8. Tugas yang penting?
Maaf banget update-nya lama, lagi sibuk banget hehehe😌
.
.
.
Karena Ganiya hari ini sudah bisa masuk kantor, dia jadi nggak bisa menjemput Bora ke bandara. Dia benar-benar sibuk karena meninggalkan kerjaannya walau hanya sehari. Dan dia benar-benar meminta maaf pada Bora. Untungnya Bora bisa memaklumi.
"Ngomong-ngomong, resto Turki deket SMA kita dulu masih ada nggak, ya?" tanya Bora yang saat ini baru sampai di apartemen miliknya.
"Masih. Kenapa?"
"Gue kangen makan kebab di sana. Kita ketemu di sana aja, ya."
"Oke. Jam delapan bisa?"
"Bisa."
"Oke. See you, dear."
"See you."
Ganiya tersenyum tipis lalu menarik napas panjang. Meskipun tadi pagi dia sudah mengatakan kepada Anjani bahwa dia sudah merasa lebih baik, tapi perasaan dan pikirannya benar-benar belum sebaik itu. Entah dia yang mencari penyakit atau apa ... perasaan dan pikirannya terus terganggu. Dan ini saatnya untuk benar-benar membuktikan bahwa prasangka sepihaknya itu nggak benar sama sekali.
***
Kali ini, Ganiya memilih untuk datang lebih dulu di Resto Turki tempat janjiannya dengan Bora. Meski dia datang tiga puluh menit lebih cepat dari waktu janjiannya. Lagipula, Kai masih di perjalanan pulang dan perkiraan sampainya tengah malam nanti. Jadi, nggak masalah jika saat ini dia menikmati masa sendirinya dulu meski hanya setengah jam saja.
Setengah jam Ganiya pakai untuk menimbang-nimbang pilihan antara ingin melanjutkan niatnya atau membatalkannya saja. Namun, belum juga dia memilih di antaranya, Bora datang dengan senyuman lebar yang menghias bibir yang dipoles lipstik berwarna merah maroon itu. Tangannya terangkat tinggi dengan sebuah paper bag berukuran sedang. Ganiya yang melihatnya lantas berdiri dan menghampiri perempuan itu.
"Halo, Sayang." Bora memeluk Ganiya dengan erat, pun dengan Ganiya yang membalas pelukan Bora tak kalah eratnya.
"Hai, apa kabar kamu?" tanya Ganiya setelah pelukan keduanya terlepas. "Ayo, duduk dulu."
Bora memilih posisi duduk yang berseberangan dengan posisi Ganiya, paper bag-nya disimpan di atas meja–dekat dengan Ganiya. "Gue baik, lo?"
"Yaah, lumayan."
"Lumayan? Why? Lo sakit?"
"Iya. Tapi udah baikan. Makanya hari ini udah balik ngantor."
"Jangan dipaksakan. Kalo emang masih butuh istirahat, ya istirahat aja. Lagian sekarang lo udah punya laki." Ganiya tersenyum menanggapi. "Oh, ya. Ini gue bawain lo oleh-oleh."
"Apa, nih?"
"Make up kecintaan lo. Bulan kemarin mereka launching banyak produk baru, dan karena gue inget lo cinta banget sama produk itu, jadi gue beliin semuanya."
"Woooaaaah! Makasih banyak lo, Ra!"
"Sama-sama."
Ganiya benar-benar senang sekarang, dia sama sekali nggak kepikiran soal brand make up kecintaannya itu memang berasal dari negeri gingseng itu. Bahkan, alih-alih meminta Bora membeli untuknya, pikirannya justru terpenuhi oleh dua patung besar yang ada di Gwamghwamun itu. Untungnya Bora masih ingat make up yang paling disukainya itu. Yaa lumayan kan dapat gratis juga sekalian.
Keduanya lantas memesan makanan masing-masing dan menikmatinya selagi bernostalgia masa-masa di mana mereka dulunya sering mengunjungi resto kebab ini. Dulunya, resto ini nggak begitu besar. Hanya muat tiga meja saja, dan sekarang bahkan sepuluh meja pun juga muat. Benar-benar perubahan yang luar biasa.
"Gue suka sama warna rambut lo," puji Ganiya setelah memperhatikan penampilan Bora yang berubah total sejak dia ke Korea.
Bora tersenyum tipis seraya mengunyah kebab yang sudah datang beberapa menit yang lalu. "Hmm, kemarin gue ubah warnanya."
Sebelum ke Indonesia, rambut Bora berwarna orange, dan sekarang dia memilih warna dark purple agar nggak terlalu mencolok.
"Umm, lo di Korea udah berapa lama, sih?"
"Kalo nggak salah ... tiga tahunan."
"Woah, lama juga. Berarti udah ada cowok lo di sana?"
Bora tersenyum tipis. Dia lalu mengambil selembar tisu dan mengelap sudut bibirnya yang terkena sambal. "Mantan sih ada."
"Jadi sekarang lo mendeklarasikan diri bahwa lo sedang jomlo?"
Bora tertawa kecil. "Hmm, bisa dibilang begitu." Ganiya mengangguk pelan lalu kembali berfokus pada makanannya. "Ngomong-ngomong, Anjani ke mana?"
"Lo masih inget Anjani?"
"Lo, iya lah. Gimana gue bisa lupa? Dia kan sahabat lo yang sering bareng sama lo."
"Hmm, dia lagi sibuk kerja juga."
"Belom nikah?"
"Belom. Katanya, dia lagi cinta-cintanya sama duit sekarang. Jadi belom ada pikiran buat nikah. Tapi, kalo lo ada kandidat, bisa lah lo rekomendasiin ke dia, kali aja dia berubah pikiran. Apalagi kalo kandidatnya banyak duit ye kan. Bisa aja," jelas Ganiya
"Kandidat gue sih banyak. Tapi pada brengsek."
"Waduh, jangan deh kalo gitu."
Bora terkekeh. Ekspresi Ganiya saat mendengar ucapannya benar-benar lucu. Dia jadi ingat sewaktu dia masih sering di-bully di sekolah, dengan ekspresi Ganiya yang sejujur itu, pada akhirnya Bora merasa nyaman dan akhirnya mau membuka diri dengan wanita yang duduk di hadapannya itu. Berteman dengan Ganiya membuat dirinya benar-benar bisa menemukan siapa dirinya, dan seperti inilah dia sekarang, penuh percaya diri dan nggak bisa lagi diintervensi oleh siapapun.
"Ngomong-ngomong, lo sempet bilang ke gue kalo lo mau ngasi gue kerjaan di kantor suami lo, kan?" Ganiya mengangguk kecil. "Kerjaan apa emang?"
"Gue belom nanya ke suami gue sih soal lowongan di kantornya, tapi seinget gue dia pernah bilang lagi butuh penerjemah gitu."
"Oh, gitu. Tapi siapa tahu dia udah ada kandidat. Nggak mungkin kan bakal lama dikosongin posisi itu."
"Pokoknya lo harus kerja di sana. Karena ... gue butuh banget bantuan lo."
"Bantuan apa?"
"Gue ... gue mau lo nyelidikin hubungan antara suami gue sama salah satu teman kantornya," jujur Ganiya. Tentu dia merasa sedikit nggak enak karena takut Bora mengira dia hanya memanfaatkan dirinya, tapi Bora harus tahu tujuan dia mengirimnya ke kantor tempat Kai bekerja agar dia bisa tahu akan seperti apa dirinya jika sudah diterima bekerja di kantor itu.
Tentu saja Bora kaget mendengar penjelasan Ganiya. Tapi, dia juga harus tahu, kenapa harus dirinya. "Memangnya ... suami lo ... selingkuh?"
"Nggak. Duh, gimana ya cara jelasinnya?"
"Lo nggak percaya lagi sama suami lo?"
Ganiya terdiam sejenak. Dia mencoba mencerna ucapan Bora yang entah mengapa tiba-tiba mengusik pikirannya. Benarkah dia mulai nggak percaya sama Kai?
Ganiya menarik napas panjang. "Gue ... mungkin bisa dibilang seperti itu. Tapi, gue punya alasannya, Ra." Bora terdiam, menunggu Ganiya menjelaskannya. "Gue melihat kedekatan mereka berdua seperti bukan kedekatan antara rekan kerja." Ganiya mulai menceritakan semua kekhawatirannya dimulai saat mendengar kecurigaan Anjani kepada Kai dan Violeta, hingga kecurigaan itu semakin menjadi saat dirinya melihat Violeta yang keluar dari ruangan Kai dengan wajah penuh kebahagiaan. Mungkin bagi sebagian orang, alasannya terlalu kekanakan, tapi itu benar-benar mengusiknya. Sebenarnya dia bisa saja meminta bantuan ke teman Kai, tapi jujur Ganiya terlalu malu untuk itu.
Mendengar penjelasan dari Ganiya, Bora terdiam beberapa detik–mencerna setiap ucapan wanita berhijab itu. Namun, setelah ditelaah kembali, cukup masuk akal jika Ganiya cemburu. Hingga akhirnya dia pun mengangguk pelan. "Oke. Tapi lo harus pastiin gue bisa masuk ke kantor itu."
Sekarang Ganiya menarik napas lega. Tentunya diiringi dengan harapan bahwa apa yang dirasakannya itu salah.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top