16. Hati yang tersakiti


Hari ini Kai akan kembali ke Indonesia. Dan entah kenapa, jika biasanya dia akan senang sampai nggak sabar suaminya itu pulang, kali ini berbeda. Dia nggak melakukan apa-apa.

"Apa gue surprise-in aja, ya? Tapi apa? Gimana? Masa gue kasi cake? Kai kan nggak terlalu suka makan makanan manis," gumam Ganiya seraya memutar otak. Lagipula, belum ada kejelasan lagi terkait kepulangan Kai. Apakah hari ini benaran jadi pulang atau nggak. "Mau buatin makanan juga masa kayak gitu melulu."

Ganiya kemudian teringat dengan tiket ke Korea yang jadwalnya awal bulan depan yang belum sempat dia berikan pada Kai. Sepertinya ini kesempatan yang tepat. Ya nggak apa-apa juga kalau Kai terkesan bolak-balik ke Korea, toh kali ini suaminya itu nggak sedang liburan, melainkan sedang melaksanakan tugas kantor.

"Oke. Fix. Kali ini semoga nggak akan gagal lagi."

Ganiya tersenyum lebar membayangkan apa saja yang akan dia dan Kai lakukan selama di Korea nanti. Jalan-jalan, kulineran, keliling di Gwanghwamun, dan masih banyak lagi yang ada di pikiran Ganiya. Hal itu membuatnya jadi semangat dan nggak sabar.

***

Karena hari ini kantor sedang libur, Ganiya memilih untuk jalan-jalan bersama Anjani ke mall. Hal biasa yang mereka berdua lakukan jika sedang ada waktu. Dan tentunya jika Kai juga lagi nggak ada seperti sekarang.

"Gimana sama Kai?" tanya Anjani setelah memasukkan sesendok es krim ke dalam mulutnya.

"Kemarin gue udah dapet info dari Bora. Kai dan Violetta ternyata ketemunya nggak sengaja."

"Nggak sengaja gimana? Menurut lo itu beneran nggak sengaja?"

"Kai bilang, dia dihubungi sama Violetta dan Violetta minta ditemenin keliling Korea."

"Lah, emangnya dia cuma kenal Kai? Kok minta ditemeninnya harus sama Kai?"

Bahu Ganiya terangkat. "Nggak tahu. Tapi, kata Kai, Violetta nggak begitu kenal sama Bora, makanya minta dia yang temenin," jelas Ganiya lagi.

Anjani mendengus pelan. Rasa-rasanya kok dia nggak percaya, ya? "Alesan aja nggak, sih?!" Dia lalu tertawa kecil. "Jadi, gimana? Kapan Kai balik?"

"Hari ini. Makanya gue mau lo temenin ke supermarket dulu ntar. Soalnya beberapa bahan dapur gue abis."

"Oke."

Ganiya lalu menautkan kedua tangannya di atas meja. Rautnya terlihat antusias. "Ni, gue mau ngasi surprise ke Kai."

"Apaan? Surprise mulu perasaan."

"Ya kan gue baca artikel juga, kalo mau hubungan bertahan lama, dan pasangan semakin cinta, katanya kudu saling ngasi hadiah. Gitu."

"Emang nggak ada salahnya, sih. Jadi, lo mau surprise-in apa?"

"Kemarin gue kan sempet beli dua tiket ke Korea. Gue ngasi itu aja, sih."

"Kirain lo udah ngasi. Belom ternyata. Tapi, apa Kai nggak mabok baru balik ke Korea malah dikasi tiket ke Korea lagi?"

Ganiya tertawa kecil. Pun Anjani yang seketika membayangkan wajah mabuk Kai harus bolak-balik Korea-Indonesia. "Kan perginya nggak besok juga, weh. Perginya awal bulan depan." Ganiya terbahak, dia jadi ikutan membayangkan ekspresi mabuk Kai.

"Oh, kirain bakal langsung pergi besoknya. Hahaha."

Saat tengah sibuk haha hihi, tiba-tiba ponsel Ganiya berdering. Ternyata itu Kai. Dia menelepon Ganiya untuk memberitahukan bahwa dirinya sekarang sudah berada di bandara dan akan segera berangkat ke Indonesia. Tentu saja Ganiya senang dan langsung  memberitahu Anjani bahwa Kai jadi pulang hari ini.

Anjani yang melihat Ganiya senang bukan main, dia jadi ikut merasakan kebahagiaannya. Ya walaupun dia masih merasakan sedikit keanehan dari cerita Ganiya tadi, dia tetap menahan diri untuk nggak merusakan kebahagiaan yang terlihat jelas di wajah sahabatnya itu.

***

"Lo nggak bakal ngajakin gue masak lagi, kan?" tanya Anjani yang saat ini tengah menemani Ganiya berbelanja bahan dapurnya yang katanya kosong.

"Nggak, kok. Takut banget, sih." Ganiya terkekeh. "Gimana kalo sambil nungguin Kai nyampe, kita nonton dulu?"

"Hah? Gila lo? Mau nonton sampe Kai dateng?"

"Nggak gituuu, ya kan ngisi waktu kosong juga ya kan. Ini masih pukul dua belas. Masih banyak yang belom kita lakuin. Belom makan siang, belom nonton, belom ke toko buku, dan ... gue juga pengin beli parfum baru. Soalnya sekarang gue lagi seneng sama parfum yang wangi bunga-bungaan gitu."

Anjani yang pada dasarnya memang senang jalan, tentu saja nggak akan menolak permintaan Ganiya itu. Jalan-jalan adalah separuh jiwanya.

"Mau nonton apa?" tanya Anjani setelah mereka berada di kasir. Anjani kemudian membantu Ganiya memindahkan belanjaan Ganiya untuk dicek harganya oleh kasir.

"Horror?"

"Nggak, ah. Males kaget gue."

"Romance?"

"No. Males bahas cintaan mulu. Pening kepala gue."

"Lah, terus?"

"Komedi, deh. Komedi. Nonton tuh yang menghibur, jangan yang bikin tambah stres," timpal Anjani.

Ganiya yang pada dasarnya juga merasa butuh hiburan langsung saja menyetujui usulan Ganiya. Mereka pun akhirnya melanjutkan dan melakukan semua hal yang mereka rencanakan sebelumnya. Nonton, makan, gosip bareng, beli parfum, dan masih banyak lagi. Ganiya yang baru kali ini menghabiskan waktu di luar sampai selama itu sampai merasakan kakinya seperti akan kram dan nggak bisa melanjutkan jalan lagi. Sementara Anjani masih terlihat baik-baik saja.

"Kayaknya kita balik aja, deh!" ujar Ganiya seraya memukul-mukul betisnya yang terasa kram.

"Oke. Gue ngikut aja."

"Bentar," sahut Ganiya setelah merasakan ponsel yang ada di dalam sling bag-nya bergetar. "Kai bilang bakal langsung ke kantor setelah sampai."

"Oh, ya?"

Ganiya mengangguk pelan. "Gue ke rumah lo, deh. Lagian gue juga udah lama nggak ke rumah lo. Sekalian gue juga mau jemput Kai nanti di kantornya."

"Ya udah. Balik sekarang?" Ganiya mengangguk lagi. "Kita singgah di resto dulu. Soalnya gue belom masak apa-apa di rumah."

"Nggak usah. Biar gue yang masak. Lo ada bahan di rumah, kan?"

"Ada, kok." Anjani kemudian tersenyum lebar. Merasa tertolong dengan keinginan Ganiya masak di rumahnya. "Kebetulan banget ibu juga lagi pulang kampung, jadi gue ga ada yang masakin."

"Oh, ibu lagi pulkam? Yaaah, sayang banget. Padahal mau nanyain banyak resep. Ibu kan kalo masak tuh enak-enak banget."

"Nanti, deh. Kalo ibu dah balik, lo boleh tanya resep apa aja."

"Gue tuh heran, kenapa lo nggak inisiatif gitu belajar masak, mumpung ada ibu."

"Jangan nanya lagi, karena jawabannya akan tetep sama." Ganiya dan Anjani tertawa bersamaan.

***

"Lo nginep di sini aja, dah," ujar Anjani setelah ikut berbaring di samping Ganiya.

"Terus laki gue gimana kalo gue nginep di sini?"

"Ya kan sekali-kali doang."

"Nanti, deh. Soalnya telat banget kalo baru ngasi tahu Kai gue nginep di sini."

"Oke. Sekalian kita ajak Bora juga. Girls time gitu."

"Gue setuju. Nanti gue kabari ke Bora." Ganiya tersenyum lebar. Membayangkan mereka akan mengadakan girls time benar-benar membuatnya bersemangat. Apalagi ada tambahan personil. Makin seru pasti. "Ini udah jam berapa, sih?"

"Jam dua siang. Kenapa?"

"Hah? Serius lo? Bentar lagi Kai nyampe!" Ganiya kemudian mengantifkan gawainya dan melihat jam. "Harusnya sih udah nyampe."

"Terus gimana?"

"Siap-siap lah. Gue mau ke kantornya. Jemput dia."

"Lah ngapa langsung mau pergi, sih? Palingan dia juga sibuk lagi di kantor. Terus lu mau nunggu dia gitu? Mending lu tunggu di sini aja, lo suruh kabarin kalo udah mau balik," usul Anjani. Namun, Ganiya menolak. Dia memilih untuk datang ke kantor Kai lebih awal karena yakin Kai nggak akan lama di kantor. Hanya mengurus berkas dan pulang.

"Gue pergi lebih awal, deh. Lagian udah lama juga nggak nyapa di sana."

"Hmm. Ya udah, terserah lo."

Baru saja Ganiya memasang hijab, gawai miliknya yang tergeletak di kasur Anjani itu berdenting. Pesan dari Kai yang mengabari bahwa dirinya sudah sampai dan sedang menuju kantor membuat Ganiya semakin bersemangat.

"Kai udah menuju kantor. Gue pergi dulu, ya."

"Hmm. Hati-hati."

Anjani menatap kepergian Ganiya dengan perasaan campur aduk. Dia nggak paham kenapa firasatnya jadi seperti itu. Ingin menahan kepergian sahabatnya itu, tapi dia nggak tega juga. Maka, buru-buru dia mengambil gawai dan dompetnya dan menyusul Ganiya.

***

"Lo kenapa ikut, sih, Ni? Kan ngerepotin ntar."

"Udah, diem aja napa."

Ganiya mendengus pelan, dia nggak menyangka jika Anjani akan ikut juga ke kantor Kai. Ditanya alasannya apa, Anjani cuma mengangkat bahu dan kembali menyetir mobil Ganiya.

"Lo nggak usah nganterin gue balik ntar. Gue bisa balik sendiri make taxi online," timpal Anjani cepat.

"Gimana kalo lo aja yang nginep di rumah gue?"

"Nggak, ah. Nanti gangguin pasangan yang lagi kangen-kangenan."

Ganiya terbahak. Namun pada akhirnya membiarkan Anjani dan sikap absurdnya itu.

Mobil Ganiya kemudian memasuki pekarangan kantor Kai dan Anjani segera memarkirkannya di parkiran khusus bawah tanah. Setelah mematikan mesin mobil, Anjani bersiap-siap untuk turun bersama Ganiya. Namun, saat memegang kenop pintu, Anjani tiba-tiba menghentikan Ganiya. Ganiya jelas kebingungan, namun saat dia melihat ke mana arah pandang Anjani, senyum yang daritadi menghias bibirnya seketika perlahan menghilang.

Tepat di hadapannya, lift terbuka dan menampilkan sosok Kai dan Violetta yang sedang berciuman mesra.

Saat itu juga, nggak ada lagi perasaan lain selain rasa sakit. Nggak ada lagi tawa selain air mata. Nggak ada lagi bahagia selain kesedihan. Bahkan, Ganiya sendiri sudah nggak bisa lagi menjelaskan bagaimana perasaannya saat ini. Semua tiba-tiba runtuh nggak bersisa.

Cinta.
Kepercayaan.
Lenyap.

***

Guys🥲

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top