A&R 2
Jakarta, 2018
"Capek!" batin Atika sambil memijat betisnya yang serasa mau pecah. Akhirnya dia bisa mengistirahatkan sejenak kedua kakinya di dalam bus. Meski ini adalah kegiatan rutin yang telah ia jalani selama hampir dua tahun terakhir, tapi ternyata tubuhnya terkadang masih terasa begitu penat, terlebih kalau di kantor banyak pekerjaan. Belum lagi ia harus jalan dari halte bis ke rumah Wiwik sekitar lima belas menit.
Atika sudah tahu resiko bekerja di Ibukota. Bangun jauh sebelum matahari menampakkan sinarnya, pagi-pagi sudah harus berdesakan di angkutan umum, syukur-syukur kalau dapat tempat duduk, Atika bisa mencuri sedetik-dua detik untuk memejamkan mata. Kalau sedang apes, ya sudah terpaksa berdiri.
Jika jalanan tidak macet, kurang lebih tiga puluh menit Atika sudah sampai tepat di depan kantor. Namun, kalau macet bisa sampai satu jam. Saat berangkat kerja, Atika hanya perlu ganti angkutan umum sebanyak dua kali. Lain halnya ketika pulang, ia harus oper sampai tiga kali alat transportasi. Cukup membuat tubuhnya semakin lelah.
Seharian tadi, Atika tidak bisa melepas heels tujuh sentinya. Dia harus wira-wiri mengurus berbagai laporan dan permasalahan kantor. Hari ini Atika terpaksa lembur, selain karena tuntutan akhir bulan, ada permasalahan pelik di salah satu cabang SGG.
Diliriknya jam yang melingkar di pergelangan kirinya, jarum sudah menunjukkan pukul 21.17, pantas saja angkutan umum mulai sepi.
Biasanya kalo tidak lembur, pukul 17.00 dia sudah bisa keluar kantor. Di akhir bulan pun pukul 19.00 sebenarnya Atika sudah bisa pulang, tapi gara-gara Alin minta tolong menggantikan tugasnya, Atika terpaksa harus pulang lebih lambat.
"Pliiiis ... tolongin gue dong, Tik. Ya ya ... sekali ini aja," bujuk Alin sambil memasang tampang memelas.
Rizky yang baru membereskan berkas, melongok dari balik kubikel demi melihat Alin merengek minta tolong. Secara Rizky orangnya memang sangat bertanggung jawab, jelas tidak rela melihat sikap Alin.
"Jangan mau, Tik. Kebiasaan. Sudah tahu akhir bulan kerjaan numpuk ketambahan ada masalah sama cabang Bandung, malah sengaja kencan. Mentang-mentang Atika jomlo bisa loe suruh lembur," damprat Rizky.
Alin menatap melas ke Rizky, mengedipkan bulu matanya, berharap bisa meluluhkan hati lelaki duapuluh tujuh tahun berkulit putih itu dan membantunya membujuk Atika.
"Yah, Riz, loe kok gitu. Nggak sengaja kali, Riz. Mana gue tahu kalau ada masalah di Bandung. Loe kan tau sendiri, cowok gue kerja di pulau seberang, jarang banget gue bisa ketemu sama dia. Ini dia ambil cuti, Riz, sepupunya nikah di Cirebon. Kasihanilah gue kali ini aja." Sisil mengerucutkan bibirnya sok lucu.
"Aku sih nggak apa-apa, Mbak, tapi 'kan aku nggak begitu paham tentang job desc-nya Mbak Alin," sahut Atika menengahi Rizky dan Alin.
Memang setiap divisi HRD mempunyai tugas masing-masing. Divisi HRD yang biasanya ada dalam sebuah perusahaan antara lain Human Resources of Development Manager, Human Resources of Development Recruitment, General Affair Supervisor, Staff Non Material Warehouse, Compensation and Benefit Supervisor, Staff Payroll dan Staff Welfare Training and Development Supervisor.
Tidak semua perusahaan memiliki devisi HRD yang selengkap itu. Pun demikian dengan SGG yang hanya memiliki empat devisi utama.
Pertama, Human Resources of Development Manager yang dipimpin langsung oleh Ratma yang sekaligus merangkap sebagai manajer HRD.
Alin berada dalam divisi Staff Payroll yang mengurusi proses pengambilan cuti dan tukar shift sumber daya manusia yang ada di perusahaan.
Atika berada di HRD rekruitment yang menangani penerimaan serta membuat laporan yang menyangkut rekapitulasi, promosi, dan status karyawan. Dan menangani training serta pengembangan sumber daya manusia yang ada.
Sedangkan Rizky yang berkecimpung di devisi General Affair Supervisor mengurusi segala sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan kantor dalam rupa peralatan kerja dan sarana prasarana. Selain itu ia juga menangani hubungan yang berkaitan dengan vendor atau supplier yang dipakai oleh perusahaan, serta menyiapkan laporan yang akan dipakai saat rapat anggaran, laporan keuangan dan beban biaya kantor.
"Yah, kan loe udah sering bantu-bantu divisi gue, Tik. Gue yakin loe bisa handle. Gampang kok, cuma masuk-masukin data karyawan yang kemarin ngajuin cuti doang," bujuk Sisil senyum-senyum, merasa ada angin segar.
"Sudah sering? Berarti loe sering manfaatin Atika?"
Merasa bakal ada perang antara Rizky dan Alin, Atika berinisiatif mengambil dan membuka-buka tumpukan berkas yang tadi diserahkan Alin, "Ini kan, Mbak? Harus jadi sekarang, ya?" Lumayan juga, ada sekitar belasan lembar.
Alin mengangguk, mendekatkan wajah sembari berkedip manja ke Atika.
Rizky menonyor dahi Alin supaya menjauh dari Atika, "Belajar tanggung jawab, Lin!" Rizky memutar bola matanya sebal.
Alin menangkupkan telapak tangannya, membungkuk-bungkuk di depan meja Atika. Dia mengabaikan sikap Rizky. Selama Atika setuju, Rizky urusan belakangan. "Pliiiissss .... Gue janji sekali aja. Ntar pulang dari Cirebon gue bawain oleh-oleh, deh."
Mendengar kata oleh-oleh, Otong—office boy yang sering mangkal di devisi HRD—langsung menyerbu Alin. Padahal jarak antara kubikel Atika dan tempatnya tadi menyapu cukup jauh, tapi memang telinganya sudah terlatih menangkap sinyal 'oleh-oleh'. Tak perlu diragukan lagi betapa hijau matanya dengan barang gratisan.
"Saya juga dapet, 'kan, Mbak?" teriak Otong sembari mengacungkan tangan kanannya. Tak perlu menunggu lama, tubuh gempal sebesar atlet sumo sudah berdiri di depan muka Alin.
Alin mengerling licik. "Kalau loe bisa ngebujuk Atika buat bantuin gue, janji deh, gue bawain oleh-oleh khas Cirebon."
"Beneran, Mbak Al?" Mata Otong membulat sempurna. "Yang banyak, ya, Mbak," imbuhnya.
Alin menekuk wajahnya, "Sialan, bisa habis gaji gue bulan ini," batin Alin yang tak rela jika harus mengeluarkan anggaran khusus untuk si gembul, tapi demi kesuksesan kencannya dengan Jonathan, dia mengangguk.
Otong tersenyum lebar, "Alhamdulillah." Ditepuknya bahu Atika keras. "Mbak Tika, nanti saya bantu dan temenin sampe selesai. Janji. Nanti saya anter ke terminal busway juga ndak pa-pa. Mau, ya, Mbak," bujuk Otong.
Rizky masih tidak rela. "Enak banget, loe, tugas siapa yang repot siapa. Loe juga, Tong, kok loe ngebelain Alin, sudah jelas dia salah," damprat Rizky kesal, yang bikin Otong mengerut. Rizky kalau sudah melotot, matanya seperti mau lepas dari lobangnya.
"Udah-udah ... nggak apa-apa kok, Mas Riz," lerai Atika. Dia tidak mau kubikelnya hancur gegara ketiga rekannya bertengkar. "Tadi Mas Tong udah janji bakal nemenin sampe selesai. Lagian ini aku juga udah nggak ada kerjaan, sekali-sekali bantuin temen nggak apa-apa."
"Tapi jangan lupa oleh-olehnya," tambah Atika.
Alin melonjak kegirangan, kayak balita dibelikan ice cream. "Loe baik banget, deh. Makasih ya, Tik. Tenang, gue nggak bakal lupa. Dan loe," Alin menunjuk Rizky, "karena gue ini baik hati dan tidak sombong, ntar gue bawain oleh-oleh juga."
Rizky merasa percuma adu mulut dengan Alin. Dia pun melangkah pergi, meninggalkan Atika yang dihujani penjelasan tentang data-data yang mesti dia kerjakan.
Dan hasilnya, pukul sembilan malam Atika baru keluar kantor. Kalau di Solo jam segitu sudah tidak mungkin ada angkutan umum. Lain halnya dengan Jakarta, kota yang tak pernah mati, jam segini pun masih banyak bus yang beroperasi.
Atika memandang keluar jendela mengamati keramaian ibukota. Tak terasa sudah setahun lebih Atika tinggal di Jakarta, tapi masih sering kangen rumah. Kalau di kantor Atika bisa terhibur dengan tingkah teman-temannya, tapi begitu pulang terasa sepi lagi.
Coba kalau di Solo, jam segini pasti si centil Cinta sudah ribut tak jelas tentang kegiatan kampus. Niken sudah ramai mengomentari sinetron tak jelas yang sudah tidak tahu lari ke mana arah alur ceritanya. Belum lagi Mbok Yem terkadang ikut-ikut komentar.
Beda sekali dengan rumah Wiwik. Sepi. Apalagi kalau kebetulan bertemu Yono—suami Wiwik yang purnawirawan TNI—hawanya mencekam, terasa seperti nonton film Danur. Kalau tidak mengingat larangan keras Niken, sudah dari kemarin Atika pindah ke indekos.
Berkali-kali Atika membujuk Niken agar mengizinkannya menyewa kamar di dekat kantor. Selain ingin memangkas waktu yang biasa ia habiskan di jalan, alasan utamanya adalah ia merasa kurang nyaman dengan Yono.
Lagipula tak lama lagi Eka akan menikah, Atika tidak bisa membayangkan harus tinggal bertiga dengan bude dan pakdenya saja.
Namun, Niken tak kunjung memperbolehkan. "Ndak aman, Nduk. Nanti ndak ada yang ngawasin kamu. Kalau kamu capek atau sakit ndak ada yang ngurusin." Selalu itu alasan Niken.
Pada akhirnya Atika lagi yang mengalah. Dari pada ibunya sakit karena kepikiran, lebih baik dia yang mengorbankan waktu.
Tidak terasa bis yang ditumpanginya sampai di pemberhentian dekat rumah Wiwik. Atika bersiap untuk turun. Dijinjingnya tas kerja di tangan kiri dan berkas yang tak muat masuk tas di tangan kanan. Sesaat pegal yang dirasa tiba-tiba menguap, membayangkan tak lama lagi tubuhnya bisa berbaring nyaman di kasurnya.
***
"Masak apaan, Tik? Baunya enak banget." Eka mendekatkan hidungnya ke wajan sembari melihat masakan Atika.
Atika tersenyum menanggapi sapaan Eka. Sejak kapan bau bisa terasa enak. "Atika kangen sama sambel goreng kentang telur puyuhnya ibuk, Mbak."
"Kenapa nggak beli aja? Lebih gampang." Eka membuka lemari pendingin lalu mengambil sepotong melon.
"Rasanya beda, Mbak. Lagian daripada nganggur mending aku masak, 'kan bisa buat sangu besok ke kantor."
Sudah jadi kebiasaan Atika untuk membawa bekal makan siang ke kantor. Bukan karena dia pelit atau berhemat, sekali lagi itu sudah jadi kebiasaannya sejak di taman kanak-kanak. Niken selalu mengutamakan kebersihan dan nilai gizi dalam setiap makanan. Oleh karena itu baik Niken maupun Atika sama-sama suka memasak. Dengan mengolah masakan sendiri tentu saja tingkat kebersihan dan kandungan gizi lebih terjamin.
Dengan memasak bekal sendiri memang lebih repot, karena itu artinya Atika harus bangun lebih pagi dibanding teman-teman kantornya. Namun Atika tak merasa terbebani. Dia malah senang, karena dapur adalah tempat favoritnya.
"Makanya cari pacar, Tik, biar minggu-minggu gini ada yang ngapelin." Eka menyandarkan tubuh di tembok samping lemari pendingin.
Atika menoleh sambil memanyunkan bibir. "Mana bisa, Mbak. Kaya nggak tahu gimana ibuk."
"Ish, kamu itu terlalu nurut sama Bulik Niken. Inget, umurmu udah dua lima, udah waktunya mikir untuk nikah. Kalau kamu nggak mulai nyari dari sekarang, takutnya malah kebacutan."
Atika mengetuk meja dapur sebanyak tiga kali. "Amit-amit jabang bayi! Mbak Eka, jangan ngomong gitu dong," protes Atika.
Eka terbahak melihat reaksi sepupunya yang terlewat nurut. "Kemaren Mbak kenalin sama temennya Kak Amri, kamunya nggak mau. Padahal dia udah kerja, rumah udah ada, tampang lumayan daripada lumanyun!"
Atika membalik sambel goreng agar tidak gosong. "Bukannya aku nggak mau, Mbak, tapi kan sama Ibuk diwanti-wanti jangan sampe pacaran sama keturunan cina."
Sampai sekarang Atika masih belum setuju dengan larangan Niken yang satu itu. Kenapa dia tidak boleh menikah dengan cina? Kenapa harus ada diskriminasi ras dalam sebuah pernikahan? Bukankah jodoh, rezeki, kelahiran dan kematian itu hak prerogatif Tuhan. Hanya Dia yang bisa menentukan.
Namun, dibalik ketidaksetujuan Atika, ia tetap berusaha menghormati pemikiran Niken. Baginya selama masih ada alternatif lain, maka lebih baik menuruti perintah ibunya.
"Bude sama Pakde ke mana, Mbak? Kayae tadi Atika lihat pagi-pagi sudah ngeluarin mobil." Atika berusaha mengalihkan pembicaraan.
Eka kembali membuka lemari pendingin. Diambilnya sebotol minuman soda yang langsung ia tenggak tanpa dituang ke gelas.
Kegemaran Wiwik akan minuman bersoda menurun pada Eka. Mereka tidak pernah kehabisan stok, baik itu yang dingin maupun yang masih di kardus.
Bukan cuma Atika yang heran, Ragil—putra bungsu Wiwik yang kuliah di Bandung—pun seringkali memprotes kegemaran ibu dan kakaknya. Terlalu banyak mengonsumsi minuman bersoda tidak baik untuk kesehatan.
"Katanya sih ada acara sama temen-temennya Papa. Biasalah, sama ibu-ibu pejabat gitu."
Atika mengambil sambel goreng ke atas piring saji sebelum ia mematikan kompor, supaya tidak mudah basi. "Mbak Eka, nggak pergi? Tumben."
"Paling bentar lagi dijemput Kak Amri, sekalian mampir butik. Kemarin banyak barang yang baru dateng. Coba deh kamu lihat, kali aja ada gaun yang kamu suka, Tik."
"Yah, kok gaun?" Atika meletakkan piring saji ke meja makan. "Mau aku pake ke mana coba."
"Makanya cari pacar biar bisa nongkrong di kafe-kafe. Jomlo kok dipelihara," goda Eka.
Atika hanya menanggapi dengan senyum. Kalau hanya sekadar main di kafe, dia bisa melakukannya dengan teman-teman kantor. Itu pun tak harus memakai gaun berumbai seperti yang ia lihat di etalase butik milik Eka.
***
"Gaes, mau pada maksi apa nih? Gimana kalau nge-go food aja? Gue pengin banget sushi, tapi males keluar," usul Alin.
"Aku enggak, Mbak, udah bawa bekal." Atika menunjuk kotak makan yang ia taruh di atas meja.
"Yaaah," Alin menumpangkan dagu ke atas kubikel Atika, "trus gue makan apa, dong?"
"Mbak Alin, mau gado-gado nggak? Nanti aku beliin." Otong tahu-tahu ikut nimbrung.
Alin memutar bola mata. "Modus! Loe mau beliin, tapi minta traktir 'kan?"
Otong tersenyum dikulum. "Ya, namanya juga usaha, Mbak."
"Riz, loe mau lunch di mana? Gue nebeng, ya," bujuk Alin.
Rizky yang tengah mengantongi ponselnya dan bersiap untuk keluar pun menoleh pada Alin. "Gue janjian sama Dini. Loe mau ikut?"
Alin mendengkus kesal. "Nemenin orang pacaran, trus gue jadi kambing congek gitu? Ogah!"
Rizky mengangkat bahu cuek seraya melenggang pergi.
Atika terkikik melihat polah Alin. "Kalau Mbak Alin mau, makan sama aku aja. Aku bawa banyak, kok." Atika membuka kotak bekalnya yang terdiri dari dua susun. Bagian atas berisi sambel goreng kentang telur puyuh, dan bagian bawah berisi nasi yang cukup untuk dua orang.
"Wah, kayanya enak banget, Tik. Gue minta, ya." Alin menyeret kursi terdekat dan membawanya ke samping kubikel Atika.
"Mbak," Otong mengintip isi kotak Atika, "aku juga mau."
Alim melotot galak. "Kagak! Enak aja, loe makannya banyak banget, Tong. Ntar yang ada gue ama Atika kagak kebagian."
Otong memasang wajah kecewa mendapati penolakan tegas dari Alin.
"Maaf, ya, Mas. Besok aku bawain, deh. Kebetulan tadi sebelum berangkat kerja aku sempet belanja ayam. Besok aku bikinin ayam crispy asam manis. Mau?" tawar Atika.
"Mau, Mbak." Senyum cerah langsung tergambar di wajah bulat Otong. "Mau banget, Mbak."
"Nah," Alin menunjuk pintu keluar, "sekarang loe balik ke pantry, bikinin gue sama Atika teh manis."
"Siap, Bosku." Otong beranjak dengan senyum semringah membayangkan lezatnya ayam asam manis.
Atika mengambil separuh nasi dan diletakkan di kotak lauk. Lalu mengambil sambel goreng untuk ditaruh di kotak nasi.
"Loe jadi pindah ke kos gue nggak, Tik? Mumpung masih ada dua kamar kosong." Alin menyuapkan sesendok nasi beserta lauknya.
"Penginku juga gitu, Mbak," Atika mengelap sendok makannya dengan tisu, "tapi belum dapet izin dari Ibuk."
"Mending," Alin menelan nasi yang di mulut, "loe minta bantuan Eka atau Bude Wiwik untuk membujuk ibumu."
"Aku sungkan kalau minta tolong sama Bude. Coba nanti aku bilang ke Mbak Eka, mungkin dia bisa bantuin." Atika menyuap sebutir telur puyuh.
"Aku juga sudah seneng banget sama indekos tempat Mbak Alin. Pulang pergi kantor bisa jalan atau kalau capek, ngojek pun murah. Udah gitu khusus perempuan dan ada jam malamnya. Ibuk seharusnya setuju, tapi nggak tahu apa yang bikin Ibuk keberatan," lanjut Atika.
"Ya, udah. Gue bantuin nge-booking satu kamar, tapi jangan lama-lama, ya," Alin menengok ke pintu, "ini Si Otong ke mana? Bikin teh lama bener."
Atika termenung sesaat. Benar, secepatnya ia harus membujuk Niken.
***
Part 2 nya sudah ku-publish yaaa ....
Solo, 11 Januari 2019
Tika Putri
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top