18. Khawatir


"Niya. Ayo, bangun. Gue udah buatin sarapan buat lo. Kali ini gue jamin enak, deh." Ganiya masih nggak bergeming, dan Anjani paham betul jika sahabatnya itu tadi malam kesulitan untuk tidur. Tapi bagaimanapun, perut tetap harus diisi kan? Apalagi Ganiya itu tipe orang yang nggak bisa kalau nggak sarapan. "Niya, banguuun. Nanti perut lo sakit lagi! Bubur yang gue buat kali ini enak. Nggak keasinan lagi. Gue udah nyesuaiin takarannya sesuai yang ada di video yutub."

"Duh! Pagi-pagi berisik banget orang yang satu ini, ya Allah," keluh Ganiya seraya mengusap wajahnya kesal.

Anjani tertawa kecil. Tapi, di sudut lain hatinya tentu masih ada rasa sakit setelah melihat mata bengkak Ganiya. Tapi Anjani berusaha untuk tetap terlihat bahagia dan semangat agar energi positifnya itu bisa ikut tersulut ke Ganiya juga.

"Cepetan, ih! Keburu dingin buburnya."

"Iya, iya. Gue cuci muka dulu."

"Gue tunggu di luar."

Ganiya bergumam pelan dan kembali menutup matanya –mencoba mengumpulkan niat untuk bangkit dan menjalani hari ini. Namun, tiba-tiba bayangan Kai bersama Violetta kembali terngiang hingga matanya yang sudah bengkak kembali mengeluarkan air.

"Niyaaa! Lama banget lu! Jangan tidur lagi!"

Ganiya buru-buru mengelap air matanya dan mencoba bangkit meski tubuhnya masih menolak. Tapi kalau nggak bergerak sedikit pun, bisa-bisa Anjani datang membawa toa masjid dan mencoba membangunkan dirinya lagi.

***

"Lo hari ini ke kantor? Kok udah rapi aja?" tanya Anjani saat melihat Ganiya keluar dari kamarnya.

"Iya," jawab Ganiya singkat.

"Kenapa nggak ambil libur aja?"

"Lalu kepikiran soal Kai lagi?"

"Justru gue pengin lo istirahat total sambil mikirin jalan keluar apa yang bakal lo ambil."

"Gue bakal mikir sambil kerja."

"Dan bikin kerjaan lo jadi berantakan?"

"Gue harap nggak, Ni." Ganiya mengaduk buburnya lalu perlahan memasukkan ke dalam mulut. Kepalanya mengangguk pelan seolah menyukai apa yang baru saja dia makan. "Btw, buburnya enak. Lo beli, ya?"

"Cih! Kan udah gue bilang gue yang buat berbekal video di yutub."

Lagi –kepala Ganiya mengangguk pelan. "Sepertinya lo ada bakat. Tinggal lo asah aja. Abis itu nyari pasangan."

"Please lah, apakah bisa masak lantas wajib nikah? Lagian, nggak usah bahas soal nikah setelah gue menyaksikan penghianatan seorang suami kepada istrinya. Yang ada gue makin kepikiran buat nggak nikah."

"Ya lo jangan nyamain semua cerita rumah tangga dengan rumah tangga gue lah. Pasti beda-beda jalannya."

Anjani menghela napas panjang. Dia nggak habis pikir sama sahabatnya itu, bisa-bisanya dia memikirkan soal menikah di saat dia sendiri punya masalah soal rumah tangganya.

"Dahlah. Jadi gimana rencana lo sekarang?"

"Rencana apa?"

"Lo jangan pura-pura bego. Ya soal Kai sama wanita sialan itu."

Ganiya terdiam sejenak. Tangannya sibuk mengaduk bubur yang sudah mulai dingin. Matanya menerawang menatap bunya mawar kuning kesukaan Anjani yang ada di atas meja makan itu. "Gue nggak tahu. Belum mikirin apa-apa."

"Ya udah. Jangan dipaksain."

"Untuk sementara ini, gue boleh kan tinggal di sini dulu?"

"Kenapa nanya lagi, sih? Kan udah gue bilang berkali-kali, lo nggak ada larangan buat tinggal di sini. Lo mau mindahin semua barang lo ke sini juga gue oke," jawab Anjani dengan nada sewot.

Ganiya tertawa kecil. "Siapa tahu lo berubah pikiran."

"Gue nggak akan berubah pikiran kalo itu menyangkut lo."

"Anjani. Thankyou so much."

"Yeah!" Anjani menghabiskan buburnya lebih dulu lalu meminum teh hangat yang sudah dia buat. "Ngomong-ngomong, apa Bora nggak tahu hal ini?"

"Sepertinya dia tahu."

"Terus? Kok nggak ngasi tahu kamu?"

"Di Korea kemarin dia sempet motoin Kai sama Violetta. Tapi, sepertinya dia kurang yakin karena alasan Kai juga cukup mendukung."

"Yah, si Bora. Lagaknya aja pernah kerja di Korea, ngeliat gelagat orang selingkuh aja cetek," keluh Anjani.

"Mungkin karena dia juga berusaha positive thinking sama Kai. Makanya dia nggak begitu sadar."

"Thats why, positive thinking itu emang baik. Tapi kalo ngeliat kejanggalan kan kita kudu curiga juga. Ya itung-itung waspada, kan?"

Ganiya terdiam. Karena menurutnya ucapan Anjani itu ada benarnya juga.

"Gue mau berangkat, nih. Bareng?"

"Nggak usah, deh."

"Ya udah. Gue duluan."

"Oke."

***

"Selamat pagi, Bu Ganiya," sapa salah seorang karyawan yang kebetulan berpapasan dengan Ganiya.

Ganiya mengangguk pelan dan membalas ucapan wanita itu. Namun saat akan berjalan menuju kubikelnya, tiba-tiba kepalanya terasa pusing. Dia lalu memijat pelan keningnya untuk meminimalisir sakitnya, tapi sakitnya sama sekali nggak berkurang.

"Ada apa, Niya?" tanya Fia yang merupakan rekan kerjanya.

"Kepala gue sakit, nih."

"Udah minum obat belum?"

Ganiya menggeleng cepat. "Bentar juga sembuh, kok," ujarnya mencoba menenangkan Fia yang tampak khawatir.

"Jangan dipaksain. Kalo sakit, mending izin aja."

"Baik, Bu!"

"Lo ini."

Ganiya terkekeh. Dia kemudian mengaktifkan komputernya dan mulai sibuk dengan tugas kantor. Hingga di tengah kesibukannya itu tiba-tiba Reyhan datang dengan beberapa lembar kertas di tangan dan berdiri tepat di depan kubikel Ganiya.

"Mbak, ada suami Mbak di lobi. Katanya mau ketemu Mbak."

Ganiya mengerjap pelan, mencoba mencerna ucapan Reyhan. Apa? Kai mencarinya?

"Bisa tolong bilangin nggak kalo saya lagi sibuk dan nggak bisa diganggu?"

Kening Reyhan tampak mengerut bingung. Tapi pada akhirnya dia menurut dan segera menghampiri Kai di lobi.

Setelah kepergian Reyhan itu, kepala Ganiya semakin nyut-nyutan. Jarinya kembali memijat kening berharap kepalanya merasa lebih baik, tapi ternyata nggak mempan.

"Mbak, kata suami mbak dia bakal nunggu sampai mbak nggak sibuk."

Ganiya menghela napas pelan. Dia benar-benar nggak bisa menghadapi Kai sekarang. "Tolong bilang ...."

"Nggak bisa kah mbak sendiri yang datang ke sana dan bilang bahwa Mbak lagi sibuk?" potongnya.

"A-aaa. Maaf. Kamu boleh lanjutkan kerjaanmu. Makasih."

"Oke, Mbak."

Ganiya menelan salivanya susah payah. Membayangkan wajah Kai saja sukses membuat hatinya kembali berdenyut sakit. Lantas, bagaimana dia harus menghadapi laki-laki yang masih berstatus sebagai suaminya itu?

Di tengah kemelut batinnya itu, Ganiya berdiri dan berniat menghampiri Kai. Dia berpikir nggak mungkin juga terus-terusan menghindari Kai. Namun, saat Ganiya berdiri kepalanya terasa semakin sakit. Hingga, tiba-tiba penglihatannya menjadi buram dan menghitam. Yang dirasakan terakhir kali adalah tubuhnya ambruk dan menyentuh lantai. Samar, suara-suara mulai berisik dan namanya dipanggil oleh beberapa orang. Tapi, ada satu suara yang membuat kerinduannya pada orang itu memberontak.

"Niya!"

"Pak Kai, sebaiknya Bu Ganiya dibawa ke rumah sakit."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top