Bab 24
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
"Heh! Lu temen Evan kan? Bisa-bisanya malah santai kayak gini sekarang?"
Padahal siang itu Lovelyn berencana kembali mencari tempat sepi untuk istirahat. Tapi geng Yuri tiba-tiba datang bergerombol mengelilingi bangku Lovelyn. Aster dan teman-temannya sempat melihat sebenarnya tapi memilih untuk memperhatikan terlebih dahulu sebelum beranjak ke tempat istirahat mereka seperti biasa. Gio dan Bayu tau betul Aster pasti penasaran. Tak ada satupun dari mereka yang mengajak Aster pergi.
"Kalaupun dia harus make nark**oba kenapa musti ketahuan si? Kok lu gak bisa belain gitu?" Yuri bahkan menggebrak meja dengan tatapan marah.
"Apa urusannya sama lu si?" Serius nanya. Lovelyn pun heran melihat reaksi Yuri seperti itu.
"Gue ceweknya Evan sayang. Semua orang di Utopia tau. Kenapa lu selalu deket sama dia bahkan setelah lu dateng, dia malah di tangkap kayak gini? Lu sengaja laporin dia kan?"
Oh? Masuk akal kah? Lovelyn melihat ekspresi semua orang yang menatapnya sekarang. Termasuk beberapa orang yang kini melihat kumpulan mereka dan enggan ikut campur. Evan gak pernah bilang kalau dia pacaran sama Yuri selama ini.
"Lu liat aja yah! Selama Evan belum keluar, lu abis sama gue!" Ancam Yuri yang kemudian meminta temannya membawa Lovelyn bersama mereka.
"Kemana si?" Lovelyn tentu berontak. Tak semudah itu menindas seorang Lovelyn kan? Yuri siapa sih sebenernya? Songong banget perasaan. Bukannya kemarin dia marah karena Lovelyn berhubungan sama Aster? Kenapa sama Evan pun dia marah? Pikir Lovelyn.
"Ikut gue gak? Kemarin lu naik mobil Evan, bahkan pakai jaketnya dia. Menurut Lo normal kalau gue diem aja?" Ungkap Yuri lagi-lagi dengan tatapan menusuk. Terus dia tau darimana? Bukankah yang datang ke gedung FT itu laki-laki semua? Lovelyn satu-satunya cewek malam itu. Kenapa gosip cepet banget nyebar perasaan.
"Evan temen gue doang. Kita temenan udah lama kok. Lu bisa tanya sendiri sama dia." Lovelyn berusaha menjelaskan seadanya.
"Kalau lu gak kecentilan gue gak bakal begini Lyn.." Yuri kembali meminta mereka menariknya paksa.
"Ri.."
Deg!
Aster mulai bereaksi. Bangkit dan melangkah dengan tenang mendekati mereka. Gio dan Bayu terlihat puas melihatnya dan malah cengar-cengir di belakang. Sejak tadi mereka terus meminta Aster untuk membantu sebenarnya.
Melihat Aster berjalan ke arah mereka semua orang terdiam. Tegang banget perasaan, pikir Lovelyn. Bahkan Yuri pun terlihat takut sekarang. Ah.. Bukan hanya Lovelyn ternyata yang termakan kabar burung tentang Aster. Sepertinya semua orang memang beranggapan Aster adalah seorang yang memiliki pengaruh besar terhadap Utopia dan harus dihindari. Terlihat jelas dari reaksi mereka sekarang.
"Lovelyn cewek gua. Lu gak tau?" Ungkap Aster tenang.
Deg!
Si-any**ing!
Semua orang tercengang. Bahkan Yuri pun hanya bisa mematung tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
"Apaan lu?!" Lovelyn terlihat tak terima. Meski begitu, wajahnya mulai memerah dan debaran jantung yang benar-benar ribut. Apalagi, semua orang terlihat mulai memandanginya dengan tatapan aneh.
"Iya kan? Gue sama Lo.." Aster hendak menjelaskan lebih banyak namun Lovelyn memotong.
"Gak! Diem gak lu!" Tunjuk Lovelyn setengah mengancam kemudian pergi setelah mendorong Aster menjauh.
Mereka masih terlihat gagu melihat Aster sepertinya di tolak mentah-mentah. Aster malu?
Ya. Sangat!
"Bubar gak?!" Aster melotot kepada semua orang untuk menyembunyikan rasa malunya.
Sreeettt Brakkkk..
Sebuah meja tuntas di banting hingga terbalik sebelum ia pergi meninggalkan kelas. Gak tau kenapa, melihat dan mengingat kembali reaksi dan ucapan Lovelyn membuat Aster marah. Padahal tadi dia hanya ingin membantunya saja. Ia merasa usahanya tak ada satupun dihargai.
Aster berjalan angkuh sepanjang koridor, dingin bahkan terkesan enggan dihalangi siapapun. Ingatannya kembali meracau ketika mengirim pesan pada Tomi malam itu untuk segera menjemput Lovelyn di FT hall. Dia bahkan gak bilang makasih dan sekarang melihatnya sebenci itu? Pikir Aster yang makin terganggu dengan sikap Lovelyn. Bahkan tadi pun dia terlihat malu ketika hendak dibantu kabur dari Yuri. Gila sih. Se-malu itu memang pacaran dengannya?
"Ter!" Gio sempat memanggil hendak pamit untuk sekedar ke kantin membeli beberapa makanan. Tapi tak ada jawaban sama sekali. Aster terus melangkah tanpa peduli apapun. Mereka pun kebingungan dan akhirnya dibiarkan saja lalu berbelok tanpa Aster. Dia berjalan sendirian ke ruangan khusus miliknya.
Ah.. Sudahlah.. Lupakan Lovelyn. Rapalnya dalam hati.
Beberapa langkah lagi sampai di ruangan itu. Aster mulai melihat ruangan piano di depan sana. Begitu sepi hingga dalam hati, Aster berniat untuk memanggil guru saja supaya tidak kembali ke kelas lagi?
Gak! Bukan malu tentang penolakan itu. Males aja kalau harus ketemu Lovelyn lagi. Gumam Aster dalam hati berusaha mengobati rasa kecewanya.
"Yo.. Tar.." Aster berhenti lalu menoleh hendak meminta Gio melakukan sesuatu. Namun tentu tak ada siapapun disana. "Lah?" Sejak kapan dia berjalan sendiri? Aster pun baru menyadari.
Akhirnya dia kembali melangkah menuju ruangan itu lagi. Kemana mereka?
Aster membuka pintu namun ternyata sudah ada seseorang di dalam. Dia berdiri tak jauh dari sofa dan menatapnya penuh rasa bersalah.
Sempat diam beberapa saat dan menatap lurus tanpa ekspresi, kemudian ia tutup rapat-rapat pintu itu lalu menghampirinya dan duduk di sofa. Masih dengan wajah yang ditekuk enggan beramah tamah.
"Semalam.. Thanks udah panggil Tomi buat jemput gue." Ya. Lovelyn bergegas ke ruangan itu setelah berbicara dengan Aster tadi. Melihat Aster hanya duduk dengan tatapan dingin, membuatnya makin merasa kikuk. Biar bagaimanapun, dia tau sikap Aster tadi pasti hanya ingin membantunya saja setelah dipikir berulang-ulang.
Lovelyn ikut duduk di sana karena tak kunjung mendapat jawaban.
"Barusan juga. Thanks udah bantu gue kabur dari Yuri.." Ungkap Lovelyn berbeda jauh dengan tatapan tajamnya tadi.
"Tadi lu jijik banget sama gue." Sindir Aster. Sekilas, cahaya emas Lovelyn ternyata kembali berbinar. Terang dan indah. Aster mulai terbiasa sekarang. Inilah Lovelyn. Bercahaya dan cantik. Eh?
"Enggak.." Elak Lovelyn.
"Iya." Aster tak mau kalah.
"Gue takutnya mereka mikir macem-macem.." Lovelyn berusaha menjelaskan.
"Ya memang niatnya gitu kan? Gue juga gak bohong soal itu." Ungkap Aster tiba-tiba membuat suasana menjadi canggung. Debaran ribut itu kembali berisik dan mengganggu. Lovelyn hampir tak tahan. Apa ini ungkapan cinta? "Kita emang dijodohin kan? Udah makan malem juga waktu itu. Gue bisa apa kalau udah gini." Ungkapnya terdengar seperti ketidakberdayaan yang tidak bisa di ubah. Lovelyn mulai tersinggung.
"Oke. Thanks udah bantu gue. Tapi buat perjodohan itu, kayaknya semua ada di tangan kita kan? Kenapa lu bilang bisa apa? Lu bisa nolak." Ungkap Lovelyn.
"Cgh.. Mana bisa." Kekeh Aster.
"Lu terima gitu aja?" Lovelyn memastikan.
"Ya.." Aster terlihat kehilangan kata-kata. "Udah gini juga. Gak bisa apa-apa gue." Lanjutnya hingga meyakinkan Lovelyn jika semua ucapan itu jelas bukan ungkapan cinta. Aster hanya takut oleh Ayahnya. Mungkin selama ini memang selalu di setir seperti itu. Lovelyn curiga bahkan kemungkinan besar dia tak pernah mengambil keputusan sendiri.
"Lu tau gak sih? Di Utopia, lu itu katanya tukang bully. Ada banyak orang yang bermasalah sama lu dan akhirnya keluar dari sini. Lu tau ini?" Lovelyn makin ingin tau lebih dalam lagi sambil ia telan pikiran-pikiran tentang Aster yang mulai suka padanya. Gak mungkin! Dia gak mungkin mikir sampai sana kan?
"Gak peduli gue." Aster terlihat tak terganggu dan sama sekali tidak terkejut. Masih tenang seperti biasa dengan wajah meresahkan itu. Sayang, ternyata dia gak punya perasaan istimewa padanya. Pikir Lovelyn.
"Gue aduin Om Erlangga boleh?"
"Jangan! Gila lu!" Aster langsung berubah ketika nama Ayahnya disebut-sebut. Sebegitu tertekankah sampai-sampai dia terlihat tak seperti orang normal?
"Takut banget lu sama Bokap?" Tanya Lovelyn setengah menggoda. Meski begitu, rasa iba kembali menyeruak. Ini yang katanya seorang angkuh yang punya kekuasaan penuh di Utopia? Nyatanya Aster hanya seorang anak kecil yang takut sama Ayahnya. Gumam Lovelyn.
"Gak. Biasa aja." Jawaban Aster membuat Lovelyn sedikit menyunggingkan senyuman tipis.
Perlahan keduanya mulai terlihat nyaman satu sama lain. Lovelyn mulai mengenal Aster sedikit demi sedikit begitupun sebaliknya.
Apa ini tidak apa-apa? Bolehkah mencari tau lebih tentang dia? Atau memang harus memberi batasan yang jelas biar pasti?
Tapi rasanya gak rela kalau harus melewatkan setiap detil perubahan wajahnya ketika bicara. Dan rasanya juga selalu penasaran ketika melihat sikap dia yang tiba-tiba berubah tanpa pemberitahuan.
Perasaan apa ini namanya?
Mengganggu sih iya. Tapi entah mengapa bikin kecanduan.
Lovelyn ~
.
.
.
.
.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top