12. Merasa Aneh

Hai, apa kabar?
Gimana kondisi kota/kampung kalian? Lagi hujan juga, kah?

.

.

.

Happy reading💃

.

.

.

Hari ini, Bora, Ganiya, dan Anjani sepakat untuk makan malam bersama. Alasannya karena sejak Bora datang ke Indonesia, Anjani belum pernah bertemu. Padahal dia juga pengin ketemu sama teman lamanya.

"Niya, gue balik duluan, ya," ujar Seila, rekan kerja Ganiya di kantor. Sementara Ganiya yang sedang sibuk mengerjakan sisa kerjaannya itu pun mengacungkan jempol –mempersilakan Seila pulang duluan.

Sedikit lagi pekerjaannya selesai, namun tiba-tiba ponsel Ganiya berdering memperlihatkan nama Anjani. Buru-buru Ganiya mengangkatnya dengan ponsek yang diapit oleh bahu dan telinga.

"Halo, Ni?"

"Gue otw ke kantor lo, nih! Udah kelar belum kerjaan lo?"

"Dikit lagi. Palingan kalo lo sampai, kelar juga."

"Ya udah. Gue mau nyetir, nih."

"Oke. Hati-hati."

Ganiya memang janjian dengan Anjani untuk pergi bersama ke tempat pertemuan mereka dengan Bora. Ya, sekalian saja.

***

Untungnya sebelum Anjani menelepon, pekerjaan Ganiya sudah beres. Jadi, dengan tergesa Ganiya mematikan komputer dan segera keluar untuk menunggu Anjani. Saat itu juga, bunyi klakson yang diyakini Ganiya adalah milik Anjani juga tiba. Tanpa berlama-lama lagi, Ganiya segera masuk karena di luar tiba-tiba gerimis sampai membuat blouse cream yang digunakan Ganiya sedikit basah.

"Untung lo cepet dateng. Mana tiba-tiba gerimis lagi," ujar Ganiya seraya membersihkan tangannya yang ikut basah dengan tisu.

"Hmm. Si Bora udah di tempat atau gimana?"

"Nggak tahu. Belum ada kabar dari dia. Mungkin masih kerja."

Anjani mengangguk pelan. "Niya, lo serius ngirim Bora ke kantor Kai?" Tangan Anjani memutar kemudi ke arah kiri sebelum kembali melanjutkan ucapannya. "Lo nyuruh dia mata-matain Kai?"

Ganiya menarik napas pelan. Nggak mungkin lagi dia menyangkal, karena sebelumnya dia sendiri yang memberitahu Anjani perihal Bora yang tiba-tiba bekerja di kantor Kai.

"Bener. Tapi gue nggak maksa, kok. Gue cuma nawarin dan ... ternyata dia emang mau," jelas Ganiya. "Gue juga sebenernya berat banget, Ni. Tapi ... daripada gue mikir yang nggak-nggak. Mending gue cari tahu aja."

"Oke. Jadi gimana sekarang? I mean, perkembangan kecurigaan lo? Apa udah ada bukti atau ... emang cuma perasaan lo aja?" Ganiya terdiam cukup lama. Bayangan kejadian kemarin saat dia berada di parkiran kantor Kai kembali terputar dengan sangat jelas dan cepat. Hatinya kembali terasa nyeri dan matanya tiba-tiba terasa memanas. "Gue minta maaf banget, Niya. Semua yang lo lakuin ini pasti karena spekulasi nggak berdasar gue, kan? Gue minta lo kembali percaya sama Kai. Jangan mikirin apa yang gue ucapin kemarin-kemarin."

Ganiya menunduk. Jemarinya saling bertaut dengan erat –mencoba menahan diri untuk nggak menangis di hadapan Anjani. Tapi, bagaimanapun usahanya untuk menyembunyikan semuanya, Anjani adalah salah satu kelemahannya. Melihat perempuan itu membuat dirinya ingin sekali memuntahkan semua yang dirasakan.

"Gue udah sampai di sini, Ni. Nggak bisa mundur lagi," jawab Ganiya dengan suara sedikit gemetar.

"Why? Lo beneran udah nggak percaya lagi sama Kai? Apa yang membuat lo nggak percaya? Apa lo pernah ngeliat dia sama cewek lain?" tanya Anjani bertubi-tubi. Jujur, dia sedikit khawatir dengan pernyataan Ganiya barusan. Karena dia tahu betul, Ganiya adalah tipikal orang yang nggak akan mundur sama sesuatu jika benar-benar sudah mendapat jawaban dari apa yang dia cari.

"Nanti gue ceritain," jawab Ganiya cepat. Bukan karena nggak mau cerita, hanya saja mereka sudah sampai di restoran Jepang –tempat di mana Anjani, Ganiya, dan Bora janjian.

Setelah memarkirkan mobilnya, Anjani turun dari mobil diikuti Ganiya. Mereka berdua lalu masuk dan memilih untuk duduk di pojok resto.

"Lo hubungi Bora coba," ujar Anjani.

"Dia baru aja ngirim chat. Katanya udah hampir nyampe."

Ganiya kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas. Tapi sebelum itu dia sudah menonaktifkannya terlebih dahulu. Dia nggak mau ada yang ganggu saat dia harus punya quality time bareng teman-temannya. Karena ... bisa saja nanti akan ada pembahasan yang lebih serius. Lagipula, dia sudah izin juga sama Kai.

"Jadi?"

"Jadi apa?"

"Soal pertanyaan gue waktu di mobil. Lo pernah liat Kai jalan sama cewek?" tanya Anjani –lagi.

Ganiya terdiam. Kalau saja Bora nggak datang saat itu, mungkin Kai ... sudah berciuman dengan wanita itu. Tetapi, bisa saja mereka melakukan sesuatu –bukan ciuman. Memperbaiki dasi misalnya. Tetapi Bora keburu datang.

Tapi, kenapa harus sembunyi-sembunyi seperti kemarin?

Ganiya menempelkan jidatnya pada meja. Kepalanya saat ini benar-benar dipenuhi oleh pertanyaan tentang Kai dan wanita itu.

"Kenapa nggak nanya langsung aja sama Kai, sih?" Anjani mulai kesal melihat kenggakberdayaan sahabatnya itu. Pasalnya, dari sikap Ganiya saja, Anjani sudah bisa menebak jika sesuatu terjadi pada rumah tangga Ganiya. Hanya saja, wanita itu masih enggan untuk mengungkapkannya. "Daripada lo ngerasa digantung kayak gini."

"Kemarin–"

"Hai!"

Ganiya dan Anjani menoleh secara bersamaan. Nggak jauh dari tempat mereka, Bora datang dengan senyuman lebar di bibirnya.

"Bora? Ini lo?" tanya Anjani setelah cewek yang habis mengganti warna rambut berwarna hijau lumut itu bergabung bersama mereka.

"Yes. Apa kabar, Ni?"

"Gue baik. Tapi ... wow! Lo berubah banget! Gue seneng liatnya," puji Anjani. Matanya benar-benar nggak bisa beralih dari cewek itu saking terkesimanya.

"Thankyou. Tapi gue bisa kayak gini juga karena kalian berdua."

"Hmm, begitu, ya?" Anjani tersenyum lebar. Jujur, dia benar-benar merasa bangga dengan perubahan Bora saat ini. "Kalau begitu, hari ini biar gue yang neraktir kalian!"

Bora dan Ganiya saling tatap sebentar lalu bersorak senang. Ya siapa yang nggak senang ditraktir, sih?

"Kalian pesanlah," tambah Anjani.

Mereka bertiga kemudian sibuk memilih makanan yang akan mereka santap, setelah itu mereka kembali melanjutkan cerita apa saja yang ada di pikiran mereka.

"Masih jomlo?" tanya Anjani dengan nada bercanda.

"Lo?"

"Sial!"

Mereka kembali tertawa. Membuat beberapa orang yang ada di resto itu sesekali menatap ke arah mereka.

"Dahlah, nggak usah ngebahas soal hubungan. Mau jomlo seumur hidup juga terserah, sih. Tapi ngomong-ngomong, lo sekarang kerja di kantor suami Ganiya, kan?" tanya Anjani.

Bora mengangguk pelan. "Benar. Itu juga karena rekomendasi dari Niya, sih."

"Hmm, Anjani udah tahu, kok." Ganiya ikut angkat bicara. "Dia juga tahu alasan lo kerja di kantor itu."

Anjani sedikit memajukan tubuhnya ke arah Bora. Matanya fokus dan terlihat sangat tertarik dengan apa yang sedang mereka bicarakan. "Jadi? Lo udah dapet bukti kalo Kai selingkuh?"

Ganiya dan Bora menatap Anjani cukup lama. Ganiya benar-benar berharap Bora akan menjawab pertanyaan Anjani –meski sebenarnya dia sendiri bisa mempertanyakan hal yang sama.

Bora berdeham pelan –sedikit salah tingkah karena tiba-tiba mendapat pertanyaan demikian. "Umm ... itu ... sejauh ini belum ada, sih."

Ganiya mengerutkan keningnya.

Bukannya kemarin Bora juga melihat Kai? Kenapa dia berbohong?

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top