Bab 5

.
.
.
.
.
.
.

"Anj***ing! Yang bener aja lu!" Tepat pukul dua belas malam, Lovelyn kini dihadang petugas resepsionis tadi di lobby dan dengan ramah memberi Lovelyn tagihan yang begitu panjang itu.

Evan yang sejak tadi bersamanya ia tahan kuat-kuat supaya menjelaskannya lebih detil. Apa maksudnya tagihan ratusan juta itu malah menjadi tanggung jawabnya sekarang?

"Gue pikir lu tau Lyn.." Evan menciut karena tau betul Lovelyn pasti meledak berkali-kali lipat saat itu juga.

"Mana gue tau Anj***ing!" Sentak Lovelyn. "Van! Lu temen gue. Kita kenal udah dari lama. Kok bisa lu gini sama gue? Minta kontak Aster! Dia kemana lagi? Malah ngilang?" Lovelyn makin panik sendiri. Lalu tagihan itu, kalau tidak dibayar kira-kira apa yang terjadi? Pikir Lovelyn.

"Bayar aja kali Lyn, Bokap lu kan kaya." Bujuk Evan.

"Van! Sekaya-kayanya bokap gue, kalau tau gue abisin duit ratusan juta dalam semalam, gue mati juga Van! Lu mikir dong!" Lovelyn masih mencak-mencak kebingungan sendiri. Panik, bingung, takut, semua bercampur jadi satu.

Evan pun tidak bisa membantu kalau soal uang sebanyak itu dia pun menyerah. Anak SMA mana memangnya yang punya uang segitu? Tambah lagi, mereka bukan tipe anak yang suka kerja keras dan menghasilkan uang. Evan bahkan hanya menikmati masa mudannya dengan olahraga-olahraga kesukaan yang ia tekuni sejak SMP. Entah itu basket, futsal, yang paling elite tenis. Mana bisa menghasilkan uang dari olahraga-olahraga itu. Yang ada malah ngeluarin banyak uang untuk modal peralatan, outfit, dll.

"Bantu gue kali Van! Lu diem aja ih!" Lovelyn benar-benar kesal.

"Ya bantu gimana Lyn?" Evan juga bingung sendiri. Sejak awal memang tidak ada solusi apapun untuk Lovelyn. Jika Aster sudah bicara tentang pesta untuk seseorang, itu sudah jelas orang yang disebutkan Aster adalah orang yang bertanggung jawab atas segala materi yang mereka butuhkan sepanjang pesta berlangsung. Tanpa tertinggal apapun. Se-Utophia pasti tau soal ini. Dan bodohnya Lovelyn malah datang dengan polosnya dan menikmati pestanya meski hanya dua jam saja.

Lalu apa yang terjadi jika Lovelyn tidak hadir dalam pesta?

Tak ada yang berubah. Aster akan mengirimkan tagihan itu ke rumahnya. Menekan dengan cara apapun supaya orang yang dia tunjuk sebagai pusat perhatian Party membayar semua biayanya.

"Minta kontak si Aster!" Lovelyn kembali mengulangi permintaannya.

"Buat apa?" Evan bodohnya malah bertanya.

"Gue minta dia yang bayar lah!" Ungkap Lovelyn yakin.

"Lu bayar aja deh Lyn.. Gue yakin setelah ini Aster gak bakal gangguin lu lagi. Yakin gue. Lu butuh ijazah Utopia kan? Fokus aja Lyn, fokus." Evan mencoba membujuknya lagi.

"Gue gak punya duit bang***sat!" Bisik Lovelyn sambil mencengkram salah satu bahu Evan dengan gemas.

"Keluarin aja dulu tabungan lu.." Evan kembali mencoba membuat Lovelyn membayar tanpa banyak protes berharap ini cepat selesai. "Lyn, makin cepet selesai makin  aman Lyn. Abis ini gue yakin lu gak akan di ganggu lagi di Utopia. Bahkan gak mungkin ada yang berani sindir-sindir lu lagi. Percaya sama gue." Evan lagi-lagi mencoba meyakinkan.

"Van An***ying! Lu pikir ngeluarin duit segitu gampang? Lu.. Agh.. eihzzz..!! Sini hp lu!" Lovelyn mulai merayap meminta Evan mengeluarkan ponsel bahkan mencoba menggeledah namun tak di gubris. Evan berkali-kali menghindar karena benar-benar enggan membiarkan Lovelyn kembali berurusan dengan Aster.

Lovelyn sudah berusaha maksimal untuk merebutnya namun Evan sama sekali enggan memberi kontak Aster.

"Oke! Mas, bisa kasih saya kontak Aster?" Kenapa susah-susah meminta Evan yang jelas-jelas pegawai resepsionis di depannya pasti tau kan?

"Ah.. Maaf, Mas Aster tidak pernah meninggalkan kontak pribadi di sini Mbak." Jawabnya dengan ramah. Asu! Mana mungkin jika se-sering itu Aster ke sini, tak ada kontak sama sekali? Semua bang**satd di sini. Kayaknya Aster memang sudah meng-set ini dengan sempurna. Dia bahkan tidak memberi celah apapun. Sial**an!

"Sini.. Bentar.." Evan tiba-tiba menarik sedikit tangan Lovelyn hendak membawanya jauh dari meja resepsionis. "Bentar Mas, dia gak akan kabur kok." Evan bahkan sempat memastikan ini pada pegawai resepsionis yang mulai menunjukkan gelagat tak suka. Mungkin karena tagihan itu tak kunjung dibayar?

"Lu ada duit berapa?" Bisik Evan.

"Gak! Gue gak mau ngeluarin uang sepeserpun buat ini. Gila aja lu!" Lovelyn masih kukuh dengan pendiriannya.

"Aih.. Lyn. Kita bisa-bisa masuk penjara gara-gara ini."

"Dih.. Kenapa penjara segala?" Lovelyn panik sendiri mendengarnya.

"Ya dari awal party ini atas nama lu Lyn!"

"Woah.. Parah bet si Aster.." Lovelyn tak henti-hentinya menggeleng tak percaya. Fiks dia sedang di bully sekarang. Dan lagi, bullying apa ini? Kenapa harus kehilangan ratusan juta bangs***t! Lovelyn buntu. Ia bahkan tak pernah punya uang sebanyak itu.

"Gue ada duit Lyn.. Gue tf.. Tapi jangan bilang ini uang gue." Bisik Evan sambil mengeluarkan ponselnya.

"Gila lu! Buat apa kita yang bayar?" Lovelyn masih enggan. Rugi. Beneran rugi kalau gini caranya.

"Ah lama lu!" Evan malah merebut ponsel Lovelyn. Dia bahkan tau kata sandi bank Lovelyn karena memang sudah mengenalnya sejak lama.

Tak hanya Evan..
Lovelyn pun sama sekali tak berubah sebenarnya.

.
.
.
.
.

Lain Lovelyn, lain dengan Aster.

Pagi itu, seperti biasa. Dia sudah duduk di meja makan bersama sang ayah. Rapi dan terlihat gagah dengan seragam Utopia. Selalu. Aster tak memiliki sisi yang bisa di cela sembarangan. Dia sempurna diantara yang sempurna dari segala sisi.

"Semalam sudah beres?" Tanya Erlangga tiba-tiba.

Aster tiba-tiba berhenti memotong steak yang sengaja ia minta khusus pagi itu pada orang dapur tadi. Padahal ia tak ingin membahasnya sekarang. Tapi jika Erlangga sudah bertanya, tak ada alasan untuk Aster menghindar.

"Hm? Gimana?" Erlangga bahkan kembali bertanya saking penasarannya.

"Yah.." Aster menyimpan dinner fork dan dinner knife tak jauh dari plate yang ia gunakan. "Masuk akal gak sih santet?" Aster padahal sudah membahasnya berulang kali. Tapi Erlangga tetap saja memaksanya untuk mengerjakan pekerjaan seperti ini. Kening Aster sedikit berkerut padahal mata itu sebelumnya selalu teduh namun kini menatap Erlangga tajam.

"Apa yang kamu bicarakan dengan Kiyai Zidan semalam?" Erlangga sepertinya melihat jika Aster salah paham terhadapnya sekarang.

"Kliennya minta nyantet orang." Jawab Aster yang kemudian memalingkan wajah saking kesalnya.

"Hahahahaha.." Bukannya ikut marah, Erlangga malah terbahak mendengarnya. "Joe!" Erlangga berteriak memanggil asisten pribadinya yang selalu siaga tak jauh dari mereka.

"Ya Tuan?"

"Kita ketemu Kiyai Zidan sekarang." Putus Erlangga.

"Yah!" Aster menahan.

"Hm?"

"Udah Tomi urus kemarin." Lanjut Aster. "Sekarang dia di rumah sakit."

"Ah.." Erlangga mengangguk paham kemudian kembali duduk. "Pastikan Kiyai Zidan tidak punya akses dengan kita lagi." Ungkap Erlangga dengan tenang.

"Baik Tuan." Jawab Joe yang kemudian bergegas pergi entah kemana.

Aster tak lagi berkata-kata. Dia bangkit lalu bergegas pergi tanpa pamit. Tomi yang masih berjaga-jaga di sana sempat melirik tuannya  Erlangga lalu mengangguk paham ketika mendapat isyarat untuk cepat-cepat mengikuti Aster.

.
.
.
.
.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top