Hampir Ketahuan

Ruangan bernuansa putih itu ramai dengan celotehan Lily. Hal itu berhasil membuat Derald menjadi bahagia. Setidaknya kali ini dia tidak sendiri dalam menghadapi rasa sakit akibat pukulan Rajendra. Lily menjadi obat tersendiri dari rasa kesepiannya.

"Setelah itu mereka kunci pintunya, mereka berdua sekarang lagi ganti baju," ucap Lily mengakhiri ceritanya. Tak lupa juga ia menyuapkan bubur terakhir ke mulut Derald.

"Kalian nekat banget," tanggap Derald.

"Lagian kenapa sih harus dijaga bodyguard segala?" ucap Lily kesal.

"Papa jaga privasi, dia nggak mau reputasinya tercemar," jawab Derald menjelaskan.

"Cih, pecitraan banget. Lily gak suka orang yang kelihatannya baik tapi, jiwanya iblis," wajah kesal Lily menjadi pemandangan bagi Derald sekarang.

"Lo baru aja ngejek seorang papa dihadapan anaknya Ly," ucap Derald dengan kekehannya.

"Lagian, jadi orang kok kejam banget. Lily gak suka ah, Derald jadi babak belur gini. Lain kali Derald harus janji, lawan balik," Derald tak bisa untuk menahan dirinya untuk tidak tertawa.

Ternyata melihat wajah kesal Lily itu menyenangkan. Apalagi bibir mungil itu tak berhenti memberinya petuah sedari tadi.

"Iya," jawab Derald singkat. Ia mengusap pucuk kepala Lily dengan gemas.

"Derald!! Ih tatanan rambut Lily rusak tau," kesal Lily, ia menepis pelan tangan Derald yang bertengger di kepalanya.

"Kayaknya gue harus belajar bela diri, biar bisa bela diri gue sendiri," ucap Derald tiba-tiba membuat Lily tersenyum lebar.

"Ih, itu harus Derald. Lily juga mau ikut bela diri deh, biar nanti kalau ada yang macam-macam sama Lily bisa Lily tonjok," balas Lily dengan bergaya, seolah-olah dia sedang menonjok seseorang.

"Dih, emang bisa??" tanya Derald dengan wajah meremehkan.

"Eh, Derald jangan ngeremehin Lily ya. Lily itu titisan Dewa Athena," jawab Lily.

"Pokoknya Derald wajib belajar bela diri!" lanjut Lily tegas.

"Bukannya lo udah pintar bela diri ya?" celetuk Alfaro membuat atensi kedua remaja itu berpindah ke arah Alfaro yang berdiri diambang pintu.

"Lo pikir gue lupa, kalau lo udah punya sabuk hitam," ucap Alfaro sambil terkekeh.

"Itu karate, gue ngincer taekwondo," ucap Derald.

Memang benar Derald mengikuti karate sejak kecil. Bisa dibilang Derald sangat menguasainya. Tetapi untuk melawan para pembully dan papanya beda cerita. Derald hanya tak mau memperpanjang masalah yang mengakibatkan kebencian Rajendra semakin meningkat padanya. Dia tak mau mengecewakan mamanya.

"Maruk lo," cibir Alfaro. Menjadi teman Derald sejak lama membuat keduanya akrab dan keduanya saling mengetahui sikap asli yang tak pernah mereka tunjukkan.

"Kalau Derald bisa karate, lah kenapa lo mau di bully Alfarellza?" tanya Aileen bingung.

"Gue tau Alfarellza punya hubungan sama Bang Vano. Gue cuma gak mau nambah masalah dan papa gue tambah benci sama gue," jelas Derald.

"Lo tau kalau Alfarellza ada hubungan sama abang lo darimana dan sejak kapan? Perasaan lo gak pernah tuh curiga kayak gitu," ucap Alfaro menanggapi.

"Semenjak Bang Vano jemput gue secara paksa di sekolah. Alfarellza nahan Lily gue lihat itu dan bukan satu dua kali gue denger Bang Vano telponan sama Alfarellza," jawab Derald.

"Kalau gitu kenapa lo gak selidikin dari dulu sih, harusnya lo curiga sejak lama," ucap Alfaro kesal.

"Udah dong, jangan marah-marah Dei lagi sakit tau," ucap Lily melerai.

"Idih, belain nih ceritanya?" goda Aileen membuat pipi sahabatnya memerah malu.

"Aileen jangan jahil ya, bilangin bunda nih," ancam Lily, bukannya takut Aileen malah semakin gemas dengan sahabatnya.

"Halah bunda gak bakal marah kok, kalau gue godain anaknya," ucap Aileen santai.

"Lagian, Lily perhatian banget sama Derald, uh jadi pengen," goda Aileen lagi.

"Aileen!!" kesal Lily, pipinya semakin merah membuat Aileen terbahak. Sedangkan kedua pria itu tersenyum.

"Gimana keadaan lo sekarang?" tanya Alfaro. Baginya Derald sudah ia anggap saudara jadi ia akan merasa khawatir saat Derald terluka.

"Lumayan, gak sesakit kamarin," ucap Derald santai.

"Kali ini berapa lama waktu yang diberi sama bokap lo?" tanya Alfaro seolah sudah menghafal sikap Rajendra itu.

"Tiga hari," jawab Derald membuat ketiga temanya melotot tak percaya.

"Tiga hari?" beo ketiganya serempak.

"Papa lo gila Derald!" ucap Aileen kesal.

"Tiga hari itu nggak cukup buat mulihin luka kayak gini," lanjut Aileen.

Lily menatap Derald sendu, mengapa harus semenderita ini hidupnya.

"Kalau gitu Lily akan bantu Derald buat cepat sembuh," ucap Lily yakin.

"Caranya?" tanya Aileen.

"Jangan lupa ya sama bodyguard yang ada di depan," lanjut Aileen mengingatkan.

"Itu bisa diatur." Lily tersenyum melihat Aileen dan Alfaro. Tersenyum penuh arti.

"Gue gak mau jadi hantu lagi ya," ucap Aileen langsung mengerti arti senyum Lily.

"Gak jadi hantu lagi kali Aileen, tapi ngomong-ngomong akting Aileen bagus," puji Lily lagi.

"Mau lo puji gue sampai kayang pun gue tetep gak mau ya jadi hantu lagi," ucap Aileen. Sedangkan Alfaro terlihat menahan tawa melihat wajah Aileen yang kesal.

"Nanti kita pikirin rencananya," ucap Alfaro melerai.

"Kira-kira bodyguard itu udah sadar belum ya?" tanya Aileen. Alfaro menepuk dahinya, ia melupakan kalau ada orang kedua bodygroud itu.

"Mereka pasti udah sadar, tapi tenang aja, pintunya gue kunci dari luar," ucap Alfaro.

"Lah kalau mereka dobrak kan juga bisa, badan mereka besar-besar anjim," ucap Aileen tersadar.

"Firasat gue gak enak," lanjut Aileen. Setelah itu suasana menjadi hening.

Tiba-tiba suara hening itu berganti dengan suara para sepatu fantofel yang beradu dengan lantai. Tidak hanya satu orang. Suara sepatu itu bergantian, menandakan banyak orang yang menuju tempat itu.

"Mereka datang," ucap Derald pelan.

Mendengar itu sontak ketiganya langsung panik. Bukan tak berani melawan atau adu omongan. Tapi mereka lebih mengkhawatirkan jika sampai Derald juga terkena imbasnya.

"Kita harus sembunyi," ucap Alfaro.

"Dimana anjay, sialan tuh orang ganggu orang seneng aja," gerutu Aileen. Langkah kaki itu semakin dekat.

Alfaro menatap jendela dan mendekatinya. Ia melongokkan kepalanya kebawah. Sedangkan Aileen sudah memiliki firasat buruk. Walau rencana Alfaro berhasil, tapi kalau berbahaya. Aileen angkat kaki, memilih menyerahkan diri aja.

"Lo gak ada niatan lompat dari lantai sepuluhkan Al?" tanya Aileen horor.

"Enggak, tapi kita bisa sembunyi di jendelanya," ucap Alfaro santai. Sedangkan Aileen merasakan jantungnya ingin terlepas dari raganya.

"Gila lo, kalau kita jatuh kita tinggal nama," ucap Aileen sedangkan Alfaro menghela nafas.

"Kita gak boleh ketahuan," ucap Lily. Dia langsung mengikuti cara Alfaro. Sedangkan Aileen mengelengkan kepalanya lirih.

"Dosa apa gue punya temen seneng ngeprank malaikat izrafil," lirih Aileen.

Lily langsung berpegangan melompat keluar jendela. Sedangkan Alfaro menahannya dengan tangannya agar tubuh itu tak terpelanting jatuh. Selanjutnya Aileen, walau dengan berat hati dia melakukannya.

"Disebelah ada jendela kamar, kita lewat kamar itu," ucap Alfaro memberikan arahan. Lalu ikut keduanya menyusuri jalan sempit dijendela.

"Gue pulang dulu!!" pamit Alfaro yang diangguki oleh Derald.

"Hati-hati, jaga mereka!!" pesan Derald.

"Tenang aja, aman!" ucap Alfaro. Ia langsung berjalan di belakang Aileen.

Lily sudah naik ke jendela sebelah, walaupun ada orang yang syok melihat kedatanganya. Dia hanya tersenyum canggung, untung saja hanya satu orang. Dia laki-laki menatap Lily aneh.

"Maaf, numpang lewat," ucap Lily canggung. Namun, suasana berubah tegang ketika teriakan dari Aileen terdengar.

"Aaaa ...."

"Aileen!!" pekik Lily. Namun, beberapa detik kemudian Lily menghela nafas lega. Ketika Alfaro memeluk Aileen dari belakang dengan satu tangan sedangkan tangan lainya berpegangan erat pada dinding.

"Hati-hati," ucap Alfaro. Jantung keduanya hampir lepas. Aileen tak membayangkan kalau sampai dia jatuh kebawah. Ia bahkan sampai memejamkan matanya.

Keduanya pun akhirnya sampai di dekat jendela kamar sebelah. Lily langsung berhambur memeluk sahabatnya itu sambil menangis.

"Aileen ... hiks ... gak papa kan??" tanya Lily khawatir.

"Gue gak papa, jangan nangis," ucap Aileen tak tega.

"Maaf buat Aileen dalam bahaya," ucap Lily pelan.

"Yang penting sekarang gue gak papa, thanks juga buat Alfaro," ucap Aileen. Ia mengusap air mata sahabatnya itu pelan.

"Kita pulang," ucap Alfaro. Dia yakin kalau semakin lama mereka disini semakin gawat keadaannya.

"Nice to meet you, Lily!" ucap laki -laki diruangan itu membuat Lily mematung.

"K--kamu tau nama aku?" tanya Lily pelan.

"Airon Sangkar Efendi, lo bisa panggil gue Airon. Semoga di next pertemuan kita lo udah ingat gue siapa," ucap laki-laki itu. Sedangkan Lily yang bingung hanya bisa menatapnya dengan sorot mata tak terbaca.

"Lily cepet!!" suruh Aileen membuat Lily langsung tergopoh-gopoh menghampirinya.

"Lo harus inget gue siapa, mengingat kenangan sendirian itu menyakitkan, Ly," lirih Airon, sambil melihat punggung Lily yang sudah mulai menjauh.

***

Vano dengan tergesa memasuki ruang rawat Derald. Ia memiliki firasat kalau ada yang sedang bermain kucing-kucingan denganya. Kedua bodygroud yang menjaga adiknya terkunci diruangan kosong. Ia yakin ini sudah direncanakan.

Brakk ....

Sura pintu dibuka kasar membuat Derald yang membaca buku tersentak kaget. Untungnya dia tidak gugup karena Vano menatapnya tajam. Ibarat kata dia sudah kebal dengan tatapan itu. Bahkan dia mendapatkannya setiap bertemu Vano.

"Siapa yang datang ke sini??" tanya Vano to the point.

Derald mengendikkan bahunya acuh dan berkata, "Bukannya gue lo kurung di sini dan gak boleh ada yang jenguk, lo juga nempatin dua bodyguard di depan pintu," jawab Derald sesantai mungkin.

"Jawab jujur, Derald!!" suruh Vano dengan tatapan menghunus tajam.

"Siapa lo?? Kenapa gue harus jujur sama lo??" tanya Derald menantang. Entah keberanian dari mana. Tapi yang terpenting sekarang dia harus melawan.

"Gue abang lo!!" ucap Vano gamblang.

"Gue sebatang kara, itu yang gue ingat," jawab Derald santai.

"Lo tau pintu keluar, gue mau belajar untuk olimpiade dan harus FOKUS," ucap Derald menekan kata 'fokus' nya.

"Lo berani ya?"

"Kenapa gue gak berani?" tanya Derald.

"Dasar gak berguna!!" Setelah melemparkan kata pedas itu Vano berbalik hendak pergi. Tetapi suara Derald kembali menghentikannya.

"Hari ini gue sebatang kara, karena kalian anggap gue gak pernah ada. Terus kenapa gue gak bisa? Gak bisa buat kalian gak ada dihidup gue," ucap Derald dengan kekehan diakhir kalimatnya.

"Mama sayang sama abang, itu pesan terakhir mama. Terserah abang percaya atau enggak, itu kebenarannya," lanjut Derald.

Tetapi tanpa menoleh Vano langsung berjalan meninggalkan Derald sendirian yang tersenyum sinis. Ia membulatkan tekat untuk melawan para orang yang menindasnya. Mama dan teman-temannya akan kecewa kalau dia hanya pasrah.

"Welcome, di kehidupan baru Derald."

****

😍😍🥰🤣 LANGSUNG VOTE YOO

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top