《23》 Gila!
Athar memasang earphone putih di kedua telinganya. Memutar lagu Imagination, termasuk salah satu lagu favorite-nya sejak dulu kala. Sesekali ia ikut bernyanyi walau tahu dampaknya, menjadi sorotan anak-anak kelaparan di kantin.
Tiba-tiba saja seseorang melepas sebelah earphone, Athar mendongak dengan spontan. Mendapati Alda yang tengah tersenyum manis padanya. Athar tak membalas senyuman itu, ia menyikut lengan Nathan yang berada di sebelahnya.
Terdengar dengusan kesal dari Nathan karena makannya terganggu, sepertinya laki-laki itu belum sadar akan keberadaan Alda. Sehingga Athar dengan jengkelnya memutar kepala Nathan 45 derajat menghadap Alda.
"Ha-hai!" Nathan melambaikan tangannya, lalu tersenyum canggung.
Athar paham, ia beranjak dari duduknya dan melesat begitu saja melewati Alda tanpa merasa bersalah. Seharusnya meminta maaf karena menjadikan Alda hanya sebagai pelampiasan, belum lagi Alda terlanjur baper.
"Hei, Athar! Ini aku Alda," ucap Alda seraya memegang lengan Athar.
Athar melempar tatapan tak sukanya, ia tak enak Alda memegang tangannya disaksikan Nathan seperti ini. Pasti membuat Nathan dibakar api cemburu, memang betul, wajah Nathan kini merah padam.
"Maaf, Al," ucap Athar seraya melepas genggaman Alda dengan paksa. Lalu laki-laki itu menarik nafas panjang dan melanjutkan ucapannya, "Maaf karena cuma jadiin Lo pelampiasan."
Alda diam, bagai ada sesuatu yang mendogem hatinya. Mata gadis itu mulai berkaca-kaca, pandangannya tertuju lurus pada Athar lalu menggeleng tak percaya.
"Apa? Coba ulang," titah Alda dengan suaranya yang parau.
Melihat Alda sakit karena perbuatan sepupunya itu, Nathan bangkit. Menenangkan Alda dengan cara mengelus pundak gadis itu. Tapi naas, Alda segera menepis dengan kasar, di hatinya hanya tertulis nama Athar saja. Nathan hanyalah teman sekelas, tidak lebih.
Nathan berucap dengan tulus, ini juga saatnya ia mengungkapkan cintanya yang terpendam pada Alda, "Gue bakal ngobatin luka di hati Lo, Al."
Alda menoleh pada Nathan, tak mengucapkan sepatah kata apa pun. Lalu kembali memandang Athar dan tanpa ba bi bu lagi menampar dengan keras pipi kanan laki-laki itu. Luka fisik yang baru sembuh karena ditampol Nathan dua hari yang lalu, kini memerah lagi.
Oke, Athar ikhlas. Ini perbuatannya yang memang tak pantas telah mempermainkan perempuan. Coba bayangkan, betapa salitnya hati Alda sekarang, sebatas pelampiasan saja. Tidak ada satu pun perempuan di dunia ini yang ingin dijadikan seperti itu 'kan?
"Gue serius, Al. Dia cuma main-main. Tolong, jangan biarin cinta gue bertepuk sebelah tangan," ucap Nathan.
Untuk pertama kalinya, Athar tak menyangka, Nathan yang seolah tak peduli akan adanya cinta, ternyata telah terperangkap sendiri. Ucapan Nathan memang terdengar sangat tulus, walaupun sedikit memaksa.
Tanpa disangka kepala Alda mengangguk, sebuah lampu hijau untuk Nathan masuk dan lampu kuning untuk Athar pergi dengan hati-hati.
"Oke, gue maafin Lo, Thar. Dan untuk Nathan kita temenan dulu," ucapan itu keluar dari bibir mungil Alda. Alda juga bukan perempuan murahan yang dengan cepatnya menerima ajakan pacaran, butuh waktu untuk berpikir.
Senyum Nathan mengembang, sementara Athar menghela nafasnya lega. Setidaknya ada hikmah di balik semua ini, ada pelajaran yang bisa diambil. Tampolan Nathan tempo hari, dan tamparan Alda beberapa menit yang lalu, memberi pelajaran bahwa apa pun itu tidak untuk dipermainkan. Karena semuanya memiliki hati, yang dengan sigap merasa.
"Gue cabut ya," pamit Athar dan mendapat anggukan plus senyuman dari Nathan dan Alda yang sudah duduk saling berhadapan di meja kantin.
Athar melangkahkan kakinya menuju kelas Sybilla, waktu istirahat masih sekitar 10 menit-an lagi. Ada waktu untuk sekedar mengobrol dan bercerita dengan gadis itu. Dan ya! Yang paling penting adalah meminta jawaban, balikan atau temenan.
Tak perlu mengulur waktu, kelas Sybilla sudah ada di depan mata. Athar menarik nafasnya panjang, jantungnya berdebar tidak sabar. Sementara kakinya terhenti karena takut dan grogi.
"Sybilla, ada Athar!" Athar menoleh ke belakang, suara melengking itu bersumber dari Rachel yang entah datangnya kapan tiba-tiba sudah ada di belakang, bersama Rendy tentunya.
"Eh Thar, gue cariin juga," celetuk Rendy, dan tak mendapat respon apa pun dari Athar. Tidak, mereka tidak sedang bertengkar, hanya saja Athar tak bisa menyahut karena jantungnya sedang tak karuan.
Dengan gemas Rachel mendorong Athar untuk masuk. Tubuh Athar tak tertahankan, alhasil memasuki ruang kelas itu. Sebuah kertas disodorkan oleh seseorang, Athar mendongak, disambut oleh senyuman manis Sybilla.
"Jawabannya ada di situ," beritahu Sybilla.
Athar menelan salivanya, tangannya gemetar untuk membuka isi kertas yang terlipat rapi di tangannya ini. Rendy mendengus dan merebut dengan kasar, berbaik hati ingin membacakan.
"Thar, gue tahu kita sama-sama masih ada rasa. Tapi, gue juga tahu kalau nantinya kita bakal bersatu kalau mamah sama om Bambang nikah. Kita disatukan sebagai kakak dan adik, bukan sebagai sepasang kekasih. Sebelum rasa ini semakin menjadi, gue mohon hapus gue dari hati Lo. Kita temenan aja."
Rendy hanya bisa bengong setelah membacakan itu. Rachel tak bisa menutupi keterkejutannya, mulutnya menganga lebar seperti goa. Sedangkan Athar, tak bereaksi apa-apa.
Sybilla berjalan ke tempat duduknya, merogoh sesuatu dari dalam ranselnya. Sebuah kartu undangan pernikahan berbentuk buku yang di atasnya tertulis nama 'Nurul & Bambang' dan ditempelkan foto mereka berdua yang saling berpegangan tangan berlatar belakang pantai.
Sybilla menunjukkan kartu undangan di tangannya pada Athar dan berucap, "Ini, mereka seminggu lagi nikah. Gue juga gak percaya, tapi setelah mamah kasih gue ini, gue gak bisa apa-apa lagi. Perasaan kita sama, sama-sama cinta dan sakit. Gue mohon, terima keputusan mereka, Thar."
Tubuh Athar tumbang, ia bersandar pada meja. Masih tak percaya dengan kabar yang entah buruk atau baik. Bahkan, dirinya dan abangnya--Arland pun tak tahu berita ini. Pernikahan yang akan berlangsung seminggu lagi, sangat dekat. Tak mungkin bisa dicegah.
Kringgg
Diberitahukan kepada Athar Al-Fadhil, harap segera ke ruang ketua yayasan segera. Terima kasih.
Pemberitahuan itu menyadarkan Athar dalam keheningan yang dicipta olehnya sendiri dan orang-orang di sekitarnya. Pikiran laki-laki itu benar-benar kacau, ia mengode Rendy agar mengantarnya ke ruang ketua yayasan, ruang neneknya itu.
Rendy menuntun Athar yang masih terlihat syok dengan mengurangi sedikit kecepatan berjalan orang normal. Membuat beberapa murid yang berlalu berlawan arah melempar tatapan penuh keanehan. Salah satunya Nathan yang masih diiringi Alda di sampingnya.
Nathan bertanya pada Rendy, "Dia kenapa?"
Rendy menggeleng sebagai jawaban.
"Dipanggil kan? Biar gue yang anter. Al, Lo ke kelas duluan deh," ucap Nathan mengambil alih posisi Rendy.
Rendy dan Alda menangguk menuruti. Athar masih diam, pandangannya kosong, atau mungkin ia juga tak sadar bukan bersama Rendy lagi melainkan Nathan.
"Thar, udah nyampe," ucap Nathan, sekaligus membuyarkan lamunan Athar.
Athar sedikit mengerjap, ia memandang Nathan dengan kerutan di keningnya. Benar, Athar tak sadar bahwa Rendy digantikan oleh sepupunya. Jangan-jangan si Nathan tahu semua ini, batin Athar.
"Nath, jawab jujur. Apa Lo tahu tentang pernikahan Bambang sama ibunya Sybilla?" selidik Athar curiga.
"Hah?! Pernikahan apa maksud Lo? Om Bambang mau nikah lagi? Te--"
Ceklek
"Nenek hanya memanggil Athar, sebaiknya Kamu pergi," ucap sang ketua yayasan, nenek dari Athar dan Nathan.
Nenek masih sama, pilih kasih, batin Nathan kesal. Setelah mendengar usiran secara halus itu Nathan berbalik dan melenggang pergi dengan bibirnya yang membentuk kerucut.
"Athar gak mau masuk sebelum nenek ceritain semuanya," ucap Athar dengan nada dingin, ia munusuk neneknya itu lewat tatapannya.
"Kita bicarakan baik-baik di dalam," sahut nenek Athar.
Athar berdecak dan terpaksa masuk ke ruangan yang dingin itu. AC memang selalu dinyalakan di suhu 16 derajat celcius. Dengan kasar Athar menghempasakan bokongnya ke sofa empuk yang seharusnya hanya diduduki sang ketua yayasan.
"Cepetan, Nek! Athar gak mau dispen!" titah Athar padahal jauh di lubuk hatinya ia ingin meninggalkan kelas alias dispen. Biarlah, biarkan Athar pencintraan di depan neneknya.
"Athar sudah tahu semuanya 'kan?" tanya nenek Athar.
Athar hanya berdehem sebegai jawaban.
"Kamu bisa pilih, ikut nenek atau tinggal bersama mereka," ucap neneknya lagi.
Sejenak Athar terdiam, berpikir segala konsekuensinya setelah memutuskan salah satu pilihan tersebut. Tak ada yang lebih baik selain tinggal jauh dari mereka, tapi apa Athar akan dikekang nantinya jika tinggal bersama neneknya?
Athar bangkit dari duduknya, "Pilihan ketiga, Athar tinggal di kolong jembatan. Permisi." Melenggang keluar ruangan dengan perasaan yang masih syok dan tak percaya. Ia tak main-main dengan ucapannya, lihat saja. Tidur bersama anak jalanan lebih baik daripada 2 pilihan itu, menurutnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top