07; You Don't Know Me Well, Do You?
UNTUK satu kalimat dramatis tersebut, Nara yakin ada beberapa informasi palsu yang sengaja dilebih-lebihkan. Soal keluarga; soal kriminal; pula soal kubangan parit, yang―uh, kalau boleh jujur―merupakan salah satu pilihan kata terburuk dan terlampau absurd untuk dijadikan perumpamaan.
Well, Nara sendiri harus merapatkan bibir tepat kala mendengar kalimat Wonwoo barusan. Alih-alih terdengar seperti pengakuan menyedihkan, membayangkan pemuda itu berkata dengan ekspresi datar dan dua mata menatap nyalang seketika sukses membuat bahu si gadis menegang menahan dentuman murka. Dengan riwayat kriminal yang dikalungkan sejak bertahun-tahun lalu, apa pemuda itu masih punya muka untuk menuding orang lain―untuk membawa semua beban kesalahannya atas nama keluarga? Karena dosa keluarga?
Oh, jelas itu bukan masalah serius. Bukankah memang lebih mudah mencari kambing hitam atas nasib sial yang menimpa diri sendiri? Atas kubangan dosa dan tumpahan darah yang diciptakan dengan tangan sendiri?
Menghela napas dan mengepal tangan, gadis itu mendadak merasa gelegak muak menghantam lambung atas tindakan 'pura-pura bekerja padahal berdiri dan menguping'-nya sekarang. Jadi tanpa menunggu lama ia berdeham, melangkah tenang ke ruang tamu sebelum bekata, "Tidak bermaksud mengganggu konversasi pria, tetapi pantrimu kotor sekali. Boleh aku tahu dimana kau biasa meletakkan lap dapur?"
Seokmin segera berdiri dan mengibas bagian belakang jinsnya. "Wah, kau akan memasak?" Ekspresinya berubah dalam sekejap. Sontak kedua iris itu berbinar dan sudut bibirnya terangkat lebar-lebar. Terkadang Nara bertanya-tanya mengapa pemuda ini dapat bersikap sangat kontras di depan Wonwoo dan di depannya sendiri. "Kebetulan sekarang sudah jam makan siang, bukankah ini ide bagus?"
Wonwoo mengangkat alis tak minat. Pemuda itu juga bangkit dari duduknya, berbalik dan menatap si gadis lurus-lurus. "Kau barangkali tidak bermaksud mengganggu, tapi mencuri dengar percakapan kami, bukan? Hah, teknik klise."
Walau tuduhan demikian terdengar menyebalkan dan membuat rahangnya mengeras, Nara masih dapat mengendalikan diri dengan baik untuk tidak membalas lebih sarkas dan malah menyahut, "Mendengar percakapan kalian? Untuk apa?" Matanya menyipit menantang Wonwoo. "Ah, aku mendadak curiga kau membawa-bawa namaku dalam obrolan kalian. Apa aku benar, Seokmin?"
Seokmin hanya tergelak sementara di sampingnya Jeon Wonwoo memalingkan wajah dan mendengkus pelan. Rasanya sudah lama―lama sekali―sejak terakhir melihat sahabatnya dapat berbicara pada orang lain sesantai ini. Keegoisan dan sikap kasar Wonwoo sudah berhasil mengusir jauh-jauh para gadis yang tertarik dengan fisiknya semata, maka agak mengejutkan Kim Nara tetap bertahan bahkan berhasil membuat kalimat satiris hingga pemuda itu bungkam telak.
Bukankah ini sebuah kemajuan?
Berpikir demikian lantas memunculkan sebuah bohlam ide berpijar dalam benak. Seokmin merapatkan bibir meredam semangat. Benar, kenapa tidak terpikir dari tadi? Pemuda itu mengambil ponsel dari saku, menggerakkan dua jempol di atas layar sebelum terkesiap mendadak. Memasang tampak terkejut yang dibuat-buat, ia berseru heboh, "Astaga! Kerja kelompok! Maaf, Nara. Aku baru ingat ada janji kerja kelompok pukul dua. Chani dan Jihoon bisa membunuhku kalau aku terlambat, bisa aku pergi lebih dulu?"
Nara hanya mengerjap, belum sempat menjawab tetapi Seokmin sudah keburu menyabet tasnya dan pergi tergesa. "Kau lanjutkan saja memasaknya. Terima kasih, sampai jumpa di kampus esok hari!"
Wonwoo mendecakkan lidah tepat saat pintu tertutup dengan debuman pelan. "Sialan, apa ia tak tahu seberapa payahnya ia dalam berbohong?"
Nara tersenyum menahan tawa. Well, untuk pernyataan tersebut ia tak dapat mengajukan pembelaan apapun. Pemuda bermarga Lee itu memang dapat berubah drastis saat marah dan tersenyum, tapi untuk urusan berbohong seperti tadi, ia jauh di bawah kata payah. Serius. Nara bahkan dapat melihat layar ponsel Seokmin hitam sejak pertama pemuda itu mengambilnya dari saku jins. Jadi sangat jelas, gerakan jempol itu hanya pengelabuan semata yang sayangnya bermuara pada kolam kegagalan.
Namun ini juga tak buruk. Berdua dengan Wonwoo dalam apartemen sama sekali bukan hal buruk.
"Jadi, boleh aku tahu dimana kau letakkan serbetnya?"
Wonwoo mengangkat alis. "Kau tidak benar-benar ingin memasak untukku, bukan?" Kemudian seringainya terulas, pemuda itu mengambil sekaleng bir sisa di atas meja, menelan beberapa teguk sebelum melemparnya dalam tong sampah. "Aku tidak lapar. Pergilah."
Seraya memperhatikan bagaimana Wonwoo berjalan ke balkon dan malah menyesap seputung rokok tak acuh, Nara tak punya pilihan selain mencari sendiri tempat serbet itu diletakkan. Ia tidak bisa pulang dan meninggalkan pemuda itu sendirian sementara kondisi apartemen kacau bak kapal pecah begini. Lagipun sekarang mereka hanya berdua―kesempatan langka yang tak boleh dilewatkan untuk mengorek informasi.
Setelah mendapat sehelai kain bekas di dekat wastafel, gadis itu kemudian mengikat rambutnya menjadi satu, membilas kain tersebut dengan air sebelum menggosokkannya pada meja pantri. Bukan hal mengejutkan bahwa Wonwoo adalah salah satu pemuda jorok yang hobi menumpahkan berbagai macam liquid di atas meja dapur tanpa berniat membersihkannya. Kecap, minyak, bahkan ada kuning telur di sana. Sungguh. Kuning telur mentah (yang sudah tak lagi berwarna kuning) tumpah dan tak pernah dibersihkan.
Apa yang ada di pikiran pemuda itu?
Nara bahkan harus menahan napas kala membilas kain lapnya yang menghitam, diam-diam berdecak pelan dan mengumpat dalam hati.
Menjijikkan.
Lee Seokmin memang cerdas memilih untuk pergi sebelum mencemplungkan diri dalam dunia dapur ini.
Gadis itu baru mengeluarkan daging dan sayur dari kulkas, kala Wonwoo tiba-tiba datang dan melirik dapurnya dengan satu alis terangkat heran. "Kau ... benar-benar akan memasak?"
"Apa aku terlihat seolah akan bermain jegichagi*?" Namun kala detik berlabuh dan pemuda itu malah menatapnya seolah ia baru saja mengatakan bahasa asing, Nara menghela napas, mencuci beberapa potong wortel dan brokoli di wastafel dan berkata, "Kau ingin makan apa?"
Wonwoo mendengkus tak percaya. Apa ini? Setelah datang tanpa diundang, menjejeli kulkasnya dengan berbagai varian makanan mentah, pula tanpa rasa jijik atau skeptis sigap membersihkan pantri, kini gadis itu hendak memasak? Untuknya? Oh, Tuhan. Yang benar saja.
Memandang si gadis yang sudah mengeluarkan beberapa butir telur dari kulkas, pemuda itu lantas menyahut―lengkap dengan senyum terangkat geli, "Aku tidak bisa memakan semua itu."
"Apa?"
"Brokoli, wortel, telur―aku tidak bisa memakan itu. Apa Seokmin tidak memberitahumu?"
Kini, giliran Nara menatap dengan pandangan sulit. "Tidak satupun," katanya, sedikit panik. "Dia bilang kau tidak alergi dengan apapun kecuali seafood." Dalam data Hades pun hanya tertulis ia alergi makanan laut, masakah karena―
"Apa harus menunggu alergi untuk menghindari makan makanan tertentu?" Seulas seringai kemenangan tercetak pada wajah Wonwoo. Ah, kapan terakhir kali mengelabui seseorang terasa semenyenangkan ini? Ia meniti bagaimana ekspresi Nara berubah dalam sekejap―bagaimana matanya menyipit sebal, bagaimana rahang si gadis mengeras dan kala ia membuka mulut hendak mengatakan sesuatu, Wonwoo sudah terlebih dulu menyela, "Brokoli terlalu hambar. Wortel manis tetapi membuat mual. Dan telur ..."
Pemuda itu mengendikkan bahu. "Aku sudah makan telur beberapa hari terakhir. Kau mau aku bisulan atau bagaimana?"
Si Sialan ini benar-benar ....
Nara mendengkus tertahan. Bagus, bagus. Seolah menghabiskan beberapa puluh ribu won di market dan menjejeli kulkasnya dengan bahan makanan gratis masih belum cukup baik, Wonwoo yang tak tahu malu ini masih berani menunjukkan muka hanya untuk melayangkan protes alih-alih berterimakasih. Oh, mendadak ia rindu presensi Seokmin di sini. Walau terkadang senyum idiotnya tampak luar biasa menyebalkan, setidaknya pemuda itu dapat menjadi penengah yang baik kala sahabatnya bertingkah manja menyerupai bocah lima tahun begini.
"Aku juga membeli beberapa potong daging," balas si gadis, mencoba untuk meredam amarah lewat kepalan tangan, "kalau kau ingin―ehm, sup daging mungkin?"
Wonwoo berdecak dan berbalik. "Aku yakin ada banyak tugas untuk mahasiswa semester baru sepertimu. Pulanglah, aku bisa memasak makananku sendiri."
Nara kembali memasukkan brokoli, wortel, dan telur ke dalam kulkas dengan pelipis berkedut kesal. Satu kalimat seseorang nyatanya mampu membawa efek luar biasa pada suasana hatinya. Sama sekali bukan hal bagus. Namun tak ingin membiarkan diri termakan emosi, gadis itu mencoba mendinginkan kepala sendiri saat bertanya, "Kau sendiri bagaimana?"
Wonwoo menyugar surai asal. "Bagaimana apanya?"
"Menghabiskan waktu dengan diam dalam rumah dan menenggak beberapa botol minuman keras. Memilih untuk bolos kelas sementara ada kuis penting di universitas?"
Pemuda itu lantas menghentikan langkah, menoleh dengan kernyitan tak terima. Wow, apa itu? Tuduhan tak berdasar atau bagaimana? Well, kalau Nara mau bermain-main, maka Wonwoo pastikan dirinya sama sekali bukan tandingan tepat. "Tidak mungkin." Ia menumpukan satu tangannya pada dinding. "Jangan bilang kau rindu padaku. Oh, astaga. Jadi itu alasanmu merayu Seokmin agar bisa ikut kemari?"
Ada ratusan kalimat manis yang pernah ia dengar selama hidup di bumi. Dan semuanya menggelikan, sukses mengirim sengatan kupu-kupu dalam lambung hingga kerongkongan, tapi akhirnya memberi gejolak mual hingga membuat si gadis ingin muntah di tempat. Tetapi Nara tentu tidak bereaksi demikian. Gadis itu merotasikan bola mata, tapi balas menantang, "Kalau aku memang mencarimu bagaimana?"
Wonwoo tertawa tak percaya. "Kau tidak takut padaku?" Ia maju beberapa langkah, memiringkan kepala saat kedua netranya bergerak liar menyelusuri lekuk tubuh si gadis. "Kau tidak takut aku Si Mesum Aneh yang berfantasi dengan tubuhmu sekarang?"
Baiklah, waktu bermain-main telah usai. Tak peduli berapa banyak godaan yang pemuda itu lontarkan, tak peduli berapa sering ia mengancam dengan tatapan tajam, Nara jelas akan keluar sebagai pemenang. Tanpa aba-aba gadis itu maju beberapa langkah, dengan agresif mengikis jarak tak peduli saat Wonwoo membulatkan bola mata dan tubuhnya nyaris limbung andai tidak berpegangan pada sudut meja makan. Ekspresi pemuda itu berubah drastis. Matanya yang tadi menatap nyalang kini penuh keraguan, wajahnya dipenuhi kernyitan sementara bibirnya tertekuk; bingung.
"Sayangnya, Jeon. Ada beberapa hal yang harus kau tahu selain selangkangan dan dada wanita. Memang untuk apa aku takut padamu? Pada seorang pemuda aneh yang langsung tak sadarkan diri setelah mabuk berat di klub?" Ia tersenyum merendahkan, merasakan bagaimana tubuh pemuda di depannya kini mematung dan bahunya tegang. Lihat, siapa yang mendominasi sekarang. "Bukankah sedikit tidak adil bila kau terus-terusan melempar godaan mesum pada gadis yang baru kau kenal? Jauh dalam sana, kau juga tidak benar-benar mengenalku, bukan?" []
*Jegichagi: Permainan tradisional Korea dengan cara menendang jaegi (kuk yang terbuat dari beberapa keping koin dibungkus oleh kertas tradisional) sebanyak-banyaknya. Biasanya dimainkan secara berkelompok pada musim dingin atau menjelang tahun baru Imlek.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top