5. Pemikiran yang menguras tenaga

Aku benci ketika prasangka buruk tentangmu hadir begitu saja.
- Ganiya

.

.

.

Setelah melaksanakan ibadah subuh, Ganiya langsung terjun ke dapur –membuat sarapan untuk Kai karena hari ini Kai harus pergi pagi-pagi. Katanya, ada urusan di luar kota dan dia akan pergi selama beberapa hari.

"Lagi apa?"

"Aku lagi masak buat kamu."

"Duh, maaf banget karena udah bikin repot," ujar Kai seraya memeluk Ganiya dari belakang. Ganiya yang mendapat perlakuan itu pun merasa sedikit lega. Karena ... dengan begitu Ganiya bisa mengesampingkan pikiran buruknya tentang Kai. Dia nggak salah kan kalau beranggapan demikian?

"Kok minta maaf, sih? Kan ini udah kewajiban aku." Ganiya berbalik dan ikut membalas pelukan Kai. "Kamu perginya nggak lama, kan?"

"Kenapa memangnya?"

"Pake nanya lagi. Ya jelas karena aku takut aku kangen berat sama kamu."

Kai tertawa kecil. Dia kemudian mengecup pelan kening Ganiya, sehingga membuat wanita itu merasa benar-benar nyaman dan seketika melupakan pikiran buruknya itu.

"Kalo cepet selesai, aku bakal langsung pulang. Hari ini juga."

"Dih, jangan pulang dulu kalo masih capek. Istirahat dulu!"

"Tapi gimana kalo ada yang kangen?"

"Hmm, kan bisa video call-an!"

"Benar juga."

Keduanya lantas tertawa bersama hingga ponsel Kai yang tiba-tiba berdering membuat keduanya saling melepas pelukan. Sementara Kai menerima telepon itu, Ganiya melanjutkan acara masaknya dan segera menyiapkan untuk Kai. Dia memasak lumayan banyak sebagai persiapan untuk makan siang nanti untuk dirinya. Pasalnya, kepalanya sudah terasa sangat pening dan dia sepertinya nggak akan bisa memasak atau melakukan hal lain nantinya. Jadi, lebih baik mempersiapkan semuanya sekarang daripada ribet nantinya.

Ganiya sudah duduk di kursinya saat Kai menyelesaikan pembicaraannya dengan seseorang dan kemudian kembali bergabung bersama Ganiya di meja makan. Wajahnya tampak bahagia, entah apa penyebabnya, Ganiya pun nggak tahu.

"Siapa?" tanya Ganiya penasaran.

"Pak Roman. Dia bilang kami berdua nggak akan berangkat bareng karena dia bakal pergi terlambat," jelas Kai. Dia lalu mengambil piring yang di atasnya sudah disiapkan nasi berikut lauknya oleh Ganiya.

Ganiya tersenyum tipis melihat Kai begitu lahap menyantap makanannya, sementara dirinya sudah melenyapkan kembali prasangkanya terhadap Kai yang dikiranya sedang teleponan bersama dengan Violeta.

"Kamu kalo nyampe langsung hubungi aku, ya?" ujar Ganiya seraya memijat pelan pelipisnya. Kepalanya terasa berat sekarang.

"Iya. Pasti." Kai kembali menyuapkan makanan masuk ke dalam mulutnya. Namun seketika keningnya berkerut heran melihat wajah pucat Ganiya. "Kamu sakit?"

"Cuma pusing dikit, Mas. Tapi bentar juga sembuh, kok," balas Ganiya nggak mau membuat Kai khawatir.

"Ayo, makan dulu. Abis itu minum obat."

Ganiya mengangguk pelan lalu ikut menyuapkan makanan ke dalam mulutnya yang entah kenapa terasa pahit. Meskipun begitu, dia juga nggak mau terlihat nggak baik-baik saja di saat Kai harus pergi. Dia nggak mau menahan Kai sehingga melalaikam tugas kantornya.

Semua akan baik-baik aja. Itu yang selalu digumamkan Ganiya di dalam hati. Mencoba menguatkan diri.

***

Sejak kepergian Kai dua jam yang lalu, Ganiya sama sekali nggak bangkit lagi dari ranjangnya. Kepalanya benar-benar sakit dan perutnya juga ikutan sakit. Begini jadinya jika dia terlalu banyak pikiran. Sakit kepala menyerang, lalu berujung juga pada perutnya yang mengalami maag akut.

Ganiya menghela napas panjang karena saat ini dia benar-benar merasa nggak berdaya. Gerak sedikit, perutnya langsung sakit dan kepalanya juga terasa berat sampai kamarnya terlihat seperti berputar.

"Haus," gumam Ganiya pada dirinya sendiri. Maka, meski merasa pusing, dia mencoba bangkit dari ranjangnya dan berjalan menuju dapur dengan berpegangan pada dinding dan benda seperti meja yang ada di sekitarnya.

Butuh perjuangan hingga sampai di dapur. Dan setelah mendapati satu botol yang ada di atas meja dapur, buru-buru Ganiya membuka tutupnya dan segera meneguknya hingga tiga tegukan. Namun, saat dia mencoba menutup botol itu lagi, keseimbangannya berkurang karena tiba-tiba pandangan Ganiya buram dan akhirnya membuat wanita itu jatuh tergeletak nggak berdaya.

***

Karena kebetulan hari ini adalah hari libur, Anjani memutuskan untuk mengajak Ganiya untuk jalan-jalan. Dia pengin beli parfum baru dan setelan baru untuk kerja. Dan mengajak Ganiya adalah hal yang tepat karena selera dia di dunia fashion nggak bisa diragukan lagi. Anjani sampai meminta Ganiya untuk menjadi desiner saja karena pemilihan pakaiannya benar-benar luar biasa. Nggak hanya pandai dalam memilih setelan pakaian, sahabatnya itu juga jago di segala bidang. Gambar, nyanyi, perhitungan, sampai dia juga menguasai beberapa macam bahasa. Anjani sampai pusing kenapa bisa ada orang yang seperti Ganiya di dunia ini. Sementara dirinya baru disodorin selembar surat berbahasa Inggris saja kepalanya sudah panas.

"Oke. Gue telfon dia dulu, deh."

Anjani kemudian mencoba menghubungi Ganiya. Namun, saat dipercobaan pertama, Ganiya nggak mengangkat teleponnya. Kedua kalinya pun sama. Anjani sampai mengerutkan keningnya bingung, pasalnya nggak biasanya sahabatnya itu nggak menerima teleponnya. Biasanya belum cukup lima detik, dia pasti langsung menerimanya.

"Apa sesibuk itu?"

Percobaan kelima, Ganiya masih nggak mengangkat teleponnya. Anjani mulai khawatir. Tapi, bisa saja Ganiya lagi sama suaminya, kan?

Karena penasaran, Anjani pun mulai mengecek story sosmed Ganiya, namun nggak ada yang menunjukkan bahwa dia sedang bersama Kai. Pembaruan terakhir story whatsapp-nya pun sepuluh jam yang lalu. Di story-nya itu Ganiya menjelaskan bahwa besoknya Kai akan pergi ke luar kota, meninggalkannya sendiri. Yang berarti Ganiya nggak ikut bersama Kai. Lantas, ke mana sahabatnya itu pergi?

Kembali Anjani menelepon Ganiya tapi kembali pula nggak ada yang mengangkatnya.

"Ke mana, sih?!"

Diliputi rasa khawatir, Anjani pun memilih untuk mengunjungi rumah Ganiya dan mengeceknya sendiri. Dia takut jika terjadi sesuatu pada sahabatnya itu. Maka, Anjani segera menancap gas menuju rumah Ganiya. Nggak lupa dia membeli dua bungkus nasi uduk kesukaan Ganiya karena dirinya pun belum sarapan pagi ini karena sesuai rencana dia pengin makan di resto mall nanti. Tapi itu nggak memungkinkan mengingat Ganiya sama sekali nggak ada kabar begini.

Sesampainya di pekarangan rumah Ganiya, Anjani segera mematikan mesin mobilnya. Matanya memincing mencoba melihat apakah mobil milik Ganiya masih stay di garasi mobil atau nggak. Dan ternyata mobil itu masih ada di sana. Berarti Ganiya sedang nggak ke mana-mana.

"Sok sibuk apa, ya?" gumam Anjani seraya mencoba mengetuk pintu rumah Ganiya. Bahkan bel rumahnya pun ikut dibombardir karena yang punya rumah nggak kunjung keluar.

Teringat ucapan Ganiya sewaktu dia baru pindah ke rumah itu, jika Ganiya ada di rumah dan sama sekali nggak menggubris panggilannya, atau bel-nya, Anjani dipersilakan untuk menggunakan kunci rumah cadangan yang disimpan di bawah pot bunga yang ada dj dekat pintu. Dan hanya itulah satu-satunya cara yang terbersit di benak Anjani saat ini.

"Sorry kalo gue lancang, Niya. Tapi gue nggak ada cara lain," ujar Anjani sebelum mencoba membuka pintu itu.

Buru-buru Anjani membuka pintu dan melongokkan kepalanya ke dalam rumah. Dia lalu memanggil-manggil nama Ganiya namun nggak ada jawaban. Dia pun mencoba masuk  masih dengan usaha memanggil Ganiya. Hingga Anjani memekik kaget saat tanpa sengaja dia melihat dua buah kaki yang muncul di balik meja dapur.

Perlahan, Anjani pun mendekatinya dan betapa kagetnya dia saat melihat Ganiya sudah tergeletak di sana.

"Niya!"

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top