04; Slice of Our Memories

SETELAH perkenalan absurd dengan Lee Seokmin―sunbaenim―yang nyaris menggemparkan dunia kampus, Nara memutuskan untuk vakum kelas selama tiga hari berturut-turut.

Untungnya tugas bisa di-submit melalui e-mail, kelas bisa diakses online sehingga materi dapat diunduh gratis, dan untuk mengatasi masalah daftar hadir, ia hanya perlu menyerahkan surat ijin sakit. Itu tidak sepenuhnya bohong, kau tahu? Nara memang merasa sedikit tidak enak badan akhir-akhir ini, barangkali sebab terlalu banyak bergadang sementara karbohidrat yang dikonsumsi hanya sedikit―well, gadis itu lebih memilih makanan instan yang dijual di supermarket dibanding memasak sendiri.

Penat? Jelas.

Toh menjadi budak dewa bukan berarti ia mendapat hak istimewa sebagai manusia. Kuliah tetap kewajiban, tugas tetaplah tugas, tetapi fisik dan jasmaninya tak jauh beda seperti insan-insan lain.

Setidaknya, si gadis masih dapat menemukan titik terang di balik sakitnya yang mendadak. Seburuk-buruk mengikuti kelas online dan mengerjakan tugas sendiri tanpa bantuan dosen, masih lebih buruk hadir di kampus dan mendengar celotehan Seokmin selama tiga puluh menit penuh. Percayalah, untuk satu poin tersebut, Nara benar-benar bersyukur setengah mati. Ia tidak bisa membayangkan pergi ke universitas dan bertemu Si Cerewet itu lagi.

Walau tetap saja, kemampuan bercakapnya itu merambah sampai ke dunia maya―terkutuklah kebodohan Nara sebab ia sama sekali tak menolak ketika Seokmin mendesak hendak bertukar nomor ponsel dengan alasan 'teman harus punya kontak satu sama lain, bukan?'. Teman, katanya. Saat itu saja mulut Nara gatal ingin menyahut, "Apa aku pernah berkata ingin berteman denganmu?"

Tetapi, tidak. Sarkasme tak akan menyelesaikan perkara.

Jadi dengan sedikit berat hati dan rasa tidak nyaman yang terus mengusik dada, Nara memberikan nomor ponselnya sendiri. Tidak apa-apa, bukan? Ini sama sekali bukan masalah besar. Lagipun, Seokmin bisa menjadi alat setir berguna bila Wonwoo menutup diri.

Ya, seharusnya memang tidak apa-apa―

―kalau saja pemuda bermarga Lee itu dapat meredam kuriositasnya dan 'sedikit' menghargai privasi orang. Percayalah, belum empat puluh delapan jam mereka saling kenal dan bertukar nomor ponsel, Seokmin sudah mengirimnya belasan pesan dan isinya rata-rata tidak berguna;

Lee Seokmin

Hai! Ini aku, Seokmin sahabat Wonwoo.

Jangan lupa simpan nomorku^^

Maaf mengganggu, tapi boleh aku tahu sosial mediamu yang lain?

Kau bermain SNS, tidak? Wonwoo juga punya akun SNS, tetapi dia hanya meng-upload gambar-gambar aneh

Tidak apa-apa, bukan? Ini aku beritahu akunnya: @jeonww.21

21 Itu tanggal lahirnya, lho!

Ah, apa kau suka tteoppoki?

Kita bisa makan bersama, tentu bersama Wonwoo juga. Bagaimana?

Wonwoo juga suka kopi! Mau nongkrong di cafe dekat kampus?

Kau sibuk sekali, ya ....

Bukan hanya menyebalkan, Nara yakin pemuda itu sudah mencapai level tak tahu malu. Mereka bahkan belum sedekat itu untuk bertukar puluhan basa-basi tidak penting. Bahkan selepas perkenalan resmi di perpustakaan, saat Nara memanggilnya dengan sapaan formal, Seokmin malah menggeleng dan berujar sok manis, "Tidak usah terlalu formal denganku. Panggil saja Seokmin, lagipula aku sudah menganggapmu teman, santai saja."

Well, tingkat percaya diri pemuda yang satu itu jelas tak dapat diragukan lagi.

Kendati demikian, tak ada alasan untuk Nara membuang kesempatan emasnya begitu saja. Jangan salah sangka. Gadis itu tetap membalas pesan Seokmin―walau singkat, padat, dan tanpa emoji yang menarik mataーtetapi hanya sekali saja. Berbuat ramah itu perlu kendati sekadar formalitas, kau tahu? Bukannya sok cuek atau bagaimana, tetapi menanggapi celotehan Seokmin terus-menerus sama dengan memberi pupuk pada sikap tak tahu diri pemuda itu.

Batas harus tetap ada dalam hubungan teman sekalipun.

Meregangkan kepala seraya melihat jam yang tergantung di dinding kamar, gadis itu kemudian menghela napas keras-keras. Pukul 8 malam, rasanya sudah lama semenjak terakhir ia duduk, menatap laptop, dan mencatat berbagai kumpulan rumus.

Agaknya bersantai sebentar bukan ide buruk. Apartemen di tengah kota yang disewa dengan puluhan ribu won per bulan tentu harus dimanfaatkan dengan baik. Jadi menutup layar laptop sementara tangannya yang lain tergerak untuk menekan remot televisi, Nara yang penat malah kembali dilimpahi kerutan kening kala melihat acara televisinya.

Bukan kartun atau drama.

Melainkan berita, mengenai tindak kriminalitas.

Reporter berwajah datar, mata tajam, dan nada suara serius saat mengatakan, "Berlanjut pada berita selanjutnya, seorang wanita berusia dua puluh tahun diperkosa seorang pemabuk saat melewati distrik Gangnam pada pukul dua dini hari. Polisi masih berusaha menemukan identitas pelaku, mengingat hanya sedikit bukti yang tertinggalー"

Wo.

"ーtetapi polisi tetap akan berusaha sebaik mungkin memberi pengawasan agar hal serupa tak terulang."

Nara tersenyum miris, tanpa sadar menggenggam erat remotnya sendiri.

Dunia benar-benar tak berubah, ya?

Terakhir kali kunjungannya ke bumi, Nara melihat dua kasus kriminalitas tepat di depan mata sendiri; judi dan pemerkosaan eksplisit. Target lamanya dulu memang hidup dalam lingkungan negatif yang kental, hobi memalak uang dengan kekerasan untuk dipakai berfoya-foya, serta berani melakukan kegiatan seks di pinggir jalan kapanpun air maninya mendesak dikeluarkan.

Saat itu Hades mengutus Eleft dengan sebuah pesan tajam, "Putus nyawanya ketika ia mencapai fase puncak dalam hidup."

Ya, itu yang terbaik.

Sebab tak ada hukuman yang lebih menyakitkan, selain meremukkan seseorang tepat pada masa-masa bahagianya.

"Itulah yang kusebut keadilan, Eleft." Suara Hades sesekali terngiang. Nadanya yang dalam, suara berat yang menghipnotis, sukses membuat si gadis menatap kagum sekaligus segan. "Mereka sudah menghancurkan hidup orang, eksistensi yang terlalu lama malah akan membuat dunia menjadi neraka kedua. Bukankah sebuah keadilan kalau orang-orang jahat itu bertemu ajal lebih cepat?"

Berdecak keras-keras seraya menemukan perutnya merongrong lapar, Nara lantas meraih remot dan mematikan televisi dengan cepat. Gadis itu baru ingat ia hanya memakan sepotong ubi tadi pagi, setelahnya tidak mengonsumsi apapun selain kopi. Jelas kebiasaan buruk.

Well, agaknya ini waktu yang tepat untuk si gadis keluar rumah dan menghirup udara segar seraya mencari makan. Tanpa menunggu lama, Nara kemudian meraih kardigan maroon-nya di atas gantungan, memakai sneakers putih dan keluar kamar.

***

Nara bisa menggolongkan diri sebagai seorang gadis sederhana dengan nafsu makan biasa sajaーtidak besar pula tak kecil. Baginya makan bukanlah hobi melainkan aktivitas untuk memenuhi kebutuhan jasmani. Gadis itu juga mengaku tak pemilih, toh makanan dari segala penjuru bumi pernah ia coba, walau setelah misi selesai dan kembali ke alam bawah, Naraーatau biasa dikenal dengan, Eleftーtak dapat ingat bagaimana rasa makanan itu ketika dikecap lidah. Atau efeknya untuk lambung, atau kandungan gulanya yang melebihi apapun.

Nara tidak pernah ingat.

Karena itu harusnya tak menjadi masalah ketika ia menjejak keluar apartemen, dengan kedua tangan terkepal dalam saku cardigan dan surai grayish menjuntai lewat kuncir kuda yang acak-acakan, irisnya lantas memandang ke segala arah dan hanya dapat menemukan satu minimarket kecil di sudut jalan.

Harusnya Nara buru-buru membeli dua cup ramen, memakannya dengan sekaleng soda lalu kembali ke apartemen. Toh itu bukan pilihan buruk. Namun ketika menatap langit malam dan menemukan beberapa kelip bintang di antara pekatnya cakrawala, gadis itu mendadak teringat seseorang.

Iris sabit yang hampa; surai acak-acakan; tubuh jangkung dalam balutan kaos oversized dan celana robek-robek.

Nara mendadak teringat Wonwoo.

Jeon Wonwoo; mangsanya itu.

Diam-diam, si gadis bergidik geli. Sekelebat memori dengan Wonwoo tanpa sadar telah memimpin langkah tungkainya ke pinggir halte bus semalam. Jalan yang masih sepi, aspal berkerikil, lampu jalan tua menyala redup di sudut jalan. Namun menyusuri gang itu hingga ujung, nyatanya Nara harus menenggak fakta getir bahwa presensi Wonwoo tidak ditemukan di manapun.

Ah, pemuda itu tidak kemari malam ini.

Oh, tidak. Jangan salah sangka. Nara tidak merasa kecewa, sama sekali tidak. Ia tidak mencari Wonwoo sebab rindu-astaga, memikirkannya bahkan sukses membuat si gadis mengernyit. Persetan dengan itu, bagaimana bisa kau menaruh rasa pada seorang pemuda yang hobinya menilik gadis-gadis dengan tatapan mesum?ーwalau dilihat dari penampilan fisik, Wonwoo jelas lebih unggul dibanding target-targetnya yang lain.

Namun satu hal yang tidak dapat dilupa, ia adalah kriminal. Dan tampang sebaik apapun tetap tidak akan dapat mengubah satu fakta itu.

Bersama dengan hela napas yang diloloskan lambat, Kim Nara kemudian berbalik dan mengeratkan kardigan kala angin musim semi menerjang. Sebenarnya menikmati malam seorang diri merupakan salah satu anugrah untuk manusia. Ada banyak hal yang bisa dinikmati bahkan tanpa perlu mengeluarkan sepeser uangーbagaimana semilir angin menyentuh kulit, bagaimana mata masih dapat dimanjakan dengan sepenggal panorama langit, bagaimana malam dapat menjadi begitu menenangkan dalam balutan gelap dan hening yang memikat.

Malam; gelap; kelam.

Nyatanya mampu membawa keelokan tersendiri.

Tenggelam dalam lamunan seketika membuat Nara lupa sebuah fakta bahwa kini ia berjalan menyusuri gang sepi. Sendiri. Sebagai seorang gadis. Tepat setelah ia mencapai sudut persimpangan depan halte, Nara mendadak dikejutkan dengan presensi seorang pria paruh baya bertubuh kekar dengan tato di tangan, tengah bersandar pada dinding seraya menenggak sebotol bir.

Gadis itu tanpa sadar menahan napas.

"Wah, tidak salah aku pulang pagi. Rupanya ada bidadari cantik di sini."

Jantungnya seolah berhenti berdetak. Tangannya mengepal was-was. Perlahan rasa takut mulai menjerat tungkai Nara ketika pria di hadapannya menyeringai, menatap tubuh si gadis lekat-lekat; menatap lapar, rakus, seolah siap melahap gadis kecil di hadapannya hidup-hidup.

Nara mundur perlahan, berusaha menenangkan diri dengan menarik napas berkali-kali. Ini sama sekali bukanlah situasi sulit. Pria mabuk di hadapannya hanya akan sekadar menggoda. Kalau ia macam-macam, maka Nara hanya perlu memukul bagian vital pria itu, lalu lari sekencang-kencangnya. Benar, begitu.

Namun sepersekon berikutinya, ia malah merasa kaki lemas luar biasa kala pria mabuk itu berseru, "Hoi, kemari! Aku menemukan mainan baru!"

Deg.

Segerombolan pria lain datang, dua mengenakan kaos tanpa lengan, sisanya menggenggam dua botol bir dan menenggaknya dengan langkah gontai. Aroma alkohol semakin menyengat. Gang masih sepi. Lampu jalan menyala kuning. Remang, gelap, hening.

Sial.

"Maaf, saya ada urusan penting. Permiー"

Tangannya dicekal tiba-tiba. "Mau kemana? Buru-buru sekali." Satu pria dengan tato di sekujur lengan mencolek dagu Nara.

"Ja-jangan dekat-dekat! Saya akan lapor polisi kalau kalianー"

"Cantik cantik kok galak, sih."

Nara seketika dapat merasa jantungnya seolah jatuh ke permukaan kala tiba-tiba pria itu melebarkan tangan, merengkuh tubuh mungilnya dalam satu dekapan erat. Gadis itu memberontak, nyaris melayangkan satu kepal tinju kalau saja pria lain berkepala botak mengunci gerakan tangannya. "Mau main kasar, Manis?" Ia menyeringai tipis. "Tidak apa, aku suka gadis banyak tingkah di ranjang."

"Keparat! Jaga mulutmu, Sialan!" Mata Nara berkaca-kaca. Suaranya masih terdengar bergetar kala menyahut, "Perempuan bukan alat pemuas nafsu, Otak Udang!"

Strategi yang salah. Seharusnya si gadis paham, mengumpati empat pria mabuk di depan muka sama seperti menyiram seember air panas pada serigala-serigala liar. Dalam sekejap, ekspresi keempat pria itu berubah drastis. "Kau bilang apa barusan?"

Sial, sial, sial.

Tidak, pria ini tidak akan membunuhnya, 'kan?

"KAU BILANG APA BARUSAN?" Pria itu berteriak murka, menjambak surai Nara hingga si gadis menjerit. Satu liquid bening nyaris menuruni mata. Ia ketakutan setengah mati.

Namun pada waktu yang tidak diduga-duga, tepat beberapa meter di belakang terdengar satu seruan, "Dasar, Keparat! Berani hanya dengan wanita."

Butuh beberapa detik untuk Nara menatap siapa yang sebenarnya datang di hadapannya.

Jeon Wonwoo. Menggenggam satu botol bir yang sudah habis. Kendati mabuk, postur tubuhnya masih lurus. Langkahnya tidak lunglai atau gontai.

"Pahlawan kemalaman, huh?"

Wonwoo menyeringai. Pemuda itu menatap tajam keempat pria di hadapannya, sama sekali tak merasa segan saat berkata, "Berisik, Sialan!"

Dalam satu sekon yang kelewat cepat, Nara yakin ia sempat mendengar jeritannya sendiri mengudara kala tiba-tiba tanpa ragu Wonwoo melayangkan satu botol bir kaca tepat mengenai kepala pria berjanggut. Sedetik kemudian, tepat kala Nara masih belum dapat mengontrol keterkejutan yang merasuk dalam dada, satu pria botak kemudian melayangkan pukulan keras mengenai wajah Wonwoo.

Darah, Nara meremas jemarinya sendiri. Rahangnya mengeras tanpa sadar. Bibir dan hidung Wonwoo berdarah.

Satu pukulan tersebut sukses merubuhkan tubuh si pemuda. Kendati rasanya menyiksa, seolah tubuhnya siap rubuh kapan saja. Namun mengingat bagaimana keempat pria idiot menyakiti gadis lugu ini, Wonwoo mendadak mengepalkan tangan. Pemuda itu bangkit tertatih, berusaha menahan gelegak nyeri sekaligus mual dalam lambung. Ia melirik Nara yang menatap penuh horror, beralih pada keempat pria paruh baya yang kini tertawa-tawa puas.

Baiklah. Tak ada pilihan lain, mati konyol di tangan empat pria mabuk sama sekali bukan ide bagus.

Menghela napas, mengepal jemari yang terasa kaku mendadak, Wonwoo tak lagi menyiakan satu sekon saat kemudian menjerit mendadak, "Polisi datang!" Tepat saat keempat pria itu menoleh was-was, Wonwoo lantas menarik pergelangan tangan Nara dan lari sekencang-kencangnya.

"BOCAH SIALAN! AKAN KUBUAT KALIAN MENYESAL!"

"Apa yang kau lakukan?!" Gadis itu berseru panik, "Mereka semakin marah!"

Wonwoo berdecak, setengah berteriak kala menyahut, "Kau kira aku mau mempertaruhkan nyawa di depan empat pria sinting begitu?"

Sejenak, Nara terdiam. Gadis itu dapat merasa tamparan angin mengenai wajah, anak rambut berterbangan di sekitar kening, tetapi rasa takut yang tadi merangkup hati mulai hilang. Barangkali kini keberuntungan dewa berpihak pada mereka. Sebab tepat kala sampai pada halte, ada sebuah bus yang baru sampai. Wonwoo pun tak melewatkan kesempatan kabur begitu saja. Ia segera menaiki bus, masih dengan menggenggam tangan si gadis.

Nara dapat melihat keempat pria itu merutuk keras-keras sebab kewalahan mengejar. Ia melirik Wonwoo yang masih mengatur napas. Keringat mencucuri pelipis dan hidungnya yang berdarah, lengkap dengan satu lebam kecil di sudut bibir. "Kau baik-baik saja?"

Tidak ada jawaban.

Gadis itu menghela napas pelan, mengalihkan pandang pada jendela bus. "Terima kasih," lirihnya, serak. Ia memilin jari dalam saku kardigan. Mengulas kejadian beberapa jam lalu sukses membawa kembali sensasi ngeri merayap dalam tubuh. Padahal ia sudah bertemu banyak kriminal. Padahal dalam dua puluh tahun, Eleft sudah banyak berinteraksi dengan orang-orang jahat lain.

Namun semua didasarkan pada rencana; dilandasi sebuah persiapan.

Tak peduli seberapa sering kunjungan ke bumi, dunia tak pernah berubah.

Tetap seram.

"Ah, apa lukamu masih sakit? Aku bisaー" Kalimat Nara tertahan tepat saat bahu kanannya terasa berat sebelah. Gadis itu membulatkan mata, menatap lawan bicara yang mendadak rebah di sampingnya begitu saja. "Wonwoo? Kau baik-baik saja?"

Sama sekali tak ada sahutan.

Well, agaknya heroik kita satu ini kehabisan energi.

Kim Nara yakin ia tak akan lupa kejadian hari itu. Malam Sabtu, pertemuan kedua di satu gang sepi. Entah berapa gelas bir yang pemuda itu tenggak, setelah perkelahian tak elit dan pelarian singkat tadi, kini Jeon Wonwoo malah berakhir tak sadarkan diriー

ーtepat pada bahu Nara. []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top