Titik Mulai
Alfarellza menatap bangku sekolahnya yang penuh dengan coretan dan sampah. Apa apaan ini? Kenapa bisa seperti ini? Padahal kemarin mejanya masih bersih. Bahkan tak ada sedikit pun debu yang menempel. Sepertinya ada yang sedang bermain-main dengannya.
Namun siapa? Selama dua tahun sekolah di sini tidak ada satu pun orang yang berani menantangnya kecuali Gio si wajah datar itu. Apa mungkin memang Gio yang membuat semua ini?
“Sial, udah berani main-main sama gue rupanya,” desis Alfarellza. Ia beralih menatap Reyhan dan Aldo yang sedang bersandar di daun pintu. Melancarkan aksinya menggoda para cewek yang berseliweran di depan kelasnya.
“Cabut!” pinta Alfarellza.
“Kenapa wajah lo suram amat?” tanya Reyhan melihat wajah sangar temannya menjadi masam.
Alfarellza menatap Reyhan dengan tajam. “Emang lo nggak lihat meja gue penuh sampah tadi? Ada yang coba main-main sama gue,” jawab Alfarellza. Sedangkan Reyhan malah memberikan smriknya.
“Siapa yang berani lawan kita Al? Lo lupa kita paling ditakuti di sini?” ujar Reyhan. Sedangkan Aldo, dia memilih diam karena tidak mau merusuh pembicaraan keduanya.
“Ada--” ucap Alfarezza memberi jeda.
“Giorgino dan para cecenguknya,” jawab Alfarezza.
Sedangkan Gio, kini dia sedang sibuk melakukan peregangan olahraga, tersentak kaget saat Alfaro dan Derald menghampirinya. Tak biasanya keduanya menghampiri dirinya duluan. Biasanya mereka datang kalau sedang ada hal yang ingin keduanya bicarakan.
“Gas, gue ke sana dulu,” pamit Gio kepada Bagas sahabatnya.
“Kenapa?” tanya Gio to the point.
“Gue rasa pancingan kita berhasil,” Alis Alfaro dinaikkan ke arah kanan di mana Alfarellza sedang tergesa-gesa berjalan ke arah mereka.
“Kalian yang udah naburin sampah di meja gue 'kan?” tanya Alfarellza tidak santai. Ia langsung menarik kerah baju milik Alfaro dengan kasar.
“Santai boy, kita gak tau apa yang lo maksud,” ucap Alfaro dan langsung menepis dengan kasar tangan Alfarellza yang ada di kerah bajunya.
“Jangan berlagak gak tau deh lo!” ketus Reyhan dengan kasar.
Atmosfer pagi yang indah kini telah berubah menjadi panas, sederetan mata terus menatap ke arah kedua kubuh yang tidak henti-henti beradu argumen itu. Ada yang berkomentar ada yang masih tetap diam, tetapi yang jelas jika guru melihat kedua kubuh ini mungkin akan mendapat masalah.
Derald yang sedari tadinya diam ikut terusik dia mulai mengangkat suaranya dengan nada acuh, seolah tidak peduli. “Kita emang gak tau,"
“Ada bukti emangnya?” tanya Gio dengan suara dinginnya.
Alfarellza mendidih, emosinya sudah terbakar. Ia langsung melayangkan pukulannya kearah wajah Gio dengan keras. Murid-murid yang ada di lapangan langsung terpekik kaget melihat duel sengit itu.
Reyhan dan Aldo pun tak tinggal diam. Reyhan langsung memukul Derald, sepertinya Reyhan memang memilki dendam tersendiri pada pemuda satu ini. Sedangkan Alfaro menghadapi Aldo yang menyerangnya dengan ganas.
“Bisa berantem juga lo?” ucap Reyhan mengejek. Sedangkan Derald langsung berdecih sinis.
“Gue gak selemah yang lo kira,” ucap Derald dengan santainya. “Sialan,” desis Reyhan ketika pukulan Derald telak mengenai wajahnya. Tak sampai di sana bahkan Reyhan tak diberikan kesempatan untuk mengelak dan akhirnya jatuh ketanah.
“Lo 'kan yang udah masukin surat terror di rak Lily?” bisik Derald tajam. Reyhan langsung berdecih. Ia kembali berdiri membuat wajah Derald langsung mundur waspada.
“Dia ngadu huh?” tanya Reyhan dengan nada mengejeknya.
Kini berganti Derald yang terpancing emosi, “Jadi bener lo ya masukin surat itu?! Dasar bedebah!” marah Derald.
Tanpa aba-aba Derald langsung memukul Reyhan tanpa memberinya kelonggaran untuk membalas sedikit pun. Akibatnya Reyhan sampai dibuat pingsan olehnya.
“Cih, lemah,” Derald menepuk kedua tangannya seolah membersihkan debu yang menempel ditangannya.
Pandangan Derald beralih kepada kedua sahabatnya yang nampaknya masih sibuk memperpanjang permainan mereka. Gio sengaja melakukan itu untuk memancing keributan lebih lama. Ia sudah menyuruh Bagas sahabatnya untuk melapor kamarin. Rencana mereka sudah benar-benar matang. Tak tanggung-tanggung mereka ingin segera menghempaskan Alfarellza yang sudah menjadi benalu di lingkungan SMA Aruna Jaya.
“Hei, kalian ini apa-apaan?!” teriak Bu Siska melerai. Dia juga membawa penggaris panjang bersiap sebagai senjata andalan.
“Berhenti!!” perintahnya lagi. Tapi Alfarellza dan Aldo tak mengidahkan. Mereka tetap melancarkan serangannya, sedangkan Gio dan Alfaro hanya menangkis supaya rencana mereka berjalan dengan lancar.
“Ya ampun, calon imam gue!” teriak Neya kaget melihat pertarungan Gio. Kenapa sih harus melihat Gio yang berubah berutal belakangan ini?
“Hust!! Berisik!” sentak salah satu siswa yang menonton.
“Iri bilang bawahan!” balas Neya sengit.
Tak lama kemudian pertarungan berhenti karena beberapa anak disuruh memisahkan oleh Bu Siska. Neya langsung berlari pergi menuju tempat untuk memberikan informasi kepada Lily. Ia sepertinya akan membawa kabar baik untuk Lily.
“Aileen, Lily mana?” tanya Neya dengan wajah merahnya.
“Dia pergi ke kemar mandi, belum balik dari tadi,” Neya pun mengembuskan napasnya lelah.
“Haduh, ya udah ayo kita samperin di kamar mandi,” ajak Neya.
Keduanya langsung bergegas menuju kamar mandi. Mereka melihat pintu kamar mandi sedikit terbuka. Sesampainya di sana Aileen dan Neya dibuat kaget melihat keadaan temannya yang memucat sambil melihat kaca yang pecah. Bahkan tangannya tanpa sadar memegang pecahan kaca erat. Di sana tertulis ‘awas, kau akan mati sebentar lagi’.
Neya langsung mengambil tisu basah dalam saku roknya, menghapus tulisan yang di cat warna merah itu. Sedangkan Aileen langsung menghampiri Lily yang sudah lemas dan akhirnya Lily pun pingsan di tempatnya.
“Lily!!” pekik Aileen. Neya yang melihat itu langsung berlari tergesa-gesa menuju ke lapangan untuk meminta bantuan. Untung saja dia perempuan kuat yang hobby berlari mengejar Gio. Jadi bagi Neya bolak-balik ke sana ke mari adalah suatu hal yang mudah.
“Derald,” panggil Neya saat melihat Derald ingin diarak oleh Bu Siska kekantor BK. Untung saja masih sempat.
“Ada apa?” tanya Derald bingung.
“Li--Lily,” ucap Neya dengan napas tersenggal.
“Kenapa Lily?!” tanya Derald dengan wajah paniknya.
“Dia pingsan di kamar mandi perempuan,” Kini giliran Derald yang berlari ke arah kamar mandi. Tak memperdulikan teriakan Bu Siska yang menyuruhnya kembali.
“Biar saya saja bu yang jelaskan kronologinya,” ucap Gio. Akhirnya mereka melanjutkan perjalanan menuju BK.
“Lo bantu Derald gih, gue urus masalah ini dulu. Gue ke ruang BK dulu,” ucap Gio berpamitan. Sedangkan Neya dibuat memantung kaku melihat perubahan sikap Gio yang mendadak tapi manis itu.
“Demi apa dia pamit ke gue, Aaaa ... calon imam aku pada mu!” teriak Neya senang. Membuat dirinya langsung dipandang aneh, begitu menyadarinya ia langsung tersenyum kikuk.
“Ah, malu gue. Ngapain teriak Neya, dasar bego!”
***
Derald berdiri di daun pintu melihat Aileen yang sudah menangis dengan memangku kepala Lily. Ada beberapa siswa juga yang hanya bisa menonton tanpa niatan membantu. Tanpa banyak kata, Derald langsung mengangkat tubuh Lily.
Aileen pun juga langsung berdiri, sekilas ia melihat Derald yang terlihat sangat khawatir terhadap sahabatnya itu. Sedangkan Derald, ia juga sempat menangkap ada tulisan teror di kaca kamar mandi. Tetapi dia akan membahasnya nanti yang terpenting sekarang membawa Lily ke UKS.
“Ini kenapa?” tanya Bu Helina selaku guru penjaga UKS.
“Pingsan bu,” jawab Derald.
“Iya saya juga tau Derald, tapi pingsan kenapa?” tanya Bu Herlina memperjelas.
“Mending ibu periksa aja deh, biar nanti saya jelaskan setelah keadaan Lily benar-benar baik-baik aja,” ketus Derald ia langsung bertukar tempat dengan Bu Herlina yang bersiap memeriksa.
“Dia gak papa, ibu rasa dia cuman mendapat gejala syok ringan,” ucap Bu Herlina setelah sekian menit memeriksa. Derald menghela napas lega. Setidaknya Lily baik-baik saja.
“Kalau begitu kamu tunggu dulu di sini, saya akan mengambilkan teh hangat untuk dia saat sadar,” ucap Bu Helina.
“Maaf Ly, buat lo terlibat,” lirih Derald. Ia mengelus pucuk kepala Lily pelan dengan harapan agar Lily cepat sadar.
Aileen pun yang melihat kejadian itu hanya bisa tersenyum lega. Ternyata kasih sayang yang Lily berikan pada Derald tidak sia-sia. Derald juga membalasnya entah dengan status apa. Ia pun memilih untuk pergi, ia mendengar bahwa Alfaro juga terluka, ia berinisiatif untuk membantu mengobatinya.
“Semoga lo cepet sadar,” ucap Derald. Ia pun membenamkan kepalanya dilipatan tangan berinisiatif mengistirahatkan diri.
Ternyata bergulat lagi dengan dunia baku hantam cukup melelahkan. Namun, perjalannya hari ini tak sampai di sini saja. Pasti Rajendra nantinya akan murka kepadanya hari ini tapi, lihat saja Derald tak akan diam. Bagaikan bom waktu itu adalah Derald saat ini, sekali saja dia meledak semua di sekitarnya akan hancur. Apalagi jika miliknya kini sampai terluka.
“Eungh ...,” erang Lily merasakan kepalanya pusing.
Beberapa detik kemudian nyawa Lily berhasil terkumpul kembali. Perlahan Ia menolehkan kepalanya kesamping, matanya membulat sempurna ketika mendapati sosok Derald yang tertidur dengan bertumpukan tangannya.
Lily beralih tersenyum manis, saat tidur Derald lebih terlihat seperti bayi yang tidak tahu apa-apa. Wajahnya yang polos dan menenangkan membuat siapapun yang melihat pasti akan jatuh hati.
“Dei,” panggil Lily pelan.
“Dei berentem demi lo, hahaha. Bodoh!” ucapan dari bangkar samping membuat Lily sontak menolehkan kepalanya. Di sana ia melihat Reyhan yang terduduk di bangkar UKS dengan lebam di mana-mana. Tak lupa 'kan bahwa Derald memukul Reyhan sampai pingsan, bahkan ia baru sadar beberapa menit sebelum Lily.
“Rey, terlebih dari segala perkataan Lily. Kenapa Reyhan sebenci itu sama Lily? Lily bisa lihat dari tatapan Reyhan kearah Lily,” ucap Lily terdengar lirih. Lily juga sudah duduk di atas bangkar UKS untuk berbicara secara leluasa dengan Reyhan.
“Gue emang benci sama lo, Ly. Jauh … sebelum lo masuk ke kehidupan Derald dan membantunya,” ucap Reyhan dengan tatapan tajamnya. Lily mengelengkan kepalanya pelan, ia tidak menyangka bakal memiliki musuh bahkan sebelum dia tau kehadiran musuh itu di hidupnya.
“Ke--kenapa? Kenapa Reyhan benci Lily?” tanya Lily.
“Lo adalah penyebab persahabatan gue hancur! Lo yang buat gue kesepian tanpa sahabat yang selalu ada buat gue! Hanya karena lo, gadis yang tiba-tiba masuk ke dalam lingkup pertemanan gue. Padahal gue lebih nyaman berdua sama dia, tanpa lo!
Hanya dia, yang tau seberapa kesepiannya gue ketika mama papa gue pergi kerja. Hanya dia yang mau berteman sama gue! Hanya dia yang ngerti gue Ly. Tapi lo hancurin semuanya, GUE BENER-BENER BENCI SAMA LO LILY!!" tekan Reyhan lalu pemuda itu bergegas pergi dari hadapan Lily yang menatapnya tidak mengerti.
"Lily gak pernah, inget kenal Reyhan di masa lalu Lily," ucap Lily langsung membuat Reyhan berdecih sinis.
"Jelas--"
"Karena, lo Amnesia."
Wajah Lily langsung berubah pias, ia tak pernah tahu soal amnesianya. Tidak mungkinkan ayah dan bundanya menyembunyikan ini semua tanpa sebab. Tapi apa? Apa sebabnya hingga mereka mengubur fakta ini. Kenapa Lily dibiarkan tidak mengingat apapun, padahal kalau dia mengingat pasti dia tak akan memiliki musuh. Lily merasa sangat bersalah terhadap Reyhan, tak sadar ia terisak pelan.
Derald yang mendengar suara isak tangis pun mengerjapkan matanya perlahan, pandangan pertama yang ia lihat adalah Lily yang sedang mengusap matanya yang basah. "Lo kenapa?? Ada yang sakit??" paniknya. Lily masih terdiam sambil menangis.
"Ly," panggil Derald pelan. Ia tak tega melihat belakangan ini gadis di depannya itu sering menangis. Bahkan ia merasa tak rela melihat air mata itu jatuh dari pipinya.
"Apa yang sakit?" ulang Derald.
"Hati, hati Lily sakit Dei."
*****
🤧😭😭😭 Sedih akoh tuh, langsung vote yoo
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top