10; Moonlight Sonata: Faint Shimmer of The Moon
KALAU diberi kesempatan menilai dari skala satu sampai sepuluh mengenai sikap manis seorang Jeon Wonwoo sebagai seorang kekasihーbukan kekasih betulan memang, tapi ajakan kencan pemuda itu secara tak langsung menganalogikan keduanya seolah pasangan kasmaran yang pergi ke kencan pertamaーmaka tanpa perlu pikir ulang Nara akan dengan yakin memberi angka dua.
Well, awalnya ia tidak menganggap serius ajakan itu. Jujur saja, melihat segaris seringai di bibir Wonwoo, melirik sekilas netranya berkilat penuh kemenangan kala pemuda itu menyambung dengan dagu terangkat angkuh, "Pipi dan telingamu memerah. Astaga, jadi kau benar-benar ingin kencan denganku?"ーdetik itu pula Nara hendak merutuk di tempat. Ia segera memalingkan wajah, berusaha membantah tapi suaranya malah terdengar bak cicitan tikus yang baru tertangkap predator ganas. Sial, sial, sial.
Memalukan.
Namun nyaris beranggapan bahwa pemuda di hadapannya ini baru saja melecutkan beberapa kebohongan sebagai godaan belaka, seluruh dugaan tersebut kemudian luruh; terpukul rata dalam satu sekon kala Wonwoo berkata, "Anggap saja ini sebagai balas budiku untuk kemarin."
Nara terhenyak.
Apa katanya?
Si Jeon itu menelan saliva, memasukkan dua telapak tangan dalam saku celana seraya menaikkan bahu tak acuh. "Kau sudah mengeluarkan uang dan tenaga untuk membelikanku makananーwalau aku tidak pernah minta. Aku ingin mengganti dengan uang, tapi ..." Ia mendecakkan lidah kikuk, kini rona samar sempat menghampiri pipinya sebelum menukas, "Tapi itu tidak elitーwell, itu kata Seokmin. Aku juga tidak mengerti mengapa Si Idiot itu ikut campurーsial. Aku tak seharusnya mengatakan ini padamu."
Melihat lawan bicaranya berkali-kali berdecak dan mengusap tengkuk dengan gerakak kikuk, kini giliran Nara yang tergelak keras-keras. Lee Seokmin mengatakan itu padanya? Pada pemuda keras kepala ini? Serius? "Sudah menjadi budak Seokmin sekarang, huh?" Ia mengangkat satu alis dan tersenyum puas. Barangkali, inilah mengapa manusia tidak bisa menilai seseorang berdasar pada kaver luar saja. Jeon Wonwoo, Sang Preman Kampus yang garang, ditakuti seantreo junior, dan sering membolos ini ternyata takluk kepada sahabatnya, Si Konyol Seokmin.
"Astaga, aku tak percaya pemuda sepertimu mau menuruti nasihat orang. Jadi, kau akan membalas dengan apa? Kencan mahal di restoran mewah?"
"Memang apa lagi yang kau pikirkan? Menghabiskan sisa malam di hotel bintang lima?" Wonwoo menggigit bibir bawah dengan kerlingan mesum. "Tidak masalah. Rasanya sudah lama aku tidak olahraga ranjang."
Ah, serangan kedua. Kali ini dalam bentuk pelecehan verbal. Si gadis hanya memutar bola mata jelak. "Pikiranmu memang sudah penuh dengan hal plus-plus, ya?"
Selanjutnya, Wonwoo tak lagi membalas. Keduanya kemudian melangkah melewati persimpangan menuju trotoar jalan besar. Selepas dari apa yang Nara lihat di gang sepi tadi, kini atmosfir padat kota Seoul kembali terasa nyata. Lalu lalang kendaraan, pejalan kaki yang tergesa, kesibukan beberapa toko dalam menggelar diskon musim semi. Langit biru cerah merekah sempurna. Awan-awan berarak. Bunga sakura tersenyum indah.
Wonwoo kemudian melangkah masuk dalam satu rumah makan kecil di ujung jalanーtepat beberapa gang dari persimpangan tadi. Nyaris untuk beberapa alasan, Nara menemukan napasnya tertahan sempurna kala irisnya mengupas satu per satu dekorasi bangunan tersebut. Satu palang bambu besar dengan kaligrafi hangeul terpampang dekat gerbang kayu. Di dalamnya, berdiri kokoh satu bangunan yang didesain menyerupai hanok; pinggiran atap melengkung, cerobong asap yang Nara yakin merupakan dekorasi semata, pula hamparan rumput hijau disertai jalan setapak berbatu yang mengarah pada pintu masuk.
Interior di dalam benar-benar disusun detil bak rumah alih-alih restoran. Pembagian tempat duduk berdasarkan pada bilik yang dibatasi rangka pintu kayu berlapis kertas hanji. Tiap bilik memiliki empat hingga enam meja berkaki pendek serta alas duduk berupa busa tipis. Masih larut dalam isi kepala sembari memandangi beberapa pigura lawas pada dinding restoran, Nara lantas mendongak kala Wonwoo tiba-tiba membuka suara, "Jadi selain jajanan pasar tteokbokki, apa kau juga tidak familiar dengan masakan khas Korea yang lain?"
Kini, dua mangkuk samgyetang sudah tersedia manis di atas meja, lengkap dengan dua botol liquor ginseng dan sepiring kimchi merah.
Tepat tatkala pandangannya jatuh menuruni sepotong ayam pucat berkuah, Nara menarik kedua sudut bibir dan menyahut, "Hanya karena aku jarang makan tteokbokki, tidak berarti aku tidak tahu makanan tradisional yang lain. Samgyetang, sup ayam ginsengーapa aku benar?"
Pernyataan Wonwoo tidak sepenuhnya salah sebenarnya. Nara ingat ia harus menghabiskan satu malam membaca artikel mengenai makanan tradisional Korea dan berbagai pengetahuan umum seputar Seoul. Walau melelahkan, kegiatan tersebut setidaknya berguna di saat-saat terduga seperti sekarang.
Wonwoo mendengkus setengah tak percaya. "Makanlah," katanya kemudian, "walau tampilannya sederhana, rasa makanannya tidak kalah dengan restoran bintang lima."
Nara menyelipkan beberapa helai surai di balik telinga. Ia memotong paha ayam, mengambil sedikit nasi ketan sebelum menyuap ke dalam mulut. Rasa gurih, manis, asin dari kaldu ayam meledak-ledak dalam lidah. Ia mendadak paham mengapa targetnyaーyang dalam data Hades dicatat sebagai pemabuk beratーkini malah membawanya makan di restoran sup ayam ginseng.
"Tidak banyak rumah makan Korea yang menjual menu ini." Nara menelan kunyahan ayamnya sebelum melanjutkan, "Apa kau sering kemari?"
Wonwoo menenggak anggur ginsengnya sebelum mulai menyuap sepotong jujube. "Dulu sekali."
"Bersama Seokmin?"
"Tidak." Pemuda itu menjeda. "Ayahku yang mengajakku kemari."
Tubuh si gadis stagnan seketika. Satu kalimat tersebut sukses menggali kerak memori semalam. Luka Wonwoo. Pecahan beling itu. Pandangannya jatuh pada jaket kulit sang pemuda, sudur bibirnya menukik tawa tapi yang terdengar hanya sebuah suara hambar. Datar. Bayangan akan secarik foto usang lantas memenuhi kepala. Ayah, katanya.
Jadi ini alasan Wonwoo menyukai samgyetang.
"Kau masih sering kemari sekarangーdengan ayahmu?"
Pertanyaan itu menggantung. Jeda cukup lama. Sesaat, Nara sempat melihat ekspresi Wonwoo berubah. Gerakan mulutnya bahkan melambat, seiring dengan iris berkedip redup. "Tidak," sahutnya pendek.
"Karena kau takut akan menjadi bahan bualan bila pergi makan dengan orangtua, huh?"
Raut wajah pemuda itu berubah kalbu. "Karena dia sudah pergi. Dan tidak pernah kembali."
Nara dapat merasa perutnya seolah diremas. Ia tahu semua ini sejak awal. Jeon Dongsuk, meninggal di usianya yang ke enam puluh. Namun gadis itu ingin mengorek lebih dalam, ia ingin mendengar Wonwoo sendiri yang menceritakan padanyaーmengenai alasan di balik kematian itu, peran Dongsuk dalam hidup si Kecil Wonwoo, dan kedekatan batin mereka yang retak.
Namun belum sempat ia membalas, Wonwoo sudah terlebih dulu melirik isi mangkuk lawan bicara yang masih penuh dan berkata, "Kau benar-benar tidak suka ginseng atau bagaimana?"
Nara mengedip salah tingkah. Ia kemudian memilih untuk diam, menyegel mulut rapat-rapat dan mulai melahap makanannya sendiri. Barangkali saat ini bukan waktu yang tepat untuk mengorek seluruh masa lalu Wonwoo.
Seluruh rahasia tersebut tersegel rapat-rapat di balik semangkuk samgyetang; di balik semangkuk penuh kehangatan. Sebab tepat di sana, Kim Nara tidak akan pernah lupa waktu yang dihabiskan untuk mempelajari data korban.
Rumah makan tua ini akan terus menjadi kenangan korbanーsetelah empat tahun kepergian ayahnya; setelah empat tahun Jeon Dongsuk memilih untuk mengakhiri hidupnya sendiri.
***
Kalau dipikir-pikir, nilai dua untuk kencan hari ini juga bukan nilai buruk. Setidaknya, itu cukup untuk merepresentasikan apa yang terjadi selama tiga jam terakhir; singgah di toko rental komik kuno, konversasi hal-hal mistis, dan rayuan manis yang malah mengacu ke godaan mesum.
Ya, itulah yang disebut kencan.
Setidaknya, menurut seorang Jeon Wonwoo.
Bahkan kala keduanya tengah dalam perjalanan pulangーWonwoo memaksa mengantar entah mengapaーtatkala langit mulai menunjukkan semburat oranye indah bercampur kelabu samar, tatkala Nara berpikir lawan bicaranya akan segera menyuruhnya pulang, tanpa diduga-duga Wonwoo malah menatapnya datar sebelum membuka suara, "Pernah mencoba wafel ikan?"
Apa?
"Tidak," Nara menjawab canggung. Gadis itu sudah membuka mulut hendak melontarkan pertanyaan kalau saja Wonwoo tidak langsung melesat masuk ke dalam antrean salah satu kedai pinggir jalan. Apa yang sebenarnya ada di pikiran pemuda itu? Ia tidak membuka mulut sejak konversasi terakhir mereka tadi, dan seolah dirasuki arwah seorang bocah, Si Jeon mendadak ingin meminta jajan di pinggir jalan.
Ini menggelikan. Apalagi mengingat fakta bahwa Wonwoo itu dingin luar biasa, pemuda kaku yang tak gampang mengekspresikan diri, lelaki yang walau mesum bukan main tetap merasa canggung bila dekat dengan gadis lain.
Di luar dugaan, Wonwoo kembali hanya dengan satuーcatat itu, hanya satuーjajanan bentuk ikan dengan warna kecoklatan. Saat gadis itu menatap dengan pandangan, 'Kau tidak membeli untuk dirimu sendiri?', tetapi seperti pemuda aneh yang Nara kenal, Si Jeon itu malah menggeleng tak acuh dan kembali melangkah.
Jadilah ketika keduanya sampai di apartemen Nara, gadis itu mendesak Wonwoo masuk dengan alasan hendak memberikan materi kuliah dari Seokminーkali ini bukan alasan yang dibuat-buat, Seokmin benar-benar menitipkan catatan kelas padanya semalamーkini Nara menemukan dirinya membawa nampan berisi dua gelas teh persimmon hangat, satu kue berbentuk ikan dan beberapa camilan lain yang bisa ia temukan di kulkas.
"Minumlah," katanya, memindah secangkir teh ke atas meja. "Sekali-sekali kau perlu mengistirahatkan tubuh dari bir dan kopi. Itu tidak baik untuk kesehatan, kau tahu?"
Wonwoo menatap permukaan tehnya yang tenang sebelum menegakkan tubuh, mengarahkan pandang pada si gadis lurus-lurus. "Kau tidak perlu melakukan ini. Aku hanya akan mengambil titipan Seokmin dan pergi."
Nara tengah menghubungkan ponselnya dengan speaker di samping televisi tatkala menjawab, "Nikmati saja, aku juga ingin berbagi wafel ikan itu denganmu." Alunan musik piano mengalir memenuhi seisi ruangan.
Wonwoo mengernyit. Ia jelas tidak asing dengan musik yang mengalun di ruangannya saat ini. "Kau ... menyukai musik klasik?"
Gadis itu tersenyum simpul. "Seperti kau yang menyukai cerita mistis, banyak yang dapat dipelajari dari musik klaisk, Jeon."
Ah, ya. Tentu saja. Kalimat tersebut mendadak melecutkan berbagai macam gejolak dalam lambung begitu saja. Tenggorokannya tersekat. Paru-parunya seolah dicengkram erat. Di sana, jauh dalam satu bilik kenangan yang terkunci rapat-rapat, pemuda itu dapat menilik sebuah gambaran samar dalam kepala. Pasal senyum yang sama; tawa yang sama; iris cokelat whiskey yang menatap secerah purnama.
Bahkan kalimat serupa keluar dari bibirnya, "Layaknya sebuah cerita, musik adalah komposisi nada yang mengandung lara."
"Moonlight Sonata," Wonwoo tiba-tiba membuka suara, "adalah komposisi luka."
Komposisi luka?
"Kau juga menyukai musik klasik?"
Suka tidak, ya? Wonwoo tersenyum miris. Musik itu indah; pelipur lara; penenang jiwa. Namun kini, seluruh definisi tersebut mendadak berubah kalbu; kalis dan keruh. Padahal seluruh kejadian tersebut sudah lewat beberapa tahun. Dan harusnya ia sudah lupa.
Seharusnya ia memang benar-benar lupa.
"Quasi Una Fantasia. Kau tahu mengapa mereka menyebutnya Moonlight Sonata?" Nara duduk tepat si samping Wonwoo. Nada demi nada tetap mengalun memenuhi ruangan, seketika membuatnya terlupa dengan keramaian kota Seoul. Dimanapun jiwanya berada, alunan musik piano tetap membawanya pulang.
Wonwoo tersenyum setengah mencebik. "Kau mengajariku sejarah sekarang, huh?"
"Memang kenapa kalau iya?" Si gadis tersenyum sok angkuh. "Dengar Jeon, membaca sejarah musik klasik tidak kalah asyik dengan membaca cerita mistis."
"Oh, ya?" Wonwoo tersenyum miring. Beralih menatap lurus netra Nara yang tersenyum dan menyipit lucu. Sesuatu di sanaーtepat pada bundar coklat whiskey tersebutーsukses menarik kedua sudut bibirnya untuk mengembang lebih lebar. Ia membenarkan posisi duduk, memiringkan kepala menghadap lawan bicara dan berkata, "Memang apa yang menarik di balik komposisi nada?"
Nara menyandarkan punggungnya dan menghela napas. Tiap tuts nada piano yang mengalun masuk dalam telinganya, mengalir teduh, meresap rekat dalam benak. Hatinya menghangat.
"Komposisi nada ini berawal dari sebuah rasa." Gadis itu menjeda. "Namun bila berkaitan dengan rasa, tidak segala sesuatu berakhir indah."
Nara menyesap tehnya perlahan, membiarkan rasa panas menjalar dalam bibir serta lidah. Sudah lama konversasi tentang musik dibawa ke permukaan. Sedari dulu datang ke bumi, tak banyak korbannya yang tahu tentang Beethoven atau Mozart atau kumpulan sonata.
Sejauh dua puluh tahun kedatangannya di bumi, hanya Wonwoo yang pertama.
"Hal menarik lain, semua emosi komposer bisa kau rasakan dari tiap alunan nada; bagian awal yang penuh impian, lanjut dengan penuh emosional, dan bagian final yang penuh gelora. Hasrat, frustrasi, mimpi, bahkan cinta—semua tercampur aduk, diringkus dalam sebuah karya yang dapat dinikmati massa."
Wonwoo bungkam.
Nara tertawa sumbang. "Kau tahu, terkadang luka dan lara tidak selamanya berbuah pahit."—sebab kehidupannya sebagai pekerja Hades juga bermula ketika ia dianggap sampah; sebab kematiannya dulu serta kehidupannya yang sekarang bermula dari lara.
Ah, terlalu banyak nostalgia.
Pada akhirnya, si gadis hanya menaikkan alis tak acuh. Wonwoo juga tidak berniat membalas apalagi melanjutkan topik tersebut lebih lanjut. Ia mengambil gigitan pertama tepat pada kepala ikanーapa namanya tadi? Bungeoppang? Matanya membulat. Lelehan kacang merah yang hangat memenuhi permukaan lidah. "Ini tidak seburuk yang kupikirkan." Ia mengambil gigitan besar pada tubuh ikan, mengunyah lahap sementara perutnya kian merongrong puas. Ia tidak tahu wafel berbentuk ikan bisa terasa begitu lembut dan manis dalam mulut. "Astaga, kau harus sering-sering membawaku memakan jajanan pasar."
Diam-diam Wonwoo tersenyum geli. Kim Nara jelas berbeda dengan gadis lain yang ia kenal, kalaupun ada gadis lain yang ia ingat selain Chani. Well, para gadis klub jelas tak dapat masuk dalam kategori 'teman' bukan? Entah mengapa. Awalnya Wonwoo hanya tertarik dengan kedua iris cokelat whiskey milik Nara. Cara gadis itu menatap, caranya berbicara, pribadinya yang tegas dan kuat.
Dan unik.
Unik sekali.
Satu-satunya orang Seoul yang tidak familiar dengan rasa kenyal tteobbokie, satu-satunya gadis yang tampak sangat bahagia walau hanya diajak memakan bungeoppang di pinggir jalan, pula satu-satunya gadis yang tak keberatan sekalipun pergi ke toko rental komik tua.
Entahlah. Ada sesuatu yang janggal yang anehnya malah membuat Wonwoo merasa nyaman. Ia bahkan tidak ingat kapan terakhir kali berbicara dengan leluasa dengan seorang gadis.
Namun, Nara tidak menyerah.
Tapi, kenapa?
"Makanmu berantakan sekali," pemuda itu tersenyum kecil, mengulurkan tangan untuk membersihkan sudut bibir Nara dari bekas krim kacang merah. Kemudian sesaat, waktu tampak berjalan lambat. Lantas tanpa menunggu lama pemuda itu kemudian maju dan menempelkan bibirnya dengan bibir Nara, membuat gadis itu membelalak tetapi kemudian membalas ciuman itu.
Tangan Nara menarik leher Wonwoo, berusaha memperdalam ciuman tersebut. Bersama, di bawah kilau remang lampu dalam keheningan ruang tamu, Wonwoo merasa sesuatu dalam dirinya menggelegak. Hatinya berdentum. Jantungnya mengetuk gila-gilaan. Musik yang mengalun makin merasuk dalam jiwa. Dan tak peduli seberapa fakta bahwa ia menikmati ciuman itu, tak peduli bagaimana si pemuda nyaris kehilangan akal saat jemarinya mulai berkelana pada tiap sela jemari si gadis, tetap satu pertanyaan tak henti mencuat dalam benak;
Apa yang Kim Nara lihat dari dirinya? []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top