09; Fate and A Little Date

TERHITUNG dua puluh lima hari semenjak kedatangannya di bumi, tujuh belas hari sejak pertemuannya dengan Wonwoo untuk pertama kali, dan kurang dari dua puluh empat jam sejak kunjungannya ke apartemen target.

Dalam waktu nyaris satu bulan yang berlalu kelewat cepat, Kim Nara harus berkali-kali mengorek informasi target tanpa henti, terus berupaya untuk menarik ulur atensiーtak peduli seberapa apatis Si Jeon itu.

Tidak, bukannya rumit atau susahーini bukan misinya yang kedua atau kelima, ingat? Kim NaraーEleftーsudah melakukan ini nyaris selama dua puluh tahun kematiannya. Ia sudah pernah masuk dalam berbagai tubuh dan fisik yang berbedaーmulai dari gadis imut dengan wajah bulat dan mata besar ala tokoh anime, sampai seorang wanita berkelas dengan lekuk tubuh mirip gitar dan dada berisi yang sukses membuat targetnya bertekuk lutut.

Menurut Hades, inkarnasi ruh harus disertai dengan ciri fisik yang mendukung; harus disesuaikan dengan ras pada tempat dimana misi dilaksanakan. Kadang pula, tubuhnya didesain khusus mengikuti selera sang korban, tentu untuk memperdaya mereka masuk ke perangkap lebih cepat.

Namun tentu saja, penampilan yang dapat dilihat mata hanya memberi dukungan jangka pendek. Tak akan bertahan lama, bahkan dapat berubah seratus delapan puluh derajat kala mereka bosan. Manusia dapat dibuta nafsu sebab fisik, tapi rasa percaya dan afeksi lahir dari relasi intim. Jadi agaknya, tak ada yang perlu Nara pertanyakan kala satu hari Wonwoo dapat berubah liar dan menciumnya ganas, tapi esoknya kembali bersikap dingin seolah keduanya tak saling kenal.

Sebab segala sesuatu yang dimulai nafsu tak akan mampu bertahan lama.

Kini, mendesah tertahan sementara si gadis memutar kepala ke arah jam di ruang tamu, ia dapat merasa denyut pelipisnya menguat seiring rasa kantuk merayapi mata. Pukul tiga pagi. Temperatur udara seolah merosot drastis kendati seluruh pendingin ruangannya dimatikan. Bulu kuduknya meremang, rasa gugup menguliti tubuhnya samar-samar.

Kim Nara tentu tahu alasannya masih belum tidur kala purnama sudah menampakkan diri di luar. Ia bukannya manusia nokturnal pengangguran yang jam tidurnya sama dengan jam mentari muncul di cakrawala. Toh menahan rasa lelah pada kelopak mata sementara tubuh harus tetap duduk tegak di atas lantai ruang tamu dengan peredangan redup sama sekali bukan hal menyenangkan.

Gadis itu mengembuskan napas tertahan seiring bau anyir menusuk indra penciuman. Di sekelilingnya, sudah terdapat dua belas lilin menyala yang disusun melingkar. Beserta sepiring darah kambing yang sengaja diletakkan di bagian depan. Surai abu-abunya dikuncir kuda tinggi-tinggi, tubuh kecilnya dilapisi kain satin putih. Nara memejamkan mata, menegakkan punggung, menahan diri.

Pukul setengah empat pagi.

Di tengah sunyinya malam, mulutnya berkomat-kamit mengucap secarik mantra.

Sudah menjadi tradisi pada tiap periode tertentu, para pekerja Hades harus melaporkan perkembangan misi lewat sesosok ruh. Hades tidak memiliki akses apapun untuk singgah atau sekadar menengok keadaan bumi. Oleh karena itu, dewa mengutus beberapa budak dalam wujud arwah, sebagai perantara pesan antara dewa dengan pekerja.

Antara menyenangkan atau tidak, bekerja sebagai budak jelas bukan titel yang bagus. Rata-rata ruh budak merupakan manusia-manusia yang mati tertekan tanpa dilingkup damai. Entah itu sebab disiksa, dibunuh paksa, atau memang ditargetkan Hades untuk mati lebih cepat.

Ruh-ruh yang memang hanya ditakdirkan sebagai budak.

Gadis itu tetap khusyuk berdoa; menyebut mantra; bibirnya tak henti berkomat-kamit hingga dirasa bulu kuduknya berdiri. Ia menegakkan tubuh, menguatkan hati dan semakin gencar mengucap mantra.

Genangan darah di atas piring berguncang pelan. Bau anyir seiring semilir angin kian lama kian menusuk hidung lebih pekat. Dirasakan sebuah sentuhan energi dari samping tubuh, Nara seharusnya tidak berjengit kala membuka mata dan mendapati sesosok arwah perlahan muncul di hadapannya. Namun untuk sepersekian sekon di sana, si gadis mendadak dapat merasa napasnya tertahan seketika, tenggorokannya tercekat, jantungnya berhenti berdegup sementara si gadis tak henti meniti pandangannya pada budak.

Seorang pemuda jangkung yang masih muda, wajah pucat pasi, surai hitam legam, mata sayu.

Oh, dewa. Hatinya terenyuh.

Apa yang membuatnya mati tanpa damai sejahtera?

"Anda memanggil saya, Nona?"

Pikirannya lantas pecah. Nara mengerjap lambat, membasahi bibir bawah dan menata ekspresi. Segera sadar bahwa 'pemuda' di hadapannya hanya sebatas arwah dengan pandangan hampa dan ekspresi kelimut, gadis itu lantas berdeham, berkata tegas, "Eleft, Sang perancang Kematian."

Ruh itu tidak bereaksi, tidak mengangguk atau tersenyum. Tidak pula membungkuk dan menunjukkan kesan hormat seperti yang biasa dilakukan para budak lain. Barangkali ia juga tak akan memperkenalkan dirinya sendiri apabila Nara tidak menyambung, "Siapa namamu?"

Jeda sejenak.

"Foniash, nona."

Mata Nara membulat. Napasnya tercekat tanpa sadar. Foniash.

Seorang pembunuh.

Ruh itu menatap hampa. "Apa yang bisa saya lakukan untuk anda, Nona?"

Nara menenggak saliva, menggeleng kecil untuk menyingkirkan pikiran tersebut. "Perkembangan misikuーtolong sampaikan perkembangan misiku pada Hades." Ia menjeda sejenak, membiarkan potongan kejadian semalam berputar dalam benak. Pasal senyum, luka, juga fotograf yang sengaja dikubur dalam tikar. "Aku belum dapat menentukan kematian target. Untuk sekarang ... aku tidak menemukan bukti kejahatan apapun pada pemuda itu. Ia memang mesum, kasar, hobi mabuk-mabukan, tapi untuk melakukan kejahatan seperti dalam data Hades ..."

Foniash menunggu sabar.

"... aku belum mendapat bukti apapun."

"Hades pasti akan memaklumi anda." Foniash hanya bergeming di tempat. Kalimatnya barusan berhasil menarik atensi Nara dan membuat kening gadis itu terlipat. Namun toh sebelum ia sempat berkata-kata, Foniash terlebih dulu menyambung, "Apa anda sudah selesai, nona?"

Gadis itu menelan saliva sebelum mengangguk lambat. Ia kembali memejamkan mata, mengucap mantra, dan ruh Foniash perlahan kabur dari pandangan. Tepat saat itu Nara mendengar jamnya berdenting.

Pukul empat tepat.

***

Selepas kelas pagi yang berdurasi dua jam itu, Nara langsung bergegas ke apartemen Wonwoo.

Pemuda itu tak kunjung masuk kampus, membuat Jihoon dan Chani khawatir sekaligus murka di saat yang sama, bahkan sempat terbayang niat untuk mengunjungi apartemen Wonwoo selepas kelas. Namun berterimakasih pada pemuda cerewet yang dalam sekejap berubah menjadi begitu persuatif, Lee Seokmin dapat menyurutkan rencana menggebu kawan-kawannya dengan berkata, "Wonwoo benci keramaian, tidak ingat? Aku rasa mengunjungi pemuda itu serempak hanya akan membuat suasana semakin keruh. Lagipula, projek kita belum selesai dan harus dikumpul minggu depan."

Jihoon sudah melempar tatapan mautnya, tapi Seokmin tidak sedikitpun gentar saat melanjutkan, "Bagaimana bila Nara saja yang pergi? Keduanya sudah mulai dekat, aku rasa lebih baik untuknya mengunjungi Wonwoo sendiri." Ia tersenyum percaya diri. "Aku percaya padanya. Kau tahu sendiri ia datang ke apartemen Wonwoo dan membuatkan pemuda itu makan siang."

Kim Nara meringis diam-diam. Percaya.

Manusia itu mudah sekali percaya.

Jihoon jelas menentang ide tersebut dengan ucapan sarkasnya, "Dan membiarkan Si Idiot Jeon melakukan hal bodoh lagi? Oh, lupakan. Aku akan ke sana sendirian."

Tetapi kala pemuda itu sudah menyampirkan ransel di bahu, Chani tiba-tiba menggelayut lengan Jihoon, seketika membuat pemuda itu berjengit dan mengumpat tertahan, apalagi saat Chani berkata, "Kau janji menemaniku ke perpustakaan untuk tugas mata kuliah. Tidak, kau tidak usah pergi ke apartemen Wonwoo. Jangan menganggu pasangan yang sedang kasmaran."

Nara tersenyum kecil saat melihat Chani mengedipkan satu mata untuknya. Jihoon masih bergidik geli, berkali-kali melayangkan rutukan sementara Seokmin terkekeh pelan. Di sela obrolan kala Chani dan Jihoon masih saling menyembur cercaan satu sama lain, Seokmin menyempatkan diri untuk berbalik dna menatap Nara hangat, tanpa diduga-duga berbisik seraya mengedipkan mata, "Terima kasih."

Detik itu, Nara terpaku. Bahkan sampai sekarang gadis itu tak mengerti. Mengapa seseorang seabsurd Jeon Wonwoo memiliki tiga sahabat perhatian yang begitu peduli padanya? Percayalah, kendati Jihoon merupakan pemuda berlidah setajam silet, Nara pernah mendapati pemuda itu berkali-kali mengirim pesan pada Wonwoo sebab sahabatnya tak masuk kelas seminggu lebih.

Sampai di lokasi tujuan, gadis itu lantas menekan bel. Untuk beberapa sekon, ia sempat merapikan surai dan membenarkan setelan blouse dan rok jeans-nya di atas lutut, seraya berpikir bagaimana mengolah kata pembuka yang tepat setelah perselisihan mereka kemarin. Tatkala pintu terbuka, Wonwoo sudah tampak rapi dengan kaos oblong putih dibalut jaket kulit hitam beserta bawahan ripped jeans. Surainya yang setengah basah acak-acakan, mata sabitnya menatap Nara dengan senyum terulas.

"Sudah kuduga kau akan datang hari ini." Pemuda itu melangkah keluar, aroma kopi bercampur woody menguar dan membuat si gadis menahan napas tanpa sadar.

Jeon Wonwoo tampak ... berbeda.

"Aku menunggumu."

Apa ia bilang? Setelah perdebatan semalam, Nara kira pemuda itu akan mengacuhkannya hari ini. Tetapi, menunggu ...?

Wonwoo kemudian menutup pintu apartemen dan memastikannya terkunci rapat, hendak melangkah ke arah lift tapi kembali berbalik saat Nara hanya bergeming; stagnan di tempat dengan kuriositas membumbung di udara. "Apa lagi yang kautunggu? Ada tempat yang ingin aku kunjungi. Ayo."

Alis Nara malah bertaut heran. Pemuda ini mengajaknya keluar? Pergi keluar berdua? Ini jelas menyimpang jauh dari apa yang si gadis pikirkan. Setelah semalam marah bahkan sempat mengusirnya terang-terangan, sekarang pemuda ini akan mengajaknya pergi? Serius?

Wonwoo menyeringai. "Apa kau ingin aku menggenggam tanganmu?'

"A-apa?"

Tanpa aba-aba, tanpa keraguan sedikitpun, bahkan tanpa menunggu jawaban si gadis yang masih mengernyit heran, Wonwoo lantas menggenggam jemari Nara dan bergegas masuk dalam lift.

Menyisakan sebuah tanda tanya dalam benak Nara; ada apa ini?

***

Kala dulu Seokmin berkata bahwa Wonwoo adalah pemuda antisosial yang payah dalam bergaul dengan wanita, agaknya kini Nara mulai mengerti maksud kalimat tersebut bila diaplikasikan dalam realita.

Well, tak dapat dipungkiri, untuk sepersekian sekon singkat kala Wonwoo mengenggam tangannya paksa dan menuntunnya keluar apartemen, Nara tak dapat mencegah benaknya untuk tidak berkelana dalam berbagai dugaan. Ia bahkan sempat berpikir Si Jeon akan membawanya ke rumah makan favorit, arkade tepi jalan (mengingat pemuda itu suka sekali bermain game saat SMA), atau barangkali, kedai kopi dengan dekorasi lucu dan menarik.

Namun, tidak. Semua itu keliru besar.

Alih-alih demikian, Wonwoo membawanya ke sebuah tempat sederhana yang bahkan tak pernah ia bayangkan sebelumnya; sebuah rental komik kuno yang terletak memojok di gang tikus. Tokonya sempit, bukunya usang dan berdebu, dan bagian pinggir dibatasi dinding bata berbalut kain hitam. Tanpa pendingin ruangan, tanpa kipas angin, tanpa pintu atau jendela kaca yang estetis.

Hanya ada komik.

Dan saat Nara bertanya apa tujuan Wonwoo mengajaknya kemari, pemuda itu malah membalas setengah menantangーnyaris menyulut emosi si gadis, "Aku hanya ingin ditemani meminjam komik. Kenapa? Apa tempat ini mengganggu gadis sepertimu?"

Nara meremas jemarinya sendiri. Gadis sepertimu, apa-apaan ... Ia jelas melihat seulas senyum kemenangan tercetak pada wajah sang pemuda. Ia ingin bermain-main, rupanya. Sekarang Nara paham mengapa Wonwoo membawanya ke tempat rental komik di gang berbelit yang memakan perjalanan lebih jauh dibanding toko buku elit di tengah kota. Baiklah, tidak masalah. Memang ia pikir semua gadis merasa jijik setelah diajak ke tempat kumuh, panas, pengap, dan penuh debu ini?

Baru gadis itu hendak menukas, Wonwoo sudah terlebih dulu berbalik, menatap Nara dan berkata, "Kalau memang tidak suka, kau bisa menunggu di luar. Aku masih belum menemukan judul favoritku."

Nara merotasikan bola mata. "Kau selalu mengambil kesimpulan sendiri, Jeon," katanya mendengkus pelan, ikut berbalik melihat tumpukan komik yang tersusun pada tatanan kayu seadanya. Ia bahkan tak mengerti mengapa toko tua seperti ini tidak dijadikan toko buku bekas saja alih-alih tempat rental komik. Toh kondisi bukunya sudah tidak memadai. "Aku suka komik. Hanya kau tahu, rasanya aneh saat seseorang baru mengusirmu dan hari berikutnya berubah sok baik hingga mengajakku ke tempat rental komik."

Entah itu Nara yang salah melihat atau memang benar, tetapi Wonwoo sempat menatapnya dengan kerutan tipis. Pemuda itu kemudian mengalihkan pandang tepat saat Nara menatap balik, kembali membolak-balik beberapa judul komik.

Nara mengangkat kedua alis setengah tak percaya kala membaca sekilas judul komik yang digenggam Wonwoo. "Kau suka komik horror?"ーwell, ia tidak ingat itu pernah tertulis dalam data Hades sebelumnya.

Wonwoo tersenyum miring. "Kau benci buku horror?"

Nara berdecak. "Kau tidak menjawab pertanyaanku."

Wonwoo tak lagi membalas. Pemuda itu mengambil beberapa komik, menuju kasir, menyerahkan sejumlah uang sebelum keluar diikuti Nara. Kala keduanya melangkah menyusuri jalan kecil, Nara tengah menyampirkan helai rambut ke belakang telinga kala Wonwoo berkata, "Pernah mendengar kisah Malam Santo Markus?"

Nara menoleh. "Malam Santo Markus?"

"Kisah urban klasik dari Inggris." Wonwoo tersenyum setengah mencebik. "Gadis sepertimu mana mengerti legenda semacam itu?"

Tidak, Wonwoo keliru.

Nara tentu tahu apa itu Malam Santo Markus. Dulu sekali, saat ia masih hidup di bumi sebagai manusia tulen yang hidup dari fisiknya sendiri dan bukannya mendekati orang untuk merancang kematian, si gadis juga suka mendengar beberapa kisah; mencari tau kebenaran legenda; dan membaca banyak mitos yang beredar.

Dulu sekali, Nara juga pernah memiliki kehidupan.

Namun alih-alih menyahut, gadis itu hanya membungkam mulut, tersenyum tipis, dan menggeleng sekilas. Ada banyak hal yang tidak ingin ia ingat dalam hidup lamanya. "Kau benar," katanyaーniat menantang lawan bicara namun malah terdengar lirih luar biasa. "Gadis sepertiku memang tidak mengerti banyak hal."

Wonwoo mengerjap setengah terkejut. Ia tidak membayangkan Nara akan jera secepat itu. "Dari syair John Keats, St Mark's Eve," ia kembali membuka suara. "Hanya budaya tutur orang Inggris kuno. Tapi isinya menarik. Sosok ruh manusia yang nantinya akan meninggal terlebih dulu memasuki gereja pada malam Santo Markus."

Jeda sejenak. Nara dapat merasa telinganya berdenging oleh sepenggal memori akan kisah tersebut. Ia menelan saliva berat, merasa getir memenuhi kerongkongan kala menyahut, "Kau percaya legenda itu?"

Wonwoo mendengkus. "Apa semua hal yang dipelajari perlu kita percayai?"

Nara tertegun. Ah, benar. Benar juga. Jawaban yang jelas di luar dugaan.

Wonwoo kembali melirik beberapa komik hasil buruannya tadi, sukses memecah lamunan Nara kala berkata, "Seokmin pasti akan mengomel kalau tahu aku menyewa komik-komik ini lagi."

Gadis itu menahan tawa. "Ia memarahimu hanya sebab menyewa komik? Serius?"

"Sama sepertimu, Seokmin benci hal-hal berbau mistis."

Sama sekali bukan hal mengejutkan. Layaknya bulus bertulang rawan yang terkaver oleh tempurung baja, Lee Seokmin sebenarnya tidaklah seberani yang terlihat di tampang luar.

"Dan kau menyukainya?" Nara melihat sekilas kaver komik Wonwoo. Seorang gadis yang lebih mirip sosok arwah gentayangan dengan rambut panjang dan air mata darah berdiri di pelataran katedral. "Memang, apa yang kau dapat dengan membaca legenda tua? Apa itu membuatmu terlihat semakin cerdas?"

Wonwoo tersenyum tipis. Untuk sepersekon yang kelewat singkat, Nara dapat menangkap tatapan lawan bicaranya meredup, seringai di bibirnya terukir sendu. Untuk saat itu pun, si gadis bahkan tak dapat memercayai telinganya sendiri kala mendengar Wonwoo menyahut lirih, "Dengan ini kau belajar, bahwa kematian itu benar-benar nyata."

"Apa?"

Langkah Jeon terhenti mendadak. Nara mengerjap bingung, nyaris menghantam punggung Wonwoo kalau ia tidak segera mengerem langkahnya sendiri. Jauh di luar dugaan, pemuda di hadapannya kemudian berbalik, menatap kedua irisnya lekat dengan senyum menggoda terulas lebar. Ekspresi sedu tadi seketika sirna. Senyum sedih yang tampak melalui garis bibirnya lenyap begitu saja. "Ah, rasanya ini pertama kali aku mengajak keluar seorang gadis. Bukankah sayang bila momen ini tak kita pergunakan untuk hal-hal asyik?"

Pemuda itu memajukan tubuhnya beberapa senti. Aroma parfum menguar, berhasil membuat Nara menahan napas tanpa sadar. Lagi-lagi untuk sepersekon di sana, Jeon Wonwoo berhasil melempar kejutan baru dengan berujar penuh percaya diri, "Jadi bagaimana? Tertarik untuk kencan satu hari denganku, Kim Nara?" []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top