Vano dan Alfarellza

Kringg ....

Bel surganya anak sekolah sudah dibunyikan. Seketika semua anak langsung keluar dari dalam ruang kelas dengan terburu-buru seakan-akan mereka sedang mendapat gratisan. sedangkan sebagian besar siswa berlomba-lomba mencapai parkiran. 

Derald yang sedang memasukkan buku ke dalam tasnya seketika berhenti ketika sang daksa merasakan ada seseorang yang duduk di sampingnya. Ketika Derald menoleh, dia hanya bisa menghela nafas saat dirinya mengenal orang disampingnya.

Memangnya siapa lagi yang berani dekat dengannya selain Lily? Gadis ajaib yang pernah Derald temukan dalam hidupnya. Derald bahkan ‘tidak habis pikir bagaimana Lily bisa tiba-tiba berteleportasi ke sebelahnya.

"Ngapain?" tanya Derald ke Lily sambil menaikkan satu alisnya.

"Hah?" tanya Lily balik.

Oh, iya. Derald sampai lupa bahwa gadis yang sedang duduk di sampingnya ini merupakan gadis yang cukup lola.

"Ngapain ke sini?" tanya Derald lagi, memperjelas.

"Ya gapapa, Lily sendirian di kelas," jawab Lily sambil menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.

"Temen lo di mana?" tanya Derald sambil memasukkan buku-buku nya yang sempat tertunda.

"Siapa? Aileen?"

"Emang siapa lagi temen lo? Selain si Aileen, Aileen itu?" tanya Derald dengan nada yang cukup ketus.

"Hehe oh iya ya, Aileen tadi pulang duluan. Ada urusan katanya," jawab Lily dengan terkekeh.

"Ya udah, yuk pulang," ucap Derald sambil bangkit dari posisi duduknya.

****

Seorang gadis berseragan putih abu-abu tengah berdiri dengan ceria di depan gerbang sekolah. Dia adalah Lily, gadis paling polos yang tidak pernah menanggalkan senyumnya. Matanya terus mengamati sekitar karena menanti kehadiran Derald yang mengambil motor vespa dari parkiran.

"Ayok naik,” ajak Derald yang tiba-tiba saja sudah datang. Mungkin Lily terlalu bahagia hingga waktu terasa begitu cepat.

Beberapa detik sebelum Lily sempat naik ke atas jok motor, deru elegan sebuah mobil sport hitam dengan sentuhan biru elektrik menghentikannya. Tidak lama kemudian dari kursi pengemudi, keluarlah seorang berkemeja rapi yang berjalan cepat menghampiri mereka berdua, dia adalah Vano.

Lily menoleh pada Derald merasa bingung. Sementara itu, Derald hanya bisa mematung. Kedua matanya melebar, terpaku ‘tak berkedip sedikitpun. Vano menatap Lily sinis sembari mencengkeram pergelangan Derald dengan kencang.

Ketika otak Lily sedang berproses, Derald berjalan tertatih-tatih menjaga keseimbangan mengikuti langkah cepat sang kakak yang menyeretnya dengan kasar.

Vano membuka pintu penumpang, dan melemparkan tubuh Derald ke dalam mobil secara paksa. Apapun yang terjadi barusan, Lily bisa tahu bahwa itu bukan hal yang baik. Lily hendak berlari mengejar namun, tiba-tiba kedua lengannya ditahan segerombolan orang. Tidak lain lagi, geng Alfarellza.

"LEPASIN LILY!" Lily berteriak agar geng Alfarellza melepaskan tangannya.

"Diem lo!" bentak Reyhan dengan garang.

"DEI!" Teriak Lily ketika melihat mobil yang di dalamnya ada Derald sudah pergi.

Mobil hitam mewah itu semakin jauh hingga menghilang dari pandangan. Lily terengah-engah, pandangannya memburam tertutup air mata yang mengancam keluar.

Melihat Lily yang sudah tidak bisa melakukan apapun barulah geng Alfarellza  melepaskan cengkeramannya dari lengan gadis itu.

“Hah, dasar cewek sok tangguh!” ejek Aldo.

“Bisa apa Lo sekarang?” kekehan sinis keluar dari mulut Alfarezza.

“Mobil sama kaki lo gak bakalan bisa menang!” celetuk Reyhan.

Genangan air yang tadi terbendung kini tak tertahankan lagi, tumpah keluar. Meskipun sudah jauh dari titik pandangan, Lily tetap berlari mengejarnya.

Makian geng Alfarellza bagaikan hembusan angin samar, ‘tak perlu didengarkan. Langkah demi langkah sepasang kaki mungil Lily melaju, tapi apa daya? Dia tidak akan bisa mengejar mobil itu, apalagi mobil sport yang memiliki kecepatan tinggi.

****

Brak!

Vano membanting tubuh Derald dengan kasar pada permukaan lantai tanpa memperdulikan rasa sakit yang dirasakan Derald. Tatapan Vano begitu tajam dan mengintimidasi seakan-akan dia ingin melenyapkan nyawa adiknya sendiri.

"Dasar anak nggak guna lo, diusir dari rumah malah pacaran sama itu cewek, tugas lo itu belajar bukan pacaran bego!" tunjuk Vano dengan nada bicara yang kian meninggi.

Derald mulai menegakkan tubuhnya kembali sambil berkata, "Mau lo apa sih bang? Kemarin lo usir gue padahal gue gak salah apa-apa, sekarang lo seret gue kayak gini," protes Derald.

Bugh

Satu pukulan cukup keras melayang tepat di permukaan pipi Derald, membuat sang empu seketika hanya mampu meringgis kesakitan. Dia memegang permukaan pipinya dengan telapak tangannya.

Vano mulai membuat langkah kecil ke arah Derald, hingga jarak mereka sangatlah dekat. Tangan Vano mulai memegangi kera baju Derald, sosok ith menenteng badan adiknya sampai sedikit terangkat ke udara.

"Lo tahu apa mau gue? Gue mau lo lebih menderita supaya lo bisa ngerasain apa yang gue rasain waktu kecil dulu," ucap Vano.

"Turunin dia Vano! Kita kasih pelajaran dengan benar anak itu supaya nggak berulah." Suara lain menyela.

Ketika keduanya menoleh ke sumber suara, ternyata dia adalah Rejendra- ayah Derald. Pria paru baya itu berjalan dengan arogan mendekati kedua putranya semetara Vano dia telah melepaskan tangannya dari kera baju Derald.

"Kemarin berantem sampai bikin saya dipanggil ke sekolah, sekarang apa lagi?"

"Dia sekarang udah punya pacar Pa, makanya berani ngelawan," sambar Vano.

"Lo jangan ngarang bang, dia itu cuma temen aku Pa," jelas Derald.

Plak!

Alih-alih mendengarkan ucapan anaknya Rejendra lebih suka melayangkan tangannya, tanpa segan dia melayangkan satu tamparan di pipi Derald hingga pipinya kini sudah memar tidak karuan.

"Diam! Saya tidak perduli alasan kamu sekarang kamu masuk ke kamar dan jangan harap saya bakalan mengizinkan kamu keluar atau kamu mau saya taruh di gudang," amuk Rejendra sembari merentangkan tangannya dengan jari telunjuk yang menunjuk arah kamar Derald.

Tak ingin menambah penderitaan Derald pun mematuhi perintah ayahnya dia mulai menyusuri anak tangga dan memasuki kamarnya dan menutup pintu kamarnya rapat-rapat agar tidak ada yang mengetahui penderitaannya terutama Bi Surtih dan Pak Mamat.

Sepasang mata Derald kini telah dipenuhi air mata yang sedari tadi dia tahan, walau hanya beberapa tetes yang meluncur membasahi pipinya tetap saja hatinya masih terasa sakit.

Derald yang tadinya terduduk di atas ranjang kini beralih mengorek-ngorek laci meja belajarnya, hingga deretan jemarinya mampu menemukan sebuah benda tajam yang menjadi teman dukanya.

Tanpa ragu Derald menggoreskan cutter yang dia pegang pada pergelangan tangan tepat di dekat nadinya. Bukan hanya sekali, tapi dia melakukannya berulang kali hingga tetesan darah terus keluar dari lukanya.

Seolah sudah tidak memperdulikan nyawanya lagi Derald langsung beralih tidur di atas ranjang dengan luka yang terus mengeluarkan darah, perlahan ia menutup matanya berharap pada tuhan jika hari esok tidak akan datang.

***"

Tak! Tak!

Bunyi keras yang dihasilkan dari sebuah benda yang menghantam kaca jendela kamar Derald seketika membuat pemuda itu terbangun dari tidurnya. Otaknya mulai berpikir siapakah pelaku yang membuat suara itu.

Derald perlahan menegakkan tubuh yang tadinya tertidur pulas di atas ranjang. Dia berdiri tepat di depan jendela sembari mengusap-usap aksanya dengan beberapa jemarinya.

Ketika kedua matanya terbuka dia mendapati seorang gadis tengah melambai-lambaikan tangannya, gadis itu adalah Lily. Spontan kedua mata Derald membulat disusul gerakan tangan yang mulai membuka jendela kamarnya.

"Lo ngapain di sini?" tanya Derald bingung.

"Derald buka WhatsApp deh, Lily udah chat Derald, tapi nggak di bales," ucap Lily dengan nada santai seakan-akan dia tidak sadar jika dia tengah berada di kandang macan.

Derald mulai melangkahkan kakinya menuju meja belajar, di samping tumpukan buku tergeletak sebuah benda pipih berwarna silver. Dia menekan tombol power benda pipih itu membuat sang layar langsung menampilkan jajaran notifikasi pesan whatsapp dari Lily.

Lily

Pagi Derald!

Lily otw kerumah Dei, kita lanjutin belajar barengnya ya.

Cepet bangun ya Dei!

Derald membuang napasnya sesaat dan mulai membalas pesan singkat Lily sebab dia tidak ingin jika kehadiran sang gadis di ketahui oleh ayah dan kakaknya.

Derald

Gue mandi dulu, lo tunggu di taman deket komplek entar gue bakalan sampai dalam waktu 15 menit.

Lily

Okay, cepet ya Dei. Jangan lupa bawa buku!

Derald kembali meletakkan Ponselnya di atas meja belajar, tanpa basa-basi tangannya langsung meyambar handuk yang tergantung di rak yang berada di dekat kamar mandi. Kemudian, memasuki kamar mandi untuk membersihkan dirinya secepat mungkin.

Sedangkan Lily kini sudah berada di taman di dekat rumah Derald seperti yang Derald suruh tadi. Dia terus bersenandung ria, dengan mengayunkan kakinya di kursi taman.

"Sorry gue lama," celetuk Derald membuat Lily yang sedikit melamun tersentak kaget.

"Ih, Lily kaget tau," ucap Lily kesal.

"Maaf gue gak tau kalau lo ngelamun, ya udah yuk berangkat. Lo gak mau buang waktu kan?" tanya Derald santai.

"Ih, santai aja Dei. Lagian kan ini hari libur," ujar Lily.

"Lo gak mau kan kalau sampai ketahuan bang Vano??"

"Bang Vano?? Orang yang kemarin seret-seret Dei??" tanya Lily polos.

Derald pun menganggukan kepalanya, "Iya, dia abang gue," jawab Derald.

"Kenapa abang Derald kejam banget??" tanya Lily lagi.

"Semua orang punya sifatnya sendiri, Ly," jawab Derald dengan tatapan kalemnya.

"INI KENAPA??" teriak Lily dengan wajah syoknya. Ia memegang dahi dan pipi Derald yang membiru.

"Gu-gue gak kenapa-napa," Derald menundukan kepalanya. Tangannya di sembunyikan di belakang badanya.

"Mana tangannya, lihat!" Seru Lily.

"Gu-gue gak apa-apa Ly," ucap Derald panik saat Lily berusaha meraih tangannya.

Lily terus mencoba menarik tangan Derald dengan Derald yang terus berusaha menyembunyikan tangannya. Semakin lama jarak antara mereka semakin terkikis sampai akhirnya tubuh Lily hampir terjebab jatuh jika Derald tak melingkarkan tangannya pada pinggang Lily untuk menahannya.

Pandangan mereka saling bertubrukan. Sang mata hazel dan mata biru itu saling menghanyutkan satu sama lain. Sampai akhirnya Lily tersadar kemudian berdiri, langsung mengambil tangan Derald dan menelitinya.

"Ini kenapa, Dei??" tanya Lily pelan, dia mengusap pelan luka pada tangan Derald membuat pemiliknya meringis.

"Kamu apain tangan kamu? Aku tau papa sama kakak kamu bakal main tangan, tapi bukan disini Derald, kamu hampir rusak nadi kamu," ucap Lily panik, tak memperdulikan Derald yang asik menatapnya. Bahkan Lily tanpa sadar mengubah ucapan polosnya menjadi aku-kamu.

"Lucu," batin Derald, ia ingin tertawa rasanya.

"Ih, malah diam aja!" kesal Lily.

"Gue gak apa-apa, jangan terlalu khawatir sama gue," jawab Derald.

"Idih, siapa yang khawatir. Lily bi-biasa aja kok," elak Lily dengan gugup, wajahnya saja sudah merona karena malu.

"Oh ya??" goda Derald yang langsung mendapat tonjokan pada bahunya.

"Gak usah godain Lily ya, Dei. Nanti kalau Lily baper, Derald yang Lily suruh tanggung jawab," ucap Lily dengan nada marahnya.

"Boleh," jawab Derald semakin menggoda. Sepertinya dia akan memiliki sebuah hobi selain menyanyi sekarang. Hobi untuk menggoda Lily.

"Ih, awas aja. Sini Lily obatin dulu, baru kita berangkat buat belajar bareng."

"Lo...-"

"-Lucu."

*****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top