20. Coba menerima
Terima kasih sudah menunggu cerita ini♡
.
.
.
Ganiya menatap ke arah plafon rumah sakit. Dia memikirkan ucapan Anjani beberapa menit yang lalu terkait kehamilan dirinya. Rasanya, itu tidak mungkin. Terlebih karena dokter juga nggak mengucapkan apa-apa terkait kondisinya itu. Dia hanya diminta untuk beristirahat.
"Ya, nggak mungkin," gumam Ganiya.
Saat Ganiya sibuk memikirkan kemungkinan kehamilannya, Anjani tiba-tiba muncul dengan sebuah kantung plastik berukuran sedang.
"Ayo, bangun. Gue udah beli nasi pecel sama sate," ujar Anjani setelah menaruh bungkusan yang dia beli itu di atas nakas.
"Hah? Gila lo? Lo pikir ini di rumah lo?"
"Rencana sih maunya makan di rumah, tapi gue udah keburu laper banget. Dan gue tahu banget lo paling benci makanan rumah sakit." Anjani mengeluarkan dua bungkus nasi pecel dan satu bungkus sate. "Udah, makan aja. Keburu ketahuan ntar."
Ganiya tersenyum kecil, namun tetap mengikuti Anjani membuka bungkusan nasi pecel itu.
"Nih, lo makan sate. Biar nggak pusing atau mual." Anjani menyerahkan beberapa tusuk sate di atas bungkusan nasi Ganiya. Tidak lupa dia juga mengambil beberapa tusuk untuk dirinya. "Buruan makan. Ngapain liatin gue? Lo kenyang kalo liat gue?"
Lagi, Ganiya tertawa kecil. "Makasih, Ni. Gue nggak tahu lagi kalau nggak ada lo."
Anjani nggak membalas ucapan Ganiya. Dia hanya bergumam nggak jelas dan tetap fokus pada makanannya.
***
"Anjani, gue mau ngomong," ujar Ganiya sesaat setelah dia berbaring di kasur milik Anjani. Ya, saat ini dia sudah diperbolehkan pulang oleh dokter, tentu dengan catatan bahwa dia harus beristirahat lagi selama beberapa hari.
"Nanti dulu. Lo istirahat dulu aja. Ngomongnya bisa nanti-nanti, kan?" Anjani memperbaiki posisi selimut yang membungkus setengah badan sahabatnya itu lalu bersiap untuk mengganti pakaiannya di kamar mandi. Namun, saat dia akan beranjak tiba-tiba Ganiya menahannya.
"Gue menghubungi Kai."
"What?! Ngapain?"
"Dengar dulu." Ganiya menelan salivanya dengan susah payah dan mencoba menjelaskan alasan di balik dirinya menghubungi Kai. "Aku ... mau mencoba memperbaiki semuanya. Aku–"
"Lo bodoh, ya?! Jelas-jelas dia mendua di belakang lo, Niya! Dan lo dengan mudahnya mau nerima dia lagi?!"
Ganiya paham akan kemurkaan Anjani. Dan dirinya pun sebenarnya juga tengah merasakan kekalutan yang amat sangat. Namun, dia nggak bisa terus menerus menghindari Kai sementara dirinya masih berstatus sebagai istrinya. Dia hanya ingin mendengarkan penjelasan dari suaminya itu. Meski lagi hanya dirinya yang akan terluka.
"Aku tahu dan paham, Ni. Tapi, gue nggak mungkin terus menghindar seperti ini."
"Lo bukan menghindar. Lo hanya perlu berusaha untuk nggak nerima dia lagi. Lo udah disakiti sama dia, Niya. Dan gue nggak akan terima itu." Anjani pergi meninggalkan Ganiya yang saat ini sudah menitikkan air mata. Bohong jika dia tidak membenarkan ucapan Anjani. Tapi rumah tangga nggak semudah itu. Minimal dia tahu alasan Kai mencoba selingkuh darinya. Setelah itu, dia akan memikirkan bagaimana nasib rumah tangganya ke depan. Ini berat. Sangat. Tapi inilah satu-satunya jalan agar dia nggak merasa terombang-ambing sendirian di tengah badai rumah tangganya.
***
Sejak kedatangan Kai, Anjani terus menerus memasang wajah datar dan tak bersahabat. Perempuan itu bahkan menolak berbicara banyak pada laki-laki yang masih berstatus sebagai suami dari sahabatnya itu.
"Lo kalo mau pergi, pergi sana!" ujar Anjani pada Ganiya yang kini berdiri tepat di samping Kai.
Ganiya tersenyum memaklumi tingkah Anjani. Dia pun lalu berpamitan dan bersiap untuk pergi bersama dengan Kai. Tapi sebelum wanita itu pergi, Anjani sempat memberikan ultimatum pada Kai.
"Awas saja kalau Ganiya kembali ke sini dalam waktu seminggu! Gue tonjok dan permalukan lo di depan banyak orang! Kalau perlu gue buat sengsara hidup lo!" ancam Anjani yang kemudian menutup pintu rumahnya dengan lumayan keras. Ganiya sampai tersentak kaget.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya Kai saat melihat istrinya itu tersentak.
"Nggak apa-apa."
"Ya sudah. Ayo, kita pulang."
Kai mengulurkan tangannya pada Ganiya, dan langsung disambut oleh wanita itu. Tangan Kai masih terasa hangat, namun entah mengapa perasaan yang biasanya membuncah dan bahagia saat mereka bergandengan tangan kini seolah hambar.
Atau ... hanya perasaanku saja?
***
"Kamu udah makan malam? Biar aku buatin."
Ganiya tersenyum tipis. Dia juga nggak menolak saat Kai memilih untuk membuatkan makan malam untuknya dengan harapan semoga masakan itu bisa ikut menghangatkan hatinya yang entah kenapa kini berubah menjadi dingin saat bersama Kai.
"Aku akan buatin spageti kesukaan kamu. Oke? Tunggu di sini."
Ganiya mengangguk pelan. Kedua matanya terus tertuju pada sosok Kai hingga laki-laki itu kembali bergabung bersamanya di sofa.
"Ini, aku masak spesial buat kamu." Kai memegang garpu dan mulai membuat gerakan memutar agar spageti itu bisa ikut sepenuhnya pada garpu itu. "Biar aku yang suapin."
"Biar aku aja," ujar Ganiya mencoba menolak. Tapi, Kai tetap kekeh untuk menyuapi istrinya itu. Hingga mau tak mau akhirnya Ganiya tidak bisa menolak dan mengikuti kemauan Kai.
"Gimana? Enak?"
Ganiya masih mengunyah makanan di dalam mulutnya tetapi dia tetap mengangguk menyetujui ucapan Kai. "Enak," ujarnya setelah dia berhasil menelan makanannya.
"Ayo, makan lagi." Kai tampak bersemangat menyuapi Ganiya. Dan seketika Ganiya pun bisa melupakan permasalah yang menerpa rumah tangga mereka.
"Kamu makan juga, dong."
"Iya, kamu duluan."
"Aku kan bisa makan sendiri. Kamu ambil makananmu. Kita makan sama-sama. Atau ... gantian aja deh. Abis kamu suapin aku, aku yang suapin kamu."
Kai terdiam sejenak, namun pada akhirnya dia mengangguk setuju karena sejujurnya dia juga merasakan perut keroncongan saat ini. Dan akhirnya terjadilah proses suap menyuap di antara suami dan istri itu.
Tuhan, aku cuma nggak mau kebahagiaan ini berakhir. Aku akan mencoba menerima Kai kembali dan memaafkan kesalahannya. Tapi, aku mohon, jangan buat dia pergi lagi dariku.
"Aku akan pergi," ucap Kai tiba-tiba.
Ganiya tersentak pelan. Kedua matanya membulat kaget dan kunyahannya seketika terhenti. "P-pergi?"
"Iya, mau ambil minum dulu." Kai tersenyum lebar lalu mengusap pelan rambut istrinya itu. "Tunggu sebentar."
Menghela napas pelan, Ganiya pun menelan sisa makanannya dengan perasaan nggak keruan. Jujur saja, dia terkejut. Dia pikir Kai akan pergi meninggalkannya –dalam artian ... selamanya.
"Oke."
***
A/N:
Guuys! Aku tahu banget kok ini updatenya udah kelamaan banget. Tapi honestly, aku sibuk banget karena nenek aku masih sakit🥲
Mohon doanya ya semoga beliau segera pulih 💚
Terima kasih atas dukungannya~♡
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top