Chapter 2

Istirahat pertama telah berlangsung selama beberapa menit. Shamus menumpu kedua lengannya di atas pagar pembatas atap, menatap lurus halaman sekolah yang terlihat sepi. Seorang satpam tampak siaga di postnya yang terletak tak jauh dari gerbang keluar-masuk sekolah.

Pemuda itu tak acuh manakala perutnya berbunyi meminta nutrisi. Biarkan saja, pikirnya. Kalaupun nanti dia akan sakit, Shamus tidak peduli. Kepalanya sudah terlanjur pusing memikirkan masalah yang mampir tak tahu waktu. Jadi, sekalian saja seluruh badannya dibuat sakit. Pemikiran dangkal. Tidak usah ditiru.

Shamus adalah anak rantau. Tinggal sendirian di apartemen di salah satu daerah ibu kota. Ibu dan ayahnya menetap di sebuah desa dengan menjadi petani di perkebunan buah-buahan milik mereka sendiri.

Si pemuda merantau atas paksaan orangtuanya. Mengingat kala itu fasilitas sekolah menengah atas di desa tak selengkap yang ada di kota. Shamus awalnya protes, namun ujung-ujungnya mengangguk pasrah juga.

Tadi malam, ibunya menelepon dan mengatakan kalau kebun mereka diserang oleh hama tanaman. Padahal, sebentar lagi musim panen akan segera tiba. Shamus pening. Pasalnya, minggu depan sudah waktunya untuk membayar uang sewa apartemen.

Namun, bukankah akan tidak tahu diri jika ia berkeluh kesah perihal uang bulanan yang belum juga dikirim di tengah musibah yang menimpa orangtuanya? Akhirnya, pemuda itu putuskan untuk tak memberi tahu ibunya jikalau ia butuh uang untuk bayar sewa apartemen dan memilih menenangkan wanita paruh baya tersebut.

Satu hela napas meluncur bebas dari mulutnya. Mendadak bisa merasakan beban tak kasat mata yang menimpanya bertambah berat, tatkala dirinya mengingat bahwa persediaan makanan di apartemen sudah makin menipis.

"Inikah saatnya aku harus menggeluti profesi sambilan? Pengemis misalnya." Pemuda tersebut memejamkan mata, seiring dengan angin yang berembus menerpa wajahnya. Jujur saja, Shamus mengantuk. Sebab terlalu larut memikirkan masalah kebun yang diserang hama tanaman dan uang sewa apartemen, si pemuda tidak sadar bahwa jam telah hampir menginjak pukul tiga pagi. Dan jadilah ia hanya tidur sebentar.

"Tapi ...." Mata Shamus kembali terbuka, "memangnya ada pengemis setampan aku? Muka-muka sepertiku ini lebih cocok jadi personil boyband." Si pemuda terkekeh atas ucapannya sendiri. Mendadak ia merasa malu. Untung tidak ada orang.

Seorang pemuda lainnya baru saja menginjakkan kaki di area atap. Hela napas lega ia lakukan karena, oh, yang benar saja menaiki tangga itu sungguh melelahkan!

Langkah riangnya berubah melambat kala matanya menangkap sosok Shamus dengan mulut komat-kamit.

Merasakan kehadiran orang lain, Shamus sontak menoleh dan menemukan Ayres yang langsung terdiam di tempat. Lalu ukir senyum kaku dan berjalan ke arahnya.

Terlambat sudah untuk putar balik, batin Ayres. Pemuda tersebut ikut menumpu tangan di atas pagar pembatas atap setelah sebelumnya melempar senyum kepada Shamus.

"Kau tidak ke kantin?" tanya Shamus dengan pandangan terarah ke pemuda di sebelahnya.

Ayres menatap Shamus, lantas menggeleng. "Tidak. Kau sendiri?"

"Aku mau menyiksa cacing di perutku." Usai bergumam demikian, pemuda itu kembali membuang pandangan ke halaman sekolah.

Kontan Ayres tertawa. Jawaban macam apa itu? Lantas ia teringat sesuatu. Segera ia merogoh saku kanan celananya dan mengeluarkan gulungan kertas berukuran kecil yang terikat pita berwarna kuning cerah.

"Shamus," panggil Ayres.

Shamus menoleh. "Ya?"

Ayres mengangkat tangannya yang memegang gulungan kertas guna menunjukannya kepada Shamus. "Aku menemukan ini—di tanganku."


🐝


Jailen duduk seorang diri di bangku taman sekolah. Mulutnya bergerak, mengunyah sobekan roti yang baru saja ia gigit. Lesung pipinya yang dalam itu terlihat manakala si pemuda mengunyah.

Ia hendak akan beranjak—membuang bungkusan roti yang isinya sudah ia habiskah—ketika sepotong kertas berukuran kecil tiba-tiba saja terjatuh tak jauh dari kakinya. Ia mendongak sebentar, sebelum membungkukkan tubuh dan meraih kertas tersebut.

Kening si pemuda mengernyit kala mengamati kertas di tangan kanannya, sejenak menoleh ke kanan-kiri, barangkali menemukan seseorang yang merupakan pemilik dari kertas yang isinya mirip sandi tersebut, sebelum kembali memfokuskan atensi ke kertas kecil itu lagi.

Ini ... sandi? Atau ... teka-teki?

🐝


"Kenapa kau membuang kertas itu? Kau bisa terkena denda karena membuang sampah sembarangan." Shamus menatap bingung Ayres yang kini berubah panik.

Tadi, usai Ayres melepaskan lilitan pita kuning pada gulungan kertas tersebut dan melihat isinya—yang mirip seperti sandi, atau mungkin teka-teki—si pemuda dengan spontannya menerbangkan kertas itu ke bawah.

Shamus kontan menegurnya. Tidak terlalu memperhatikan bahwasanya Ayres tengah ketakutan dengan segala pikiran negatif yang memenuhi kepala. Kertas itu ia dapat dengan cara yang aneh—tiba-tiba ada di tangan— dan begitu dibuka, isinya pun ternyata tak kalah aneh.

Oh, beri tahu Ayres bahwa ia tidak sedang diincar oleh penculik anak-anak. Iya, kan? Tidak, kan?

"Ayres?" Panggilan Shamus membuat si pemuda berwajah blasteran tersentak kaget. Lantas ia menoleh kaku dengan degup jantung di atas rata-rata. "Kau ini kenapa? Tak ingin mencari kertasnya? Kau bisa dikenakan denda, lho."

"Ah, Shamus. Aku kembali ke kelas duluan, ya. Dadah."

"Eh? Ayres! Tunggu!"

Shamus mengejar Ayres yang sudah berlari duluan menuju pintu penghubung antara atap dengan gedung sekolah. Niatnya untuk menyusul Ayres urung tatkala mendapati pemuda bule itu berlari menuruni tangga. Bisa bahaya kalau dirinya ikut-ikutan berlari seperti itu. Kondisinya saat bisa dikatakan kurang sehat, ia tak mau tiba-tiba pingsan di tengah tangga.

"Oi, Ayres! Hati-hati jatuh!" pekiknya. Kemudian menuruni tangga dengan langkah pelan. "Aduh ..., perutku perih. Sepertinya, cacing-cacing itu balas dendam—iya-iya, sabar! Aku akan memberikan kalian makanan!" jerit Shamus ketika merasakan perutnya bertambah sakit.


🐝


Ansell membalik lembar novel yang tengah ia baca. Di sebelahnya, terduduk Daran dengan mata fokus menatap layar ponsel. Suasana hening khas perpustakaan menyelimuti keduanya dan beberapa orang murid yang juga tengah berada di perpustakaan.

Beberapa kali Daran ditegur oleh pengawas perpustakaan karena gagal mengontrol suaranya. Pemuda itu terlalu excited ketika menunjukkan foto Zeontan—anaknya kepada Ansell. Ansell mendengus melihat tabiat manusia yang berstatus sebagai sahabatnya tersebut, niatnya ke perpustakaan adalah menghindari keributan, tetapi salah satu biang berisik malah duduk manis di sebelahnya.

"Daran," bisik Ansell.

Pemuda berambut biru mengalihkan atensinya dari ponsel. Kedua alisnya terangkat, menunggu kelanjutan kalimat dari Ansell.

"Ini punyamu?"

Daran menggulirkan pandangan ke arah sepotong kertas kecil berisikan dua baris angka-angka dengan tanda panah di sisi atas dan kanannya. Di sisi paling bawah terdapat angka satu dengan tanda sama dengan dan huruf z. Lantas ia menggeleng, kemudian balas berbisik, "Kurasa bukan. Di mana kau menemukannya?"

"Dari dalam novelku?"

Si pemuda berambut biru memicingkan mata mendengar pernyataan Ansell yang malah bernada seperti pertanyaan.

"Sepertinya ..., aku pernah melihat kertas ini," ujar Daran seraya mematikan ponsel dan menaruh benda persegi panjang itu ke saku celana.

Sontak Ansell menoleh dengan tatapan penasaran, walau tak terlalu kentara sebab terkamuflase oleh rautnya yang datar.

"Ah iya, aku ingat. Aku menemukan kertas yang mirip dengan yang ada di tanganmu di laci meja. Tidak usah dipikirkan, paling ulah orang iseng."

"Jadi, maksudmu, ini ulahmu?" Ansell meletakkan kembali kertas itu ke dalam novelnya dan menutup buku fiksi tersebut.

"Loh, kok aku?" sahut Daran, sedikit tidak terima.

Pemuda bermata besar itu mendelik malas seraya beranjak dari posisi. "Kau, kan, iseng. Kurang kerjaan lebih tepatnya."

Daran ikut bangkit dari duduknya. "Enak saja!"

"Ekhem!"

Pak pengawas perpustakaan berdehem agak keras. Itu peringatan ketiga, omong-omong. Cepat-cepat Daran berlari keluar dari perpustakaan, meninggalkan Ansell yang hanya bisa menggeleng maklum. Pemuda berambut biru tersebut tidak mau, bila harus menyusun buku-buku yang berantakan di rak. Lalu, mengembalikan buku-buku salah tempat—sebab yang membaca sebelumnya asal taruh—pada posisi yang seharusnya. Tidak, terima kasih.


🐝

.
.
.

Tibisi

Yang mau liat wujud kertasnya 👇

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top