Perempuan Itu
Kini mata Derald menatap sebuah bangunan megah yang harusnya dipenuhi dengan kebahagiaan. Namun sayang bagaikan angan yang diterpa angin, harpannya bagikan cahaya yang tidak akan pernah datang dalam hidupnya.
Derald mulai melangkahkan kakinya ke arah pintu, dia memegang gagang pintu yang terbuat dari besi berlapis cat berawarna emas.
Perlahan pintu itu mulai terbuka, tapi mata Derald seketika terbelalak saat melihat sosok yang baru saja dia temui saat perjalanan pulang. Seorang wanita muda dengan usia berkisar 30 tahunan, dia tampak mengenakan gaun minim dengan rok yang panjangnya hanya sedengkul saja. Rambut panjang dia biarkan tergerai bebas memenuhi sudut wajah.
"Siapa dia, Pa?" tanya Derald bingung.
"Oh, kamu udah pulang. Kenalin dia Sandra, pacar Papa," jawab Rejandra enteng.
"Pacar?"
"Iya, ada masalah?!"
Derald membuang napasnya dengan kasar, dia melontarkan tatapan sinis pada wanita yang berdiri di sebelah Rejandra. "Pa, Mama pasti sedih kalau tahu, Papa ngelupain Mama gitu aja," ucap Derald.
"Wanita sialan itu sudah meninggal, dan kamu nggak berhak ikut campur urusan saya. Tugas kamu itu cuma harus belajar," ujar Rejandra bernada tinggi.
"Udahlah, Mas. Wajar Derald gitu, mungkin dia belum siap nerima kehadiran aku sebagai pengganti ibunya," jelas Sandra sembari mengelus-elus bahu Rejandra.
Sandra mulai menghampiri Derald, dia menjulurkan tangannya pada Derald. "Kenalin, nama Tante, tante Sandra."
Derald menatap hambar pada uluran tangan Sandra, mulut dan tangannya enggan membalas ramah pada wanita di depannya. Melihat hal itu sontak saja Rajendra langsung naik pitam.
Plak!
Satu tamparan keras lagi-lagi mendarat di pipi Derald, memang sudah jadi kebiasaan untuk dirinya dijadikan samsak hidup oleh ayah dan kakaknya. Dia memegangi pipi yang sudah terlihat memar sementara Sandra, dia memandang kaget serta iba pada Derald.
"Dasar anak kurang ajar, Tante Sandra udah baik tapi kamu malah kayak gitu," amuk Rajendra.
"Kenapa lagi sih Pa, ini anak berulah lagi?" Suara lain ikut menyambar. Entah dari mana, Vano bisa saja tiba-tiba ikut campur.
"Ini siapa pa?" tanya Vano.
"Dia Sandra, dia akan jadi ibu baru kamu sama anak pembawa sial ini." Vano langsung membulatkan bibirnya O. Vano terlihat mematung sejenak tetapi akhirnya menganggukkan kepalanya paham.
Melihat respon Vano, hati Derald semakin hancur. Dia yang tadinya berpikir jika setidaknya kakaknya masih menyayangi ibunya dan tidak akan rela jika posisi ibunya digantikan begitu saja.
Namun, lagi-lagi dia salah, Derald membalikkan badannya dan berlari keluar rumah.
"Mau kemana kamu!" seru Rejandra.
"Biar aku yang kejar mas, aku akan kasih dia pengertian supaya mau menerima semuanya," jelas Sandra.
"Nggak usah, nanti juga pulang sendiri."
"Jangan gitu Mas, biar gimanapun dia juga anak kamu."
Rejandra hanya mampu mengangukan kepalanya, mungkin ada benarnya juga apa yang diucapkan Sandra. "Ya udah, tapi kamu cepat kembali ya."
"Iya Mas."
Sandra mulai berjalan cepat mengejar Derald yang sudah pergi menjauh. Hingga sosoknya tidak lagi terjama oleh kedua pasang matanya. Sementara kini, Derald tengah berlari ke arah makam Asyila. Bagi Derald, makam ibunya sudah menjadi rumah kedua baginya.
"Mah, Derald kenapa selalu salah dimata Papa?" tanyanya dengan mengusap nisan itu pelan.
"Derald gak suka Tante Sandra, Derald mau mama jadi satu-satunya pemilik hati Papa, tapi kenyataannya Papa selalu benci sama Mama, benci sama Derald, apa penyebabnya Ma?? Kasih tau Derald," ucap Derald, laki-laki itu terlalu rapuh. Hingga air mata tiap harinya selalu mengalir di pipinya. Beberapa saat dia berdiri hingga kedua kakinya tak kuat menopang beban tubuhnya. Derald terperenyak.
"Derald cuma mau Papa kasih sedikit kasih sayangnya untuk Derald. Cukup Papa sayang Bang Vano, jangan juga Tante Sandra. Derald takut, semakin lama Derald seperti mati dan tak ada di mata Papa," ucapnya.
"Maafin Derald Ma, Derald gak pernah terlihat bahagia di depan Mama," lanjutnya. Tangannya tak berhenti mengelus nisan di hadapanya.
"Derald mau pulang, tapi mungkin tidak ke rumah papa."
****
Langkah kaki seorang pemuda menginjak ribuan dedaunan kering di bawahnya. Dia akan menuju sebuah tempat yang ia yakinin bahwa tempat itu bisa menjadi pelariannya.
Tempat Rahasia, yang cuma Lily dan Derald yang tahu. Ya, pemuda itu adalah Derald. Dia bingung pergi ke mana dan satu-satunya tempat yang ia tahu adalah tempat rahasia itu.
Sekarang dia sedang menatap tali yang tergantung pada ranting pohon itu. Lalu dirinya menatap kearah sungai yang berada di bawahnya, berdesir deras. Jika Derald menemukan tempat ini tanpa Lily, mungkin tali dan sungai itu sudah menjadi sarana memotong antrian kematian.
Derald tiba-tiba tersenyum, ketika gadis bernama Lily itu dengan beraninya mengantungkan dirinya melewati sungai deras di bawahnya.
"Kenapa gue keinget cewek itu mulu sih?" tanya Derald kesal. "Sadar Derald, fokus!" ucapnya pada dirinya sendiri.
Derald langsung bergantungan pada tali itu. Saat tali itu berayun pas diatas tanah sebarang. Derald langsung melepaskannya dan mendarat dengan sempurna. Kemudian dia berjalan santai mengamati keadaan hutan yang rimbun dan juga mirip dengan hutan kuno berusia ratusan tahun.
Derald mendaratkan tubuhnya di dekat danau. Dia mendaratkan dirinya disebuah pohon tumbang yang terlihat masih kuat. Walau beberapa tumbuhan lain menumpang pada pohon yang telah mati itu. Dia menatap ke arah danau yang tenang.
"Kata Mama, membiarkan emosi kita mengalir bersama alunan lagu adalah hal terbaik untuk memberi tahukan kepada semesta bahwa kita benar-benar tidak baik-baik saja," gumam Derald. Dia pun langsung naik ke atas rumah pohon mengambil gitarnya, yang memang disembunyikan disitu.
"Loh, Derald??" lirih Lily, saat melihat Derald ada di tempat rahasia itu.
Lily tak berniat menghampiri Derald, karena Lily tau keadaan pemuda itu tidak baik-baik saja. Lily harus membiarkan Derald menyendiri menenangkan pikirannya. Mungkin, kini hanya musik dari petikan gitar dan suara Derald yang sendiri yang bisa menemani pemuda itu.
Diary Depresiku-Last Child
Malam ini hujan turun lagi
Bersama kenangan yang ungkit luka di hati
Luka yang harusnya dapat terobati
Yang ku harap tiada pernah terjadi
Ku ingat saat Ayah pergi, dan kami mulai kelaparan
Hal yang biasa buat aku, hidup di jalanan
Disaat ku belum mengerti, arti sebuah perceraian
Yang hancurkan semua hal indah, yang dulu pernah aku miliki
Wajar bila saat ini, ku iri pada kalian
Yang hidup bahagia berkat suasana indah dalam rumah
Hal yang selalu aku bandingkan dengan hidupku yang kelam
Tiada harga diri agar hidupku terus bertahan
Mungkin sejenak dapat aku lupakan
Dengan minuman keras yang saat ini ku genggam
Atau menggoreskan kaca di lenganku
Apapun kan ku lakukan, ku ingin lupakan
Namun bila ku mulai sadar, dari sisa mabuk semalam
Perihnya luka ini semakin dalam ku rasakan
Disaat ku telah mengerti, betapa indah dicintai
Hal yang tak pernah ku dapatkan, sejak aku hidup di jalanan
Wajar bila saat ini, ku iri pada kalian
Yang hidup bahagia berkat suasana indah dalam rumah
Hal yang selalu aku bandingkan dengan hidupku yang kelam
Tiada harga diri agar hidupku terus bertahan
Wajar bila saat ini,
Ku iri pada kalian yang hidup
Bahagian berkat suasana indah dalam rumah
Hal yang selalu aku bandingkan dengan hidup ku yang kelam
Tiada harga diri agar hidupku terus bertahan
Tiada harga diri agar hidupku terus bertahan
Tiada harga diri agar hidupku terus bertahan
Lily bisa merasakan bahwa lagu yang Derald bawakan benar-benar membuat Lily ikut terbawa suasana. Bahkan Lily sampai merekam suara pemuda itu karena ia sangat mengapresiasi suara yang dimilikinya. Sayang, bakatnya itu mendapatkan pertentangan keras dari dunianya.
Selesai menyanyikan lagunya Derald bakti dari duduknya. Dia mengeluarkan cutter dari saku celananya. Melihat itu sontak Lily menjadi panik. Ia dengan tergopoh-gopoh menarik balik cutter itu. Mengakibatkan Derald kaget dan cutter itu malah melukai tangan Lily.
"Lo apa-apaan sih?" tanya Derald marah, dia panik ketika melihat darah segar yang mengalir dari luka Lily.
"Gak bisa apa gak usah ikut campur urusan orang lain? Lo jadi lukakan. Mikir gak lo kalau ini bahaya?" hardik Derald, dia langsung berlari ke arah rumah pohon yang memiliki P3K itu.
Lily hanya bisa terdiam katika melihat pemuda itu malah panik mengobatinya. Padahal tadinya Derald hendak melukai dirinya sendiri. Syukurlah, pemuda itu melupakan hal tersebut. Setidaknya pemuda itu tidak melukai dirinya lagi.
"Jangan bahayain diri lo sendiri, gue gak bisa lihat lo kenapa-napa," ucap Derald membuat Lily tersentak.
"Lily gak pernah bahayain diri Lily sendiri, tapi Derald yang selalu buat diri Derald luka. Lily gak mau Derald lukain diri Derald sendiri," ucap Lily.
"Gue capek Ly," ujar Derald dengan senyum getir.
"Capek boleh, nyerah jangan," ucap Lily sambil mengelus punggung tangan Derald yang masih menggenggam tangannya yang tadi mengobati luka di tangannya.
"Capek dan lelah itu pasti, tapi Dei nggak boleh nyerah, semua bakal indah pada waktunya kan," ucap Lily lagi.
"Kapan Ly, kapan? GUE CAPEK LY, CAPEK!" Teriak Derald frustasi.
"Rasanya ingin mati aja," lanjut Derald lirih.
"Hey! Derald nggak boleh ngomong gitu! Tadi Lily 'kan sudah bilang capek boleh, nyerah jangan."
"T--tapi gue capek, gue mau nyusul Mama aja rasanya," ucap Derald lagi dengan air mata yang menetes dari sudut matanya.
"Emang Derald kenapa mau nyusul mama Derald? Dei mau ninggalin Lily dan keluarga Dei?" tanya Lily yang matanya ikut berkaca kaca.
"Keluarga kata lo? Keluarga yang bagai neraka maksud lo?" tanya Derald dengan terkekeh, kekehan yang menyedihkan.
"Kalau gue pergi pasti papa dan abang bahagia, juga orang yang di sekitar gue pasti bahagia," lanjut Derald lagi dengan tersenyum, senyuman hambar lebih tepatnya
"Tapi Lily nggak!" bantah Lily dengan suara tegas.
"Karna cuma lu yang peduli sama gue."
"Thanks ya Ly, selalu ada di sisi gue. Saat orang-orang menjauhi gue tapi cuma lo yang berani mendekat ke gue," lanjut Derald dengan tulus.
"Sama-sama, Dei jangan ada berpikiran mau pergi ya. Lily sedih dengernya. Emang Derald tega bikin Lily sedih?" tanya Lily dengan muka cemberutnya.
"Untuk saat ini gue janji nggak bakal bikin lu sedih," ujar Derald sambil tersenyum.
"Tapi nggak tahu kedepannya gimana," lanjut Derald lirih.
*****
😭😭😭 MinSa sad🤧😭 Kapan Derald akan bahagia? Ayo ikutin kisah nya ya guyss
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top