23. Rela


"Bagaimana kalau kita pisah, Mas?"

Ganiya tahu saat ini Kai benar-benar marah. Maka dari itu Ganiya segera memutus panggilan teleponnya setelah mendengar Kai berteriak nggak terima dengan ucapannya. Hal ini nggak bisa diselesaikan melalui telepon, Ganiya butuh bertemu dengan Kai. Namun, sebelum itu ada hal yang harus dipastikan oleh Ganiya.

Soal kehamilan Violetta.

Meski hatinya sedang sakit, terluka, dan berdarah-darah, Ganiya meminta Violetta menemuinya di sebuah cafe. Dan setelah memastikan wanita itu menyetujui permintaannya, Ganiya langsung tancap gas.

Memasuki pelataran parkir cafe itu, berkali-kali Ganiya mencoba mengembuskan napas panjang untuk menenangkan dirinya. Tentu saja dengan harapan bisa menemukan setitik harapan agar dia bisa mempertahankan rumah tangganya dengan Kai. Dia akan berjuang mati-matian, dan jika saja Violetta terbukti berbohong, Ganiya nggak akan segan-segan membuat hidup Violetta menderita.

***

Ternyata, saat Ganiya memasuki cafe itu, mata Ganiya menemukan sosok Violetta terlihat sudah menunggunya di salah satu bangku yang berada di ujung ruangan.

"Hai," sapa Ganiya setelah berada nggak jauh dari posisi Violetta.

Violetta tampak kaget, namun segera membalas ucapan Ganiya. "Halo, Mbak."

"Lama nunggu?"

"Nggak kok, Mbak."

Ganiya melirik arloji yang melingkari pergelangan tangannya. "Saya nggak telat, tapi kamu datang cepat juga."

"Iya, Mbak. Kebetulan tadi saya memang ada di dekat sini."

Ganiya mengangguk pelan. "Mau makan dulu?"

"Tadi saya udah makan, Mbak."

"Kalau begitu pesan minum aja. Kamu mau pesan apa?" Ganiya membolak balikkan menu yang ada di tangannya dan mulai melihat-lihat daftar menunya. "Kamu morning sickness nggak? Kebetulan di sini ada teh herbal. Ini memiliki efek menenangkan juga."

Violetta tampak berpikir, namun pada akhirnya menyetujui usulan Ganiya. Ganiya pun memilih makanan dan minuman yang nggak terlalu berat seperti salad dan jus jeruk. Sementara pelayan mengambilkan pesanannya, Ganiya kembali mengajak Violetta berbicara, karena sangat terlihat jika saat ini Violetta tampak salah tingkah terus padahal Ganiya nggak melakukan apa-apa.

"Gimana kondisi kandungan kamu? Baik-baik aja, kan? Janinnya sehat?" tanya Ganiya seraya menatap ke arah perut Violetta yang masih belum terlihat membesar.

"Iya, Mbak. Kata dokter janinnya sehat."

Ganiya mengangguk pelan. Namun, diam-diam dia menarik napas panjang untuk menenangkan hatinya yang tiba-tiba bergemuruh hebat. Tenggorokannya juga terasa tercekat, matanya kapanpun siap menitikkan air mata, tapi Ganiya tahan karena ... bukan saatnya untuk itu. Beruntung pelayan segera mengantarkan pesanannya hingga Ganiya langsung menyeruput jusnya untuk menghilangkan rasa tercekat di tenggorokan.

"Kai ... nemenin kamu?"

Violetta menunduk, menatap teh herbal yang masih mengepulkan asap. "Nggak, Mbak. Aku nggak berani ngajak dia."

"Kenapa?"

"Aku takut. Karena ... beberapa minggu belakangan ini dia terlihat bahagia. Aku takut ngerusak kebahagiaan dia."

"Tapi kenapa kamu baru menyadari hal itu? Kenapa pikiran itu nggak muncul pas kamu mencoba ngerayu dia?"

Violetta tampak kaget dengan ucapan Ganiya. Dia bahkan nggak berani menatap ke arah wanita yang sudah dia rusak rumah tangganya itu. Dia akui dia salah dan ucapan Ganiya juga nggak salah.

"Maaf. Mbak."

Ganiya ikut menunduk. Dia memejamkan mata sejenak dan kembali menatap ke arah Violetta yang belum berani menatap ke arahnya.

"Minum dulu tehnya. Nanti keburu dingin."

"Mbak nggak marah sama saya?"
Kening Ganiya mengerut, dia tentu nggak menerima dirinya dikira nggak marah setelah apa yang dia lakukan pada dirinya.

"Setelah apa yang kamu lakukan sampai hamil begitu, menurutmu istri mana yang nggak marah mengetahui suaminya telah menghamili perempuan lain?"

Violetta akhirnya menatap Ganiya yang tampak sangat kecewa, marah, dan juga kesal. Lidah Violetta sampai terasa kelu nggak mampu berucap. Dia nggak tahu lagi ke mana perginya mulut yang biasanya lancang bahkan berani membalas ucapan orang lain yang memandangnya rendah. Tapi kali ini dia merasa situasinya berbeda. Di dalam lubuk hatinya yang paling dalam, dia mengakui kesalahan yang dia perbuat pada wanita yang duduk di hadapannya itu.

"Kamu mencintai mas Kai?" tanya Ganiya lagi. Ini salah satu hal terberat yang dia lakukan. Tapi, dia harus memastikan hal itu.

"Kenapa?"

"Jangan tanya kenapa, jawab saja."

"Iya, Mbak."

Ganiya mengangguk pelan. Lagi, dia mencoba menelan salivanya dengan susah payah. Saat ini, dia sudah mundur selangkah dari Kai. Bukan, dua langkah. Yang pertama, saat tahu bahwa anak yang dikandung Violetta adalah benar anak Kai, dan ... yang kedua adalah saat ini. Saat dia mendengar sendiri pernyataan cinta dari Violetta.

"Bagaimana kamu bisa yakin bahwa anak itu adalah anak Kai?"

"Maaf jika harus mengatakan ini, tapi saya hanya pernah tidur dengan dia."

"Bagaimana cara saya mempercayainya?"

"Tanya saja pada teman saya, namanya Raisa. Malam itu ... saya langsung menelepon teman saya untuk menjemput saya karena mas Kai tampak marah. Saya nggak tahu kenapa dia tiba-tiba marah, tapi saya ..."

"Oke, stop."

"Kalau Mbak nggak percaya, saya siap melakukan tes DNA setelah anak ini lahir."

Ganiya terdiam. Pikirannya benar-benar kacau sekarang. Jika diibaratkan, dia telah mencoba membunuh dirinya sendiri setelah apa yang dia dengar barusan. Sepertinya cukup sampai di sini, dia nggak akan sanggup lagi jika harus melanjutkan pembicaraan ini.

"Oke. Pembicaraan kita cukup sampai di sini. Saya akan membayarnya." Ganiya mengambil tasnya dan segera berlalu. Saat sedang berjalan, kedua kakinya berusaha dikuatkan agar dirinya bisa sampai di mobil. Setelah dia berhasil membuka pintu, dia segera masuk dan menutupnya dengan cukup keras. Beberapa orang yang lewat sampai menatap ke arah Ganiya karena kaget dengan bunyinya. Tapi Ganiya sama sekali nggak memedulikan itu semua, dia hanya ingin menangis sekarang. Meluapkan semua yang dirasakan sekarang.

***

Ganiya berjalan dengan gontai setelah keluar dari mobil miliknya. Saat ini, dia sudah berdiri tepat di depan pintu rumahnya. Beberapa menit terdiam dengan perasaan kacau, dia bahkan nggak berani mengetuk pintu yang terlihat kokoh itu.

Di saat Ganiya masih enggan untuk mengetuk pintu, tiba-tiba pintu itu terbuka dan menampilkan sosok laki-laki yang selama beberapa hari ini dia hindari.

"Niya?" panggil Kai pelan.

Rasanya ingin sekali berlari ke pelukan laki-laki yang ada di hadapannya itu, tetapi kakinya seolah terpaku dan nggak bisa digerakkan.

Kai yang merasa sangat merindukan Ganiya pun lantas memeluknya dengan begitu erat. Tidak peduli jika dia nggak mendapat balasan dari wanita yang sangat dia cintai itu.

"Kamu dari mana aja? Kenapa nggak ngangkat telepon aku?" tanya Kai masih enggan untuk melepas pelukannya.

"Lepasin dulu. Kita bicara di dalam."

Kai menuruti ucapan Ganiya dan beralih menggandeng tangan istrinya itu. Setelah berada di ruang tamu, Ganiya duduk tanpa berbicara sepatah kata pun. Tangannya pun berusaha dilepas dari genggaman Kai, namun Kai enggan untuk melakukan hal yang sama.

"Jadi, selama beberapa hari ini kamu ke mana? Aku cariin ke rumah Anjani kamu juga nggak ada." Ganiya masih terdiam. Sejujurnya dia bingung mau memulai pembicaraan dari mana. Pasalnya, yang dirasakan saat ini bukan lagi suasana hangat seperti dulu, suasana yang selalu membuatnya ingin dekat dan membicarakan semua hal dengan Kai. Suasana kali ini telah berubah menjadi sedingin musim salju yang mampu membekukan segalanya. Termasuk perasaan Ganiya.

Melihat Ganiya masih tetap bungkam, Kai akhirnya kembali berucap. "Soal di resto waktu itu ..."

"Aku mau kita pisah," sela Ganiya cepat.

"Kamu ... apa?"

"Kamu mendengarnya." Ganiya menatap Kai lurus. "Kita pisah."

Kai tampak kaget. Tapi segera berusaha untuk diabaikan dengan kembali mencoba menggenggam tangan Ganiya. Namun, Ganiya menepisnya dengan cepat.

"Niya, aku nggak mau pisah."

"Kenapa kamu berani bilang seperti itu setelah merusak rumah tangga kita, Mas? Harusnya kamu menyadari hal itu sebelum melakukan semuanya!" teriak Ganiya mulai frustrasi. Semua beban yang dia tahan selama beberapa hari ini dikeluarkan tanpa berusaha menahannya lagi.

"Aku khilaf, Niya! Aku-"

"Dan kekhilafan kamu itu sudah telanjur membuat rumah tangga kita hancur."

"Ayo, kita mulai dari awal, Niya. Please!"

"Maaf, Mas. Aku nggak bisa. Aku lebih mengasihani Violetta dan anak kamu itu. Jadi, kumohon lepasin aku dan hiduplah bersama dia."

"Kamu gila, Niya."

"Ya, aku udah hampir gila, Mas. Gila memikirkan bagaimana cara mempertahankan kamu sementara kamu justru berbuat sesuka kamu tanpa memikirkan perasaan aku." Air mata Ganiya mulai mengalir deras. Dadanya bahkan terasa sangat sesak. "Kita sudahi semuanya. Mari kita mencoba sama-sama mengikhlaskan."

"Nggak! Nggak bisa gitu, Niya!"

"Bisa. Jika kamu saja bisa melakukan semuanya, kamu harus bisa menanggung risikonya." Ganiya mengelap air matanya dan berusaha untuk tetap tegar. "Mulai hari ini, aku nggak akan tinggal di rumah ini lagi. Dan setelahnya, aku akan mengurus surat perceraian kita."

Ganiya berdiri dari posisi duduknya dan segera meninggalkan Kai yang masih terpaku setelah mendengar ucapan Ganiya.

Percuma saja mempertahankan sesuatu yang nggak berhak lagi untuk menjadi milik kita. Meski sangat berat, nggak ada jalan lain lagi selain melepaskan.

Selamat tinggal, Mas. Aku harap kita bisa sama-sama berbahagia meski nggak bisa bersama lagi.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top