Bab 13
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
"Hari Rabu malam kita ke rumah Om Anthony. Sekalian lihat di rumahnya ada apa. Katanya dia baru pindah lagi ke tempat itu dan ada banyak hal aneh setiap malam. Kita juga bakal makan malam dan bertemu dengan putrinya."
Pembicaraan Erlangga pagi itu masih terngiang-ngiang di telinga bahkan setelah Aster kini menapakkan kaki di sepanjang jalan menuju kelasnya. Tak ada penolakan apapun atau mungkin sekedar protes meski Erlangga masih saja memutuskan sesuatu tanpa pertimbangan darinya dulu. Lagi-lagi, ini disebabkan karena Aster enggan berkonflik dengan sang Ayah.
Ingatan Aster akan selalu terpatri jelas ketika dia berselisih pendapat dengan ayahnya ketika masih SMP dulu. Erlangga akan mengungkit tentang kematian sang ibu yang seluruhnya ia limpahkan pada Aster, bahkan meminta Aster berdiam diri di kamarnya selama berminggu-minggu. Gak! Erlangga gak salah. Caranya menghukum Aster juga yg tidak terlalu parah seperti apa yang kalian pikirkan. Justru Aster lah yang memang bersalah karena menentang apa yang Erlangga mau. Bukankah semua itu hanya untuk kebaikan Aster? Ini yang selalu Aster jadikan pegangan dalam hidupnya.
Semua pemikiran itu tertanam semakin dalam di benak Aster meski hatinya berkata lain, namun Aster menguburnya rapat. Dia tak membiarkannya mencuat ke permukaan. Pantang!
Sudahlah. Pemikirannya tak terlalu penting. Dia diberkahi kekuatan seperti ini memangnya untuk apa? Kekuatan ini adalah kelebihan yang Tuhan beri untuk membantu orang lain. Bahkan kekuatan ini adalah jalan baginya untuk dapat menghapuskan kutukan kehidupan yang Tuhan beri padanya. Bak mantra yang selalu Aster ulang-ulang, kalimat itu kembali ia rapalkan dalam hati.
Gak usah terlalu baper!
Brukkk..
Sibuk dengan pemikirannya sendiri, Aster tiba-tiba menubruk seseorang. Dia tertegun ketika melihat siapa yang kini terjatuh dengan ceceran buku dimana-mana.
Ya.
Lovelyn.
Takdir mempermainkan mereka padahal keduanya enggan berurusan satu sama lain.
Aster tak bergerak sama sekali dan hanya memandangi Lovelyn yang kini sibuk membenahi buku-buku itu.
Hindari dia. Ini yang benar.
Aster menginjak buku yang Lovelyn bawa kemudian pergi meninggalkannya tanpa membantu sama sekali. Beberapa orang yang melihatnya malah menertawakan dengan sinis.
Tak percaya dengan perlakuan itu, Lovelyn merasa sedang dikhianati. Padahal kemarin dia sempat menyangkal dalam hati, apa yang Evan tuduhkan padanya. Jika sikapnya kayak gini, jelas semua tuduhan itu benar adanya.
"Heh! Nangis kan Lo?" Beberapa orang mendekatinya bukan untuk membantu malah makin mencibir dengan ketus. "Makannya jangan songong! Anak baru sok-sok-an berurusan sama Aster." Cewek lainnya menimpali. "Iya. Lu tau kan pas dia tiba-tiba seret Aster ke kolam renang? Berasa paling istimewa gak sih dia?" Ungkap yang lain lagi. Padahal semua buku itu masih belum beres ia rapikan kembali.
Lagian kenapa juga Bu Leyli makin gila-gilaan nyuruh Lovelyn kesana kemari, bawa ini, bawa itu, semenjak pertemuannya di ruangan khusus itu? Mereka semua ada gak sih yang normal? Kenapa Lovelyn tidak bisa paham dengan jalan pikiran mereka?
"Iya.. Songong lu!" Cewek tadi masih mengganggu Lovelyn bahkan kembali membuyarkan tumpukan buku itu lagi hingga kembali berceceran.
"Arrrrgghhh!!" Saking kesalnya, Lovelyn malah berteriak. Ia melempar sembarangan semua buku itu ke arah mereka. Please, gue cuma butuh lulus dari sini dan cari Ayaz lagi! Jerit Lovelyn dalam hati meski tak bisa berkata-kata setelahnya.
Semua orang memandangi heran. Tak ada yang takut dengan amukan itu. Mereka hanya tertegun dengan sorot penuh kebencian. Lovelyn kembali mengumpulkan buku yang ia lempar, dan membawanya asal.
Leyli sialan! Utopia bang**ke! Kenapa mereka semua terkesan men-dewakan Aster? Apa memang se-istimewa itu hingga harus memperlakukannya kayak barang antik?
Dan Bu Leyli juga? Paling tidak kasih alasan kenapa dia juga ikut membencinya? Lovelyn hanya bisa menggerutu dalam hati sambil terus berjalan menuju kantor guru.
.
.
.
.
.
.
.
Lovelyn lagi-lagi sendiri di jam istirahat.
Kantin?
Gak! Itu bukan tempat yang bagus meski perut sudah keroncongan. Biarlah, itung-itung diet.
Lovelyn lebih memilih untuk jalan-jalan menyusuri tempat-tempat sepi di Utopia. Paling tidak sekarang dia sudah tau, tempat mana yang boleh dan tidak boleh di datangi.
Melihat bangku panjang kosong di ujung gedung Utopia, Lovelyn duduk di sana sambil kembali melihat history chat dari Ayaz. Tak ada yang lain karena sejak datang ke sini, dia tidak pernah mendapatkan kabar apapun dari sang kekasih. Miris gak sih kalau tiba-tiba dapat kabar Ayaz malah punya pacar baru?
Ah.. Tapi gak mungkin. Dia good boy, soft boy, dan sebutan-sebutan lain untuk pria idaman pasti melekat pada sosok Ayaz. Lovelyn bahkan mau berpacaran dengannya karena ini kan? Dia selalu menghargai Lovelyn dengan caranya yang sempurna. Meski awalnya tak cinta, tapi lama-lama Lovelyn bucin juga.
Jika ketika pindah ke Turki, dia harus dengan terpaksa melupakan perasaannya yang bahkan belum sama sekali ia ungkap pada Evan, pulang dari Turki justru dia sebenarnya sedang bucin-bucinnya. Segampang itukah cintanya kandas? Selalu soal jarak yang memisahkan. Terlalu klise.
Hah..
Kayaknya memang harus cepat-cepat cari uang dan susul Ayaz ke sana. Gumam Lovelyn dalam hati.
Eh..?
Itu apa?
Ada uap yang keluar dari sebuah jendela bangunan tua. Sepertinya bekas kelas? Atau gudang? Lovelyn mulai curiga. Jangan-jangan kebakaran?
Tapi,
"Van?" Ternyata itu Evan.
Deg!
Dia tengah duduk di lantai kotor itu, dan menghisap rokok elektrik juga beberapa alat-alat mencurigakan yang langsung ia singkirkan.
"Apa itu?" Lovelyn enggan membiarkan ini dan menyibak kaki Evan hingga melihat alat-alat itu dengan jelas.
Ada beberapa jarum suntik bekas dan cairan-cairan yang entah apa namanya.
"Astagaa.. Lu make Van?"
"Ini.. Insulin Lyn.." Ungkap Evan sambil terkekeh kecil.
Tak langsung percaya, Lovelyn kembali mengambil suntikan itu, bekas cairan itu, bahkan beberapa kertas yang benar-benar tak ada keterangan apapun di sana. Bod**oh memang. Kenapa juga buta banget soal medis? Pikirnya.
"Jangan mikir kejauhan! Otak lu gak nyampe!" Ungkap Evan kemudian mencoba bangkit meski harus tertatih.
"Insulin itu apa?" Tanya Lovelyn benar-benar buntu soal ini.
"Obat diabetes. Lo gak tau?" Evan kembali terkekeh sepertinya tau betul jika Lovelyn tidak paham soal ini.
"Terus kalau lu sakit kenapa ngerokok segala?!" Lovelyn sempat memukul pelan tangan Evan terlihat kesal.
"Ini?.." Tanya Evan menunjukkan Vape yang ia hidup tadi. "Manis.. Gue butuh yang manis-manis.." Jawabnya kemudian keluar dari gudang bekas itu lalu menghirup dalam-dalam udara bebas di sana.
Bahkan Evan yang tadinya ia pikir masih belum berubah, bisa sangat jauh di luar dugaannya. Lovelyn yang terlalu banyak melewatkan berbagai hal, atau memang tempat ini kutukan?
"Olyn! Lu inget gak, jalan yang selalu kita lewatin pas pulang sekolah di SD dulu?" Tanya Evan yang kemudian duduk di bangku panjang tadi.
"Kenapa?" Tanya Lovelyn. Ya. Mungkin ada banyak hal yang berubah dari Evan, tapi cara dia memanggil namanya masih sama.
"Mirip di sini kan?" Evan menunjukkan jejeran pohon pinus di sisi kanan dan kiri jalanan beraspal itu yang benar-benar baru lovelyn sadari saat itu.
"Lyn.." Evan kembali berubah muram meski tadi tersenyum lebar.
Lovelyn masih memperhatikannya. Berdiri menghadap ke arah Evan yang tengah duduk sambil menatap Lovelyn.
"Semenjak lu pergi, ada banyak hal yang berubah. Bahkan jalanan itu sekarang udah jadi mall besar yang asik. Mau ke sana?" Tanya Evan.
Deg!
Geleyar aneh siang itu menyelusup masuk ke dalam hati Lovelyn bersamaan dengan semilir angin hangat diantara teriknya matahari.
Ini ajakan kencan?
.
.
.
.
.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top