Bab 27
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Aster keluar dari dalam mobil pagi itu. Bayu dan Gio sudah menunggu di depan gerbang. Mendadak Tomi tiba-tiba ikut turun juga.
"Lah? Kenapa turun?" Tanya Aster heran. Tomi malah memanggil sekuriti lalu memberikan kunci mobil padanya.
"Tolong parkirin.." Ujarnya pada sekuriti Utopia yang terlihat sedikit lambat memproses perintah itu.
"Ah.. Ya Pak.." Jawabnya setelah mulai paham.
"Tom?" Aster kembali meminta jawaban atas pertanyaan tadi.
"Bapak minta saya jaga Mas.." Jawab Tomi tanpa peduli Aster suka atau tidak. Masih dengan wajah datar yang selalu terkesan dingin itu. Gio dan Bayu pun ikut heran melihat tingkah Tomi yang memang lain dari biasanya. Tapi mereka paham. Ini cara Tomi mengungkapkan jika dia juga menyayangi Aster.
"Serius harus gini?" Tanya Aster.
"Ya Mas.." Jawab Tomi yakin. Ini pasti tentang kemarin. Tomi sepertinya masih khawatir.
"Ada gue sama Gio Tom. Tenang aja." Bayu paham tentu saja. Mereka pun merasakan hal yang sama. Karena ini Bayu datang lebih pagi dari biasanya dan menunggu Aster di depan gerbang. "Udah gak papa kan?" Tanya Bayu melanjutkan.
"Gak.." Jawab Aster yakin.
"Kita cabut ke rumah Bayu aja yuk Ter!" Ajak Gio.
"Ogah.." Ujar Aster yang kemudian melangkah yakin masuk kedalam gerbang tinggi milik sekolah elite Utopia dan pencarian pun di mulai.
Aster beberapa kali celingak-celinguk seperti sedang mencari seseorang.
Kira-kira Aster cari siapa?
"Lu cari si Lovelyn?" Tanya Gio melihat gerak-gerik mencurigakan Aster begitu masuk ke gedung Utopia.
"Kagak.. Gila aja lu." Elak Aster. "Eh.." Aster hendak melambai ketika orang yang dia cari tiba-tiba terlihat. Namun lambaian itu ia urungkan kembali. Hey! Ingat? Barusan dia mengelak pada Gio. Belum ada semenit bahkan.
"Olyn! Lovelyn!" Gio malah berteriak heboh memanggil nama itu untuk membantu Aster yang masih juga jaim-jaim segala.
"Hehz.. Diem lu!" Aster sempat mencegah namun melihat Gio bersemangat menghampiri Lovelyn membuat Aster tak bisa lagi menghentikannya. Mereka menghampiri Lovelyn yang terlihat menunggu Gio dan semuanya mendekat.
Tapi..
Ada apa dengan cahaya emas itu? Kenapa lagi-lagi meredup? Ada yang salah kah? Dan lagi, kenapa dia terlihat marah? Ada masalah apa memangnya? Pikir Aster.
"Gue mau ngomong." Ungkapnya yang lalu berjalan menuju arah kolam renang. Persis seperti waktu itu, dan dengan wajah seperti itu juga. Bedanya, cahaya emas itu hampir hilang meski sesekali timbul samar-samar. Aster mengikuti dari belakang. Semua teman-temannya tak berani ikut. Bahkan Tomi yang hendak menyusul pun ditahan Gio. Gak usah ganggu kan?
Lovelyn berjalan diikuti Aster yang masih penasaran tentang perubahan sikap Lovelyn kala itu. Kalau diingat-ingat, bukankah terakhir bertemu mereka baik-baik saja? Apa yang salah kali ini? Aster sekilas ingat tentang perubahan cahaya emas itu ketika di FT hall. Pembahasannya selalu tentang Evan. Apa kali ini juga sama? Pikir Aster.
"Evan hubungin gue." Ungkap Lovelyn setelah menoleh dengan tatapan asing. Aster benar. Ternyata cahayanya meredup karena ini. Ketika Lovelyn membahas soal Evan, cahaya emas yang ia lihat pasti meredup.
"Evan di tangkap. Kenapa bisa hubungin lo?" Tanya Aster. Ah.. Padahal kejadian semalam selepas pulang dari padepokan masih berbekas. Tubuh Aster belum pulih sepenuhnya. Memaksa ke sekolah sebenarnya ingin melihat cahaya Lovelyn yang mulai nyaman itu. Namun kini malah meredup hanya karena dalam otak Lovelyn kini hanya ada Evan dan Evan saja.
"Dia telpon gue lama. Ternyata lu yang laporin dia Ter?" Lovelyn terlihat kesal. Melihat raut itu, entah mengapa membuat Aster sesak. Ada rasa tak nyaman yang membuatnya hampir meledak karena marah. Aster masih belum tau apa yang sedang ia rasakan ini.
"Dia butuh rehabilitasi.." Jawab Aster tenang kemudian duduk di sebuah bangku panjang. Kali ini jauh dari bibir kolam. Gak lucu kalau harus cebur-ceburan lagi.
"Gak gitu caranya Ter!" Lovelyn masih termakan omongan Evan sepertinya. Aster tak berniat membela diri atau mungkin hanya sekedar menjelaskan kenapa dia melakukan itu. Sejak lama, dia memang berniat melaporkan Evan karena sudah terlalu addict. "Dia juga lagi sakit!" Lovelyn tak ikut duduk namun masih menekan dengan suaranya dan tatapan yang masih juga asing. Sebenarnya Aster sedikit kecewa karena ini artinya Lovelyn tak berada di pihaknya.
"Sakit apa?" Tanya Aster heran. Setahunya, Evann tak memiliki riwayat penyakit apapun.
"Gue sempet liat dia suntik insulin di gudang belakang." Jawab Lovelyn terlihat yakin. Aster sontak terkekeh.
"Insulin apa Lyn? Itu nark**oba! Masa lu gak bisa bedain sih?" Aster tak percaya orang se-cerdas Lovelyn bisa dibodohi juga.
"Insulin! Gue yakin itu insulin." Lovelyn kekeh. Evan bilang gitu kan? Lagian semalam dia bahkan sampai nangis-nangis ketika berbicara dengannya di telepon. Tapi, insulin kan? Lovelyn mulai meragukan keyakinannya sendiri. Setelah melihat wajah Aster, ekspresinya, mendengar jawabannya, semua tiba-tiba berubah. Padahal semalam yakin banget mau labrak Aster soal ini. Gak tau kenapa, apa mungkin ini efek dari terlalu sering bicara sama dia?
Meski Lovelyn mencari tau, dia masih belum bisa menyimpulkan apapun. Hatinya masih terombang ambing tanpa kejelasan.
"Narko***tika Lovelyn.." Ujar Aster lembut.
Deg!
Suara Aster ketika memanggil nama Lovelyn entah mengapa membuatnya berdebar. Bersamaan dengan itu, cahaya emas perlahan kembali hingga pupil mata Aster membesar tiba-tiba.
"Terus soal Angga? Gimana?" Lovelyn kembali mempertanyakan apa yang ia dengar dari Evan semalam. Dia terdengar frustasi dan sepertinya sangat menderita gara-gara Aster selama ini.
"Angga siapa?" Aster mengeritkan kening saking herannya. Dia tidak pernah mendengar nama itu sejauh ini. Atau lupa? Entahlah. Nama itu tak pernah ada di sekitarnya selama ini.
"Angga. Dia bunuh diri gara-gara lu kan?" Desaknya lagi.
Sumpah. Biasanya Aster tak peduli orang lain menganggapnya seperti apa. Tapi kali ini Lovelyn? Ayolah! Padahal Aster merasa sudah dekat dengannya sebelum ini. Tapi kenapa kembali berasa sangat asing sekarang? Bahkan ada rasa tak nyaman bercampur marah ketika Lovelyn ternyata lebih percaya Evan dibanding mempertanyakan dulu dengan bahasa yang baik. Perlukah sampai se-marah ini? Dan dengan ekspresi seperti itu?
"Bunuh diri apa sih? Siapa yang bunuh diri?" Aster malah makin kesal namun marahnya tertahan sesuatu. Dia tak bisa mengungkapnya keras-keras karena takut malah menyakiti Lovelyn nantinya.
"Angga!! Temen gue." Lovelyn makin keras. "Evan bilang lu bully dia. Narik motornya sampai hancur, ambil baju-bajunya dia. Bakar alat-alat sekolahnya, sampai dia frustasi dan bunuh diri. Kelakuan lu kriminal Ter. Harusnya lu yang dipenjara sekarang." Aster melihat cahaya emas yang hilang timbul itu kini padam seluruhnya. Tuduhan Lovelyn harusnya dia bantah dengan segala cara sekarang. Tapi akankah jadi percuma nantinya? Jika dia tak ingin percaya, ngapain juga bela diri?
"Terserah lu lah.." Aster bangkit dan enggan lagi berdebat. Tuduhan tak berdasar itu menyakiti Aster sebenarnya. Tapi makin sakit jika memberi penjelasan hanya karena dia tak percaya. Mengemis bukan passion Aster. Apalagi hanya untuk sebuah kepercayaan yang selalu hilang timbul tanpa kejelasan.
"Ter! Bantu Evan keluar dari sana!" Pinta Lovelyn terdengar tulus.
Jadi, yang jahat siapa sekarang?
Entah ini bisa disebut cinta atau bukan. Yang jelas, Aster belum terjerumus terlalu dalam kan? Meski rasa kecewanya menorehkan luka yang mungkin akan berbekas nanti.
Aster~
.
.
.
.
.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top