di saat yang sama. Tangan buntung, wajah gosong, bola mata yang lepas, dan surai lebat yang penuh dengan darah.
Namun, wujud ruh berbeda.
Bahkan kalau kini diperhatikan lekat, Nara agaknya tak dapat menahan asumsi bahwa semasa hidup Foniash punya fisik yang menarik; surai coklat keemasan dengan mata hazel memikat. Rahangnya tajam, hidungnya walau kecil tetap menampakkan kesan tegas pada wajah. Nara jadi bertanya-tanya, penasaran kejahatan bengis apa yang pemuda imut ini lakukan, hingga Hades menggiringnya menjadi budak.
"Anda memanggil saya, nona?"
Nara menghela pelan. "Kau datang terlambat, Foniash."
"Saya yakin saya datang tepat setelah sinyal itu dikirimkan," jawab Foniash datar, menatap lurus lawan bicara tanpa sedikitpun merasa segan, namun juga tak ada niat untuk membantah. "Barangkali Nona memang memanggil saya terlambat."
Si gadis hanya mendengkus miris. Walau kebanyakan budak ruh takut dan memilih untuk taat pada perintah Hades, tidak sedikit pula yang menunjukkan ketidaktaatannya lewat pemberontakan terselubung. Seperti yang satu ini.
Tetapi well, meributkan perkara kecil hanya akan membuat kepalanya semakin berkedut pening. Nara cukup lelah setelah seharian berusaha mencari celah dari data milik Wonwoo, ia belum tidur semenit pun. Agaknya memang benar kata Foniash, bahwa ia memanggilnya sedikit terlambat. Jadi menelan saliva dan menghirup napas dalam-dalam, Nara kemudian berujar, "Apa Hades tidak menitipkan data tambahan padamu?"
Foniash sempat mengernyitーhanya sekejap, sebelum ekspresinya berubah datar lagi. "Dewa tidak menitipkan apapun, nona."
"Satupun? Apa Hades juga tidak menitipkan pesan berkaitan dengan target?"
"Saya hanya diperintahkan untuk menyampaikan perkembangan data target anda pada dewa, bukan sebaliknya."
Well, ini aneh. Nara kira, setelah beberapa informasi kontras antara data dengan fakta yang terpampang, Hades akan memberi data baru yang lebih akurat. Kesalahan budak dalam mengumpulkan fakta memang hal lumrah, tetapi bukan berarti hal tersebut dapat ditolerir dengan mudah.
"Kalau begitu, aku ingin melaporkan beberapa kesalahan pada data milik target. Tertulis dia membunuh ibu kandungnya, tapi sahabat target mengatakan bahwa penyebab kematian Nyonya Jeon adalah suaminya sendiri."
"Dan nona percaya?"
Kedua alis Nara bertaut. "Apa?"
Di sisi berbeda, Foniash masih bersikap tenang. Kendati ekspresinya tak berubah sedikitpun, tatapannya kini beralih pada ubin lantai kala menjawab, "Nona belum punya bukti kuat yang menunjukkan bahwa ucapan sahabat target benar. Data yang disajikan dewa telah diteliti oleh beberapa sumber."
Pertama kalinya Foniash berkomentar panjang.
"Tetapi ada beberapa kesalahan pelik dalam data milik Wonwoo." Nara menegaskan suaranya, tidak tampak ragu kala menyambung, "Kenapa tak tertulis data soal Choi Seungcheol, padahal ia sepupu target? Dan adiknya, Choi Airin."
Foniash tidak membalas, jadi Nara tetap melanjutkan, "Sejauh ini, aku masih belum menangkap bukti-bukti kriminalitas Wonwoo. Kami sudah menjalin hubungan sebagai kekasih, tetapi ia masih enggan berbicara mengenai masa lalunya, keluarganya, atau kehidupan pribadinya." Ia tersenyum miris. "Malah yang kutemukan kontras dengan data dewa. Setidaknya, para budak harus bertanggung jawab kalau-kalau ada kesalahan besar dalam penulisan data target, bukan?"
Foniash hanya bergeming.
"Jadi katakan pada dewa, aku masih belum bisa merancang kematiannya sekarang."
Untuk sepersekon yang kelewat cepat, sepercik ekspresi sempat tercetak pada wajah pucat FoniashーNara yakin ia sempat menangkap kedua mata bulat itu berbinar walau detik berikutnya sudah pudar.
"Akan saya sampaikan kepada dewa. Apa ada yang lain, nona?"
Nara tidak langsung menjawab, sejenak sempat mengirim sinyal hening merayapi langit-langit ruangan. Ada satu tanda tanya tak terjawab yang berkecamuk dalam kepala.
"Satu lagi, Foniash."
Foniash menunggu dengan sabar, hanya menatap Nara lurus-lurus tanpa sedikit pun desakan untuk segera menyelesaikan pertemuan ini.
"Tolong tanyakan tentang Choi Jungwoo, target Mozzakh lima tahun lalu. Namanya juga tak tertulis di data, padahal ia sahabat dekat target." Tubuhnya menegang, tenggorokannya tercekat tetapi ia masih berusaha untuk melanjutkan, "Kalau Wonwoo membunuh ibu kandungnya sendiri saat ia masih bocah, mengapa Hades memilih untuk menargetkan Jungwoo lebih awalーhanya sebab pemuda itu memerkosa sepupunya?"
Nara tanpa sadar menahan napas. Ia tahu ini tak benar, ia tahu mempertanyakan titah dewa sama dengan mengusung kematian kedua untuk diri sendiri. Jauh dalam hati, ia berharap Foniash akan menentang opininya, ia benar-benar berharap bahwa Foniash akan menghardik perintahnya dengan komentar panjang sebab berani memasalahkan kehendak dewa.
Namun, tidak. Sedetik selanjutnya reaksi tenang Foniash seolah baru memecahkan balon dalam dadanya, "Akan saya sampaikan pada dewa."
Nara mengangguk. Jawaban itu memang tak sesuai dugaannya, namun entah mengapa berhasil mengangkat sekepal beban yang menggelayut dalam hati.
Tak lama ruh Foniash mengabur dari pandangan. Saat Nara mengedipkan mata dan setets liquid jatuh ke pelupuk wajah, ia menoleh ke jam dinding.
Pukul lima pagi.
***
Entah harus menyebutnya sebagai sebuah keberuntungan atau justru malapetaka, tetapi Nara tanpa sadar melepaskan satu umpatan kasar saat membuka mata dan melihat cahaya terang sudah menyeruak dari celah jendela. Gadis itu terperanjat, buru-buru berlari ke ruang makan untuk melirik jam dan seketika tercengang.
Pukul sembilan.
"Sial!"
Manusia itu makhluk terbatas: lemah dan mudah lengah. Kendati ia sudah mengatur alarm untuk menghadiri kelas pagi, rasa lelah pada tubuhnya malah menuntut jam tidur lebih banyak. Kim Nara bahkah mengeluh lebih keras kala teringat ia memiliki dua tugas penting untuk dikumpulkan. Tepat setelah beranjak dari ranjang, si gadis buru-buru pergi ke kamar mandi dan membasuh wajah. Tanpa berlama-lama ia menyambar pakaian yang terletak di tumpukan lemari paling atas; kaos crop putih dengan sulaman gambar matahari di tengah, dibalut kardigan ungu lilac dan celana high-waist hitam.
Tidak, bagian menyebalkannya bukan itu rupanya. Ia kira memulai pagi dengan tergesaーtanpa kopi, tanpa meluangkan waktu untuk berkaca atau memoles bedak, bahkan tanpa parfum atau minyak rambut yang (setidaknya) dapat membantu menyingkirkan bau-bau tak menyenangkan setelah tiga hari tak keramas. Bagian paling mengesalkan adalah, ketika ia sudah pergi ke kampus, seorang teman sekelas malah memberi informasi bahwa kelas hari ini ditunda.
"Profesor berkata ada urusan penting mendadak. Ia hanya berpesan untuk tetap mengumpulkan tugas melalui surel sebagai tanda absen. Pengumuman ini juga sudah dikirim ke e-mail kita masing-masing, kau tidak melihatnya?"
Melalui surel.
Melalui surel.
Nara hanya bisa tersenyum, menahan gumpalan rasa kesal dalam dada. Benar saja, kala ia menyalakan ponsel, buncahan notifikasi langsung menyerbu. Ia mendadak menyesal tidak mengecek ponsel sebelum pergi. Otak manusia memang tak dapat berkooperasi dengan baik saat kau panik.
Akhirnya Nara menghabiskan satu jam di kantin kampus, membeli makan siang dan mengumpulkan tugas sebelum beranjak ke apartemen Wonwoo. Hari ini Wonwoo tidak memiliki kelas, jadi pemuda itu memilih untuk menggunakan waktunya mengerjakan tugas dan menyalin catatan di rumah. Itu pun hasil paksaan Nara setelah semalam ia bersikeras untuk mengantar-jemputnya ke kampus. Agak aneh melihat sisi romantis pemuda itu setelah keduanya resmi menjadi sang kekasih.
Nara sempat berhenti di supermarket terdekat, membeli dua kaleng kopi, beberapa keripik, dan satu salmon yang sedang diskon. Sempat timbul niat untuk memasak di apartemen Wonwoo, tapi mengingat masakan Korea yang ia kuasai hanyalah kimbab, Nara memutuskan untuk pergi ke rumah makan terdekat dan membawa pulang beberapa porsi masakan tradisional.
"Kau membawa makananーlagi," adalah respon pertama Wonwoo kala melihat barang bawaan Nara. Ia bahkan sempat menyipitkan mata, mengambil ahli seluruh paper bag dari tangan sang gadis sembari berkata, "Memang kau pikir di rumahku tidak ada makanan?"
Nara tersenyum saat dipersilakan masuk. "Kalau yang kau maksud adalah bir dan kopi, maka jawabannya adalah tidak. Kau bahkan tidak membuang beberapa kaleng sarden expired dalam kulkas."
Wonwoo mengernyit. "Kau membuangnya?"
Si gadis menoleh tak percaya. "Kau ingin aku membiarkannya di sana?"
Wonwoo hanya mengangkat bahu, tidak lagi membalas argumen tersebut. Terakhir ia berbelanjaーbenar-benar keluar ke supermarket dan berbelanjaーbarangkali lima bulan lalu dan itupun karena paksaan Chani. Pemuda itu melirik isi belanjaan si gadis, menaruh beberapa bahan makanan mentah dalam kulkas sebelum menemukan beberapa porsi makanan terbungkus rapi dalam sterofoam hangat. "Biar kutebak, kelasmu dibatalkan mendadak, lalu kau bosan dan ingin makan siang bersama pemuda tampan. Benar, bukan?"
"Aku tidak tahu dari mana kau belajar meramal," sahut Nara, sedikit menaikkan alis kala menyambung, "tapi kalau kau benar-benar penasaran, tebakanmu tak sepenuhnya salah. Mungkin hari ini dewi fortuna sedang tidak memihakku." Tak lama gadis itu mengempaskan diri di atas sofa, memejamkan mata seraya menyenderkan kepala dan mendengkus lelah. "Seoul juga panas bukan main hari ini. Ah, bukankah musim panas seharusnya sudah berakhir?"
"Kalau begitu kenapa memakai kardigan?" sahut Wonwoo tak habis pikir. Pemuda itu kemudian melangkah ke kulkas sebelum kembali dengan dua soda dalam genggaman. "Minumlah."
Sontak mata Nara melebar penuh semangat kala melihat apa yang tersaji di depan mata. Ia meneguk setengah isi soda dan mendesah lega. "Kau tahu, seharusnya pertanyaan yang sama juga dilemparkan padamu." Ia mengarahkan dagu pada kaos Wonwoo. "Kenapa masih mengenakan kaos lengan panjang kalau kau tahu ini panas?"
"Di sini ada pendingin ruangan," elak Wonwoo santai.
"Bukan hari ini saja. Saat kemarin di atap apartemen, saat kembali ke kampus, atau ke taman bermain," kata Nara, mulai mengibaskan satu tangan di depan wajah. Tubuhnya masih basah oleh peluh. Kedua lengannya pun terasa lengket dan tak nyaman, rambutnya yang lepek apalagi. Ia tidak mengerti bagaimana gadis-gadis di drama dapat menjaga penampilan mereka tetap cantik di tengah polusi ibu kota begini. "Apa kau takut ketahuan?" Ia mengarahkan matanya pada pergelangan tangan sang pemuda. "Luka itu, kau takut yang lain berpikir aneh-aneh?"
Wonwoo mengendikkan bahu. "Lebih baik tidak ada yang melihat. Lagipula tak ada yang tahu selain kau."
Kalimat terakhir membuat Nara mengangkat alis, entah harus merasa terkejut atau tersanjung. Jeon Wonwoo memang penuh rahasia, tapi adalah hal yang janggal bila Seokmin dan Chaniーapalagi Jihoon yang memiliki rasa curiga serta kepekaan tinggiーsama sekali tak melihat perban melingkari pergelangan tangan Wonwoo.
Tak ingin mengungkit lebih banyak, Nara kemudian melepas kardigan dan menyampirkannya pada lengan sofa. Ia sempat melirik ke arah meja makan yang terletak di area dapur, sontak tak dapat mencegah senyum untuk tak merekah lebar. "Ada yang sudah mulai menjadi 'kutu butu' ternyata."
"Jangan menggodaku seperti itu." Wonwoo mencebik. Pemuda itu baru selesai mengatur suhu ruangan saat kembali melangkah untuk membereskan barang-barangnya di dapur. "Kau tahu sendiri Jihoon hanya memberi tenggat waktu tiga hari untuk menyalin seluruh catatannya."
"Ah." Nara mengangguk. "Jadi kau ingin cepat menyelesaikannya agar tak perlu membuat Jihoon menunggu lebih lama?"
"Tidak juga." Si pemuda hanya menggeleng samar. Hening untuk beberapa saat sebelum kembali terdengar sahutan, "Aku berencana untuk mengunjungi ibu tiriku nanti malam."
Nara mengerjap, kehilangan kata-kata untuk sekejap. Ia tidak menduga jawaban itu yang akan meluncur dari mulut Wonwoo. "Kau akan pergi sendiri?"
Masih menumpuk beberapa buku dan menyelipkan lembaran catatan, Wonwoo sempat mendongak untuk menatap sang lawan bicara heran. "Tentu saja. Aku hanya satu-satunya keluarga yang ia punya." Ia mengendikkan bahu. "Well, itu sih menurut pengaturan hukum."
Saat itu, Nara tak dapat membalas apapun kecuali senyum samar. Dalam kepalanya si gadis berusaha mencocokkan sosok Wonwoo yang ada di hadapannya sekarang dengan Wonwoo yang ia kenal dari deskripsi data Hades. Wonwoo yang bengis, urakan, preman kampus, mesum, seorang pemabuk akut, pria muda yang hobi bersenang-senang dan menikmati selangkangan wanita. Jeon Wonwoo yang hitam, gelap, dan penuh kebencian. Namun kembali menilik kedua iris rusa kelabu milik sang pemuda, Nara dapat merasa hatinya digelayuti gundah.
Wonwoo yang ia lihat sekarang adalah abu-abu, bagai secangkir cangkang retak yang siap pecah kapan saja.
Terlebih, saat mengingat bagaimana dulu Seungcheol meneriakinya bodoh, memaki dan merutukinya sebab masih berhubungan dengan wanita itu, namun Wonwoo hanya bergeming; bungkam dan tak melawan.
Seolah apa yang digambarkan dalam data dan realita, ada dua karakter kontradiktif dari satu pribadi yang sama.
Mungkinkah itu?
"Bukankah kau bilang kau datang untuk makan siang bersama?"
Nara tersentak. Lamunannya bubar, gadis itu sempat mengedip kagum kala menemukan seluruh masakan yang ia beli telah tertata rapi di atas meja makan.
Wonwoo tersenyum miring. "Kau terlihat terkejut. Memang apa lagi kali ini? Mau berkata bahwa kau juga tak pernah mencoba nabak kimchi* dan bibimbap?"
Namun Nara tidak membalas, tidak pula tersenyum atau menantang kalimat Wonwoo seperi yang biasa ia lakukan. Ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya, dan si gadis tahu bahwa kalimat Wonwoo barusan hanya distraksi kecil untuk mengalihkan topik awal mereka. Tatapannya masih mengarah lurus-lurus pada lawan bicara, bahkan bibirnya tak melengkungkan senyum sedikitpun kala bertanya, "Seungcheol tidak pergi denganmu, huh?"
Saat melihat perubahan ekspresi pada wajah Wonwoo, si gadis menambahkanーpenuh hati-hati, "Mengunjungi ibu tirimu. Ia sepupumu, ia juga ... keluargamu."
Wonwoo tersenyum kecut. "Apa kau masih berpikir begitu setelah mendengar pembicaraan kami? Ia membenciku."
"Tapi akan lebih baik bilaー"
"Ah, bukankah kau terlalu banyak bertanya tentangku?"
Kalimat Nara terputus.
"Ini tidak adil, bukan?" Wonwoo menggaruk tengkuk, membuat ekspresi kesal yang dibuat-buat. "Kau tahu banyak hal tentangku, tapi aku tidak pernah tahu sesuatu tentangmu."
Ah. Kalimat itu terasa ringan, namun si gadis dapat merasa wajahnya memanas mendadak. "Apa yang ingin kau tanyakan?"
"Ceritakan tentangmu." Wonwoo tersenyum penuh kemenangan. Ia menyandarkan tubuh di samping si gadis, mengambil sepotong bibimbab dengan potongan timun paling kecil, mengapitnya dengan sumpit dan berkata, "Apa saja tentangmu; masa lalumu, hobimu, kesukaanmu, apa aku pria pertama yang menciummu atau tidak. Aku baru sadar sejauh ini aku hanya mengenalmu sebagai gadis galak berpendirian yang menyukai musik klasik."
Nara menahan tawa. "Kau benar-benar mengenalku seperti itu?"
Sejujurnya Wonwoo bukanlah orang pertama yang bertanya hal serupa. Dulu saat ia bertemu target berbeda, mereka juga memiliki keinginan yang sama; untuk mengenalnya lebih dekat. Namun bertahun-tahun Nara singgah ke bumi, ia memiliki banyak kehidupan, dikenal dengan banyak nama, fisik yang berbeda, dan makanan kesukaan yang beragam pula. Satu-satunya hal yang samaーhal yang kerap menjadi jawabannya adalah, "Aku pernah sempat bertunangan dulu."
Wonwoo membelalak, nyaris tersedak isi mulutnya sendiri. "Tunangan?"
"Tapi itu sudah dulu. Dulu sekali."
"Lanjutkan." Suara pemuda itu terdengar ragu, namun samar-samar si gadis dapat mendengar nada protektif dalam kalimat Wonwoo saat ia melanjutkan, "Kau mencintainya?"
"Apa kau pernah bertunangan dengan seseorang tanpa mencintainya?" balas Nara, mengabaikan ekspresi Wonwoo yang kini ternganga tak percaya.
Namun menghela napas, berusaha untuk mengingat sekaligus mengusir kabut memori yang datang di saat bersamaan, si gadis lantas melanjutkan, "Kau tahu, bahkan saat masih kecil aku pernah bermimpi untuk menikah di istana layaknya putri kerajaan. Kemudian, berdansa dengan pangeran tampan diiringi lantunan biola klasik." Matanya berkaca-kaca. Di dalam kepala, semua itu terulas begitu besar; kenangan masa kecil, kenangan awalnya menjalani hidup sebagai manusia naif. Itulah hidupnya; hidup yang sesungguhnya.
Wonwoo berdecak, mengerucutkan bibir kala menelan potongan terakhir mandu-nya. "Kau tahu, aku juga tidak keberatan dengan itu."
"Apa?"
Wonwoo memalingkan wajah, tangannya tampak membenarkan poni dengan gerakan kikuk. "Maksudku, kau tahu. Aku tidak terlalu menyukai musik klasik, tapi aku pernah melihat beberapa adegan dansa yang digelar dengan orkestra megah di film-film. Dan itu ... well, aku tidak keberatan melakukannya kalau kau mau."
Astaga. Apa yang pemuda ini pikirkan? Nara tergelak, namun ia dapat merasakan hatinya diam-diam menghangat.
Wonwoo memang tak terduga.
"Baiklah, baiklah. Sudah cukup omong kosongnya. Sekarang saatnya makan siang." Nara mengambil sumpit di atas meja, sengaja mengalihkan pembicaraan walau ia masih merasakan tatapan Wonwoo masih mengarah padanya. Ia menyumpit potongan bibimbab yang paling besar dan memasukkannya dalam mulut. "Tak ada yang lebih lezat dari makanan tradisional Korea."
Wonwoo mendengkus, memajukan tubuh untuk mengelap beberapa butir nasi pada sudut bibir si gadis. "Sengaja makan berantakan tidak membuatmu tampak menggoda, kau tahu." Mata mereka bertemu. Waktu seolah membeku. Ruangan dilingkup hening, hanya terdengar derik pendingin ruangan yang sudah tua. Saat itulah Nara memejamkan mata kala sepersekon kemudian ia merasakan bagaimana bibir Wonwoo menyentuh bibirnya. Remahan rumput laut dan rasa kecut timun samar-samar memenuhi mulut si gadis.
Namun ia tak keberatan, ia membuka mulut, membalas ciuman tersebut dan mengijinkan lidah sang pemuda menjelajah lebih dalam. Ciuman itu berlangsung sedikit kasar, terburu-buru, dan penuh posesif.
Wonwoo tak tahu apa yang merasuki hati dan pikirannya, namun kerap kali memikirkan Nara melakukan ini dengan pemuda lain, ia merasa ... kalah. Hatinya langsung memanas. Baru kali ini ia dapat mengerti bagaimana perasaan Jihoon kala tak meraih peringkat pertama dalam ujian. Perasaan itu menyebalkan, jujur saja: perasaan saat kau tahu orang lain lebih baik darimu.
Kini saat ia masih dapat merengkuh wajah Nara dalam genggaman, Wonwoo merasa ada dorongan dalam hati yang kuat untuk memiliki gadis ini. Untuk melindunginya dari sentuhan pemuda lain, untuk mencegah air matanya tumpah, untuk selalu ada dan menemani Nara di masa-masa terendah hidup.
Entahlah. Namun perasaan ini jelas berbeda saat ia mencium gadis klub.
Di sela-sela ciuman panas, di antara campuran tensi dan nikmat yang mengaduk hati, Wonwoo lantas memajukan tubuhnya, dengan sedikit tergesa merengkuh pinggang Nara dan mengangkatnya sampai ke pangkuan Wonwoo. Nyaris tak ada jarak yang tersisa antara bibir mereka kala pemuda itu berkataーserak dan lirih, "Kau tahu, siapapun lelaki yang pernah menjadi tunanganmu dulu, ia pasti menyesal sebab membuang permata." []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top