17. Tanpa perasaan


Runtuh.

Semua.

Ganiya sampai nggak bisa berkata-kata lagi. Lidahnya kelu. Tubuhnya seperti dikutuk menjadi batu -sulit digerakkan bahkan hanya untuk mengalihkan tatapan dari apa yang kini dia lihat. Hatinya hancur diikuti perasaan yang ikut hancur. Ganiya hanya merasakan sosok Anjani yang bergerak dan meninggalkan dirinya sendiri di dalam mobil. Kakinya terlalu lemas untuk ikut turun bersama sahabatnya itu.

Ganiya hanya bisa menyaksikan bagaimana wajah kaget Kai dan Violetta saat Anjani muncul secara tiba-tiba di hadapan mereka. Pun bagaimana kerasnya Anjani menampar Kai dan Violetta secara bergantian. Semua terekam jelas dalam pandangan Ganiya. Ganiya nggak tahu pasti apa yang Anjani sampaikan kepada mereka. Tapi yang jelas, Anjani cukup lama berdiri di hadapan mereka seraya menunjuk-nunjuk wajah keduanya.

Ganiya nggak bisa mendengar dengan jelas apa yang Anjani ucapkan karena semua kaca mobil ditutup dengan rapat. Seolah, semesta mencegah untuk dirinya mendengar semua yang sedang terjadi di luar.

Tidak lama setelah itu, Anjani pergi dengan wajah memerah. Menghampirinya dengan kedua mata yang ikut memerah dan berkaca-kaca. Tepat saat itu pula, pandangan Ganiya dan Kai bertemu. Kai yang akhirnya menyadari keberadaan istrinya itu lantas berlari dan mencoba mengetuk kaca mobil milik Ganiya. Namun, Ganiya nggak bergeming. Matanya tetap lurus ke depan tanpa peduli dengan Kai yang masih mengejarnya di belakang. Menyadari hal itu, Anjani semakin mempercepat laju mobil sehingga Kai jauh tertinggal.

Jarak mobil dan kantor Kai sudah lumayan jauh. Tapi Anjani dan Ganiya masih belum ada yang mau membuka suara. Tentu saja karena Anjani terlalu syok dengan apa yang baru saja dia lihat. Sementara Ganiya, Anjani paham betul jika sahabatnya itu juga sedang syok -bahkan melebihi dirinya. Ya, siapa yang nggak kaget jika melihat suaminya berciuman dengan wanita lain tepat di depan matanya? Anjani yang bukan siapa-siapa Kai saja langsung emosi melihatnya. Bagaimana dengan Ganiya?

"Malam ini ... boleh nggak gue nginep di rumah lo lagi?" tanya Ganiya dengan suara sedikit serak.

"Ya boleh lah! Lo kalo mau tinggal juga gue nggak masalah."

Ganiya mengangguk pelan. Dia nggak bisa bicara banyak saat ini. Pasalnya, di tenggorokannya seperti ada duri tajam yang mencekat.

Nggak lama, akhirnya mereka berdua sampai di pekarangan rumah Anjani. Masih tanpa suara, mereka pun akhirnya turun dan bergegas masuk. Melihat Ganiya tampak kacau, Anjani pun memberanikan diri untuk memanggilnya. Anjani ingin Ganiya meluapkan semuanya dan nggak menahannya.

"Niya," panggil Anjani pelan.

Ganiya berbalik dan menunduk cukup lama. Dia lalu menarik napas panjang dan kemudian memberanikan diri untuk menatap ke arah Anjani yang saat ini berdiri di hadapannya. Namun, belum juga dia mengucapkan sepatah katapun, air matanya seketika tumpah. Isakannya terdengar sangat menyakitkan hingga Anjani ikut merasakan hatinya perih dan seperti dicabik. Bayangan saat Ganiya ditinggalkan oleh orang terkasihnya dahulu kembali teringat, dan Anjani benci itu.

Mencoba menahan diri untuk nggak ikut menangis, Anjani mendekati Ganiya dan memeluk sahabatnya itu dengan erat. Dia bahkan bisa merasakan baju di bagian dadanya ikut basah karena Ganiya menyembunyikan wajahnya di sana.

Anjani menarik napas panjang. Bukan saatnya untuk dirinya ikut menangis, di saat seperti ini ... Ganiya membutuhkan kekuatan, dan dirinya harus kuat untuk membantu Ganiya pulih kembali dan selalu berada di sampingnya apapun yang terjadi. Nggak peduli jika yang akan mereka hadapi adalah suami Ganiya sendiri.

Anjani membiarkan Ganiya bertahan di posisi itu hingga hampir lima belas menit. Nggak ada niatan Anjani untuj beranjak sebelum Ganiya benar-benar merasa tenang. Dia hanya bisa mengelus bahu perempuan itu dengan pelan seraya sesekali berbisik bahwa dia akan membalas perbuatan Kai padanya.

"Ni, maaf. Baju lo jadi basah," ujar Ganiya mengelap air mata yang membasahi pipinya.

"Nggak masalah asal itu bisa buat lo tenang." Anjani mengajak Ganiya menuju sofa yang nggak jauh dari posisi mereka dan duduk di sana. "Lo mau minum teh nggak?"

"Nggak."

"Ya udah." Anjani mengambil kotak tisu yang ada di atas meja lalu menaruhnya di samping Ganiya.

"Gue nggak nyangka, Ni. Kai kok ... tega banget sama gue," ujar Ganiya sebelum kembali terisak. "Gue udah percaya penuh sama dia tapi dia ... sakit banget rasanya, Ni. Gue sampai nggak tahu harus bilang apa lagi."

"Gue aja nggak nyangka, Niya. Awalnya, gue emang ada firasat kan soal mereka? Tapi, gue pikir ya cuma firasat gue aja. Ya, seperti yang gue bilang sebelum-sebelumnya, gue emang sempet curiga juga sama sikap Violetta itu ke Kai. Soalnya, di mata gue dia terang-terangan banget nunjukin kekaguman dia ke suami lo itu. Ternyata. Nggak habis pikir gue."

"Gue sebenernya juga sempet curiga. Tapi berusaha banget gue tepis karena ... gue yakin Kai cintanya sama gue. Tapi ...." Ganiya nggak sanggup lagi melanjutkan ucapannya dan kembali menangis. Wajahnya sudah memerah seperti habis makan makanan pedas.

"Lo sebaiknya istirahat, Niya. Gue bakal pesenin makanan."

"Gue lagi nggak napsu makan."

"Lo belum makan sejak kita pulang. Lo harus mengisi energi untuk membalas perbuatan cowok sialan itu!"

Ganiya mengelap air matanya menggunakan tisu. Satu tangan juga sibuk memijat pelan keningnya karena kepalanya tiba-tiba terasa pening. 

"Gue mau tidur aja, Ni."

"Ya udah. Lo tidur gih. Gue bakal nyusul setelah masukin belanjaan lo ke kulkas." Ganiya mengangguk pelan lalu meninggalkan Anjani yang terus menatapnya dengan tatapan khawatir.

***

Ganiya menatap pantulan dirinya di cermin. Kedua matanya benar-benar bengkak sekarang. Wajahnya juga memerah seperti habis makan makanan pedas. Bahkan, sebelah hidungnya terasa mampet karena terlalu lama menangis.

"Malang banget sih nasib lo," gumam Ganiya pada dirinya sendiri. Dirinya sudah lelah. Ingin tidur tapi matanya pasti nggak mau diajak kompromi. "Jahat banget sih, Kai! Salah aku apa sama kamu sampai kamu tega selingkuh dari aku?!"

Ganiya menyandarkan jidatnya pada meja rias milik Anjani dan menjedot-jedotkannya di sana. "Aku sampai nggak tahu harus gimana lagi, Kai. Kamu yang aku anggap rumah, tempat pulang ternyaman ... justru yang paling menyakiti aku."

***

😭😭😭😭😭😭

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top