《11》Teman baru

Entah sudah berapa kali Athar mendengus kesal, Rendy yang mendengar itu rasanya ingin cepat-cepat pulang hanya saja tidak mungkin dilakukan. Mengingat bel pulang masih akan berbunyi satu jam lagi.

"Thar, diem sih!" sewot Rendy akhirnya.

"Bodo amat, bacot lo!" sahut Athar.

Sontak perdebatan dua sejoli itu mendapat pelototan dari guru berbadan dua yang mengajar. Ingat, bukannya hamil, tapi memang badannya gendut.

"Ada apa sih kalian ribut-ribut?!"

Athar hanya menundukkan kepalanya, hal yang sama dilakukan oleh Rendy. Mereka memang bukan tipe murid yang berani menyahut teguran guru. Bukan takut, hanya saja guru adalah seseorang yang berjasa bagi kehidupan. Lain halnya jika menyangkut guru BK.

Semua kembali menoleh ke papan tulis saat guru itu melanjutkan pekerjaannya. Begitu pun dengan dua laki-laki yang mendapat teguran.

Athar yang sadar ada typo di tulisannya, lantas berteriak dengan kencangnya,
"Woy! Tip-x!" Rendy yang berada di sebelahnya sontak menjitak kepala laki-laki itu dengan pulpen.

Athar meringis mendapat respon yang dilakukan Rendy. Beberapa detik kemudian bukan hanya pulpen yang mendarat di kepalanya, tapi juga tip-x yang dilempar oleh sang empunya.

"Sorry, gak sengaja!" teriak sang pelaku tanpa menoleh pun ke arah Athar.

Athar tak menyahut, tangannya sibuk mengusap-usap kepalanya. Bukannya lebay, memang sakit rasanya. Rendy yang melihat itu hanya menahan tawanya.

Waktu terus berjalan hingga akhirnya yang dinanti-nanti telah berbunyi. Bel pulang. Seantero sekolah pasti melakukan satu gerakan yang sama yaitu berkemas-kemas.

"Thar, inget pm fisika. Selamat bersenang-senang...."

Ingin sekali Athar memutilasi Rendy atas ucapan selamatnya tadi. Tapi dirinya tak sekejam itu. Satu yang Athar lakukan saat ini, menyandar pada dinding luar ruang guru. Menunggu Bu Sri keluar dari tempatnya.

"Anak pintar, ayo tunggu apalagi?!"

Athar menoleh ke sumber suara. Mendapati Bu Sri dan seorang perempuan di samping guru itu. Belum jelas siapa karena perempuan berkaca mata itu hanya menundukkan kepalanya.

Sepertinya dia lelah membawa buku-buku fisika yang tebal, alhasil Athar mengambil alih sebagian. Tangan mereka bersentuhan, Athar bisa merasakan dingin di telapak tangan yang lembut itu.

"Lo sakit?" tanya Athar.

Perempuan itu hanya menggelang dan mendongak. Hanya sedetik menatap Athar lalu melenggang pergi mengikuti Bu Sri yang terlampau jauh di depan.

Sesampai di kelas, Athar dan panggil saja 'Mawar' menjatuhkan bokongnya bersamaan di barisan terdepan. Bu Sri yang melihat mereka berbeda tempat duduk lantas mengangkat suaranya,

"Duduknya satu meja, supaya lebih mudah diskusinya. Athar, kamu pindah dekat Luna."

Owh....
Jadi namanya Luna.

Athar menuruti dengan berat hati, bukan karena duduk dekat perempuan itu. Hanya saja masih kesal dengan keputusan neneknya memaksa untuk pm fisika. Apa tidak tahu bagaimana capeknya sekolah full day begini?
Pengin tidur, satu yang laki-laki itu inginkan.

"Sekarang buka dulu halaman 221. Dibaca, diresapi dan diingat. Ibu mau ngambil spidol dulu ketinggalan,"

Bu Sri bangkit dari duduknya meninggalkan Athar dan Luna dalam satu kelas itu. Awkward dalam sekejap. Kedunya sama-sama mengunci mulut. Sampai akhirnya Athar yang memulai pembicaraan.

"Anak kelas berapa?" tanya Athar tidak kuat cangung-canggungan seperti ini.

"XI IPA 2. Kamu?" sahut Luna. Menggunakan sapaan 'kamu' kepada Athar.

"XI IPA 1," Athar mengalihkan pandangannya ke arah papan tulis yang nantinya akan berisi penuh rumus-rumus fisika.

Tunggu...apa kedunya lupa dengan pesan Bu Sri sebelum meninggalkan kelas?

Sekarang buka dulu halaman 221. Dibaca, diresapi dan diingat. Ibu mau ngambil spidol dulu ketinggalan.

Keduanya hanyut pada dunianya masing-masing. Sampai suara derap langkah kaki Bu Sri mulai terdengar. Memasuki kelas dan langsung mengarahkan pandangan pada buku fisika yang masih tertutup rapat.

"Apa tidak dengar yang saya perintahkan tadi?!"

Athar dan Luna bersamaan tersentak lalu saling tatap satu sama lain. Lupa. Bersamaan lagi membuka buku fisik masing-masing yang telah dipersiapkan.

Dibaca, diresapi, dan dingat. Bisa-bisa Athar pusing tujuh keliling. Lain halnya dengan Luna, perempuan itu sepertinya sangat enjoy pada buku yang ada di hadapannya. Sebenarnya siapa sih dia? Iya namanya Luna. Tapi dia siapa?

"Kalau sudah, kerjakaan soal di bawahnya!"

Athar yang belum selesai membaca, meyerapi, dan mengingat tetap mengarahkan pandanganya pada soal yang Bu Sri maksud. Ada lima buah soal dengan materi yang berbeda-beda.

Pengin teriak rasanya, batin Athar. Kalian pasti kasihan kan? Tenang, Athar punya alasan yang pas untuk keluar dari sini.

"Hmm, Bu. Maaf ijin ke koperasi, pulpen saya habis," ucap Athar seraya bangkit. No klise, good. Tapi, apa Bu Sri dengan mudahnya percaya? Nyatanya tidak.

"Luna, coba kamu cek apa benar habis pulpennya, atau cuman alasan doang," Bu Sri menoleh sekilas pada pulpen bertinta hitam di atas meja lalu kembali menatap Athar curiga.

Luna menuruti perintah Bu Sri, mencoret di bagian belakang bukunya. Pulpen yang memang tintanya tidak habis itu membuat goresan di atas buku.

Athar berpura-pura terkejut dan berucap, "Keren tangannya, tadi gue coba habis loh." Seraya menduduki bokongnya kembali tentu saja dengan helaan nafas panjang.

Bu Sri hanya menggeleng dan kembali berkutat pada bukunya. Sepertinya ikut mengerjakan soal-soal juga.

"Kok aku pengin ketawa 'ya?" bisik Luna ke telinga kiri Athar. Athar yang mendengar itu menaikkan sebelah alisnya, heran.

Apa ada peraturan yang melarang seseorang untuk tertawa? Jika ada hubungi nomor di bawah ini

08*****557**

"Ketawa aja," sahut Athar tanpa berbisik-bisik. Sedetik kemudian disusul tawa Luna yang pecah, ternyata kencang juga. Berhasil membuat Bu Sri mendelik dengan tajam.

Sontak kedua insan itu mengunci mulutnya dan kembali mengerjakan soal. Bermenit-menit berlalu tak terasa sudah satu jam Athar mengikuti pm fisika. Kurang lebih setengah jam kepalanya pusing.

"Ok, sudah selesai catatnya? Berdoa terlebih dahulu, sampai jumpa besok dengan materi yang sama," Setelah mengucapkan kalimat perpisahan itu Bu Sri melenggang keluar.

Athar yang sudah selesai lantas mengemas buku-bukunya. Sedangkan Luna masih sibuk mencatat tulisan di papan tulis.

''Makanya kalau nulis jangan kayak kura-kura, leletnya Naudzubillah," celetuk Athar seraya bangkit dari duduknya. Melupakan pesan Bu Sri. Apa? Ayo dengarkan lagi.

Ok, sudah selesai catatnya?
Berdoa terlebih dahulu, sampai jumpa besok dengan materi yang sama

Refleks Luna mencekat lengan kiri Athar. Menghentikan sejanak aktivitasnya lalu menoleh ke laki-laki itu. Bibirnya berucap,

"Berdoa dulu, kamu mau gak selamet di jalan? Aku cuman ngingetin."

Athar menjatuhkan kembali bokongnya seraya mendesah pelan. Merapalkan doa dalam hati lalu mengusap wajahnya. Berniat bangkit, lagi-lagi dicegah oleh perempuan itu.

"Apa lagi sih?!" sewot Athar. Sedetik kemudian sadar akan kesalahannya, membentak perempuan. Laki-laki itu dengan sigap menjatuhkan kembali bokongnya dan menatap lekat Luna.

"Cuman cowok banci yang berani-beraninya bentak cewek, kamu salah satunya,"

Gadis itu dengan cepat merapikan buku-bukunya, melenggang pergi keluar. Meninggalkan Athar yang mendapat teguran dari sosok Luna.

Tanpa sadar ada satu buku yang tertinggal di bangku gadis itu. Mungkin saja lupa dimasukkan atau keluar dari tempatnya. Athar membaca judul buku itu.

Luna's diary

Sudah dipastikan isinya sangat privacy. Tapi mengapa tidak dikunci? Semua orang jika ada di posisi Athar pasti gatal untuk membuka, begitupun laki-laki yang satu ini.

Perlahan Athar membuka, membawanya pada halaman pertama.

Semua yang kutulis di sini adalah suara hati yang tak mampu kuucapkan kepada dia. Lelaki yang memberitahu padaku apa arti cinta. Lebih tepatnya cinta yang bertepuk sebelah tangan.

Athar membuka halaman kedua.

Jakarta, 27 Juni 2018

dear, diary

Aku sakit dengan semua ini. Perasaanku tak terbalaskan.

Halaman ketiga.

Jakarta, 29 Juni 2018

dear, diary

Sampai kapan aku harus memendam perasaan ini? Hatiku terluka begitu melihat mereka duduk bersama di kantin. Belajar bersama dan makan bersama.

Ahh..andai perempuan itu aku.

Sejenak Athar berpikir. Apa benar 'dia' yang Luna maksud adalah dirinya. Pasalnya pada saat istirahat, hanya dirinya dan Sybilla saja yang belajar di kantin.

Baru saja Athar ingin membuka halaman selanjutnya, sebuah suara kencang mengagetkannya.

"Jangan!"

Dia...Luna. Tergesa-gesa menghampiri Athar dan langsung merebut diary miliknya. Membalikkan tubuhnya 180 derajat, baru saja ingin melangkah, suara Athar menginterupsi untuk diam.

"Maaf,"

Luna menoleh dengan satu alis yang terangkat. Berucap dalam satu tarikan nafas dengan gemetar, "Harusnya aku yang minta maaf, mencintai kamu tanpa minta izin lebih dulu."

Athar menggeleng dan berucap, "Gue gak bisa jadi pacar lo, tapi gue bisa jadi temen lo." Laki-laki itu mengulurkan tangannya untuk menyambut teman barunya, Luna.

"Mulai sekarang kita resmi temenan," ucap Athar lalu tersenyum di akhir kalimatnya.

Gimana bab sebelasnya?
Lanjut, jangan?

Dipublikasikan : 8 September 2018
Semoga masih ada yg baca, Aamiin...




















Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top