Chapter 1 || Kembalinya Sang Pangeran

Seorang pemuda berpakaian casual berjalan melewati emperan pertokoan. Wajahnya tampak lelah, tapi tetap menampilkan kesan tampan bagi siapapun yang memandang.

Surai biru kelam pendeknya dihembus angin, melepaskan anak-anak rambut yang menari riang di sekitar wajah.

Iris berwarna sedalam lautan milik pemuda itu memantulkan kilauan kristal yang menyelimuti bola mata. Membuat siapapun seolah hanyut  ketika bertemu tatap dengannya.

Hidung mancung serta bibir tipis ikut membingkai wajahnya. Terlebih jika dipadankan dengan kaus biru langit dan celana jeans abu-abu, juga syal biru bergaris yang terlilit di leher.

Pemuda tersebut terlihat nyaman mengenakan syal, meskipun hari ini masih musim panas.

Kaito Shion. Panggillah ia begitu.

Bukan malaikat.

Bukan manusia

Apalagi iblis.

Melainkan seorang Rigel.

Sebutan untuk orang-orang yang tinggal di Ursa Minor. Sebuah tempat indah di atas langit. Tempat yang tak kan membuatmu menyangka bahwa itu dulunya pernah ada dan menjadi bagian di bumi.

Kaito sendiri merupakan salah satu dari kelompok 14 Rigel Suci, yang disebut Asteron.

Asteron bertugas memimpin dan menjaga kestabilan Ursa Minor.

Ke 14 Asteron dipecah dan mengepalai 7 bagian kenegaraan yang berbeda, dengan dibantu oleh Frou mereka.

Kaito yang berdarah keturunan Luxfer—salah satu dari 14 Asteron generasi pertama—bertugas memimpin para Asteron yang lain.

Ke 14 Asteron mempunyai kekuatan yang berbeda-beda. Masing-masing dari mereka mendapat kekuatan yang diturunkan dari generasi ke generasi.

Setiap anggota Asteron menyimpan kekuatan yang mewakili ke 12 rasi bintang. Biasa kita kenal dengan nama zodiak.

Kaito sendiri mewakili rasi Leo, sang singa, sebagai keturunan Roh Regulus Luxfer.

Akan tetapi, Kaito yang sekarang tidak sedang berada di Ursa Minor. Melainkan di bumi. Hidup normal layaknya manusia pada umumnya.

Kaito masih memacu kakinya. Mengabaikan tatapan mupeng dari wanita yang lewat.

Dia berhenti di depan sebuah minimarket, berjalan masuk dengan santainya melewati rolling door.

Matanya melihat-lihat ke arah barang-barang yang terpajang di sebelah kanan dan kiri.

Setelah memilah dengan cermat, akhirnya Kaito mengambil dua cup es krim cokelat dan stroberi serta sebungkus roti gandum. Ia lantas berjalan menuju kasir.

"Selamat malam, Dokter!" sapa kasir perempuan di depannya. Nampaknya kasir itu sudah akrab dengan pelanggan yang satu ini.

Ya, untuk beberapa alasan, Kaito tinggal di bumi dan bersekolah di akademi kedokteran. Kini ia bekerja di sebuah rumah sakit terkenal di ibukota.

"Aku ingin membeli ini," ujar Kaito mengabaikan sapaan si kasir. Ia menjulurkan beberapa barang yang tadi sempat dipilihnya.

"Es krim? Malam-malam begini?" Si kasir menatap heran pada barang yang dibawa Kaito. Meskipun musim panas, tetap saja makan es krim di malam hari bukanlah kebiasaan yang lumrah.

"Kurasa beberapa es krim dapat menenangkan saraf-sarafku yang tegang karena pekerjaan." Kaito tersenyum simpul di tengah ucapannya, membuat muka si kasir menjadi memerah.

"I–ini es krim dan rotimu, Dokter." Kasir menyerahkan sekantong plastik berisi dua es krim dan sebuah roti. Ia juga memberikan bon harga kepada Kaito.

Kaito merogoh sakunya dan mengeluarkan beberapa lembar uang. "Ini. Kembaliannya ambil saja," ucapnya lalu melangkah keluar toko sambil membawa sekantong plastik yang tadi diberikan kasir.

"..." Si kasir masih tercekat di tempatnya. Antara senang karena mendapat sisa kembalian atau karena senyuman Kaito yang amat menawan. Terlepas dari itu semua, dia tak menyadari ada seorang pelanggan yang sedari tadi memanggilnya, menunggu si kasir melayaninya seraya memasang tampang jutek karena lelah menunggu.

Kaito berjalan mantap menuju rumahnya, sampai tiba-tiba seorang gadis kecil berkepang dua menubruknya dengan keras. Membuat gadis itu tersentak lalu jatuh terduduk di aspal.

"Kau tidak apa-apa?"

"..." Gadis kecil yang diajak bicara hanya menggeleng pelan seraya mengerjapkan matanya berulang kali, mengabaikan uluran tangan Kaito. Mukanya antara bingung, takut, dan kesakitan karena jatuh begitu saja tanpa persiapan. Yah, kurasa memang tak ada jatuh yang dipersiapkan juga, sih. Jatuh cinta saja datangnya tiba-tiba.

Eh, abaikan!_-

Seorang wanita setengah baya menghampiri mereka. "Ya ampun Sayang, kan mama sudah bilang jangan lari-lari di jalanan. Cepat minta maaf ke eh—

Kaito tersenyum simpul.

"Dokter Shion!" Wanita itu terperanjat di tempatnya. Ia baru sadar kalau yang ditubruk anaknya adalah dokter yang pernah menyelamatkan nyawa putri kecil berkuncir dua miliknya.

"Apa kabar, Nyonya?"

"Kebetulan sekali bertemu di sini. Apa Dokter baru pulang kerja?"

"Ya. Aku mampir dulu untuk beli es krim."

"Kau suka es krim? Wah, di luar dugaan, ya."

"Mereka dingin dan menenangkan. Aku menyukainya."

Wanita itu tertawa renyah. "Bukankah umumnya orang menyukai rasa manisnya ketimbang dinginnya?"

Kaito kembali tersenyum menanggapinya.

"Oh, iya, Dokter, untuk yang kesekian kalinya kuucapkan terima kasih banyak karena dulu kau telah menyelamatkan nyawa putriku." Perempuan setengah baya itu  membungkuk sopan.

Kaito memperhatikan gadis yang tadi menubruknya kini telah berada di pelukan sang ibu. Ikut membungkuk sebagai tanda terima kasih.

"Itu sudah menjadi tugasku," ucapnya diiringi usapan lembut pada pucuk kepala gadis kecil kecil berkepang dua di hadapannya.

Perasaan aneh menelusuk hatinya.Kaito sangat menyukai model rambut gadis itu.
Dia...

Seperti tak asing dengan potongan twintailnya.

"Terima kasih, Dokter!" ujar gadis itu pada akhirnya. Suara nyaring miliknya sukses mengakhiri lamunan singkat Kaito.

"Kalau begitu kami pergi dulu. Sampai jumpa lagi, Dokter Shion." Ibu dan anak tersebut pamitan pulang disertai lambaian tangan kekanakan si gadis kecil yang baru berumur kira-kira 6 tahun.

Kaito memperhatikan punggung mereka yang kian menjauh. Rambut twintail si gadis yang bergoyang tertiup angin malam berhasil menyita perhatian Kaito hingga tak hentinya menyunggingkan senyum geli.

Hal itu tak berlangsung lama sampai Kaito sadar bahwa dirinya berada di tengah emperan pertokoan seraya tersenyum tak jelas.

Ayolah, apa yang lucu dari memandang potongan rambut twintail bergoyang?

Karena Kaito masih cukup waras, ia segera meninggalkan tempat itu, bergegas pulang ke rumah sebelum udara dingin menyengat kulitnya yang hanya mengenakan lengan pendek.

Yah, meski tak dipungkiri Kaito menjadi tontonan gratis para gadis remaja yang suka sekali menatap pemuda tampan dari pinggir jalan.

###

Di sinilah Kaito sekarang. Balkon sebuah kamar apartemen bernomor 2811.

Kaito lebih suka menyebutnya rumah dibanding apartemen apalagi hotel.

Karena baginya, rumah ialah tempat pulang yang membuatmu nyaman berada di dalamnya. Dan Kaito sangat nyaman dengan tempat tinggalnya yang sekarang.

Ruangan yang disewanya tak terlalu besar. Malah bisa dibilang kamar yang disewanya paling murah dari semua kamar di apertemen tersebut.

Bergaya minimalis dengan perabotan seadanya menjadikan kamar bernuansa biru dongker itu amat disukainya.

Terlebih lagi adanya balkon yang membuatnya bisa melihat langit malam yang indah.

Kaito duduk di kursi busa berbentuk tangan kegemarannya. Ia memandangi langit malam seraya menjilati es krim stroberi yang baru saja dibelinya dari minimarket.

Matanya menelisik satu per satu rasi bintang di angkasa. Hingga berakhir pada satu gugusan bintang yang terdiri dari 8 bintang. Ketujuh bintang membentuk susunan panjang seperti gayung yang menunjuk pada satu bintang di ujungnya. Bintang paling terang dari ketujuh lainnya. Gugusan ini bernama Ursa Minor, dan bintangnya yang paling terang disebut Polaris.

Kaito menghela napas ringan. "Sudah lama aku tidak ke sana."

Terlalu asyik sendiri, Kaito tak menyadari di belakangnya muncul gumpalan cahaya putih kecoklatan yang melayang di tengah ruangan.

Cahaya putih kecoklatan tersebut bergerak tak tentu. Makin lama semakin besar membentuk gumpalan seukuran bola basket, kemudian pecah begitu saja.

Pecahan semakin menguatkan cahayanya dan kembali bersatu membentuk siluet putih.

Siluet putih itu begitu terang hingga akhirnya meredup, seketika menampilkan sosok perempuan berpakaian maid dengan aksen ghotic yang kental. Rambut merah kecoklatannya yang pendek tampak serasi ketika berpadu dengan wajah datarnya yang nampak tegas dan dewasa.

"Pangeran!" panggil gadis itu pada sosok pemuda berambut biru di depannya. Pemuda yang awalnya tenang dan tak menyadari apa yang terjadi dari balik badannya kini menoleh cemas.

"Meiko!" Kaito terperanjat ketika menatap gadis maid di depannya.

Gadis itu menghampiri Kaito, mendekatkan jaraknya kepada pemuda yang ia panggil pangeran, lalu menunduk hormat.

"Bukankah baru 2 bulan lalu kau mengunjungiku? Apa Raja mengubah peraturan?" kejar Kaito yang masih terlihat kebingungan akan kedatangan tamu tak terduga.

Sebelum menjawab, gadis maid menatap lekat obsidian sewarna samudra di hadapannya, sangat kontras dengan crimson red miliknya.

"Sirius diserang. Kristal Polaris telah dicuri. Raja terluka karena melawan. Kini Ursa Minor benar-benar dalam kekacauan dan butuh bantuan Anda, Pangeran."

Jleb...

Kaito tercekat mendengar penuturan lugas gadis yang dipanggilnya Meiko. Mambuatnya berfantasi liar tentang keadaan istana.

Kaito menoleh sekilas ke arah gugusan bintang yang sedari tadi dikaguminya.

"Hm. Ternyata itu penyebab sinarnya makin pudar," gumam Kaito kosong.

Sebenarnya gugusan bintang itu adalah Ursa Minor, tempat kelahiran Kaito, Sang Roh Regulus. Dan Polaris adalah Cyclus, tempat Kristal Polaris berada dan dilindungi selama berabad-abad lamanya.

"Bawa aku pulang!" ujar Kaito lebih seperti perintah.

"Baik, Pangeran. Silakan pegang pundakku."

Kaito memegang pundak gadis maid.

Gadis itu merenggangkan tangannya lalu seketika merapatkannya ke dada, membuat sikap seolah sedang berdoa.

Dari tubuh gadis itu menguar cahaya berwarna serupa ketika saat dia muncul.

Cahaya putih kecoklatan menyelimuti kedua Rigel tersebut hingga tubuh mereka hanya tinggal siluet putih saja.

Setelahnya, siluet itu pecah berkeping-keping bersamaan lenyapnya Kaito dan Meiko.

###

Malam itu, istana Sirius terlihat ramai, sibuk menyambut kedatangan Putra Mahkota.

Beberapa pelayan dan prajurit memberi hormat pada kedua sosok Rigel yang baru saja tiba di istana.

"Pangeran sudah kembali!"

"Pangeran, selamat datang!"

"Selamat datang kembali, Pangeran Kaito."

"Terima kasih juga karena telah membawa Kaito-sama, Meiko-san."

Masih melangkah, Kaito dan Meiko mengabaikan sambutan-sambutan dari para penghuni istana yang ditemui. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Terutama Kaito, sibuk bergelut pada pemikiran buruk yang mungkin telah terjadi selama dia berada di bumi untuk waktu yang cukup lama.

Pandangan Kaito tersapu pada kamar-kamar yang ia lalui. Banyak prajurit terluka yang sedang mendapat perawatan.

"Jadi... Bagaimana keadaan Raja sekarang?"

Tap...

Langkah Meiko seketika tersendat. Pertanyaan yang dilontarkan pemuda bersurai biru kelam di sampingnya benar-benar membuat jantungnya memompa tak keruan. Tertohok, hampir tak mampu berucap.

"Meiko!" Kaito menatap lekat Meiko yang masih menunduk, tak memberi respon apapun. Kaito coba menepis anggapan paling buruk dari benaknya.

"Yang Mulia telah dilenyapkan oleh musuh."

Kaito melotot mendengar penuturan lugas Meiko. Matanya hampir saja meloncat keluar. Mungkin lain kali ia harus sedikit mempercayai kata hatinya, walau seburuk apapun.

"Raja mengorbankan nyawanya demi melindungi Sirius."

"..." Kaito terdiam, tak merespon apapun.

"Maafkan aku, Kaito-sama karena—"

"Jangan khawatir. Itu bukan salahmu." Kaito memegang kedua pundak Meiko. Pandangannya yang sedingin es malah semakin membuat Meiko merasa bersalah.

"Aku ingin istirahat. Tolong jangan ganggu aku semalaman. Tak usah siapkan makan malam. Aku masih kenyang." Kaito memelesat ke dalam lorong istana, menuju kamarnya, meninggalkan Meiko yang menatapnya sendu.

Meiko masih memandang punggung Pangerannya yang makin menjauh dengan ekspresi yang sulit diartikan.

"Lagi-lagi aku tak dapat melindungimu." Meiko berujar datar.

###

Pintu ditutup perlahan.

Seorang pemuda beriris biru berjalan lesu ke tempat tidur. Membaringkan tubuhnya di sana. Kemudian membuang napas kasar.

Iris birunya tersembunyi di balik kelopak. Hanya menyisakan tetesan air yang keluar perlahan. Merembes  lewat ujung mata ke pelipis.

"Maaf aku terlambat, Ayah. Aku terlambat menyelamatkan Polaris. Aku terlambat... menyelamatkanmu."

Di samping itu, Kaito sedikit heran melihat tak adanya debu di sekujur ruangan, mengingat sudah bertahun-tahun ia meninggalkan istana.

Kaito menenggelamkan tubuhnya ke dalam selimut tebal.

Tak terdengar tangisan sedikitpun, tapi sudah pasti Kaito sedang menangis di sana.

Lama-kelamaan Sang Pangeran terlelap. Menyelam ke dalam delusi. Menunggu dibangunkan oleh mimpi buruk yang sebenarnya.

#To be Continued#

12/05/2017

===========π=========π=======

A/N

Mav chapter 1 agak lama. Niatnya kemaren mau langsung publish abis prolog, eh malah banyak banget yang agak "gimana gitu". So, ngaret dech 😫😫😫

Btw, ini agak drama gak sich?

Nah, ini kan novel bersambung pertamaku yang dengan "NIAT" ku bikin. Jadi, minta kriksar untuk segala hal yang masih kurang supaya kedepannya bisa lebih baik lagi... 🙏🙏🙏

Semuanya, sampai jumpa di chapter 2!!!🙋🙌🙋🙌😙😙

Sincerely,

De Queen Rumi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top