Chapter 2 || Raja Baru Sirius

Pecahan kaca!

Lagi-lagi aku melihat mozaik aneh.

Mozaik yang terhubung ini bagai puzzle bergambar tak serasi. Masing-masing potongan memiliki gambar bergerak yang tak ku mengerti sama sekali.

Wanita itu?!

Ibu!

Siapa kau?! Berani-beraninya menusuk Ibuku!

Apa yang harus kulakukan? Aku tak bisa menolong Ibu yang berada dalam  pecahan mozaik.

Siluet yang menusuk Ibu kini menghampiriku. Semakin dekat!

"Kaito...."

Dia memanggilku. Aku tak bisa bergerak. Tubuhku kaku bagai batu.

"Kaito...."

Dia kembali memanggilku.

"Kaito...."

"Kaito!"

"Kaito-sama." Seseorang memanggil dari balik pintu. Suaranya merembet hingga sampai ke telinga si empunya kamar yang sedang terlelap menyelami alam bawah sadar.

Kaito tersentak dari tidurnya kala mendengar pintu kamarnya diketuk. Dia menyingkap selimut agar bisa duduk dengan nyaman. Tangan kanan digunakannya untuk mengusap wajah yang tampak frustasi, seolah baru diterbangkan ke pulau penuh banci.

"Kaito-sama!"

Dia tidak menjawab.

"Kaito-sama!!!"

Merasa panggilannya diabaikan, seseorang dari balik pintu  kamar Sang Pangeran menerobos masuk, menampilkan sosok gadis maid.

Gadis itu Meiko, berjalan menuju ranjang pemilik kamar.

"Kaito-sama, kau tidak apa-apa?"

"Hn. Aku baik-baik saja." 

"Maaf menerobos masuk. Aku khawatir ketika kau tak kunjung menjawab panggilanku." Dengan ekspresi hormat, Meiko menundukkan sedikit kepalanya, menaruh tangan kanan di dada.

"Tidak apa-apa. Maaf membuatmu khawatir." Tersenyum hangat, Kaito melangkah menjauhi tempat tidur.

"Aku sudah menyiapkan air hangat untuk mandi dan juga pakaian ganti. Sarapan akan siap sebentar lagi." Meiko berujar mengiringi langkah Kaito.

"Dan juga siang nanti akan diadakan upacara penobatanmu sebagai raja baru Sirius," lanjutnya.

"Aku mengerti." Kaito segera berlalu menuju pintu menyisakan Meiko yang tengah sibuk menyibak tirai jendela.

"Ah, iya! Tunggu sebentar, Kaito-sama!" Meiko agak lantang memanggil Kaito yang masih berada di pintu. Sontak pemuda beriris biru itu menoleh.

"Ini." Meiko menyodorkan sebuah syal biru. "Semenjak kristal Polaris hilang, Ursa Minor jadi agak dingin."

Kaito lantas memakainya. Syal berharga yang selalu ia gunakan.

Derap langkah bergema di sepanjang lorong istana. Seorang pemuda dengan obsidian sedalam lautan berjalan seraya menggenggam syal biru di depan wajahnya.

Pemuda itu berhenti sejenak. Matanya sibuk menerawang suasana luar istana dari balik jendela besar yang terbuka.

Langit di luar gelap dan pekat layaknya tengah malam, meskipun menurut waktu, ini semestinya sudah pagi.

Pepohonan memancarkan cahaya kehijauan dengan beraneka ragam serangga cahaya yang mengerubunginya.

Beberapa makhluk berwujud mirip burung menari bebas di langit kelam, ekornya menyisakan lintasan warna-warni, mencipta seolah aurora tengah berpedar di atas sana. Membuat siapapun pasti terpesona melihat fenomena ini.

Kaito duduk di kusen jendela. Mencoba menikmati pemandangan langka yang jarang ditemuinya di bumi, bingung bercampur takjub, meski tak dipungkiri dirinya terlahir di Ursa Minor dan sejak kecil telah biasa melihatnya.

Angin kencang mendadak berhembus, menyapa rambut biru tua Kaito. Tak hanya itu, sang angin juga ikut menerbangkan syal yang barusan digenggamnya.

"Sial!"

Dia melompat indah dari jendela setinggi 10 meter, mengikuti arah pergerakan syal miliknya. Tak lama kakinya menyapa tanah dan beberapa rerumputan lembut istana. Kemudian berlari mengejar.

"Tunggu!" Ia berteriak geram, seakan angin dapat mendengar keluh kesahnya.

Ketika angin dirasa melambat dan dia hampir meraih syal birunya, seseorang berpakaian zirah besi ringan yang menutupi wajah mendadak datang menghadang. Menghunus pedang ke wajah Kaito. Beruntung ia sempat menghindar ke belakang, membuat pose serupa kayang.

Si baju zirah kembali menghunus tepat setelah Kaito berhasil berdiri seimbang. Akan tetapi, sang Calon Raja Baru Sirius dapat menghindarinya.

Berbagai kilatan pedang telah dilancarkan, namun untuk kesekian kalinya Kaito berhasil lolos.

Mereka berhenti sejenak. Saling menatap ke iris masing-masing. Kemudian, pedang yang terbuat dari tembaga itu dilemparkan Si Baju Zirah ke tanah. Ia memasang kuda-kuda beladiri. Sesaat setelahnya, pukulan melesat ke wajah Kaito.

Merasa tak mau kalah, Kaito kembali membalas dengan melancarkan pukulan serupa yang sayangnya berhasil dihindari oleh musuh.

"Cih! Siapa kau?!"

Pertanyaan Kaito hanya dibalas oleh serentetan pukulan dan tendangan bertubi-tubi. Hanya beberapa yang berhasil dihindari, selebihnya menyisakan perih di beberapa bagian tubuhnya.

Napas Kaito kini mengalun satu dua, butuh usaha ekstra untuk berdiri. Meski begitu, musuh malah makin asyik menghujani tubuhnya dengan serangan.

Satu pukulan lagi dan pemuda bersurai biru itu jatuh terlentang di tanah Ursa Minor yang konstruksinya mirip tanah di bumi.

Si Baju Zirah itu menghampiri Kaito, tangannya terulur ke wajah lawannya. Hal itu mencetak ekspresi bingung di wajah Kaito, namun tak terlalu dipikirkan, terbukti ia menerima uluran tangan orang itu.

Iris mereka kembali saling pandang.

"Kemampuan beladirimu belum berkurang sedikitpun. Hanya saja aku masih jauh lebih unggul darimu." Suara maskulin dari Si Baju Zirah akhirnya terdengar. Memaksa raut terkejut muncul di wajah Kaito.

Si Baju Zirah tersenyum sesaat, lalu melepaskan tudung besi di wajahnya. Menampilkan sosok rambut pirang pendek beriris emas dengan wajah agak tirus.

"Leon!?" pekik Kaito. Matanya berbinar, mengekspresikan rasa rindu.

"Ya, ini aku."

"Rasanya sudah 8 tahun tidak bertemu."

"Memang sudah 8 tahun, Pangeran."

"Kau tambah tinggi."

"Kau pun tambah tinggi," timpanya hampir selalu diiringi senyum simpul.

Mereka tertawa sesaat.

"Ah, maaf aku menyambutmu dengan cara yang tidak sopan," lanjut Leon.

"Tidak apa-apa. Dari dulu kau tidak berubah."

"Omong-omong, apa yang kau lakukan dengan melompat dari jendela?"

"..."

"..."

"Syalku!" pekik Kaito begitu menyadari ia baru saja kehilangan benda berharga miliknya karena terlalu serius bertarung. Matanya menelusur sekeliling. Kemudian berlari kecil menghampiri syal biru yang teronggok di tanah beberapa meter di dekat pohon.

Syal biru dongker dengan beberapa garis mendatar di sekujur bagiannya. Tidak mahal. Hanya saja begitu berharga bagi Kaito. Sejak dulu ia hampir tak bisa pergi ke manapun tanpa syal biru yang melilit di lehernya.

Barang yang amat penting yang berasal dari penggalan masa lalu.

Walau bagaimanapun, Kaito tak dapat mengingat jelas kisah dibalik syal ini. Siapa pemberinya? Atau untuk apa itu diberikan?

Satu hal yang pasti, apapun yang terjadi, dia akan selalu menjaga syal ini dan menunggu misteri itu terkuak seiring waktu. Begitulah pikirnya.

"Kau baik-baik saja?" Pria Baju Zirah bernama Leon menepuk pelan pundak Kaito.

"Tentu."

Wajah Kaito  menengadah ke langit.

"Akibat hilangnya kristal polaris, tak ada lagi siang di duna ini," ujar Leon seolah bisa menjawab isi pikiran Kaito. Padahal, Kaito sebenarnya hanya berpikir ke mana perginya kumpulan makhluk bercahaya yang menari di angkasa tadi. Dan saat menoleh, mereka ternyata berpindah ke pepohonan di sebelah utara. Menari di atas cahaya kehijauan yang menguar dari pepohonan.

"Ayo, masuk, Pangeran. Udara di sini jauh lebih dingin dari biasanya. Sekalipun kau memakai kalung Holy Asterisk yang dapat memberi tambahan resistensi terhadap kondisi alam yang tak mendukung, tetap saja tidak baik berada di luar dengan kaus tipismu begitu." Leon bersikap layaknya seorang ayah yang perhatian pada anaknya. Manis sekali.

Kaito mengikuti nasehat salah satu prajut setia kerajaan Sirius tersebut. Ditemani Leon, ia masuk ke dalam istana.

Dari balik pepohonan yang berbinar kehijauan, makhluk jubah hitam bertopeng mengintai. Menyaksikan pertarungan di bawah dinginnya udara.

Mata makhluk itu berkilat bersamaan dengan seringaian yang tersembunyi di balik topeng.

Beberapa saat kemudian ia menghilang diiringi asap hitam pekat.

Tak butuh waktu lama, Kedua pemuda bersurai kontras—Kaito dan Leon—itu telah sampai ke dalam istana. Melewati beberapa lorong.

Ketika berada di lorong ketiga dari jalan masuk mereka berhenti. Menatap ke dalam ruangan perawatan prajurit yang terluka karena 'Insiden Polaris' kemarin.

Kaito bersandar di kusen pintu, melipat tangan di dada. Menampilkan kesan ikemen cool bagi gadis waras yang memandangnya. :v

Dari dalam ruangan, seorang pria berteriak histeris. Tak kuat menahan perih desakan sihir pengobatan di tubuhnya. Beberapa pria lain—yang juga merupakan prajurit—di sekeliling hanya mampu menatap kasihan.

Zen—serpihan debu bercahaya yang keluar saat rigel terluka, fungsinya serupa darah pada manusia—menguar dari luka menganga di tangannya.

Rasanya seperti terbakar.

Pedih dan menyiksa.

Seorang tabib sihir tampak sedang kewalahan  mengobati prajurit yang histeris itu.

"Biarkan aku  mengobatinya."  Kaito kini telah berada di samping tabib. Sang tabib dengan senang hati mempersilakannya membantu.

Cahaya biru tua melayang rendah di atas telapak tangan Kaito, kemudian meresap ke dalam luka si prajurit yang tengah mengaduh sakit.

Pria yang histeris tadi sekarang sudah mulai tenang. Luka menganga di lengannya pun berangsur tertutup hingga lenyap sama sekali.

Leon yang sedari tadi berada di sampingnya tersenyum puas.

"Untuk pengendalian sihir, ku akui kau lebih hebat dariku," ucap leon lebih seperti menggumam, tak sampai telinga Kaito.

Ada berbagai macam sihir yang dapat dipelajari oleh para rigel. Mulai dari pengobatan hingga pertarungan. Namun, butuh latihan dan kerja keras yang tidak sebentar. Terlebih lagi, buku- buku pelajaran sihir di simpan dalam perpustakaan istana yang dijaga ketat oleh penjaga. Hanya rigel tertentu yang dapat dengan mudah mengaksesnya.

                          ###

Kaito kini tengah duduk di atas singgasana raja. Tangan kanannya mengelus bagian lengan kursi yang diselumuti kain beludru. Hangat dan nyaman, begitulah kiranya singgasana takhta kerajaan. Pantas saja banyak manusia di bumi yang melakukan segala cara agar bisa mendapatkan takhta sebagai pemimpin.

Baru satu jam berlalu semenjak penobatannya sebagai raja baru Istana Sirius dan secara legal menyandang gelar Roh Regulus Leo, pemimpin para Asteron. Meski begitu, Kaito sebenarnya sudah menjadi pemimpin Asteron—secara tidak resmi—semenjak menerima Holy Asterisk Leo dari Ayahnya.

Raja sebelumnya—Ayah Kaito—memberikan permata kekuatan Leo pada anaknya semenjak kematian istri kesayangannya. Tepat sebelum Kaito dikirim ke bumi.

Pintu ruangan raja setinggi 3 meter itu dibuka, mnimbulkan bunyi derit yang khas. Dari baliknya muncul sosok wanita maid membawa sebuah perkamen tergulung dengan pita hitam.

"Maaf mengganggu waktumu, Kaito-sama." Meiko menunduk hormat pada pangeran yang baru-baru ini berstatus sebagai raja.

"Ada apa, Meiko?"

Berjalan mendekat, gadis itu menyodorkan perkamen di tangannya. "Silakan dibaca, Kaito-sama."

Tanpa berlama-lama Kaito membuka gulungan. Matanya memperhatikan setiap kata yang tercatat di atas surat perkamen . Dari awal hingga akhir.

"Ini... Deklarasi perang...."

#To be Continued#

03/06/2017
================================

A/N

Fyi, Kusuka pose ikemen silang dada, btw😋😗😗
*Bodo amat :V *dicubit

Hooaaammm.... Akhirnya apdet
(-ա- )?😴😴😴😴

Aku males berkutat di RL, akhirnya nyangsang lagi di sini...😅😅
*padahal kemarin pengumuman kelulusan, tapi malah gk dateng. Paraparaparaparah :'''V
*NEM ku apa kabar??!!😭😭😭😭

Btw, yang ini gimana? Mudah²an lebih baek dari yg maren2 :'V

Lama?

Iyak. Aku mager. Kalo gk mood ya gk ngapa2in :V 😂😂🔪🔪

Jangan luva krisar untuk mambuat penulis kawaii satu ini lebih baik lagi...!!!🙌🙋🙋🙆

Sincerely,

De Queen Rumi
RaDel28

Ikemen=cogan :V

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top