《17》Membuat keributan
Sybilla melihat pantulan dirinya di cermin datar lemari pakaiannya. Mirip, sangat mirip orang-orangan sawah yang ditugaskan untuk menakut-nakuti burung-burung pemakan padi.
Rambut acak-acakan seperti tidak disisir selama seminggu. Kantung mata yang hitam, jika panda menggemaskan, Sybilla justru menyeramkan. Pipi dipenuhi air mata yang mengering. Piyama tidur yang memang sengaja kebesaran.
Jam dinding yang tertera sudah menunjukkan pukul 07.00 WIB, itu artinya bel masuk sedang berbunyi nyaring seantero sekolah saat ini.
Hati besarnya menyuruh untuk tak sekolah, namun hati kecilnya menyuruh untuk sekolah. Harus mengikuti kata hati kecil bukan? Ya, Sybilla memutuskan untuk sekolah hari ini. Bagaimana pun keadaanya, mencari ilmu tetap nomor satu.
Drtttt
Ponsel di atas meja belajarnya bergetar, kali ini menandakan adanya seseorang yang menelpon. Tadinya Sybilla ingin mereject, tapi begitu melihat siapa nama yang menelpon akhirnya memutuskan untuk mengangkat.
"....."
"Hmm,"
"......"
"Iya, Sybilla mandi dulu,"
Tuttt....tuttt....tutt....
Telpon dimatikan secara sepihak. Dengan gontai Sybilla berjalan menuju kamar mandi yang berada dalam kamarnya. Walaupun ia tahu tak sebesar di bawah, setidaknya ia malas untuk menyapa ibunya ketika berpapasan.
Hanya lima menit perempuan itu menghabiskan waktunya di dalam. Keluar dengan tubuh yang sudah dibalut sempurna dengan seragam sekolahnya. Sudah dipastikan bahwa pagi ini tak mandi.
Setelah menyisir sedikit rambutnya, perempuan itu menaburkan sedikit bedak baby. Menyemprot minyak wangi berperisa strawberry ala anak-anak ke seluruh bagian yang dijangkaunya.
Saat melewati tangga, yang Sybilla lakukan hanyalah memakai dasinya. Tanpa sadar jika kedatangannya di meja makan sudah ditunggu oleh ibunya dan Bambang.
"Sybilla ber-ngapain sih anda masih di sini?! Jangan bilang anda menginap di rumah saya? Iya?!" Emosi Sybilla meluap seketika saat mendapati Bambang sedang terduduk manis di hadapan ibunya. Posisi yang pernah ammarhum ayahnya tempati, sangat percis.
Ibu Sybilla bangkit dari duduknya dan segera menghampiri putrinya yang sebentar lagi akan menangis sepertinya.
"Sybilla, kita bicarakan baik-baik ya, Nak," Suara lembut ibunya tak mampu membuat perempuam itu mengangguk, bahkan Sybilla menggeleng dengan cepat seolah tahu apa yang akan dibicarakan.
Dengan langkah berat Sybilla berjalan ke arah meja makan yang pasti dituntun oleh ibunya dengan sedikit paksaan. Perempuan itu disambut senyuman dari Bambang yang sama sekali tak digubris.
Ibu Sybilla menyodorkan segelas air mineral pada Sybilla. Perempuan itu meraih dan meminum sampai tak tersisa setetes pun. Memang tenggorokanya terasa kering.
Tok...tok...tok...
Sybilla bangkit, sudah tahu siapa yang mengetuk pintu. Athar pastinya karena akan berangkat bareng ke sekolah. Begitu Sybilla membuka pintu, lelaki paruh baya yang terduduk di meja makan itu terkejut bukan main.
Athar juga sama terkejutnya. Mematung beberapa detik sampai akhirnya laki-laki itu berjalan cepat ke arah Bambang. Bambang tak berkutik saat melihat tatapan tajam putranya, sangat tajam.
Gebrakkk
Athar menggebrak meja makan dengan tangan bajanya. Membuat Bambang sedikit merubah posisi dari duduk menjadi berdiri.
"Wah...bagus sekali apa yang anda lakukan pada keluarga saya. Apa anda tidak mempunyai hati? Hah?!"
Semua hanya bisa diam mendengar Athar berbicara dengan nada tinggi. Tak terkecuali dengan yang diajak berbicara, seolah patung yang tak bisa menyahut.
"Tolong, anda sudah besar. Sudah dewasa, bahkan lebih dari itu. Tapi apa anda tahu? Kelakuan anda sama seperti anak remaja!"
"Hai, Bambang Bagaskara! Apa anda sekarang sadar? Jika iya, sayangnya sudah terlambat. Saya tidak akan menganggap anda ayah lagi!"
Setelah mengucapkan kalimat yang menancap tepat di hati lelaki bernama Bambang, Athar berbalik dan melenggang keluar. Sybilla lantas mengikuti dari belakang, dugaannya tadi malam tak meleset sedikit pun.
Athar tak berhenti malahan melewati motornya begitu saja. Tapi Sybilla tak berani berbicara saat ini, ia terus mengikuti Athar kemana pun laki-laki itu melangkah.
Sekitar 5 kilo meter berjalan, namun laki-laki itu tak kunjung menghentikan langkahnya. Parahnya lagi, entah kemana. Sybilla hanya bisa menelan salivanya dan sesekali berhenti. Keringat bercucuran deras sebagai pelampiasan sang surya.
Sebuah halte tak berpenghuni menarik kaki Athar untuk menghampiri. Laki-laki itu menjatuhkan bokongnya dengan sempurna disusul Sybilla di sebelahnya.
Tak henti-hentinya Sybilla menghela nafasnya, sedangkan Athar hanya diam seraya menundukkan kepalanya. Angin bercampur polusi berhembus menerpa keheningan yang melanda keduanya.
"Thar," panggil Sybilla hati-hati.
Athar mendongak dan menoleh ke kiri, tatapannya tanpa arti tertuju lurus untuk Sybilla. Sedikit berkaca-kaca jika diteliti dari kedekatan.
"Athar gak pernah tahu, betapa sakitnya Sybilla ditinggal ayah untuk selama-lamanya," beritahu Sybilla lalu menggigit bibir bawahnya untuk menahan tangisnya supaya tidak pecah.
Hening beberapa saat, semuanya mengingat sosok ayah masing-masing. Ayah, cinta pertama anak perempuan. Ayah, laki-laki dengan sifatnya yang keras, namun percayalah hati ayah sangat lembut layaknya kain sutera.
"Setiap kata bentakan Athar tadi, menggores luka tersendiri di hatinya. Hatinya bukan baja, hatinya lembut kayak kain sutera. Jangan pikir ayah gak punya perasaan, mungkin dia khilaf," Sybilla sebenarnya bukan berpihak pada Bambang. Tapi ia tahu betapa sakitnya hati Bambang dengan lontaran pedas Athar di rumahnya tadi.
Athar mencerna setiap kata yang Sybilla katakan. Terutama kalimat terakhir, jangan pikir ayah gak punya perasaan, mungkin dia khilaf. Ya, makhluk hidup tidak ada yang sempurna kan?
Drttt
Ponsel Sybilla bergetar, tertera nama mamah di layar ponselnya. Perempuan itu mengangkat dengan segera.
"...."
"Mamah serius? Om Bambang serangan jantung?!"
"...."
"Iya, Sybilla sama Athar ke sana,"
Tutt...tutt...tutt...
Athar bagai didogem saat mendengar kata 'serangan jantung' yang menimpa Bambang, ayahnya. Masih tak bergeming sampai akhirnya Sybilla mengajaknya untuk segera ke rumah sakit.
***
Air mata Athar terus saja mengalir membasahi pipinya, semakin lama semakin deras. Sedangkan Sybilla hanya bisa diam dengan hatinya yang tak henti-henti merapalkan doa. Sementara seorang wanita yang tak lain adalah ibu Sybilla menangis tersedu-sedu sama seperti Athar.
Ceklek
Pintu ruangan perlahan terbuka, menampilkan sosok dokter beralmenter putih beserta seorang suster cantik di sebelahnya.
"Dengan keluarga Bambang?"
Ketiganya bangkit dan bersamaan mengangguk sebagai jawaban.
"Pak Bambang terkena penyakit jantung, sekarang sedang diinfus. Untuk sementara waktu, beliau harus dirawat di sini sampai kondisinya benar-benar pulih." Setelah menjelaskan, dokter muda itu melenggang pergi diikuti sang suster dari belakang.
Athar segera masuk dan menubruk tubuh ayahnya yang terbaring tak sadarkan diri. Ibu Sybilla berdiri di samping Athar, sedangkan Sybilla tetap berdiri di ambang pintu.
Papah, Sybilla rindu papah, batin Sybilla teringat setiap kali dirinya selalu menjenguk setiap pulang sekolah. Perlahan Sybilla mendekat.
Ceklek
Arland--abang Athar, masih mematung, menatap lurus objek nyata yang kini terbaring di atas ranjang. Dinding kebenciannya seakan luruh detik ini juga.
"Bang, dia papah kita," lirih Athar dan mendapat anggukan dari Arland.
Gimana bab tujuhbelasnya?
Lanjut, jangan?
Dipublikasikan : 15 Oktober 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top