Bab 3
.
.
.
.
.
.
.
.
.
"Anj*** kan, gue kena penalti lagi." Keluh Evan begitu keluar dari ruang guru konseling. Evan bahkan mendapat sebuah amplop putih yang gemas ingin dia robek sebenarnya. Ini kali ke dua Evan mendapatkannya dan pasti akan mendapat semprotan yang lebih parah dari orang tuanya nanti.
Surat fisik seharusnya sudah tidak berfungsi lagi di zaman ini. Tapi jika itu Utopia, sepertinya apapun semau-nya saja. Evan tak mungkin berani merobek surat penalti itu karena ada perjanjian penting di sana. Bahkan jika surat itu tak sampai pada orang tuanya, tentu konsekuensinya akan lebih berat hingga denda sampai jutaan. Ini sudah resiko ketika mereka menyekolahkan anaknya di Utopia.
Lovelyn dan Aster hanya berjalan santai tanpa berkomentar apapun. Setidaknya mereka aman dari sanksi.
"Kenapa cuma gue si?!" Cecar Evan kesal.
"Lu muntahin pot bunga Van.. Kalau bunganya mati, lu pembunuh." Jawab Lovelyn santai. Aster sempat ingin tertawa mendengarnya namun ia tahan.
"Tapi kan dia yang...." Evan sempat menunjuk Aster namun entah mengapa sulit sekali mengatakannya. "Agh..!!" Evan hanya bisa berteriak saking kesalnya.
"Humft.. Emang bener. Di Utopia keadilan sudah hilang." Evan menggerutu sendiri sambil menyesali semuanya. Tak seharusnya dia mengusik Aster memang.
"Intinya gue pinter, lu bahlul.." Celetuk Aster yang kemudian berjalan cepat meninggalkan mereka tanpa rasa bersalah sama sekali. Boro-boro minta maaf, Aster sepertinya mengukuhkan jika dirinya sama sekali tidak bersalah. Bahkan guru konseling pun hanya mendengarkan penjelasannya saja kan tadi?
"Cigh.. Siapa si dia? Songong abis!" Celetuk Lovelyn yang mulai tak suka melihat tingkah Aster.
"Aster Zein!" Jawab Evan selagi menunjuk kemana Aster melangkah tadi. "Ketua OSIS kita, kebanggaan SMA internasional Utopia, murid paling kaya, paling pinter, jago 8 bahasa, khatam segala jenis olahraga, dia yang pegang sekolah ini." Penjelasan singkat Evan membuat Lovelyn hanya menyunggingkan senyuman tipis.
"Cigh.. Mana ada si orang yang sempurna kayak begitu. Dia pasti punya kelemahan juga." Lovelyn gatal. Ketika mendengar ada seseorang yang begitu sempurna seperti itu, bukankah fitrahnya manusia itu iri dengki? Ya kan? Lagipula mana ada di dunia ini, orang yang sempurna macam itu?
"Jangan main-main sama dia Lyn. Tar kayak gue." Evan mengibaskan surat peringatan itu lagi di depan wajah Lovelyn.
"Ya itu mah elu yang salah kali Van. Kalau Aster yang muntah keknya dia juga bakal kena juga. Guru BK kita pecinta lingkungan kali ya?" Lovelyn malah mendukung keputusan guru BK tadi dan masih menebak-nebak situasi di Utopia. Namun sebenarnya dia belum bisa menyimpulkan apapun.
"Ey, jangan salah. Aster itu kebal hukum di sini. Dia bahkan pernah mukulin kelas bawah sampai tulang lehernya patah, tapi beneran lolos dari segala hukuman."
"Cigh.. Masa si? Tapi kayaknya dia gak se-sadis itu." Lovelyn memincing ragu dan mulai memikirkan tentang sikapnya tadi pada Aster. Apa mungkin akan menjadi masalah panjang nanti?
"Iya! Dia juga pernah ceburin cewek yang nembak dia ke kolam ikan, bahkan di depan guru olahraga." Tambah Evan lagi. "Tapi tebak apa yang terjadi?" Evan menjeda lalu melanjutkan setelah Lovelyn menggeleng. "Yang dikeluarin malah si cewek yang kejebur itu!"
"Se-parah itu?" Lovelyn mulai bergidik dan mempertanyakan. Sepertinya memang ada yang salah dengan sistem di sekolah ini.
"Iya!" Evan menjawab dengan yakin.
"Kalian gak ngobrol sama guru konseling gitu?" Lovelyn berusaha mencari jawaban masuk akal dibalik cerita Evan.
"Apa gunanya ngobrol sama mereka Lyn.. Yang ada semua di DO kalau ada konflik sama Aster. Kalau di total, ada kali tujuh orang yang keluar gara-gara bermasalah sama dia." Evan menghitung-hitung jumlahnya.
"Iew.. Gue keknya harus mulai menghindar dari dia." Lovelyn mulai menyimpulkan pada akhirnya. Tapi ini bukan apa-apa. Dia pun masih belum sepenuhnya menentukan sikap sebenarnya. Namun untuk prioritas utama, tetap menyelesaikan pendidikannya dan mendapat ijazah Utopia lalu menyusul kembali pacarnya di Turki sana. Gara-gara pindah ke sini, Lovelyn harus berpisah sementara dengannya.
Ya. Ini yang benar. Tujuan utamanya adalah menyelesaikan pendidikan dengan sebaik-baiknya. Lovelyn yakin Ayaz sedang menunggunya di Ankara.
"Eh? Iya. Kok bisa masuk sini? Lu beneran pindah ke sini?" Evan sampai lupa menanyakan ini.
"Iya.. Ayah pindah tugas ke sini." Jawab Lovelyn.
"Wuuu.. Aseek dong. Kita bisa bareng-bareng lagi kayak SD dulu. Bisa-bisanya lu gak bilang-bilang mau pindah ke sini.." Ujar Evan bersemangat sambil menyenggol genit.
"Dih. Ngapain bilang sama lu? Yang ada Gue cuma jadi bodyguard lu doang.." Lovelyn bergidik kemudian berjalan cepat-cepat berusaha meninggalkan teman kecilnya itu.
"Gak lah Lyn.. Sekarang gue yang jadi bodyguard lu. Gue bakal lindungin lu mulai sekarang." Evan menyusul dan terlihat sungguh-sungguh. Tapi mana bisa dipercaya? Perawakan tubuh kering begitu sesumbar jadi bodyguard? Tinggi doang mah cuma bisa jadi tameng matahari pas upacara. Lovelyn kembali menggeleng dengan tatapan remeh. Evan sepertinya gak berubah dari dulu. Gumam Lovelyn.
"Ngelindungin apaan? Si Aster nyemprot gue aja lu malah sembunyi di belakang gue! Amesia lu?!" Cecar Lovelyn.
"Engga.." Evan hendak mencari-cari alasan namun Lovelyn langsung memotong.
"Apa lu?!"
"Eh.. Gue gak bawa baju ganti Lyn. Kan berabe kalau basah kuyup. Lu mah kan udah dapet seragam baru. Jadi aman kalau basah kuyup juga ada ganti." Alasan Evan benar-benar nyebelin.
"Kocak lu!" Entah kali keberapa Lovelyn menggeleng berusaha memaklumi tingkah Evan yang selalu sama sejak dulu.
Padahal..
Olyn sempat suka dulu..
Eh?
.
.
.
.
.
.
.
Aster sudah duduk di bangkunya menunggu guru datang. Masih ada lima menit sebelum kelas di mulai. Malu-maluin namanya jika para pengajar di sana datang terlambat. Biasanya memang selalu tepat waktu. Akan terjadi huru-hara besar di rapat POMG nanti jika sekali saja guru datang terlambat. Para orang tua itu akan protes besar-besaran. Mungkin ini akibat dari besarnya biaya yang sekolah patok. Manusia mana yang mau rugi? Semua selalu ingin diuntungkan dalam segi manapun.
Seorang guru wanita datang tepat waktu bersama Lovelyn yang juga berjalan di belakangnya. Dia kini sudah berganti menggunakan pakaian olahraga. Sama halnya dengan Evan dan yang sempat tersemprot selang Aster tadi kini sudah sama-sama berganti pakaian. Entah pakai baju siapa dia.
"Uuuu... Murid baru nih.." Celetuk Evan padahal dia sudah tau sejak awal. Tingkahnya selalu bikin pengen nyentil memang.
"Silahkan. Perkenalkan diri." Titah guru cantik itu mempersilahkan Lovelyn bicara.
"Saya Lovelyn. Lovelyn Jovanka. Pindahan dari Ankara. Turki. Dari British north school."
"Uuuuu.. Orang Timur bro.. Kok malah sekolah di sini?" Didit ikut berkomentar.
"Bokap pindah ke sini." Jawab Lovelyn tetap ramah dan membuat beberapa diantara mereka mengangguk paham. Sepertinya akan mudah berbaur jika sudah seperti ini kan?
"Oi bule Turki! Bokap lu dagang kebab gak si?" Tanya seorang cewek yang terlihat sedang membuat lelucon hingga membuat beberapa yang lain tertawa.
Apa tidak se-mudah yang Lovelyn bayangkan?
"Sudah sudah! Cari tempat duduk!" Titah guru cantik itu. Lovelyn enggan menanggapi candaan tak berdasar itu. Apa tadi? Mudah berbaur? Kayaknya lagi-lagi harus di ralat. Bercandanya gak lucu. Gumam Lovelyn dalam hati.
"Temen-temen, bentar." Aster menjeda. Padahal Lovelyn belum sempat melangkah untuk mencari meja kosong di belakang sana. Mendengar suara itu tiba-tiba, membuat napas Lovelyn seketika terhenti. Gilak sih, gak tau kenapa tiap kali liat dia bikin merinding. Pikir Lovelyn.
Deg!
Mungkin ini akibat dari mendengar kabar dari Evan tentang gilanya kelakuan Aster. Informasi dari Evan sepertinya membuat Lovelyn lebih waspada dari sebelumnya. Ya. Debaran itu hanya karena Lovelyn waspada. Catat!
"Berhubung ada anak baru, harusnya ada party gak sih?" Ujar Aster yang langsung disambut meriah oleh semua siswa di sana.
"Oke! Siap! Party mamen!!" Didit paling bersemangat begitupun dengan yang lain. Kecuali Evan. Guru yang ada di depan hanya menggeleng pelan kemudian bergegas melenggang ke arah mejanya di depan sana. Dan kenapa hanya satu kalimat itu saja membuat seisi kelas menggila?
Ricuh banget, kayak demo mahasiswa. Lovelyn pertama kali melihat keadaan ini. Dan kok bisa, guru itu tak menegur sama sekali? Ah.. sudahlah.. Lovelyn hanya bisa ikut cengar-cengir gak jelas lalu mencari duduk.
Evan memandangi Lovelyn dengan khawatir sebenarnya. Namun dia sama sekali tidak memperhatikan.
.
.
.
.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top