02; The First Encounter
Few weeks ago ...
MENJADI kekasih dari seorang pemuda dengan skill 0 dan kondisi hidup terpuruk adalah rencana brilian Hades untuk meremukkan orang itu lebih cepat, dan tanpa menunggu lama langsung melempar jiwanya dalam liang kubur dengan kesengsaraan tak berujung.
Dewa itu barangkali punya fisik persis bak penggambaran dalam dongeng tua anak-anak; seorang pria tua dengan wajah berkerutーwell, kendati garis wajahnya malah memberi kesan gagah dan memesonaーsurai putih lebat bergelombang, juga perut buncit yang empuk saat dijadikan bahan memeluk. Ah, jangan lupakan janggut lebat beserta kebiasaannya membawa tongkat panjang menyerupai tombak berujung dua. Biasanya pria tua semacam itu selalu muncul dalam penggambaran buku cerita anak-anak, menjadi tokoh paling favorit sebab hobi membagi permen dan suara tawanya lembut menggelitik telinga.
Tetapi, tidak.
Dongeng hanya mitos; legenda hanya cerita; semua itu sama sekali tidak benar dan Naraーatau bisa kaupanggil, 'Eleft'ーtahu realita yang terpampang. Ia bahkan masih ingat persis bagaimana terakhir kali atasannya murka seraya menghentak-hentakkan dwisula dengan keras, sebab alih-alih mati sesuai rencana yang dijadwalkan, manusia incaran Mozzakhーpekerja Hades yang lainーmalah memilih mengakhiri hidup sendiri dengan menenggak dua botol racun. Ruh manusia yang bunuh diri jelas tak dapat masuk menembus dunia bawah, melainkan berkeliaran di bumi sampai waktu kematian yang dijadwalkan benar-benar tiba.
Hades marah besar. Sebab kematian manusia itu sia-sia; jiwanya terperangkap dalam dunia alih-alih dapat dijadikan budak. Sebagai sanksi, Mozzakh (yang saat itu masuk dalam jasmani seorang berkewarganegaraan Inggris dan dikenal dengan nama 'Ansell') harus mengalami kematian kedua di bumi yang mengerikan; ditikam bertubi dan dipukul palu belasan kali oleh seorang perampok gila.
Ansell mati. Ruhnya kembali.
Jiwanya pun diperkerjakan lagi.
Hades hanya punya dua prinsip yang seimbang dan wajib dipatuhi; kejam tapi adil. Maka, dulu sekali ketika dewa kematian itu memberi satu misi penting padanya, Eleft tahu jawabannya hanya satu; pastikan manusia itu mati tepat sesuai apa yang telah dirancangkannya. Dengan demikian, ia dapat kembali ke dunia bawah dengan selamat.
Tanpa harus mengalami kematian kedua.
Ya, begitu. Seharusnya memang begitu.
Toh, orang-orang incaran Hades adalah kriminal. Mempercepat kematian mereka jelas bukan masalah besar. Jadi Eleft sendiri tidak banyak protes ketika jiwanya harus masuk dalam tubuh seorang wanita muda bersurai abu-abu, iris coklat whiskey dengan wajah bulat dan pipi tirus. Mendaftar menjadi mahasiswi dalam sebuah universitas besar sebagai Kim Nara, dan mengenal Wonwoo.
Awal pertemuan mereka jauh dari kata manis. Jelas berbeda dengan kisah novela atau drama-drama roman remaja. Malah dalam himpitan memori yang semakin sesak, Nara yakin peristiwa konyol tersebut malah bermula dari sebuah panorama sederhana; senja yang cerah, awan putih menggumpal, ratusan sakura merekah sempurna.
Saat itulah Naraーmasih dengan titel sebagai 'mahasiswi semester baru'ーmalah terjebak dalam debat panas dadakan di ruang konseling kampus. Lengkap bersama dua dosen galak dan satu mahasiswi cantik yang menangis tersedu. Rumor mengatakan, ponsel Si Cantik ini hilang. Dan entah bagaimana kronologinya, Jeon Wonwoo ikut terlibat dalam kasus ini dengan status tersangka.
Agak merepotkan, memang. Tetapi dulu Hades pernah berkata, "Pertemuanmu dengan target tidak selalu berjalan mulus. Terkadang peristiwa tak terduga akan membuat mereka mengingatmu lebih baik."
Barangkali, inilah saatnya.
"Aku bersumpah meletakkan ponsel itu di saku kardigan! Kemudian saat tadi mengantre membeli kebab, hanya pemuda ini yang berdiri di dekatku. Ia juga sempat menyentuh kerah kaosku, berdalih ingin membenarkan rambutku tetapi setelahnyaー" Gadis itu mengembuskan napas keras-keras, rona merah sempat bersarang pada pipinya sebelum ia kembali melanjutkan geram, "Aku tidak mau tahu! Aku ingin kasus ini diproses lebih lanjut."
Nara menyipitkan mata. Ini jelas kontras dari yang apa ia lihat di kantin tadi. Bukankah gadis itu sendiri yang merayu Wonwoo; menyentuh ujung jaket pemuda itu, menggoda entah mengatakan apa, sebelum Wonwoo balas menyentuhnya? Wah, wah, memutarbalikkan fakta, rupanya.
Profesor Kang menatap Wonwoo dengan sepasang netra sabitnya yang mengintimidasi. Kendati demikian, pemuda itu tidak menunjukkan rasa segan atau apapun, hanya memutar bola mata malas saat diceramahi, "Diam tidak akan menyelesaikan masalah, Jeon. Apa yang Sye Ra katakan benar? Apa kau benar-benar mencuri ponselnya?"
Wonwoo tetap bergeming.
Saat itulah Nyonya Jung, konselor dengan surai pendek serta kacamata bulat menghela napas pendek dan menoleh pada Nara. "Kau di sana saat Sye Ra mengaku kehilangan ponsel, ikut mengantre kebab, benar bukan?"
Nara mengangguk.
"Kalau begitu, kau pasti melihat kejanggalan yang terjadi."
Gadis itu tanpa sadar ikut menghela napas, sempat melirik Wonwoo yang tampak tak acuh sebelum membuka suara, "Sama sekali tak ada yang janggal. Pemuda itu," katanya sembari menunjuk Wonwoo, "tidak mengambil apapun atau menyelipkan tangannya dalam saku kardigan Sye Ra."
Hal mengejutkan selanjutnya adalah, voila, jawaban Nara barusan berhasil menarik atensi Si Apatis Wonwoo. Untuk sepersekian sekon yang kelewat cepat, pemuda itu tampak mengernyit samar, tatapannya mengarah pada Nara dengan sekelumit ekspresi yang sulit dijelaskanーbarangkali campuran bingung, kalang kabut, juga sejumput rasa kagumーsebelum akhirnya membuang muka dan mendengkus.
Sementara Sye Ra menatap tak percaya, hendak menukas tetapi Nara keburu berujar tenang, "Setidaknya, itu yang saya lihat sebagai seorang saksi mata."
"Bohong!" Sye Ra berdiri dengan menggebu. Matanya yang tadi berkaca-kaca kini berkilat penuh amarah. "Mereka pasti bersengkokol! Astaga, Demi Athena, aku tahu betul pemuda ini menyelipkan tangannya dalam sakuku! Kalau tidak, bagaimana bisa ponselku bisa hilang secara tiba-tiba?"
Nara lantas menekuk alis. Wo, bersumpah demi Athena itu burukーtak ada dewa yang suka namanya disebut dalam rentetan kalimat manipulasi manusia, tak ada pula dewi yang sudi namanya menjadi jaminan atas tiap janji palsu itu. Diam-diam si gadis meremas ujung tas sembari tersenyum miris. Terbersit dalam benak niatan untuk menyahut sarkas, "Belum tahu kalau Athena marah, rambut ikalmu bisa berubah menjadi ular dalam sekejap."
Namun tentu saja, ia tak mau repot-repot menyiram lebih banyak minyak pada kepala yang tengah disulut api ganas. Jadi berdeham singkat, gadis itu membalas tenang, "Kau bahkan tidak punya bukti." Seluruh pasang mata mengarah padanya, tetapi Nara tak sedikitpun gentar saat melanjutkan, "Bukannya ingin memperkeruh suasana, tetapi jujur saja, caramu dalam memperlakukan orang lain sangat tidak menyenangkan. Kau pikir masalah ponselmu lebih penting, sampai menuduh semua orang tanpa mencari kebenaran saksi."
Sye Ra mendengkus tak percaya. Sementara netra birunya membulatーNara yakin itu bukan warna irisnya yang asliーdan mulutnya terbuka lebar-lebar, hendak melayangkan protes dengan suara keras kalau saja Nyonya Jung tidak keburu menyela, "Mahasiswi ini ada benarnya. Sye Ra, kau tak dapat menuduh orang tanpa bukti apa-apa."
Profesor Kang ikut mengangguk. Menemukan fakta janggal, kedua netranya menyipit di balik kacamata tatkala berujar, "Dan mengapa kau sangat yakin kalau Wonwoo adalah dalang di balik hilangnya ponselmu? Bukankah ini hal yang lebih ganjil?"
"Itu karena aku tahu betul siapa yang dekat dan menyentuh kardiganku tadi! Tidak mungkin 'kan ponsel itu berjalan sendiri?" serunya gemas, mulai terdengar sarkas walau didasari kepanikan. Bukan hanya wajahnya yang memerah, leher dan kedua telapak tangannya juga menampakkan reaksi yang sama. "Bagaimana mungkin ibu mencurigai saya yang jelas-jelas adalah korban? Lagipula kasus pencurian seperti ini tidak akan terjadi kalau CCTV kantin segera diperbaiki."
Hening langsung mengambil ahli. Nyonya Jung bungkam, sementara Profesor Kang yang tadinya sudah membuka mulut hendak menyahut, mendadak mengurungkan niat. Agaknya dosen itu mengerti bahwa kalimat apapun pada akhirnya akan menjadi bumerang bagi diri sendiri, toh proses tuduh-menuduh ini tak akan terjadi kalau fasilitas kampus berfungsi dengan baik.
Merasa tak menemukan titik terang, Nara bersandar pada sofa, diam-diam mencuri pandang pada Wonwoo yang kini menguap bosan. Sungguh, apa yang ada di pikiran pemuda itu sekarang? Ia telah menjadi tersangka dalam kasus pencurianーwell, bukan sepenuhnya tersangka, hanya sejak tadi dituduh dan terus disudutkan tanpa bukti, Si Jeon itu tak repot-repot untuk membuka mulut dan membela diri sendiri. Bagaimana kalau kasus ini diperbesar dan semua dosen percaya bahwa ia adalah pencuri sungguhan?
Well, meski itu mempermudah pekerjaannya dalam melengkapi data kriminal target di bumi, Nara tetap yakin kalimat pepatah yang mengatakan bahwa tidak ada maling yang mengaku maling. Si Aneh ini tentu punya rahasia kelamnya sendiri, jauh lebih bejat dibanding sekadar pencurian ponsel pada kantin kampus.
Barangkali, ini hanya siasat takdir untuk mempertemukan mereka.
Sialnya, Nara melupakan fakta bahwa jarak antara Wonwoo dengannya tak lebih dari seratus senti, terlampau dekat dan seharusnya gadis itu dapat menjaga sikap lebih baik. Sebab tiga sekon berikutnya, Wonwoo tahu-tahu sudah melayangkan tatapan tajam dengan iris sabit itu, mengirim ekspresi tak bersahabat dengan kernyitan kening seolah berkata, "Apa-kau-lihat-lihat?!"
Namun tak sampai tiga sekon pula, raut wajahnya berubah. Seringainya terulas, satu alisnya terangkat, sementara kedua netranya kini sibuk menilik Nara dari ujung kepala sampai kaki.
Baiklah, selain seorang freak, ternyata dia juga si mesum aneh dengan tatapan selancip badik.
Nara buru-buru mengalihkan pandang, pura-pura berdeham sembari memperbaiki posisi tubuh lebih tegak.
Saat itulah, terdengar suara ketukan pintu. Tak lama pula, seorang mahasiswa berkacamata masuk. Dengan napas terengah dan wajah bersimbah peluh, pemuda itu membungkuk pada Profesor Kang dan Nyonya Jung, mengumpulkan tenaga sebelum berkata semangat, "Sye Ra, ponselmu sudah ditemukan! Tertinggal di wastafel toilet wanita lantai dua." Ia menunjukkan segenggam benda pipih berbalut case pink.
Bukannya bahagia, Sye Ra malah berdiri terlonjak dengan mulut ternganga. "K-kauーastaga, kau yang benar?!"
Mahasiswa itu berdecak, menyerahkan ponsel yang digenggam pada sang pemilik. Gadis itu segera menyabet ponselnya kasar, memandangi benda itu dengan pelototan tak percaya. "Tapi, bagaimanaーbagaimana bisa? Aku tidak ingat pergi ke toilet lantai dua hari ini."
Profesor Kang memutar bola mata. "Iya, iya, kau tidak pergi ke toilet wanita lantai dua," katanya sarkas, menatap Sye Ra dengan tajam sehingga gadis itu mengurungkan niatnya untuk protes lebih lanjut dan malah menunduk, membungkuk malu.
Menyaksikan itu, Nara hanya menghela napas.
Hobi menuduh orang atas kesalahan diri sendiri. Bukankah manusia itu makhluk yang menggelikan?
***
Masih tertancap erat dalam benak, hari itu pukul tujuh tepat, ia baru dapat menjejakkan kaki keluar kampus sehabis mengurus administrasi dan melengkapi formulir data diri.
Rasa penat menggelayuti tubuh, membuat Nara berkali-kali menguap dan setitik liquid bening menuruni mata. Misi paling sulit adalah ketika menjadi mahasiswa baru. Demi apapun, gadis itu tidak pernah berharap untuk belajar lagi. Semua dilakukan hanya untuk menstabilkan kehidupannya di bumi, supaya ia bisa berbaur dengan manusia-manusia lain.
Mati dan menjadi pekerja sosok dewa sama sekali bukan perkara mudah.
Nara mendesah keras, mengempaskan pantat di atas bangku besi tua setelah sampai pada halte bus tujuannya. Gadis bersurai senada dengan permukaan bulan itu kemudian mengedarkan pandang, mengernyit tak nyaman kala sadar betapa sepi halte bus satu ini. Letaknya memang di tengah jalan raya, tepat sehabis tikungan tajam dengan lampu jalan yang menyala redupーrasanya persis seolah berada dalam scene film horror, toh daerah ini tak banyak diminati mahasiswa kampus.
Well, agaknya Nara paham mengapa; sebab letaknya di sudut paling belakang gedung universitas, sedikit jauh dan jalannya berbelit-belit, terlampau sepi dan suasananya seram; mencekam.
Dan oh, satu poin paling penting; fasilitas di sini benar-benar payah.
Namun tentu saja, si gadis punya alasan sendiri mengapa ia rela menghabiskan nyaris tiga puluh menit berjalan memutari gedung kampus hanya untuk sampai ke halte ini. Sama seperti pepatah tua yang sering dikatakan para orang dewasa; selalu ada alasan di balik sebuah pilihan.
Kala angin menerpa dan gadis itu membenarkan surainya yang berantakan, ekor matanya tiba-tiba menangkap presensi seseorang yang tak asing berdiri tepat beberapa meter di samping bangkunya. Kemeja merah kotak-kotak, surai kelam kabut, serta jeans robek-robek yang menampilkan beberapa beret pada lututnya.
Alasan Nara kemari sangat sederhana, sebenarnya; sebab ia ingin bertemu Wonwoo. Berdasarkan data pemberian Hades, targetnya itu memang hobi pergi kemari tiap malam, tepatnya berdiri gamang di sudut gang seraya menenggak minuman keras. Entah merenung, entah sendiri atau beramai-ramai dengan teman, atau terkadang hanya mengamati kelip bintang dalam bungkam. Tapi pemuda itu selalu menyempatkan diri untuk datang, dengan kepala kalut, dengan sorot mata hampa menatap kilau cakrawala.
Hanya untuk malam itu, Wonwoo tidak menenggak bir atau soju. Tidak pula menatap cakrawala dan menghitung bintang. Pemuda itu jelas sadar kehadiran Nara beberapa meter dari tempatnya berdiri, dan tanpa rasa segan atau apapun, ia malah dengan berani mengarahkan matanya pada si gadis; menatap tajam menulang, mengawasi terlampau lekatーdalam sekejap sukses mengirim atmosfir canggung mengapit kedua insan sebelum membuka suara, "Kau sedang menunggu bus?"
"Apa aku terlihat seperti penjual minuman dingin?" Nara memutar bola mata, senyumnya terulas kala melihat ekspresi terkejut terpatri pada wajah lawan bicara. "Kukira kau cukup dewasa untuk paham apa kegunaan halte bus."
Wonwoo menjejalkan kedua tangan dalam saku celana. Menarik, menarik sekali. Gadis aneh bersurai panjang sepunggung yang tadi juga membelanya dalam sidang para dosen, kini juga gadis yang sama yang berani menantangnya dengan dua deret kalimat sarkas. "Tidak pernah ada mahasiswa perempuan berani datang ke sini sendiri." Seringainya terulas tipis. "Kau tidak takut?"
"Takut pada apa? Padamu? Pada hantu? Kenyataannya di sini sangat sepi, Jeon," gadis itu menukas kalem, "tidak ada orang selain kau dan aku."
Wonwoo menatap si gadis tak paham. Dalam benaknya berseliweran banyak pertanyaan, tetapi yang melesat dari mulut pemuda itu hanya seulas pernyataan, "Kau tentu tahu kalau aku bukan pemuda baik-baik."
Nara mengernyit. Suara sedalam segara, setenang aliran sungai Han, dan sehambar lembaran cakrawala. Tatkala pemuda itu melanjutkan, sudut bibirnya mengembang membentuk seulas seringai tipis, "Kau juga pasti mendengar betapa buruk rumor mahasiswa tentangku."
Kerutan kening Nara terlipat semakin dalam.
"Lantas, untuk apa membelaku seperti tadi?"
Oh, hendak bertanya itu, rupanya.
Nara menghela napas pendek. Seraya menatap warna aspal yang gelap, gadis itu menyahut, "Aku hanya menyatakan kebenaran. Itu saja."
Wonwoo tidak langsung membalas. Menit-menit berikutnya dirayapi hening, terasa makin mencekik kala si pemuda tetap bergeming di tempat, menjejalkan kedua tangan dalam saku celana sementara irisnya masih menatap lawan bicara terlampau lekat. "Kau Si Cantik itu, bukan?" Wonwoo menjeda, tampak berusaha mengingat-ingat sebelum melanjutkan, "Dengar-dengar, ada satu mahasiswi baru yang cantik berambut ash blonde. Apa itu kau?"
Kedua bola mata Nara sontak membulat, entah harus terpukau kagum atau justru meringis pilu. Manusia suka sekali membagi manusia-manusia lain dalam berbagai strata berbeda, sekalipun hanya berdasar pada penampilan fisik semataーsesuatu yang jelas fana dan pudar perlahan seiring berjalannya waktu.
"Aku tidak tahu aku sepopuler itu."
Namun lagi-lagi, Wonwoo tak langsung menyahut, pun tidak tersenyum atau melukis tawa demi mengusir canggung. Ia hanya diam, berdiri dengan tenang di ujung halte, sementara mata hitamnya tak henti mengobservasi lawan bicara.
Entahlah. Ada hal yang janggal tapi luar biasa atraktif dalam diri gadis itu.
Sementara malam makin pekat, desir angin yang menampar semakin keras, Nara dapat menangkap rasa panas menjalari wajah saat berkata risi, "Aku yakin masih banyak objek bagus lain di sini. Kenapa terus menatapku begitu?"
"Kau merasa aku memandangimu?" Alih-alih mengalihkan pandang, Wonwoo malah mengangkat satu alis, tersenyum lebih lebar tanpa sedikitpun merasa bersalah. "Gosip itu tak pernah salah, ternyata. Kau jauh lebih berani dari yang mereka katakan."
Apa itu pertanda baik?
"Tetapi well, jangan harap aku akan berterimakasih karena pembelaanmu tadi." Wonwoo mendengkus geli. "Padahal aku bisa diskors beberapa hari kalau memang tidak ada saki mata." Kemudian, seolah keduanya tidak pernah berbicara, pemuda itu kemudian berbalik dan melangkah pergiーbahkan tanpa repot-repot mengucapkan salam perpisahan atau sekadar melambaikan tangan.
Pertemuan pertama; konversasi pertama. Di halte bus ujung kampus. Pada malam musim semi saat jalan dipenuhi bunga. Itulah kali pertama Nara sadar, Wonwoo sering sekali menatap orang yang baru dikenalーkebiasaan aneh yang entah mengapa tak pernah tertulis dalam data milik Hades. []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top