A&R 1
Solo, Desember 2016
"Mbak, baju-baju kerjamu sudah mbok masukne semua ke koper?" tanya Niken sembari membuka koper biru milik Atika.
"Sudah, Buk." Atika geleng-geleng melihat Niken kembali menggeledah isi kopernya.
"Jaket?"
"Sampun, Buk." Atika mengembuskan napas gemas.
"Baju tidur?"
"Ibuk!" protes Atika.
Sebenarnya Atika tidak mempermasalahkan perlakuan ibunya yang cenderung berlebihan.
"Opo tho? Ibuk cuman ndak mau ada barangmu yang ketinggalan. Jakarta itu jauh. Kamu ndak bisa wira-wiri Jakarta-Solo nek ada yang ketinggalan." Niken menoleh sesaat lalu kembali meneruskan kegiatannya dalam menginspeksi isi koper Atika.
Serius. Atika sudah biasa diperlakukan seperti anak kecil. Bukan berarti Atika tidak bisa mandiri, tapi memang Niken yang overprotectif dan sangat memanjakan putri-putrinya. Terkadang Atika membiarkan ibunya mengatur dan memberi perhatian lebih, tapi kalau harus membongkar ulang isi koper-padahal kemarin Niken sendiri yang membuat checklist barang yang akan Atika bawa ke Jakarta-menurutnya sudah harus dihentikan.
Atika memeluk pinggang Niken dari belakang dan meletakkan dagunya di bahu Sang Ibu.
"Sudah semua, Buk." Tarikan nafas pertama. "Baju harian, kaos, celana kolor, beha, celana dalem, kaos kaki, handuk, sabun, sikat gigi, odol, pembalut juga sudah. Semua yang kemarin ada di checklist sudah masuk koper. Atika sampai bawa tiga koper gara-gara daftar dari Ibuk yang puanjang banget, dan semua sudah siap tinggal angkut." Atika memberi jeda dengan mengembuskan nafas panjang. "Cuma satu yang belum Atika bawa."
Niken mengerutkan dahi lalu menoleh. "Yo ndang disiapne daripada ketinggalan. Kamu sudah punya belum? Nek belum, mumpung masih sore ndang beli dulu sama Cinta."
Atika tersenyum. "Udah ada, Buk. Tapi Ibuk yang nggak mau ngasih."
"Opo sing mbok butuhne? Kalau Ibuk punya, yo ambilen wae."
"Atika cuma butuh doa dan kepercayaan Ibuk ke Atika."
Niken menepuk punggung tangan Atika yang masih melingkari pinggangnya. "Ibuk ndak pernah putus mendoakan kamu sama Cinta. Ibuk juga percaya sama kalian. Ibuk ini cuman khawatir."
"Buk." Tarikan nafas kedua. "Atika ini sudah besar lho, seminggu lagi juga sudah duapuluh empat. Masa Ibuk masih nggak percaya kalau Atika bisa mempersiapkan kebutuhan Atika sendiri? Masa Ibuk harus ngecek ulang? Tahu gitu 'kan tadi Ibuk yang masuk-masukin barang ke koper."
"Bocah iki yen dikandani kok ngeyel." Niken melepaskan pelukan Atika seraya memelototi putri sulungnya. "Kamu itu ndak pernah pergi jauh dari rumah, belum tahu rasane jauh dari Ibuk Bapak. Apalagi kamu pergi ndak cuman sebentar tok. Wajar nek Ibuk ndak mau kamu kesusahan di sana."
"Iya." Atika sengaja menarik nafas panjang dan menghembuskan dengan keras, biar ibunya tahu dia mulai gemas. "Atika tahu Ibuk itu nggak mau Atika susah, tapi kasih kepercayaan ke Atika dong, Buk."
"Iya nih, Ibuk lebay," ucap Cinta yang sudah berdiri di ambang pintu. "Kayak di Jakarta nggak ada toko. Kalau ada yang kelupaan kan tinggal beli tho. Gitu aja kok repot. Lagian kasihan Mbak Tika kalau kebanyakan barang yang dibawa, Buk. Nanti malah repot pas di stasiunnya. Percaya deh, Buk, Mbak Tika pasti bisa survive di sana."
Atika memberi dua jempol ke adik semata wayangnya. Cinta memang paling bisa diandalkan di saat Atika tersudut oleh sikap Niken. Cinta gadis yang ceplas-ceplos dan lebih bisa mengeluarkan isi pikirannya dibanding Atika, jadi jangan salahkan Atika bila terkadang dia harus meminta bantuan Cinta dalam menghadapi Niken.
"Kalian berdua ini memang kompak. Sama-sama seneng mbantah omongane Ibuk." Niken pura-pura merajuk.
Atika mengode adiknya untuk mengikuti Niken yang sudah terlebih dahulu duduk di ruang keluarga. Atika melendeh pada bahu Niken, mencoba membujuk ibunya agar tidak lagi marah.
"Ibuk marah sama Atika?"
Niken sengaja diam, dia ingin kedua anak gadisnya sadar kalau apa yang dilakukannya itu untuk kebaikan mereka. Bagi Niken, memastikan kedua anaknya dalam kondisi tidak kepayahan adalah suatu keharusan. Karena hanya itu yang bisa dilakukannya sebagai seorang ibu.
Sudah dua tahun Saputro-Sang kepala keluarga-mengalami serangan stroke, yang membuat separuh bagian tubuhnya tak lagi bisa berfungsi normal. Sejak saat itulah tanggung jawab keluarga terbebankan pada pundak Niken.
"Buk, maafin Atika. Bukan maksud Atika untuk membantah Ibuk. Atika cuman pengin Ibuk percaya sama Atika. Kalau Ibuk terus-terusan membantu, nanti Atika nggak bisa mandiri."
Niken menghela napas panjang. "Ibuk tahu, Mbak, tapi cuman ini yang bisa Ibuk lakukan untuk kamu sama adikmu. Ibuk cuman pengin memastikan kalian berdua sehat, selamat, ndak kekurangan." Niken menepuk punggung tangan Atika lalu menggenggamnya.
"Ibuk sebenarnya ndak ikhlas kalau kamu harus kerja di Jakarta, jauh dari rumah. Di Solo ini banyak kantor besar, kenapa harus ke Jakarta? Ibuk khawatir, Nduk," lanjut Niken.
"Atika benar-benar bersyukur punya Ibu seperti Ibuk." Atika memeluk Niken, "Hidup Atika sama Cinta benar-benar berlimpah kasih sayang dan perhatian dari Ibuk dan Bapak. Nah, sekarang saatnya Atika yang membalasnya."
"Ibuk Bapak ndak pernah minta dibales, Nduk."
"Iya, Atika tahu," ucap Atika sembari melepas pelukannya. "Sama seperti Ibuk dan Bapak yang ikhlas membesarkan dan merawat kami, begitu juga Atika, Buk. Atika pengin Bapak Ibuk fokus sama pengobatan Bapak. Biar Atika yang membantu biaya kuliah Cinta."
"Ibuk masih bisa kerja, Mbak. Bapak masih dapet pensiunan, katering Ibuk juga masih laris, cukup untuk biaya berobat Bapak sama kuliah Cinta. Kamu ndak harus ke Jakarta."
Tarikan nafas entah yang ke berapa. "Ibuk, kita udah sering banget membahas ini, kan? Dan Bapak Ibuk juga setuju kalau Atika kerja di Jakarta."
Bukan sekali dua kali Atika disidang oleh Niken dan Saputro perihal keinginannya untuk hijrah. Padahal Atika sudah sering mengatakan alasannya bekerja di Sanjaya Gemilang Group. Selain karena gajinya yang mendekati dua digit, latar belakang utamanya adalah Atika ingin mandiri.
Benar kata Niken, banyak perusahaan di Solo yang menawarkan gaji di atas UMR, tapi tentu saja masih jauh di bawah SGG. Benar, katering Niken dan pensiunan Saputro masih mencukupi kebutuhan mereka, walau mepet. Namun, yang Atika cari adalah pengalaman.
"Ibuk kumat tho. Lha wong kemaren Ibuk Bapak sudah legowo kalau Mbak Tika ke Jakarta, eh sekarang kok dibaleni mau debat lagi." Cinta kembali membela Atika.
Cinta tahu betul bagaimana rasanya terlampau diperhatikan-terkadang jadi terasa seperti tidak dipercaya-oleh Niken. Makanya Cinta berusaha membantu Atika. Bukan karena Atika kerja demi kelanjutan kuliah Cinta, tapi lebih pada memberi kesempatan kakaknya untuk meraih impian.
Cinta sangat dekat dengan Atika, jadi ia tahu apa yang dicita-citakan Atika. Tentu poin pertama dalam target hidup Atika adalah keluarga. Itu sudah jadi harga mati bagi Atika. Tetapi ada hal lain yang diimpikan Sang Kakak, yakni membuktikan diri bahwa dia mampu untuk mandiri.
Ya, cuma itu. Dan Cinta sangat paham bahwa bagi kakaknya hal tersebut perlu perjuangan. Dengan ibu yang terlalu melindungi serta bapak yang tak pernah membiarkan anak-anaknya menderita, maka kemandirian akan sulit tercapai.
Oleh karena itu, Cinta berusaha sekuat tenaga membantu Atika meloloskan diri dari kungkungan Niken.
"Ini anak kecil ikut-ikutan. Kamu ndak bakal ngerti gimana khawatirnya Ibuk. Apa kamu ndak pernah nonton tipi? Hampir setiap hari ada maling, pemerkosaan, gek banyak bandar narkoba. Belum lagi kalau malem banyak diskotik yang isine ndak karu-karuan. Ibuk bener-bener ndak bisa mbayangin kalau mbakyumu katut."
Pemikiran seperti ini yang seringkali membuat Atika dan Cinta kesal. Terkadang Niken memandang segala sesuatu dari sisi negatifnya, dan terlalu melebih-lebihkan.
"Ya ampun, Buk. Kalau cuma maling, rampok, jambret, penjahat seksual, bandar narkoba dan semua yang Ibuk katakan tadi, nggak cuma di Jakarta. Di Solo juga banyak, Buk. Apalagi macam club untuk ajeb-ajeb, di sini sudah banyak." Cinta kembali bersuara.
"Benar kata Dek Cinta, Buk. Ibuk itu cukup percaya sama Atika. 'Kan selama ini Bapak Ibuk sudah ngasih pendidikan agama dan moral ke Atika. Atika 'kan juga nggak pernah yang aneh-aneh di Solo. Atika tahu mana yang boleh dan nggak boleh, mana yang baik dan yang harus dijauhi, mana yang bener dan salah. Ibuk percaya 'kan?" tambah Atika.
Niken mengembuskan nafas pelan dan panjang. "Yo wes yo wes, Ibuk memang selalu kalah kalau ngadepin kalian."
Cinta mengerling ke Atika. "Asyik, berarti mulai bulan depan sanguku nambah kan, Mbak?" goda Cinta yang hanya ditanggapi dengkusan dari Atika.
"Ada apa? Edah alam lem pada idul," ucap Saputro cadel sembari jalan tertatih dengan bantuan tongkat kaki empat-nya.
Atika bergegas bangkit untuk memapah Saputro menuju ruang keluarga. "Nggak ada apa-apa, Pak, cuma ngobrol aja. Kok Bapak malah bangun, apa keganggu sama kami?"
Cinta merapikan sofa tunggal yang biasa untuk duduk Saputro. Dengan perlahan Saputro menyingkirkan tongkat lalu menumpukan beban tubuh ke kaki kanan. Kedua putrinya membantu menyangga Saputro hingga bisa bersandar dengan nyaman di sofa.
Saputro menggeleng sembari memukul-mukul kaki kiri yang selama dua tahun belakangan sudah mati rasa akibat serangan stroke. Selain tubuh kirinya yang bermasalah, kemampuan bicaranya pun mengalami penurunan. Kini Saputro menjadi susah untuk mengucapkan satu kalimat secara utuh. Terlebih syaraf di sekitar mulut pun mengalami gangguan yang menyebabkannya kesulitan untuk mengontrol keluarnya air liur.
"Esok hamu helangkat dam belapa?" tanya Saputro sambil mengusap ujung bibirnya dengan sapu tangan yang selalu ada di saku baju.
Bulan-bulan pertama setelah Saputro terserang stroke adalah masa paling menguras emosi. Butuh kesabaran ekstra dalam menghadapi kelabilan emosi Saputro. Memang tidak gampang untuk menerima perubahan drastis, terlebih bagi seorang pria.
Tubuh yang dulu gagah, selalu bisa diandalkan dan menjadi sandaran bagi seisi rumah, kini harus menggantungkan diri pada bantuan orang lain. Sosok yang dulu menjadi tulang punggung keluarga, kini sudah tak dapat lagi memenuhi nafkah keluarga.
Segala perubahan tersebut berdampak pada emosi Saputro. Walaupun sedari awal keluarga sudah diwanti oleh dokter untuk memahami dan mengendalikan diri, tetap saja terkadang kelabilan Saputro menyulut emosi baik itu Niken, Atika maupun Cinta.
Butuh waktu hampir setahun bagi Saputro untuk mulai bisa menerima diri. Dia tak lagi marah-marah. Dia tak lagi bersedih. Dia tak lagi kecewa. Saputro mulai beradaptasi dengan kekurangan fisiknya.
Hal itu tentu ditunjang dengan sejumlah terapi yang dijalani Saputro-baik itu terapi fisik, terapi bicara maupun terapi okupasi. Dan kesemuanya membutuhkan biaya yang cukup besar.
Tabungan keluarga sudah tersedot untuk biaya berobat Saputro. Meskipun masih ada dana pensiun dan penghasilan dari katering, tetap saja pengeluaran masih lebih besar dibanding pendapatan mereka.
Pada saat itu, Atika sudah lulus dari pendidikan strata satunya di fakultas psikologi. Jadi dia bisa sedikit membantu dengan bekerja di salah satu lembaga psikologi terapan yang berlokasi di Solo. Namun seiring berjalannya waktu, segala kebutuhan meningkat. Pun dengan biaya berobat Saputro.
Oleh karena itu, Atika memutuskan untuk mencari rejeki ke Ibukota. Berbulan-bulan ia mencoba memasukkan lamaran pekerjaan tanpa sepengetahuan Niken dan Saputro. Beberapa kali Atika mendapat balasan dari perusahaan di Jakarta, tapi ia selalu gagal mendapatkan ijin dari orang tuanya.
Atika berusaha meredam keinginannya untuk mandiri, ia pernah menyerah dan memfokuskan diri bekerja di Solo. Walau gaji pas-pasan yang penting bisa kumpul dengan keluarga. Itu yang selalu dikatakan Niken.
Namun, semua berubah sejak Niken pun ambruk karena kelelahan. Tenaganya terforsir antara mengurus Saputro, menangani pesanan katering dan terlalu sibuk memikirkan serta mencemaskan kedua putrinya yang sudah dewasa. Padahal baik Atika atau Cinta sudah mulai jengah dengan ke-overprotectif-an Niken.
Saat itulah Atika mulai benar-benar memikirkan keluarganya. Dia tidak mungkin hanya berdiam diri melihat Sang Ibu pontang-panting. Dia harus bisa menjadi tumpuan, karena Atika-lah anak tertua di keluarganya. Kalau bukan Atika makan siapa lagi yang bisa diandalkan.
Segala bujuk rayu dan alasan serta janji Atika lontarkan demi secuil kata izin dari Niken dan Saputro. Tidak mudah. Bahkan sangat sulit untuk mendapatkan restu. Namun, tak ada yang mustahil.
Akhirnya Atika berhasil memperoleh restu Niken saat ada panggilan tes dari pihak Sanjaya Gemilang Grup-sebuah perusahaan besar di daerah S.Parman Jakarta Barat yang bergerak di bidang developer. Bagi Atika ini adalah satu kesempatan besar untuk membuktikan diri.
Beberapa kali tes masuk dijalani Atika-mulai dari tes administrasi, tes tertulis, wawancara pertama, tes psikologi sampai dengan interview terakhir-dilaksanakan di Jakarta. Atika harus bolak-balik Solo-Jakarta, dan untuk sementara Atika menumpang di rumah Wiwik-kakak tertua Niken yang tinggal di Penjaringan.
Hingga akhirnya-setelah sebulan lebih menanti-surat pemberitahuan bahwa Atika diterima kerja di SGG pun datang.
Namun, izin yang dikantongi Atika ternyata berbuntut syarat berhukum wajib. Bagaimana tidak, selama di Jakarta Atika harus tinggal di rumah Wiwik-jarak kantor dan Penjaringan sekitar tigapuluh lima menit dengan berkendara umum. Sebenarnya jarak dan waktu yang terbuang untuk perjalanan bukan suatu masalah bagi Atika, justru yang membuat ia berat adalah situasi di rumah Wiwik.
"Besok berangkat dari Balapan jam delapanan, Pak. Sampai Gambir jam empat sore lebih dikit," jawab Atika.
"Apa kamu sudah nelpon Bude Wiwik? Besok Mbak Eka njemput ke Gambir tho, Nduk?" Entah sudah keberapa kali Niken melontarkan pertanyaan serupa selama seminggu terakhir ini.
"Sudah, Buk. Kan Ibuk kemarin juga ngomong langsung ke Mbak Eka." Sebenarnya Atika bisa naik ojek online atau taksi dari Gambir ke Penjaringan, tapi Sang Ratu dengan tegas melarang.
Atika pernah meminta izin untuk indekos di dekat kantor atau minimal di daerah Universitas Tarumanegara. Dengan alasan Atika bisa memangkas waktu perjalanan. Sedangkan uang transportasi bisa ia gunakan untuk membayar sewa kamar. Namun, keamanan menjadi alasan utama dari penolakan Niken.
Terdengar isak tertahan dari Saputro yang kemudian mengelap ujung matanya dengan sapu tangan. "Bapak ola iso njogo kowe. Bapak wis ola koyo mbiyen. Bapak gur weling ati-ati," ucap Saputro dengan susah payah.
"Bapak." Atika berjongkok di depan Saputro seraya menangkup kedua tangan renta yang selama duapuluh empat tahun selalu melindunginya. "Ampun nggalih nopo-nopo. Atika janji bakal jaga diri. Atika nggak bakal bikin Bapak Ibuk khawatir. Bapak ampun mikir yang jelek, Bapak itu tetep jadi jagoannya Atika yang nomer satu sampai kapan pun. Walau Bapak nggak bisa jagain Atika secara fisik, tapi Bapak bisa ngasih doa dan semangat untuk Atika biar Atika betah di Jakarta."
Saputro semakin sesenggukan. Sedangkan Niken terlihat tertular aksi melow suaminya.
"Bapak sama Ibuk kok malah jadi termehek-mehek gini tho?" protes Cinta. "Mbok kita seneng-seneng aja. Wong besok Mbak Tika udah berangkat, mbok ya dikasih senyum, bukan malah nangis-nangisan gini."
"Setuju!" Atika bangkit dengan wajah semringah. "Gimana kalau kita karaokean aja?" usul Atika.
"Wes ora. Besok kamu harus bangun subuh. Kalau karaokean bisa bangun kesiangan, malah ketinggalan kereta. Dah dah, sekarang waktunya tidur. Bapak juga harus istirahat," larang Niken seraya menghampiri Saputro guna membimbingnya ke kamar.
Atika bakal merindukan detik-detik ini. Saat dimana bapak dan ibunya saling menjaga, saat kebersamaan dan kehangatan mereka terjalin.
************
"Nyuwun pangapunten, Ndoro Ibu, meniko Lik Darso sampun dugi." Mbok Yem-pembantu setia yang telah mengabdi di keluarga Saputro sejak Atika balita-melaporkan bahwa supir yang biasa disewa Niken sudah datang, dan siap untuk mengantar Atika ke Stasiun.
Niken yang masih sibuk menyiapkan bekal Atika di kereta menoleh. "Yo wes, Mbok, ngomongo Lik Darso tulung koper-kopere Mbak Atika yang di depan kamar dimasukne mobil."
"Njih, Ndoro Ibu," ucap Mbok Yem yang langsung berlalu guna menyampaikan perintah Niken ke Darso.
"Ibuk nggak ngantar Atika ke stasiun 'kan? Lagian sudah ada Adek sama Lik Darso. Kasihan Bapak kalau ditinggal, bukannya nanti jadwal terapi okupasinya Bapak?" Atika merapikan celana jin dan kaus motif polkadot-nya, lalu mengambil sweeter wool di gantungan jaket.
Niken memasukkan beberapa kotak bekal ke tas jinjing dan menyerahkan ke Atika. "Ndak pa-pa kalau Ibuk ndak nganter ke stasiun? Jan-jane Ibuk pengin ikut, lha wong yo uwes dandan ayu ngene, kok."
"Nggak apa-apa, Buk. Kasihan Bapak kalau ditinggal." Atika melirik jam dinding yang menunjukkan pukul enam lebih tiga puluh menit, sudah waktunya dia berangkat.
"Yo wes, Ibuk di rumah, tapi ojo lali ngabari kalau sudah sampai Jakarta." pesan Niken.
"Iya, Buk. Begitu Atika sampai Jakarta, pasti langsung kasih kabar."
Atika memeluk Niken lalu mencium kedua pipinya, kemudian menyalami dan mencium punggung tangan ibunya.
"Atika berangkat dulu ya, Buk. Ibuk jangan kecapekan, nanti bisa ambruk lagi." Selepas sholat subuh tadi, Atika sudah berpamitan ke Saputro. Karena biasanya setelah subuhan Saputro memang kembali tidur hingga waktu sarapan tiba.
"Hati-hati yo, Nduk cah ayu." Diciuminya wajah Atika, terlihat air mata menetes dari ujung mata Niken. Sudah dicobanya untuk tidak menangis melepas kepergian Atika, tapi ternyata air itu masih tetap merembes.
Sejak bayi hingga dewasa, Atika belum pernah pergi sejauh ini dari rumah, sehingga berat bagi Niken untuk melepasnya.
"Tuh kan, Ibuk lebay lagi. Mbak Tika cuma ke Jakarta, Buk. Naik pesawat juga cuma sejam nyampek. Lagian udah ada HP, Ibuk bisa video call-an terus. Pakai nangis-nangis segala. Sekalian aja sambil nyanyi India," goda Cinta yang disusul jitakan Niken di kepalanya.
Belum berangkat saja Atika sudah kangen dengan kejahilan Cinta. Kangen dengan kasih sayang dan perhatian Niken. Kangen dengan ketegasan penuh kasih dari Saputro. Dan, segala kenangan indah di rumah ini. Atika segera memakai kaca mata hitamnya, agar Niken tidak melihat titik air bening yang mulai muncul di ujung matanya.
"Jangan godain Ibuk terus, Dek. Kamu jagain Bapak Ibuk selama Mbak di Jakarta lho, ya. Kasih kabar kalau ada apa-apa," pesan Atika.
Cinta memberi hormat sembari merintis. "Siap, Bosku. Jangan lupa transferannya lho, Mbak."
Atika mengacak rambut panjang Cinta. Tanpa perlu diingatkan pun Atika pasti akan mengirimkan penghasilannya ke Solo. Buat apa dia kerja jauh-jauh kalau bukan untuk keluarga.
Perlahan mobil yang dinaiki Atika meninggalkan rumah, diiringi lambaian tangan orang-orang yang disayanginya. Sepanjang perjalanan, Atika memandang ke luar jendela. Merekam sebanyak mungkin kenangan indah, yang bisa menjadi obat rindu saat dia kesepian di Jakarta.
***
Hai hai haiiii ....
Akhirnya bisa publish cerita lagi setelah sekian lama ....
Sebenarnya ini cerita pernah kupublish, tapi duluuuu banget dan belum pernah tamat. Waktu itu baru ketulis mpe part 8. Nah, rencananya aku bakal rombak total cerita ini dan bakal aku selesain mpe tamat.
Mohon dukungan dari temen2 semua yaaa ....
Karena aku udah lama banget nggak nulis, yakin banget kalo banyak kekurangannya. So, aku berharap kritik dan sarannya yaaa .... Dan jangan lupa untuk vote ....
Makasiiih ....
Semangaaat!!!
Solo, 05 Januari 2019
Tika Putri
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top